ANALISIS APLIKASI TERJEMAH PUITIS MAHJIDDIN
C. Tatanan Semantis dalam Terjemahan
Terjemahan yang dilakukan atas dasar pertimbangan makna. Tidak semua makna Bsu dapat diterjemahkan sepenuhnya ke dalam Bsa. Oleh karena itu, strategi ini dipergunakan pada tataran kata, frasa maupun klausa atau kalimat. Di antara strategi semantis yang digunakan dalam terjemah al-Quran bersajak Bahasa Aceh meliputi beberapa strategi.
Dalam menerjemahkan ayat-ayat mutasyabihat,59 yang tercakup dalam beberapa surah dalam al-Qur’an. di antaranya: kata yad dalam surah al-Fath ayat 10. Dalam penerjemahan ayat. Mahjiddin menerjemahkan yad Allah dengan jaroe Tuhan. Jaroe dalam bahasa Indonesia berarti tangan. ‘Abdullah Yûsuf juga menerjemahkan yad Allah dengan ‘The hand of Allah.60
Sebuah kalimat dalam Qur'an kadang-kadang mungkin memang tidak jalan menurut logika tata bahasa sehari-hari. Tetapi betulkah keadaan tidak jalan tersebut bukan merupakan satu bagian tak terpisahkan dari puisi, dan karenanya orang haruslah mengangkat seperti aslinya dan kalau perlu memberinya catatan kaki seperti dalam tafsir.
Melihat konsep terjemahan Jassin maupun terjemahan Yusuf Ali akan ditemukan bahwa sesungguhnya puisinya hanya bentuk bukan semangat tenaga atau dorongan puitik. Contoh terjemahan Tangan Allah, tidak selamanya harus diartikan. Tetapi untunglah Jassin juga menggarap puisi Quran dengan mempertahankan suasana puitiknya. Berbeda dari terjemah-terjemah yang lain Jassin misalnya tidak menerjemahkan 'Wajah Allah' dengan 'Kebesaran/Pengetahuan Allah' tidak pula 'Tangan Allah' dengan 'Kekuasaan Allah'.
Dalam terjemahan Departemen Agama awal ayat 35 Surah Nur yang
berbunyi Allahu nûr al-Samâwât wa al-Ard diterjemahkan dengan: Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Dalam hal ini Jassin berbeda: ia menerjemahkannya persis seperti ayat aslinya: Allah Cahaya langit dan bumi -
59
Mutasyâbih adalah ayat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah swt. Memiliki banyak wajah pemaknaan dan dalam penafsiran membutuhkan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat yang lain. Lihat al-Sayuthi, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyyah, 2000), hal. 70 lihat juga Manna’ Khalil al-Qaththân, Mabâhîs fî ‘Ulûm al-Qur’an, hal. 63
60
dan menyerahkan pengertian "cahaya" itu kepada Quran sendiri atau kepada tafsir.61
Demi memertahankan kebenaran makna, Mahjiddin tidak menerjemahkan makna yang terkandung di balik ayat tersebut, namun ia tetap menerjemahkan mengikuti bunyi asli ayat Tuhan po cahya langet ngon bumoe, diartikan Allah pemilik cahaya langit dan bumi.62
Di sinilah tiba-tiba kelihatan peranan, yang mungkin kedengaran agak asing dari para penerjemah puitis. Bahwa mereka selayaknya membiarkan pembaca menerima bagian-hagian Quran yang masih utuh, yang sebenarnya menimbulkan kenikmatan religius tersendiri. Tidak justru membuyarkannya semata-mata dengan semangat mau rasionil yang tak jarang merubah pengertian ayat yang dalam dan penuh rahasia menjadi sesuatu yang datar.
Terjemahan ‘arasy dalam surah Thaha: 5 juga tetap diterjemahkan dengan ‘arasy.63 Mahjiddin mengikuti kebanyakan mufassir yang tidak menafsirkan kata ‘arasy. Namun berbeda dengan Yûsuf ‘Ali, ia menerjemahkan ‘arasy dengan throne (of authority) dalam bahasa Indonesia diartikan singasana (kekuasaan).64
Kata al-Qahiru dalam surah al-An’am ayat 18 diterjemahkan dengan
Peurkasa yang berarti berkuasa.65 Di sini terlihat kehati-hatian Mahjiddin untuk menerjemahkan kata-kata di atas. HB. Jassin juga kurang berani menerjemahkan ayat-ayat yang mengandung makna ganda tersebut. Jassin tetap menerjemahkannya secara harfiyah. Walaupun hal ini juga sama dengan terjemahan al-Qur’an Departemen Agama, namun tetap diberikan keterangan pada bagian footnote guna memudahkan pemahaman para pembaca.66
Penerjemahan wajh dalam surah al-Qashas ayat 88, kullu syaiin hâlikun illa wajhahu.67 Mahjiddin tidak mengartikan kata wajh secara harfiah dalam artian wajah. Mengikut terjemahan Departemen Agama yang mengartikan teks ayat tersebut dengan segala sesuatu pasti binasa kecuali Allah. Kata jâa Rabbuka
61
HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 484 62
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 539 63
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal.476
64Abdullah Yûsuf Alî, The Holy Qur’ân: text, Translation and Commentary, hal. 765 65
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 187 66
HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 169 67
dalam surah al-Fajr ayat 22, sebagian penerjemah menerjemahkan dengan datanglah Tuhanmu, berbeda dengan Mahjiddin yang menerjemahkannya dengan peurintah Tuhan. Merujuk kitab Yûsuf ‘Ali, yang menerjemahkan illa wajhahu dengan except His own Face, berarti wajah Allah.68
Wajh pada asalnya adalah al-Jârihah (anggota tubuh). Ketika wajh diartikan muka, maka anggota tubuh itulah yang pertama kali menghadap.69 Inilah yang dinamakan makna leksikal. Kata nominal wajh seperti pada ayat 115 dan 272 surah al-Baqarah diterjemahkan dengan arti yang berbeda. Pada ayat 115 diterjemahkan dengan wajah, maksudnya adalah arah Allah (al-Jihah); dan pada ayat 272 diterjemahkan dengan rida (mardât Allah). Meskipun kata yang sama tersebut diterjemahkan dengan terjemahan yang berbeda, pada esensinya kedua kata tersebut disandarkan pada Allah. Sehingga arah Allah yang dimaksudkan adalah arah yang diridai Allah dan diperintahkan untuk menghadapnya.
Sedangkan wajh yang diterjemahkan rida Allah termasuk metaphora
(majâz mursal), meskipun yang dinyatakan itu sebagian (wajh) namun yang dimaksudkan adalah keseluruhan. Inilah yang diistilahkan dalam retorika bahasa Arab dengan majâz mursal ‘alâqatuhu al-Juz`iyyah.
Dari uraian di atas terlihat ketidak konsistenan Mahjiddin dalam proses penerjemahan. Penulis beranggapan hal ini disebabkan karena Mahjiddin ingin tetap menjadikan nilai puitis dari terjemahan. Setiap kata atau kalimat yang diungkapkan Mahjiddin selalu harus sesuai dengan keteraturan bunyi kalimat terjemahan.
Naturalisasi
Naturalisasi adalah ucapan atau tulisan Bsu yang disesuaikan dengan aturan BSa. Naturalisasi merupakan lanjutan dari transliterasi atau sering disebut adaptasi.70 Misalnya, Islâm menjadi Islam. Bahasa Aceh termasuk bahasa yang kaya dengan kata serapan dari bahasa Arab. Sebagian kata-kata Arab ini masih
68
Abdullah Yûsuf Alî, The Holy Qur’ân: text, Translation and Commentary, hal. 985 69
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal. 1145.
70Naturalisasi disebut juga teknik penerjemahan fonologis, yaitu terjemahan yang dilakukan dengan cara membuat kata baru yang diambil dari bunyi kata Bsu untuk disesuaikan dengan sistem bunyi (fonologi) dan ejaan (grafologi) Bsa, seperti kata demokratie (Belanda) demokrasi. Lihat Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, hal. 76.
utuh dalam arti yang sesuai antara lafal dan maknanya seperti akad, yakin, ta’at, hajat, kiamat, kitab dan syari’at. Kemudian lafal berubah dan artinya tetap dari lafal semula seperti awai, akhe, haleue, hareum, sabab, khaliphah, muallap. Bagian lainnya, lafalnya benar artinya berubah, seperti ahli, kalimat dan siasat.
Di antara bahasa Arab yang telah diserap ke dalam bahasa Aceh seperti sikkin, napsu, hajat, sa’ah dan lainnya. Sikin terlihat dalam surah Yusuf ayat 31:71
Jijok ngon sikin dum saboh sapo. Yang dimaksud dengan sikin dalam ayat ini adalah pisau. Masyarakat Aceh menyebut pisau dengan sikin. Kata hajat sudah biasa digunakan masyarakat Aceh untuk menyatakan keinginan, mengenai hal ini dapat langsung dilihat pada terjemahan Mahjiddin menyebutkan surah Yusuf ayat 68: meulengkan hajat lam ate Ya’cob.72
Kata-kata serapan bahasa Aceh yang berasal dari bahasa Arab sangat dipengaruhi oleh teks-teks keagamaan seperti al-Qur’an. Karena itu, dalam terjemahan al-Qur’an juga terdapat kata-kata yang dipungut langsung dari bahasa al-Qur’an itu sendiri. Terjemahan al-Qur’an Mahjiddin menggunakan transliterasi pada kata-kata atau frasa tertentu yang memang tidak sepadan dalam konteks yang dimaksud. Di dalam penerjemahannya, penulis menemukan strategi transliterasi pada kata-kata, frasa dan kalimat sebagai berikut: hithatun, ra’ina unzurna, Qalaid, adawah. Terjemahan hiththatun dalam surah al-Baqarah: 5873
58. Yoh nyan Kamoe kheun boh tamong leugat Nanggroe nyoe teumpat gata geukeubah Peue-peue nyang hawa pajoh mangat that Tatamong leugat sujud bak Allah
Takheun hiththatun Neuampon leugat Uleh Hadharat peue nyang ka salah ra’ina dan unzurna74 (al-Baqarah ayat 104):
71
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 358 72
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 364 73
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh,
hal. 20
74Râ’inâ artinya perhatikanlah kami, kemudian klausa tersebut diplesetkan oleh orang Yahudi dengan dengan ru’ûnah yang artinya bodoh sekali yang ditujukan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah memerintahkan sahabat Rasulullah untuk menukar râ’inâ dengan unzurnâ
104. Wahe dum ureueng nyang na meuiman Bek sagai takheun narit nyang salah Bek roh Rai’ina tekheun le gata Sabab jeuet jiba makna nyang salah Takheun neukalon neungieng keu kamoe Tadeungo jinoe peue nyang geupeugah Teuma keukaphe sabab jih sisat
Adeueb peudeh that keu jih geukeubah ‘adawah (al-Baqarah: 72):75
72. Yoh masa tapoh lom sidroe sabat Teuma ‘adawah gata meubantah
Tuhan peuleumah nyang tasom meuhat Cit meusoe leugat nyang pubeut salah Qalaid dalam surah al-Maidah: 97:76
Lom buleuen hareuem ngon sie binatang Saban deungon dam jeuet keu hadiah Teuma qalaid untuk bak takue
Tanda unta nyoe geujok bak ka’bah
HB. Jassin dalam terjemahan al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia menerjemahkan hithatun dengan “Bebaskanlah kami (dari dosa-dosa kami).77
Kalimat ra’ina dan unzurna (al-Baqarah ayat 104), juga diterjemahkan
menggunakan bahasa asli al-Qur’an, namun Jassin tetap memberikan keterangan dan footnote sebagai penjelasan maksud keduannya.
Kata-kata al-Qur’an yang kemudian menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia melalui naturalisasi juga banyak ditemukan di dalam terjemahan Mahjiddin. Di antara kata-kata itu adalah Allah, kitab, nama-nama malaikat
seperti Jibril, Roh Kudus, Mikail. Hal ini dimaksudkan untuk mengikuti
persamaan bunyi tiap akhir kalimat. Nama Malaikat, yang seharusnya ditulis Jibril, namun Mahjiddin menulisnya dengan Jibrail,agar pengucapan bunyi sesuai dengan bunyi Mikail. Dalam surah al-Baqarah ayat 98,78
75Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 14 76
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 177 77
HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 10 78
98. Barangsoe musoh deungon Hadharat Ngon malaikat ngon rasul Allah Lom ngon Jibrail deungon Mikail Hana chok lagi jih musoh Allah
Dalam terjemahan Jassin, ia tetap mengartikan nama-nama malaikat sesuai
dengan bahasa al-Qur’an.79 Namun berbeda dengan Yûsuf ‘Ali, terjemahan
bahasa Inggrisnya mengikuti kebiasaan, lafal dan dialek Inggris. Jibril dan Mikail diterjemahkan sesuai dengan sebutan Inggris yaitu Gabriel dan Michael.80
Nama-nama raja seperti Fir’aun, Harut, Marut penulisan nama tokoh seperti Fir’aun yang diterjemahakan sesuai dengan logat masyarakat Aceh terlihat dalam terjemahan ayat 49 surah al-Baqarah:81
49. Yoh masa dilee kon na taingat Gata dum meuhat Kamoe peuleupah Kawom Peura’un gata diadeueb
Keubit that jeuheut kaphe seurakah
Nama-nama Nabi, seperti Adam, Musa, Isa, Sulaiman, Ibrahim, Dawud. Terjemahan nama nabi, sebagiannya diterjemahkan dengan bunyi atau ucapan dialek Aceh, contohnya nabi Nuh dalam surah Maryam ayat 58 dengan Noh dan Ya’cob.82
Nama kaum (umat) seperti Yahudi, Bani Israil. Dalam terjemahannya Mahjiddin tetap menggunakan kata-kata bahasa Arab, namun dengan menulisnya dalam ucapan atau bunyi bahasa Aceh. Misalnya terjemahan israil dalam ayat 58
surah Maryam, israil diterjemahkan dengan israi. Namun terkadang dalam
terjemahan ayat yang lain Mahjiddin tetap memakai Israil. 83
Tabri keu ngon lon Bani Israi Tuhanku Rabbi meunan neupeugah
79
HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 18 80Abdullah Yûsuf Alî, The Holy Qur’ân, hal. 985 81
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 10 82
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 471 83
Dalam surah yang lain Bani Israil diterjemahkan dengan cot Israil, lihat terjemahan ayat 47 surah al-Baqarah: Hai cot Israil taingat be that.84 Cot dalam bahasa Indonesia diartikan cucu atau keturunan.
Demikian juga terjemahan istilah dalam Fiqh Islam, contoh tamattu’ diterjemahkan dengan tamatto’, lihat terjemahan Mahjiddin surah al-Baqarah ayat 196:85
Haji tamatto’ taumrah dilee Tabayeue teuntee bacut hadiah Meunyo hadiah han ek tapeuna Puasa teuma sinan di Makkah
Semua kata, frasa dan kalimat di atas yang diterjemahkan menurut bunyi dan tulisan ayat al-Qur’an itu dapat digolongkan pada nama tempat seperti maqam Ibrahim,86 Masjidil Haram, Safa dan Marwah, nama bulan seperti Ramadhan, serta istilah-istilah dalam Fiqh Islam seperti shalat, zakat, haji, umrah, qisas, riba, sedeqah dan fidyah.
Maqam Ibrahim (al-Baqarah ayat 125):87
Maqam Ibrahim tacok keu teumpat Seumbahyang meuhat sujud bak Allah Ubak Ibrahim deungon Ismail
Kemoe meujanji yue peugleh bagah
Kata Maqâm diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menurut
transliterasinya, karena sulit untuk dicarikan padanannya, sehingga sebagian mufassir, kata tersebut dijelaskan dalam catatan kaki. Hal itu disebabkan oleh
makna yang terkandung dalam kata Maqâm tidak ditemukan padanannya.
Meskipun, bahasa Indonesia memiliki kata makam, kata ini tidak bisa dipadankan, karena kata makam mempunyai arti (1) tempat tinggal, kediaman ; (2) kubur,
84Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 9 85
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 42 86
Tempat Nabi Ibrahim berdiri ketika membanguna Ka’bah. 87
permakaman.88 Padahal Maqâm yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah batu yang dijadikan tempat berdiri nabi Ibrahim saat membangun Ka’bah.89
Kata ahl al-Kitâb itu sendiri juga banyak disebutkan dalam al-Quran sebanyak 31 kali. Delapan surah masuk kategori Madaniyah dan satu surah Makkiyah. Dari beberapa surah yang menceritakan Ahl al-Kitâb itu dapat dirujukan kepada umat yang beragama Yahudi, Nasrani, dan agama lain seperti Sabiin dan Majusi serta agama lainnya di luar Islam.90 Dalam menerjemahkan golongan ahl al-Kitâb di atas, Mahjiddin tetap menerjemahkan mengikuti bahasa asli, namun sabiin ia terjemahkan dengan muallap.91 Terjemahan surat al-Baqarah ayat 62:
62. Ureueng meuiman akan Hadharat Yahudi sapat soe nyang meutuah Nasrani sapat muallap sapat Meunyo mupakat iman keu Allah
Dalam terjemahan HB. Jassin, ia menerjemahkan agama-agama lain tersebut dengan:92
62. Sungguh, mereka yang beriman Dan mereka penganut agama Yahudi, Orang Nasrani dan orang shabiin,
Transliterasi pada kata-kata, yang berasal dari bahasa Arab yang sudah diserap ke dalam bahasa Aceh yang sudah mengalami perubahan bunyi, di antaranya: sabt menjadi sabat (al-Baqarah ayat 65). Walau Mahjiddin juga menggunakan kata Sabtu dalam menerjemahkan sabt.
65. Ka roe tateupeue buet urueng jaungkat Bak uroe Sabat jipubuet salah
Bak uroe Sabtu jijak mupakat
Senada dengan Jassin dan ‘Abdullah Jûsuf ‘Ali yang menerjemahkannya dengan sabt. 93 Masy’aril harâm menjadi Masyaril haram (al-Baqarah ayat 198),
88
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal. 622. 89
Muhammad ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsir, jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), hal. 83.
90
M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik al-Quran (Bekasi: Gugus Press, 2002), hal. 239. 91
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 13 92
Qurû`94
menjadi kuruk (ayat 228) dan sundusin menjadi sundusen (al-Kahf ayat 31).95 Semua kata-kata itu ditulis menurut bunyi dan tulisan Aceh, meskipun semuanya itu berasal dari bahasa al-Qur’an atau Arab.
Penggunaan bahasa asli al-Qur’an di atas juga terkadang dicarikan sinonim atau bahkan dirubah penulisan agar tetap bisa mempertahankan susunan puitis kalimat. Dalam terjemahannya, Mahjiddin menyebut kata Allah dengan beberapa terjemahan di samping kata Allah itu sendiri, di antarannya kata Tuhan (al-Baqarah: 15) dan Hadharat (al-(al-Baqarah: 20), dan Potallah (al-Fatihah: 2) Dapat dilihat perbandingan ketiga ayat tersebut: dalam surah al-Fatihah ayat 1:96
1. Ngon nama Allah lonpuphon surat 2. Sigala pujoe bandum lat batat
Bandum nyan meuhat milek Potallah
Terjemahan Allah menggunakan sinonim Tuhan dalam surah al-Baqarah: 15,97
15. Tuhan beubiyeue jih lom sisat Ulokjih meuhat akan neubalah
Dan juga sinonim Allah dengan Hadharat dalam surah al-Baqarah ayat 20:98
20. Ka rap jisama bandum le kilat Matajih meuhat seupot sileupah Watee meucaya jijak le leugat ‘Oh seupot siklap jidong le bagah Meunyo Neukheundak uleh Hadharat
Tuloejih leugat hana peue peugah
Dalam terjemahan Yusuf Ali cetakan baru yang direvisi, God
diterjemahkan dengan Allah. Sebab nama Allah memang terasa lebih luas
dimengerti dan diterima oleh umumnya pembaca dewasa ini.99 Demikian juga
93Sabt ialah hari Sabtu, hari khusus bagi orang Yahudi untuk beribadah. Mahjiddin Jusuf,
al-Qur’an al-Karim, hal. 12. Lihat juga HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 12. Juga Abdullah Yûsuf Alî, The Holy Qur’ân, hal. 38
94Qurû` bentuk jamak dari qar`u yang berarti suci, atau haid. Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 50
95
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 449 96Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 1 97
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 3 98
Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 4 99
Jassin, tetap menerjemahkan Allah pada semua lafal teks Allah dalam al-Qur’an.
Mengenai kata lain dari Allah yaitu Rabb dan illah, diterjemahkan dengan
Tuhan.100
Perhatikan kata Rabb dalam teks asli maupun dalam teks terjemahan,
kemudian bandingkan naskah terjemahan bahasa Inggris ﻢﻜﺑر diterjemahkan
dengan kata Tuhan, dalam kosa kata Arab بر berarti pemilik atau pemelihara. Ketika menafsirkan ayat ini Ibn Katsîr menulis101 Makna yang ditangkap Ibn Katsîr dari ayat tadi adalah; penjelasan keesaan Allah dalam status-Nya sebagai yang disembah manusia; pemberi ni’mat penciptaan dan; penganugrahan ni’mat lahir dan batin bagi hambanya. Keterangan Ibn Katsîr tidak memuat analisa linguistik, hingga tidak bisa dianalisis kemungkinan makna yang terkandung di dalam ayat tersebut secara lebih jauh.
Dari penjelasan di atas secara semantis bisa dilihat ada makna berikut: بر sama dengan Tuhan dalam peran-Nya sebagai pemelihara; Kata Tuhan dalam kamus bahasa Indonesia berarti: Allah, Tuhan Allah; Tuhan Esa; Allah yang hanya satu.102
Makna yang dikandung adalah penegasan ketauhidan, bahwa Allah-lah yang berhak disembah, dengan demikian terjemahan yang ada bagi ayat ini sudah dapat dikatakan tepat dari segi makna, dan penggunaan kata Tuhan sebagai terjemahan dari ﻪﻟإ dinilai tepat makna, karena pengertiannnya merujuk pada peran Allah SWT sebagai yang berhak disembah, dalam terjemahan bahasa Inggris kata tersebut diterjemahkan.
Jadi, pungutan (borrowing) dapat dianggap sebagai strategi semantis dalam terjemahan al-Qur’an yang berkaitan dengan kata-kata, frasa atau kalimat untuk menjelaskan istilah-istilah pengetahuan yang belum ada dalam Bsa. Seharusnya terjemahan al-Qur’an harus mengacu kepada terjemahan resmi yang telah dibakukan. Penerjemah sekedar memungut kata Bsu yang ada, alasan ini
100
Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 1 101
Ibnu Katsîr, Tafsir surat al- Baqarah ayat 21. 102
digunakan untuk menunjukkan penghargaan terhadap kata-kata tersebut, atau belum ditemukan padanannya dalam bahasa Bsa.103