• Tidak ada hasil yang ditemukan

Situasi Sosial Politik pada Masa Mahjiddin

Situasi politik di Aceh sangat berpengaruh terhadap perkembangan lembaga pendidikan terutama dayah. Perang Aceh yang berlangsung sejak tahun

1873-1903, telah membawa dampak pada pembaruan, khususnya pendidikan di Aceh.29

Mahjiddin, seperti yang digambarkan dalam sejarah hidupnya selayang pandang di atas, dilahirkan, dibesarkan, bahkan hidup pada masa masyarakat yang sedang disentuh pembaharuan peningkatan pendidikan di Aceh setelah masa perjuangan merebut kemerdekaan. Usaha melanjutkan perjuangan dilakukan dengan gagasan pembaharuan politik perang baru dengan maksud dan tujuan mengusir tentara Belanda setelah pihak Belanda melakukan pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Aceh. Belanda harus diusir dari Tanah Aceh. Para ulama merumuskan dua strategi perang, yang pertama Perang Gerilya dalam segala macam bentuk akan dilanjutkan sampai Belanda angkat kaki dari Aceh. Kedua, Perang Politik, yang terutama dilandaskan pada peningkatan pendidikan rakyat, terutama pendidikan Islam.30

Pendidikan dan pengajaran Islam dilaksanakan kembali dengan membangun dayah. Antara tahun 1915–1930 telah berdiri dayah-dayah di berbagai pelosok Tanah Aceh,31 yang berfungsi menyiapkan dan membina tenaga-tenaga pejuang kemerdekaan, yang perjuangannya didasarkan atas ajaran Islam. Pembaharuan pendidikan di Aceh terus berlanjut sampai pada tahun 1930-an mulai dikembangkan pendidikan Nasional, dengan lahirnya perguruan Taman Siswa, Madrasah al-Muslim Matang Geulumpang Dua, juga di bidang pendidikan agama, pembaruan paham dan ajaran Islam. Sekolah agama tingkat Tsanawiyah tumbuh sejak tahun 30-an.

Ketika Belanda mulai memperkenalkan sekolah Belanda di Aceh, seperti ELS, MULO, HIS dan bahkan kelas khusus untuk keturunan Cina, Arab dan Ambon. Maka untuk pribumi mereka juga membangun sekolah desa. Menghadapi pendidikan model ini dayah justru mempertahankan nilai tradisionalnya.32 Mereka melarang meniru gaya Belanda, sikap seperti ini membuat dayah tidak       

29Abudin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo: 2001), hal. 50

30Ali Hasyimi, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemedekaan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang: 1976), hal. 58-60

31seperti Dayah Lhok Bubon, Dayah Jram, Dayah Daya, Dayah Montasik, Dayah Bitai, Dayah Bung Cala, Dayah Piyieng, Dayah Lam Ara, Dayah Seulimum, Dayah Garot, Dayah Smalanga, Dayah Pante Geulima, Dayah lang Bladeh, Dayah Simpang Ulim, Dayah Idi dan masih banyak lagi. Ali Hasyimi, Peranan Islam dalam Perang Aceh, hal. 59-60

begitu diminati seperti masa kejayaan Aceh. Hal seperti ini disebabkan juga akibat perang. Hal ini yang menjadi pendorong orang Aceh untuk mengirim anaknya belajar agama ke luar Aceh, antara lain ke Minangkabau, Mesir, dan Jawa. Umumnya mereka memilih sekolah-sekolah yang dikelola oleh muslim modernis. Maka setelah pulang ke Aceh, mereka menjadi pembaharu dan mendirikan sekolah-sekolah modern. 33

Selain itu, dalam setting historis pada tahun 1950-an sampai 1960-an, Aceh sedang mengalami peristiwa pemberontakan Darul Islam (DI), yang telah belangsung sejak 1948 di Jawa Barat dan meluas sampai ke seluruh Nusantara, dan sampai ke Aceh pada tahun 1953. Pemberontakan tersebut secara bebas menyatukan agenda yang berbeda untuk membentuk federasi negara-negara Islam (Negara Islam Indonesia, NII).34

Kekecewaan masyarakat Aceh memuncak menjadi pemberontakan pada September 1953 ketika para pemberontak lokal dipimpin oleh ulama Aceh paling berpengaruh, Teungku M. Daud Beureueh, bergabung dengan pemberontakan Darul Islam. Hanya setelah Januari 1957, ketika pemerintahan Presiden Soekarno membentuk kembali Provinsi Aceh, yang menumbuhkan harapan di kalangan para pemimpin Darul Islam bahwa Aceh akan dapat segera bebas untuk menerapkan syariah, keterlibatan rakyat Aceh dalam pemberontakan Darul Islam secara perlahan berkurang.35

      

33Ibrahim Alfian, “Ulama dan Masyarakat Aceh” dalam Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES: 1989), hal. 174-175. AK. Jacobi, Aceh Daerah Modal,

(Jakarta: Pelita Persatuan, 1992), hal. 234-235

34Kesepakan Aceh untuk keanggotaan atas negara baru, Indonesia, pada tahun 1949 secara lokal dipahami sebagai bergabung berdasarkan perlakuan yang setara merefleksikan kotribusi Aceh terhadap perjuangan antikolonial dan penegakan prinsip-prinsip Islami. Namun, Aceh hanya menikmati otonomi luas kurang dari satu tahun sebelum penggabungan ke dalam provinsi Sumatera Utara sebagai bagian dari reorganisasi administratif oleh Jakarta dengan menjadikan Indonesia hanya 10 provinsi. Kesan yang kuat akan pengkhianatan dalam keputusan ini di Aceh diperparah oleh masuknya orang-orang non-Aceh, pekerja migran non-muslim dan pasukan militer ke wilayah ini, serta memburuknya kondisi sosial ekonomi karena lebih besar porsi dari anggaran nasional mulai dialokasikan ke Jawa daripada pulau-pulau lainnya.

35Sebagai bagian upaya Jakarta untuk mencapai kesepakatan dengan pemberontak Darul Islam Aceh, Presiden Soekarno juga menawarkan Aceh secara prinsip status ‘Daerah Istimewa’ pada 26 Mei 1959 dengan memberikan otonomi luas ke provinsi ini dalam hal agama, pendidikan, dan adat istiadat. Tawaran ini menanggapi usulan otonomi sebelumnya yang diajukan oleh mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Darul Islam, Hasan Saleh, yang berakar dari realisasi pragmatis bahwa satu-satunya cara untuk memenangkan konsesi untuk Aceh adalah melalui pendekatan lokal terhadap tujuan-tujuan Islamis yang luas para pemberontak. Meskipun tuntutan otonomi awal oleh para pemberontak Darul Islam adalah federalisme yang luas, Jakarta menganggap sebuah federasi Islam (NII) sama saja dengan kembali ke sistem kolonial Belanda yang tidak dipercaya lagi,

Diduga terlibat dalam peristiwa di atas, Mahjiddin Jusuf (1918-1994 H) di antara sejumlah tokoh yang ditahan pada waktu itu, seperti pemimpin Muslim dan ulama lainnya, Mahjiddin menulis karyanya selama dalam tahanan di penjara kota Binjei yang dijatuhkan oleh pemerintah Indonesia ketika terjadi perlawanan Rakyat Aceh dalam peristiwa DI/TII di Aceh. Penahanannya di Binjei merupakan awal kehidupan baru baginya, di mana al-Qur’an menjadi perhatian utama. Pada satu sisi ia memanfaatkan kesempatan itu dengan aktivitas religius, mencoba menerjemahkan al-Qur’an dalam bahasa Aceh bersajak bebas, keahlian bersajak atau berhikayat yang diwariskan dari ayahnya.

Kondisi politik ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan kegiatan intelektual. Upaya untuk memahami sebuah karya tafsir sebagai sebuah teks produk anak zaman dalam konteks pergaulan sosio historinya dalam era konflik merupakan kajian yang unik dan menantang. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang masalah ini. Dan yang perlu diungkap dalam penelitian ini adalah sejauh mana seorang mufassir memperlakukan al-Qur’an sebagai teks suci yang lahir pada konteks masa budaya dan historis tertentu.

        sebuah argumen kontra-federalis yang dapat muncul kembali dalam perdebatan-perdebatan tentang desentraliasi pada masa pasca-Soeharto.

KARAKTERISTIK PUITISASI TERJEMAHAN AL-QUR’AN