• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelahiran dan Pendidikan

Teungku21 Mahjiddin Jusuf lahir di Peusangan Aceh Utara, salah satu Kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam, pada tanggal 16 September 1918.22       

20A. Abu Bakar Meulaboh, Prasarana Bahasa dan Kesusastraan Aceh, dalam buku Petunjuk Panitia PKA II, (Banda Aceh: 1972).

21Teungku adalah gelar penghormatan kepada ulama. Gelar ini berbeda di beberapa daerah misalnya di Jawa dikenal dengan sebutan kyai, di Sunda dikenal dengan ajengan, di Sumatra Barat dikenal dengan buya, di Nusa Tenggara Barat dikenal dengan tuan guru, di Sulawesi Selatan disebut dengan topandita, di Madura dikenal dengan nun atau bandara. Di Aceh dipanggil

Mahjiddin tumbuh dalam lingkungan islami. Menghabiskan masa kanak-kanak dalam asuhan keluarga taat beragama. Mendapat pendidikan langsung dari orang tuanya sendiri yaitu Tgk. H. Fakir Jusuf, yang juga merupakan salah seorang ulama dan penyair dan pengarang hikayat23di daerah Peusangan Aceh Utara

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di berbagai dayah24 di Aceh Utara, seperti ‘Balee Setui’, ia menempuh pendidikan nonformal pada orang tuanya, kemudian melanjutkan ke Peverlop School, setingkat sekolah dasar pendidikan Belanda yang terdiri dari lima tingkatan kelas. Setelah menamatkan studi pada jenjang ini ia melanjutkan kembali studinya pada Madrasahal-Muslim

Matang Geulumpang Dua sampai tahun 1937.

Pada dekade 1939, Mahjiddin memutuskan untuk menimba ilmu ke Sumatera Barat pada sebuah sekolah terkenal pada waktu itu yang bernama

Normal Islam School di Sumatera Barat. Pada akhirnya menyelesaikan studi pada tahun 1914 dengan kelulusan peringkat terbaik. Setelah kepulangannya dari Sumatera Barat pada akhir tahun 1914 ia kembali ke kampung kelahirannya dan menjadi pendidik di sekolah al-Muslim. Pada tahun 1944-1946 ia dipercaya untuk memimpin sebuah Madrasah al-Muslim. Perjalanan karirnya terhenti disebabkan Mahjiddin terpilih menjadi Kepala Nanggroe (Negeri) pertama Peusangan atau

       

teungku. Lihat Subhan SD, Ulama-ulama Oposan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), hal. 21. Gelar teungku hanya diberikan kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama, berakhlak mulia dan dalam waktu tertentu menuntut ilmu ke salah satu dayah. Dalam perkembangan selanjutnya, teungku dianggap sebagai panggilan penghormatan terhadap orang-orang tertentu yang dianggap atau dirasa perlu dihormati. Lihat Alfian, The Ulama in Acehnese Society: A Preliminary, Observation, (Banda Aceh: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh, 1975), hal. 2

22Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’ân al-Karim, hal. xix

23Dalam masyarakat Aceh akan dijumpai sejumlah karya sastra dari zaman lampau. Di antara karya sastra itu ialah hikayat. Hikayat ditulis hampir seluruhnya berbentuk puisi dengan menggunakan huruf Arab-Melayu tetapi tetap dalam teks berbahasa Aceh. Ditinjau dari segi masyarakat Aceh, hikayat tidaklah dipandang sebagai karya fiksi yang utuh. Hikayat dan cerita rakyat semacam itu lebih berat dipandang sebagai suatu peristiwa kehidupan yang benar-benar ada daripada sebagai buah pikiran pengarangnya. Juga, isi kandungan hikayat dianggap mewakili sekelumit peristiwa kehidupan sosial Aceh sehingga amat mempengaruhi tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial, kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya. Lihat Ahar, Sastra dan Kritik Sastra, Horison, No. 3 Maret 1974.

24Istilah dayah berasal dari bahasa Arab Zawiyyah yang berarti pojok, sudut, bagian dari satu tempat bangunan. Lihat Ishak Kasim, Struktur Organisasi dan Kurikulum Dayah, dalam hasil kesimpulan pertemuan ilmiah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 1985, h. 3-4. Istilah Dayah berarti “ Sekolah Tinggi Aceh”, lihat Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, h. 313. Lihat juga, Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’ân al-Karim, hal. xii

Wakil Kepala Negeri Keresidenan Bireun (setingkat camat) di Daerah Kabupaten Aceh Utara setelah kemerdekaan hingga pada tahun 1948.

Berkat kepiawaiannya, Mahjiddin hijrah ke jantung kota Banda Aceh yang pada saat itu masih bernama Kutaraja. Setelah Januari 1949 ia ditugaskan kembali untuk menjabat sebuah instansi sebagai Kepala Pendidikan Agama pada Jawatan Departemen Agama Banda Aceh. Ketika Provinsi Aceh dilebur oleh Pemerintah Pusat, Mahjiddin masih dipercaya untuk menjabat sebagai Kepala Pendidikan Agama Provinsi Sumatera Utara. Jabatan ini tidak berlangsung lama, hanya sekitar satu tahun, kemudian ia pulang kembali ke Banda Aceh dan menjabat kembali Kepala Bagian Pendidikan Agama Aceh.25

Pada saat peristiwa Aceh bergolak, Mahjiddin sempat ditangkap dan ditahan serta diasingkan ke penjara Binjai pada tahun 1953.26 Namun, setelah empat tahun yaitu pada tahun 1957 Mahjiddin dibebaskan. Setelah bebas, ia kembali berkiprah dalam dunia pendidikan yang berada di jajaran Departemen Agama, pindah dari satu jabatan ke jabatan yang lain dan terakhir menjadi Kepala PGA Negeri 6 Banda Aceh dari tahun 1963 sampai pensiun tahun 1974.27

Di samping pekerjaan dan jabatan sebagai pegawai negeri sipil, Mahjiddin juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD Propinsi Aceh dan Sumatera Utara mewakili partai politik Islam Masyumi. 28 Sebagai tokoh agama karismatik, ia juga diangkat menjadi iman Mesjid Raya Banda Aceh dan pernah juga menjadi dosen luar biasa di Institut Agama Islam Negeri IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, serta beberapa jabatan lainnya dalam berbagai organisasi sosial kemasyarakatan.       

25Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’ân al-Karim, hal. xx

26Aksi DI/TII (Darul Islam/ Negara Islam Indonesia) di Aceh dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh, ketika itu, mayoritas ulama-ulama Aceh yang diduga terlibat dalam partai politik yang pada saat itu Masyhumi dan akhirnya beliau ditangkap dan dipenjarakan oleh TNI. Dalam tahanan inilah, Mahjiddin Jusuf mulai menuliskan al-Qur’ân dan terjemahan bersajak bebas dalam Bahasa Aceh dan berhasil menerjemahkan tiga buah surat yaitu: Yassin, al-Kahfi dan al-Insyirah. Lihat Hendra Gunawan SS, M. Natsir dan Darul Islam, Studi Kasus Aceh dan Sulawesi Selatan Tahun 1953-1958, (Media Dakwah: Jakarta, 2000), hal. 54.

27Mahjiddin, Al-Qur’ân al-Karim, hal. xx

28Sejarah Bangsa Indonesia mencatat nama besar Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam terbesar yang pernah ada. Masyhumi didirikan dalam Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945. Setelah berdiri, Masyhumi tersebar merata di segenap penjuru tanah air. Hal itu dapat terjadi karena dukungan dari organisasi-organisasi yang loyal kepada Masyhumi. Ada delapan unsure organisasi-organisasi pendukung Masyhumi yakni, NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Umat Islam, al-Irsyad, Ma’iyatul Washliah, al-Ittihadiyah dan Persatuan Umat Islam Seluruh Aceh (PUSA). Lihat, M. Hermawan Ibnu Nurdin, Kiprah dan Jejak Politik Masyhumi, Majalah SAKSI, Edisi Oktober, 2005

Karena diakui sebagai ulama yang berilmu luas, Mahjiddin juga pernah menjabat sebagai ketua Yayasan Pendidikan Umat Islam, Dewan Pertimbangan Majelis Ulama, Panitia Persiapan Pembentukan IAIN Ar-Raniry, Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh, dan sebagai pendiri Pondok Pasantren Darul Ulum Banda Aceh. Ikut berkiprah dalam bidang agama di Departemen Agama, pindah dari satu jabatan ke jabatan yang lain dan terakhir menjadi kepala PGA (Pendidikan Guru Agama) Negeri 6 Banda Aceh.

Di usianya yang telah senja, Mahjiddin menulis berbagai karya , di antara karya-karya beliau dalam bidang pendidikan, ia menulis beberapa buku pelajaran dan buku bacaan untuk murid-murid SRI (Sekolah Rakyat Indonesia) yang sekarang lebih dikenal sebagai Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dalam bidang tafsir, bahasa arab dan pelajaran bahasa aceh pada tahun 50-an. Di samping itu ia juga mengarang beberapa hikayat dalam bahasa aceh yang kesemuanya masih berbentuk naskah yang belum dipublikasikan. Sebuah naskah tentang riwayat hidup dan kepenyairan orang tuannya yang berjudul Fakir Yusuf.

Beberapa hikayat Aceh yang pernah ditulis pada tahun 1984 untuk kalangan keluarga dalam bentuk stansilan. Termasuk karya ayahandanya yang ia salin kembali, seperti Hikayat Nabi Yusuf dan Hikayat Nabi Adam. Juga karya tafsirnya Al-Qur’an Terjemahan Bersajak Bebas Dalam Bahasa Aceh merupakan khasanah lokal karya terbesar dari Mahjiddin Yusuf yang lengkap 30 juz, ditulis dalam bahasa Arab Jawi Aceh berbentuk sastra sekaligus ditafsirkan sesuai dengan konteks kedaerahan diparuh abad-20 di Tanah Rencong Nanggroe Aceh Darussalam.

Mahjiddin Jusuf di panggil sang Khalik pada malam hari raya fitrah 1415 H bertepatan pada tanggal 14 Maret tahun 1994 M dalam usia 76 tahun, dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Kelurahan Beurawe Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh.