• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bilmauidhah Puitisasi Terjemahan Al Qur'an.bak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Bilmauidhah Puitisasi Terjemahan Al Qur'an.bak"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PUITISASI TERJEMAHAN AL-QUR’AN

Studi Analisis Terjemah Al-Qur’an Bersajak Bahasa Aceh

Oleh: Bilmauidhah NIM: 06.2.00.1.05.01.0009

Pembimbing:

Dr. Yusuf Rahman, MA

PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama

:

Bilmauidhah

NIM

:

06.2.00.1.05.01.0009

Tempat & Tanggal Lahir

: Lhokseumawe, 04 Oktober 1982

Alamat

: Jl. Ilie Lr. Lampoh Paleung II No: 03

Desa Ilie Ulee Kareng Banda Aceh

Nanggroe Aceh Darussalam

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul "Puitisasi Terjemahan Al-Qur’an:

Studi Analisis Terjemah al-Qur’an Bersajak Bahasa Aceh" adalah benar-benar karya asli saya,

kecuali kutipan-kutipan yang tersebut sumbernya. Apabila didalamnya terdapat kesalahan dan

kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Selain itu jika di dalamnya terdapat

plagiasi yang dapat berakibat gelar kesarjanaan saya dibatalkan, maka saya siap menanggung

resikonya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab.

Jakarta, 31 Maret 2010

Yang Membuat Pernyataan,

Bilmauidhah

(3)

Tesis dengan judul

"PUITISASI TERJEMAHAN AL-QUR’AN: STUDI ANALISIS

TERJEMAH AL-QURAN BERSAJAK BAHASA ACEH"

yang ditulis oleh Bilmauidhah,

NIM: 06.2.00.1.05.01.0009, telah diperbaiki sesuai dengan saran-saran pembimbing dan

disetujui untuk dimajukan dalam Sidang Ujian Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 31 Maret 2010

Dosen Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, MA

(4)

Tesis yang berjudul

"PUITISASI TERJEMAHAN AL-QUR’AN: STUDI ANALISIS

TERJEMAH AL-QURAN BERSAJAK BAHASA ACEH",

yang ditulis oleh Bilmauidhah,

NIM: 06.2.00.1.05.01.0009, Program studi Pengkajian Islam telah diujikan dalam Sidang

Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta pada hari Kamis, tanggal 22 April 2010. Tesis ini telah diperbaiki sesuai dengan saran

dan permintaan Tim Penguji dan diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Agama (MA) Bidang Pengkajian Islam.

Jakarta, 26 April 2010

TIM PENGUJI

1.

Dr. Udjang Tholib, M.A.

1

...

Ketua Sidang/Penguji

2.

Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA

2

...

Penguji

3.

Prof. Dr. Ahmad Dardiri, M.A 3

...

Pembimbing / Penguji

4.

Dr. Yusuf Rahman, M.A.

4

...

Pembimbing/Penguji

(5)

ABSTRAK

Tesis ini menyatakan bahwa penerjemahan al-Qur’an secara puitis menjadi instrument

dalam mengungkap keindahan teks al-Qur’an. Puisi merupakan salah satu bagian dari aspek

kajian sastra, yang memiliki nilai estetik tinggi. Temuan ini didasari oleh sejumlah fakta bahwa:

pertama,

terjemah Mahjiddin sangat memperhatikan cara penulisan, pilihan kata, keteraturan

susunan, irama serta bunyi sesuai dengan aturan-aturan puisi.

Kedua,

terjemahan dalam bentuk

atau gaya puisi tidak akan merubah akurasi makna dan pemahaman teks al-Qur’an.

Temuan ini memperkuat pernyataan HB. Jassin dalam karyanya

al-Qur’an al-Karim

Bacaan Mulia

(1970) bahwa terjemahan puitisasi al-Qur’an akan dapat membumikan keindahan

dan kedalaman pemahaman teks. Di samping itu, tesis ini juga memperkuat pendapat para

sarjana seperti Amîn al-Khûlî dalam

Manâhij al-Tajdid fî al-Nahw al-Balâghah wa al-Tafsîr wa

al-Adab

(1930). Nasr Hamid Abû Zaid, dalam karyanya

Mafhûm Nass: Dirâsat fî Ulûm

al-Qur’ân,

menggunakan pendekatan susastra al-Qur’an. Al-Qur’an memiliki pesan etik, moral,

spiritual dan juristik. Penggunaan metode ini diharapkan mampu meminimalisir subyektifitas

dan tarikan-tarikan kepentingan individu maupun ideologi. Di sisi lain, tesis ini berbeda dengan

pernyataan Muhammad Abduh dalam

Tafsir al-Manar,

yang menyatakan bahwa interpretasi

al-Qur’an bukanlah tempat di mana para ahli bahasa maupun sastrawan mempertontonkan keahlian

dan kepintarannya, karena al-Qur’an adalah sebuah kitab bimbingan religius dan spiritual

(hidayah). Demikian juga Muhammad Syahrûr dalam

Nahw Ushul al-Jadîdah,

menilai bahwa

mengkaji teks al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan sastra sama saja dengan

menyetarakan teks al-Qur’an dan teks sastra biasa, sehingga nilai sakralitas teks menjadi hilang.

Temuan tesis ini didasarkan pada sumber primer yang digunakan pada penelitian ini,

yaitu:

al-Qur’an al-Karim Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh

karya Mahjiddin Jusuf.

Sumber-sumber pendukung lainnya dari karya para sarjana yang berkaitan dengan kesusastraan maupun

puitisasi al-Qur’an.

Sumber tersebut dibaca dengan menggunakan pendekatan historis kritis. Sedangkan

pendekatan sosio-kultural digunakan untuk melihat segi-segi sosial keagamaan masalah yang

dikaji dan mengukur sejauh mana dimensi sosial budaya turut mempengaruhi perkembangan

pemikiran tokoh.

THE POETIZATION OF THE QUR’AN

(6)

instrument in revealing the beauty of the Qur’an. Poem or poetry is one aspect of literature which

posses a lofty esthetical value. This finding is based on the fact that:

first

, Mahjiddin’s technique

of translation truly concern on writing style, lexical choice, structure, tone and voice as found in

poem or poetry.

Second,

the poetic style or form of translation will not change the accuration of

meaning and comprehension of texts in the Qur’an

This finding strengthens HB. Jassin’s statement in his work

al-Qur’an al-Karim Bacaan

Mulia

(1970) that the poetization of the Qur’an will make the exquisiteness and insightful

meaning of the texts more down to earth. In addition to this, this thesis has also strengthened

scholars’s opinions such as Amîn al-Khûlî in

Manâhij al-Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balâghah wa

al-Tafsîr wa al-Adab

(1930). Nasr Hamid Abû Zeid, in his work

Mafhûm al-Nass: Dirâsat fî

Ulûm al-Qur’an,

both

use literature approach to the Qur’an. Qur’an has ethical,moral, spiritual

and juristical messages. The use of this method is expected to reduce the sense of subjectivity

and either individual or ideological conflict of interests. However, this thesis is different from

Muhammad Abduh’s statement in

Tafsir al-Manar,

where he claim that the interpretation the

Qur’an is not a place for literature experts and linguists to perform their adeptness and

intellectuality, since Qur’an is a religious and spiritual guidance. In line with Abduh, Muhammad

Syahrûr in

Nahw ‘Usul al-Jadîdah,

also argue that the Qur’anic interpretation by using the

Qur’anic literary approach is similar to place the Qur’an in the same level as ordinary texts, so

that the sacred value of the text might be lost.

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul PUITISASI TERJEMAHAN AL-QURAN: Analisis Terjemah al-Qur’am Bersajak Bahasa Aceh. Karyailmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister pada Konsentrasi Tafsir Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Karena itu, dengan penuh ketulusan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak baik personal maupun institusi. Atas bantuan tersebut, penulis haturkan terima kasih kepada Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., selaku Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepala beserta staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Pascasarjana UIN, Perpustakaan Iman Jama', atas layanan yang diberikan kepada penulis.

Kepada Dr. Yusuf Rahman, MA. Dosen sekaligus pembimbing, terima kasih telah memberikan arahan dan bimbingan yang bermanfaat guna menyelesaikan tesis ini. Prof. Dr. Suwito, MA., dan Dr. Fuad Jabali, MA., yang telah memberi tanggapan dan masukan selama ujian proposal dan work in proggress demi perbaikan tesis. Dr. Ujang Tholib, MA., selaku Deputi Direktur

Bidang Administrasi dan Kemahasiswaan atas kritik saran dalam penyempurnaan tesis ini. Segenap dosen dan seluruh jajaran staff Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.

(9)

dalam masa penyelesaian studi. Juga tak terlupakan segenap keluarga di rumah. Rekan-rekan konsentrasi Tafsir Hadis angkatan 2006/2007 sps UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam bentuk apapun yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ungkapan singkat ini.

Penulis menyadari, dengan keterbatasan ilmu dan pengalaman, tesis ini jauh dari kesempurnaan. Karena itu, kritik dan saran dari pihak manapun sangat diharapkan. Semoga karya ini mempunyai nilai manfaat. Amin.

Ciputat, 31 Maret 2010 Penulis,

(10)

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN syarif Hidayatullah Jakarta yang

secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

1.

Konsonan

Huruf Arab

Huruf Latin

Keterangan

ا

a Tidak

dilambangkan

ب

b be

ت

t te

ث

ts te

dan

es

ج

j je

ح

h

h dengan garis bawah

خ

kh

ka dan ha

د

d de

ذ

dz

de dan zet

ر

r er

ز

z zet

س

s es

ش

sy

es dan ye

ص

s

es dengan garis di bawah

ض

d

de dengan garis di bawah

ط

t

te dengan garis di bawah

ظ

z

zet dengan garis di bawah

ع

Koma terbalik di atas hadap kanan

غ

gh

ge dan ha

ف

f ef

ق

q ki

(11)

ن

n en

و

w we

h ha

la el

dan

a

ء

’ Apostrop

ي

y ye

2.

Vocal

a.

Vokal Tunggal

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

َ

a

fathah

ِ

i

kasrah

u

dammah

b.

Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

...

ى

ai

a dan i

...

و

au

a dan u

c.

Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ﺎﺋ

â

a dengan topi di atas

ﻰﻳ

î

i dengan topi di atas

(12)

Jika huruf

ta marbûtah

terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /h/. Hal yang sama juga berlaku jika

t a

marbûtah

tersebut

diikuti oleh kata sifat (

na´t

). Namun, jika huruf

ta marbûtah

tersebut diikuti kata benda (

ism

),

maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi /t/. Contoh:

No

Kata Arab

Alih Aksara

1

ﺔﻘﻳﺮﻃ

tarîqah

2

ﺔﻴﻣﻼﺳﻻاا

ﺔﻌﻣﺎﺠﻟا

al-jâmi’ah al-islâmiyyah

3

دﻮﺟﻮﻟا

ةﺪﺣو

Wahdat al-wujud

4.

Syaddah

(Tasydîd)

Syaddah

dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf

yang diberi tanda

syaddah

itu. Akan tetapi, hal itu tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda

syaddah

itu terletak setelah kata sandang yang diikuti

oleh huruf

syamsiyyah

.

Contoh:

ﺎﻨّﺑر

: rabbanâ

لّﺰﻧ

: nazzala

ةروﺮﻀﻟا

: al-darûrah

5. Kata Sandang

Kata sandang “

Ư

ǚ

” dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti dengan huruf

syamsiyyah

maupun diikuti dengan huruf

qamariyyah

.

Contoh:

ﺲﻤﺸﻟا

: al-syams

ﻢﻠﻘﻟا

: al-qalam

(13)

HALAMAN JUDUL

SURAT PERNYATAAN ………... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… ii

PEDOMAN TRANSLITERASI ……….. iii

ABSTRAK TESIS ……… vi

KATA PENGANTAR …. ……… ix

DAFTAR ISI ………. xi

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Permasalahan ……… 14

C. Studi Terdahulu yang Relevan ………. 16

D. Tujuan Penelitian ……….. 19

E. Manfaat/ Signifikansi Penelitian ………... 19

F. Metodologi Penelitian ………... 20

G. Sistematika Pembahasan ……….. 22

BAB II: WACANA PUITISASI TERJEMAHAN AL-QUR’AN

A. Susastra Perspektif Sarjana al-Qur’an ……….. 25

B. Kontroversi Puitisasi Terjemahan al-Qur’an ……… 36

C. Kajian Susastra dalam Interpretasi ………... 40

BAB III: KONTEKS INTELEKTUAL MAHJIDDIN JUSUF

A. Aceh: Kesusastraan dan Hikayat ………. 54

B. Kelahiran dan Pendidikan ………. 62

C. Situasi Sosial Politik

………. 65

BAB IV: KARAKTERISTIK TERJEMAHAN MAHJIDDIN

A. Paradigma Baru Terjemah Bahasa Aceh Bersajak

………... 69

B. Proses Terjemah Gaya Puitis ……… 85

(14)

B. Terjemahan Sosio-Linguistik ………... 121

C. Tatanan Semantik dalam Terjemahan ……….. 128

D. Struktur Fungsional dan Ragam Kalimat

………. 139

E. Terjemahan Puitis

Fawatih al-Suwar

………... 141

F. Terjemahan

Aqsam al-Qur’an

………. 145

BAB VI: PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 151

B. Rekomendasi ……… 152

DAFTAR PUSTAKA ……….. 153

LAMPIRAN

(15)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wahyu Tuhan dipahami secara sangat variatif selaras dengan kebutuhan umat. Pemahaman yang varian ini pada gilirannya menempatkan exegesis sebagai disiplin keilmuan yang terus berkembang. Para peneliti tafsir telah banyak menunjukkan pelbagai model interpretasi semenjak awal kemunculan disiplin tersebut sampai ke era kontemporer.1 Salah satu model interpretasi adalah interpretasi susastra2 yang muncul pada awalnya untuk menunjukkan superioritas susastra al-Qur’an di bandingkan dengan karya-karya susastra non wahyu.

Pendekatan sastra atas teks al-Qur’an sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru. Dalam bentuknya yang sederhana, pendekatan ini telah dipergunakan sejak abad-abad pertama Islam, ketika ‘Abdullah Ibn Abbâs (w.68H/687M) menggunakan puisi pra-Islam untuk menginterpretasikan beberapa teks al-Qur’an. Ibn Abbas berkata: “ Apabila anda bertanya kepadaku tentang kata-kata al-Qur’an yang asing, carilah ia dalam puisi pra Islam karena puisi adalah diwannya orang Arab.3 Upaya ini diikuti oleh beberapa ulama lain, terutama Abû ‘Ubaidah (w.

      

1Muhammad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I, (T.tp.: Mus’ab bin ‘Umair: 2004). Al-Iyazî, al-MufassirûnHayâtuhum wa Manâjuhum, Lihat juga Amîn Al-Khûlî,

Manâhij al Tajdîd fî al Nahw wa al Balâghah wa al Tafsîr wa al- Adâb, (Kairo: Dâr al Ma’rifah, 1976), hal. 2

2Interpretasi susastra al-Qur’an di era kontemporer, mendapatkan perhatian yang lebih istimewa. Terlihat dari banyaknya karya kesarjanaan yang dihasilkan pada kurun waktu tersebut dengan menggunakan pendekatan sastra. Kajian-kajian tersebut dapat dirunut dari pemikiran al-Khûlî, Manâhij al-Tajdîd fi al-Nahw wa-al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab. Diikuti muridnya Muhammad Ahmad Khalafullah dalam karyanya al-Fann al-Qasâsî fî al-Qur’ân al-Karîm,

kemudian ide Amîn dikembangkan oleh istrinya ‘Aisyah ‘Abdurrahman Bintu al-Syati’, dalam bukunya al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm. Sayyid Qutb, lihat bukunya, Tashwîr al-Fannî fi al-Qur’ân. Dan Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsat fî ‘Ulûm al-Qur’ân.

3“Idzâ sa’altumûni ’an gharîb al-Qur’ân fa iltamisûhu fî al-Syi’ir, fainna al-syi’ir dîwân

al-Arab” al-Baihaqi, Sunan al-Kubrâ, (Heiderabad: t.tp. 1344-1355), Vol. X, hal. 241. Sebagaimana dikutip oleh J.J.G Jansen, The Interpretation of the Qur’an in Modern Egypt,

(16)

210 H/ 825 M), Al-Jâhiz (w. 255 H/ 869 M), Qâdhî Abd Jabbâr (w. 415 H/ 1024 M), Abdul al- Qâhir al-Jurjânî (w. 474 H/ 1078 M), dan Zamakhsyarî (w. 538 H/ 1144 M).

Namun dalam perjalanan sejarah, pendekatan sastra telah agak terpinggirkan, baik oleh para intelektual muslim reformis maupun konservatif. Muhammad ‘Abduh (w. 1905 H) misalnya, dianggap sebagai salah seorang yang sangat keras mengkritik pendekatan sastra. Interpretasi al-Qur’an, menurutnya bukanlah tempat di mana para ahli bahasa maupun sastrawan mempertontonkan keahlian dan kepintarannya, karena al-Qur’an adalah sebuah kitab bimbingan religius dan spiritual (hidâyah) dan bukanlah sebuah buku sastra atau filsafat.4 Tak pelak lagi, kritik ‘Abduh ini telah mempengaruhi banyak reformis lain di pelbagai belahan dunia Islam, termasuk Hassan Hanafi (l. 1935 H).5

Di antara alasan keengganan menggunakan teori sastra terhadap al-Qur’an, kerena teori sastra dianggap sebagai teori sekuler. Sebab itu tidak dapat diterapkan kepada teks yang suci seperti Qur’an. Mereka juga menyatakan bahwa al-Qur’an sebagai teks suci dan firman Allah, hanya dapat dikaji dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kesucian firman Allah, dan itu berarti dengan menggunakan metode yang suci pula (divine hermeneutics) atau metode yang islami (manhâj al-Islamî).6

Kritik ‘Abduh terhadap pendekatan linguistik dan sastra di-counter oleh Amîn al-Khûlî (w. 1967 M) pada tahun 1930-an. al-Khûlî mengecam ‘Abduh karena tidak menyadari bahwa seseorang tidak akan bisa mendapatkan bimbingan

        Angkasa Raya, 1990), cet. X, hal. 59. Atari Semi, Kritik sastra, (Bandung: Angkasa, 1989), hal. 59. Iswanto, Penelitian Sastra dalam perspektif Strukturalisme Genetik, dalam Metodologi Penelitian Sastra, ed. Jabrohim, (Yogyakarta: PT. Hanindita, 2001), hal. 62. Lihat juga, Yudiono KS, Telaah Kritik Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1990), cet. X, hal. 30. Jalâl Din al-Suyûti, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyyah, 2000), juz I, hal. 119-120 4Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manar, Jilid I, (Kairo: Dâr al-Manar), hal. 17-25. Bandingkan dengan J.J.G Jansen, The Interpretation of the Qur’ân in Modern Egypt, hal. 24-25

5Hasan Hanafi juga mengkritik pendekatan ini. Lihat Hasan Hanafî, Method of Thematic

Interpretation of the Qur’an, dalam Stefan Wild (ed.), The Qur’an as Text, (Leiden ect.: Brill, 1994).

6Yusuf Rahman, Kritik Sastra dan Kajian al-Qur’an,dalam Pengantar Kajian al-Qur’an,

(17)

religius dan spiritual al-Qur’an kecuali jika ia mengetahui makna harfiah teks sebagaimana dipahami pada masa pewahyuan. Al-Khûlî mengembangkan sebuah pendekatan sastra dalam menginterpretasikan teks al-Qur’an (al-Manhâj al-Adabî fî al-Tafsîr) dan sebuah teori tentang hubungan antara linguistik dan interpretasi al-Qur’an.7 Amîn al-Khûlî, menurut J.M.S. Baljon adalah orang yang pertama menggunakan kritik historis dalam menginterpretasikan teks-teks al-Qur’an.8 Namun, haruslah dicatat, bahwa penggunaan kritik historis al-Khûlî ini dikarenakan dia melihat bahwa pendekatan sastra mensyaratkan penafsir untuk mengenali konteks historis teks.

Studi tafsir al-Qur’an dengan pedekatan susastra, selanjutnya dikembangkan oleh murid-murid al-Khûlî, seperti Muhammad Ahmad Khalafullah, ‘Aisyah Abdurrahman Bint Syâthi (w. 1998),9 M. Syukri Ayyad (w. 2001) dan Nasr Hamid Abû Zaid. Meskipun demikian mereka memiliki perspektif yang berbeda dalam melakukan studi atas al-Qur’an. Muhammad Ahmad Khalafullah, misalnya, lebih mengedepankan aspek psikologis dari al-Qur’an, terutama pada sisi narasinya. Sekalipun tidak menyebutkan sumber dari mana ia mengambilnya, tetapi dari metode yang ia gunakan dalam melakukan tafsir atas kisah-kisah al-Qur’an jelas ia mengikuti metode Amîn al-Khûlî.

Abû Zaid kemudian mengembangkan teori mereka dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang dikembangkan dalam teori dan kritik sastra modern.10 Ia yakin bahwa satu-satunya cara untuk memahami dan menginterpretasikan al-Qur’an secara objektif adalah dengan menerapkan

      

7Amîn al-Khûlî, Manâhij al-Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab, hal. 308-317. Bandingkan dengan Jansen, The Interpretation of the Qur’ân in Modern Egypt, hal. 65

8J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation, (Leiden: Brill, 1968), hal. 4

9Andrew Rippin, Muslim, Their Religious Beliefs and Practices.: The Contemporary

Period, Vol. 2,(London dan New York: Routledge, 1993), hal. 94

10Penggunaan teori dan kritik sastra dalam kesarjanaan Arab-Islam sesungguhnya bukanlah merupakan hal baru. Teori sastra selalu dikaitkan dengan studi al-Qur’an, sebagaimana dalam kasus metapora (majâz), sementara kritik sastra telah dipergunakan untuk mengapresiasi puisi. Namun penggunaan kritik sastra dalam membaca teks al-Qur’an adalah hal yang baru. Wen Chin Ouyang, Literary Criticism in Medieval Arabic Islamic Culture: The Making of a Tradition,

(18)

pendekatan ini.11 Abû Zaid percaya bahwa studi sastra (al-Dirâsât al-Adâbiyyah)

atas teks al-Qur’an, di mana teks mempunyai posisi yang sentral sangatlah penting, karena membimbing seseorang ke arah penggunaan kesadaran ilmiah ( al-wa’y al-‘ilmi) dan menghindari tendensi-tendensi ideologis (taujih al-aidiyûlûjî).12

Untuk merealisasikan proyek sekularisasi teks divine, mereka menempuh jalur pendekatan tafsir susastra, yang dalam pandangan Abû Zaid merupakan jalan satu-satunya untuk memahami semangat tekstualitas al-Qur’an. Dari pendekatan tafsir susastra inilah, maka pendekatan hermeneutika dan linguistik kontemporer digunakan sebagai piranti untuk mengarahkan al-Qur’an yang sudah selama berabad-abad dibungkus wacana kesakralan yang harus dinetralisir.13 Dengan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah karya sastra, itu berarti al-Qur’an dapat saja dikaji dengan menggunakan segala macam pendekatan termasuk kritik sastra. Walaupun akan dianggap menentang otoritas al-Qur’an.

Para sarjana muslim kontemporer berusaha menarik teks ke horizon puisi. Mereka menempatkan semua fenomena wahyu ke dalam sistem kebudayaan yang sudah mapan dan dominan. Penafsiran atau penerjemahan al-Qur’an dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah kultural historis. Di samping bahasa sebagai bagian dari budaya manusia.14 Dalam hal ini, penafsir berusaha menjelaskan pengertian dan maksud suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi dengan langkah epistimologi yang mempunyai dasar pijak pada teks dengan konteksnya.15

Studi interpretasi al-Qur’an kontemporer tidak saja terbatas pada bentuk interpretasi yang menekankan pada pencarian makna dari segi narasi belaka.16

      

11Nasr Hamid Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsât fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Markaz al-Tsaqâfah al-‘Arabî: 1998), hal. 21.

12Abû Zaid, Mafhum al-Nashsh: Dirâsât fi Ulûm al-Qur’an, hal. 12-13

13Muhammad Arkoun, al-Qur’ân min al-Tafsîr al-Mawruts ila Tahlil al-Khithab al-Dînî, hal. 62

14Muhammad Yunus Melalatoa, Memahami Aceh sebagai sebuah Perspektif Budaya,dalam

Aceh Kembali ke Masa Depan, Sardono W. Kusumo, (Jakarta: IKJ Press bekerja sama dengan keluarga Almarhum dr. Sjarif Thayeb dan keluarga Dr. Anwar Nasution, 2006), cet.II, hal. 7

15Abû Zaid, Mafhum al-Nass: Dirasat fi Ulûm al-Qur’an, hal. 14

(19)

Akan tetapi, perspektifnya sudah berkembang pesat dengan menempatkan teks al-Qur’an sebagai teks yang bersifat historis yang lekat dengan bahasa dan budaya tertentu. Artinya, di samping berbicara tentang interpretasi teks, telaah ini sudah masuk pada analisis “status ontologis teks”17 dan relasi antar konteks melalui interpretasi kebudayaan dengan menggunakan pisau analisis linguistik dan semiotik yang terbingkai dalam hermeneutika teks.

Usaha menerjemahkan al-Qur’an secara puitis telah diprakarsai oleh beberapa sarjana muslim dalam berbagai bahasa. The Glorious Koran, karya Muhammad Marmaduke William Pickthall (1875-1936),18 seorang intelektual Muslim Barat yang telah menerjemahkan al-Qur’an secara puitis dalam bahasa Inggris dengan judul The meaning of the Holy Qur'an. Karya ini merupakan terjemahan bahasa Inggris pertama yang dilakukan oleh seorang Muslim dan diakui oleh Universitas al-Azhar Mesir, Times Literary Supplement juga menyatakan bahwa karya Pickthall ini sebagai sebuah pencapaian penulisan yang         to make the texts understandable and relevant. Lihat Andrew Rippin, Muslim Their Religious Beliefs and Practices, Vol. 2: The Contemporary Period (London: Routledge, 1995) hal. 85; bandingkan dengan J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, juga Helmut Gatje, The Qur’ân and it’s Exegesis: Selected Text with Classical and Modern Interpretation, terj: Alford T. Welch (California: California University Press, 1976) hal. 30.

17Telaah terhadap status ontologis ini berfaedah untuk menjelaskan sifat-sifat historis dan nir-historis al-Qur’an, yaitu mengenai ketidakseimbangan ontologis dalam proses komunikasi antara manusia yang natural dengan Tuhan yang supranatural. Pendekatan yang dilakukan untuk kajian ini, setidaknya pernah dilakukan oleh Izutsu dengan menggunakan analisis semantik. Namun ia masih terbatas pada pencarian makna asli dari suatu teks dan belum menyingkap problem jarak, tradisi dan kebudayaan, begitu pula dengan aspek-aspek simbolis lain yang dapat di telaah melalui semiotik. Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: a Semantical Analysis of the Koranic Weltanschaung (Tokyo: Keio University Press, 1964) hal. 155. Telaah terhadap status ontologis teks melalui hermeneutik tidak hanya terjadi di kalangan Muslim terhadap al-Qur’an, tetapi juga terhadap kitab “Perjanjian Baru” di antaranya dilakukan oleh Rudolf Bultmann melalui karyanya yang berjudul “Das Problem der Hermeneutik”. Lihat Routrand Wieland, “Wurzeln der Schwierigkeit innerislami schen Gerpracchs Uber Neue Hermeneutiche Zungange zum Korantext”, dalam Stefan Wild (ed.), The Qoran as Text (Leiden: E.J. Brill, 1996) hal. 270. Ulasan singkat tentang telaah terhadap konsep teks ini lihat juga Berichtvon Almut Wieland, Internationale Symposion “Der Koran als Text”, dalam: Juhrbuch fûr Religionwissenschaft und der Religionen (Bonn: Freinburg, 1994) hal. 148-158; juga Nasr Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsât fi Ulûm al-Qur’an, hal. 10

(20)

besar. Juga Abdullah Yusuf Alî (1872 M-1953 H), seorang cendekiawan muslim, menerjemahkan al-Qur’an dalam bahasa Inggris. Kedua karya di atas merupakan terjemahan al-Qur’an bahasa Inggris yang paling luas digunakan saat ini.19

Pada akhir tahun 1970, H.B. Jassin,20 seorang kritikus sastra Indonesia21 menerbitkan sebuah terjemahan al-Qur’an dan menyusunnya atas dasar sastra dalam proyeknya al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, dan al-Qur’an Berwajah Puisi. Terjemahan ini kemudian mendapatkan kecaman dan kritik serta tanggapan dari berbagai komunitas masyarakat muslim Indonesia.22 Sebenarnya dalam hal penerjemahan, betul salahnya terjemahan hanya bersangkutan dengan aspek kebahasaan murni. Dan faktor bahasa itulah yang selalu membayangi proses penerjemahan, karena antara Bahasa sumber dan Bahasa sasaran berbeda. Jadi,

      

19Ali dilahirkan di Bombay 14 April 1872, India dari sebuah keluarga saudagar kaya. Pada masa kecilnya, ia menerima pendidikan agama dan akhirnya dapat menghafal al-Qur’an. Menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan sangat baik, mempelajari beberapa literatur bahasa Inggris dan mengunjungi beberapa negara Eropa sebagai seorang pelajar. Ia mengkhususkan usahanya untuk mempelajari al-Qur’an dan tafsir dimulai dengan tafsir-tafsir yang dibuat pada masa awal sejarah Islam. Usaha Ali yang terkenal adalah bukunya yang berjudul "Holy Qur’ân: Text, Translation and Commentary" yang dipublikasikan pada tahun 1934. Ali mendukung kontribusi India untuk negara-negara sekutu pada Perang Dunia I. Ia seorang intelektual yang sangat dihormati di India. Ia juga direkrut oleh Muhammad Iqbal sebagai kepala Islamia College di Lahore, Pakistan. Kemudian pindah ke Inggris hingga akhir hidupnya, ia wafat 10 Desember 1953 H dan dimakamkan di pekuburan muslim di Brookwood dekat dengan tempat pemakaman Pickthall. Abdullah Yusuf Alî, The Holy Qur-an : English translation of the meanings and Commentary. Revisi dan pengeditan oleh Kelompok Peneliti Islam, IFTA. Percetakan lengkap King Fahd Holy Qur’an. (Al Madina Saudi Arabia) 1410.

20Hans Bague Jassin adalah seorang kritikus dan dokumentator sastra Indonesia. Jassin lahir di Gorontalo 31 Juli 1917 dan wafat di Jakarta 11 Maret 2000. Hans adalah pelafalan yang salah dari kata Hamzah, Bague berasal dari nama ayahnya, Bague Mantu Jassin. Mengenai nama ini, Jassin enggan mengubahnya dengan ejaan baru. Lihat “Penghina Tuhan Menerjemahkan al-Qur’an “(Wawancara dengan Majalah Tempo, 29 Maret 1975), dalam HB. Jassin (ed.), Kontroversi al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 2000), hal. 21 21Yang terinspirasi dari Yûsuf Alî, seorang penerjemah al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris berasal dari India pada tahun 1930-an. Terjemahan H.B. jassin ini bergaya puitis dengan kalimat-kalimat yang indah. Lihat, M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar,

(Yogyakarta: eISAQ Press: 2005), hal. 264

22HB. Jassin, al-Qur’an al Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Djambatan, 1991) cet. 3. Banyak orang menganggap Jassin tidak punya kapabilitas intelektual yang memadai untuk menerjemahkan al-Qur’an. Pada tingkat yang ekstrim, beberapa orang bahkan mengharamkan untuk membeli dan membaca karya tersebut. Konon, pada tahun 1978 ada yang membakar karya puitisasi tersebut. Kitab ini mendapat sambutan dan kritik dari berbagai pihak, selengkapnya lihat, Nazwar Syamsu,

(21)

istilah kesalahan dalam terjemahan harus dibedakan antara betul salah (correctness) dengan baik buruk (good or bad translation).23

Kata Qur’an berarti bacaan, bacaan yang indah. Untuk mendekati al-Qur’an yang indah disyaratkan dengan pendekatan yang mampu menguak tabir keindahannya. Dan ini sangat mungkin dilakukan dengan kajian sastra yang memang sangat apresiatif terhadap bahasa dan seni keindahan. Dengan kata lain, “mendekati” yang Maha Indah yang telah melahirkan firman yang sangat indah, sangat logis dengan pendekatan puisi. Manusia tak akan mampu “berjumpa” dengan yang Maha Indah dalam kondisi yang tidak indah atau kotor, karena itu untuk “menjumpai” Yang Maha Indah dibutuhkan seperangkat alat yang indah atau minimal yang menghargai keindahan.24

Pola-pola ritmik tuturan dalam bacaan al-Qur’an adalah di antara aspek keindahan bahasa yang dikandungnya. Pola-pola ini merefleksikan penyusunan kata-kata secara khusus, berikut pengaturan frasa-frasanya yang indah. Bagi sebagian kalangan, ayat-ayat al-Qur’an mengkombinasikan karakteristik prosa dan puisi.25 Berbeda dengan puisi, ayat-ayat al-Qur’an tidak memiliki rima tertentu yang tunggal, sehingga memberikan ruang yang lebih luas bagi fleksibilitas dan kebebasan bertutur. Namun demikian, al-Qur’an juga memuat aspek-aspek tertentu sebuah puisi, khususnya dalam cara menggunakan kata-kata yang memiliki silabel yang sama. Musikalitas tuturan al-Qur’an demikian lebih kentara dan mudah dipahami pada ayat-ayat yang pendek ketimbang yang panjang-panjang.26

Selain Jassin, usaha mendekati al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan sastra ini juga telah dilakukan oleh Mahjiddin Jusuf (1918-1994 H),27 Mahjiddin

      

23Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Bandung: Pustaka Jaya, 2006, hal. 27

24Moenawar Khalil, al-Qur’an Dari Masa ke Masa, (Semarang: Ramadhani, 1952), hal. 12 25Sayyid Qutb, al-Tashwîr al-Fannî fi al-Qur’ân, cet. XVII, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2004), hal. 87

26Sayyid Quthb, al-Tashwîr al-Fannî al-Qur’ân, hal. 87.

(22)

menggunakan gaya puisi dalam menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an dalam kitabnya al-Qurân al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh,28 yang secara lengkap menerjemahkan seluruh isi al-Qur’an yang terdiri dari tiga puluh juz. Penerjemahan ini pada awalnya lebih ditujukan untuk mendekatkan al-Qur’an dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Aceh.29

Konteks historis yang menjadi horizon kitab terjemahan telah menampilkan sosok tafsir yang memiliki hermeneutika tersendiri yang menarik untuk dikaji. Dalam batas waktu tertentu terjemahan ini sangat diminati, terlihat dari besarnya animo masyarakat untuk memilikinya. Sehingga dalam kurun singkat telah dilakukan dua kali cetak ulang.30 Lagi pula keindahan bahasa al-Qur’an tentu akan lebih terasa jika disampaikan dalam bahasa yang indah pula.31

Ibrahim Zaki Khursyid dalam kitab al-Tarjamat wa Musykilatuha,32

menyatakan bahwa penerjemahan sastra berwajah puisi lebih sukar dikerjakan dibandingkan dengan terjemahan prosa. Di antara penyebabnya adalah: pertama,

adanya penekanan pada pemilihan kata yang mengandung nilai sastra. Kedua,

        dosen Luar Biasa pada IAIN Jami’ah ar-Raniry Banda Aceh serta beberapa jabatan lain dalam lembaga sosial kemasyarakatan. Penerjemahan ini dilakukan pada tahun 1955 di dalam penjara. Peristiwa DI-TII Aceh yang berkobar pada tahun 1953 menyebabkan beliau dipenjara dan menghabiskan masa empat tahun di sana dengan menghasilkan sebuah karya besar. Lihat, Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’ân al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007), hal. xvii

28Pada awalnya, terjamah ini masih berupa naskah yang terdapat di perpustakaan Ali Hasjimy Banda Aceh dengan Nomor: 8/ NKT/ YPAH/ 1992. Yang kemudian di cetak oleh P3KI Banda Aceh menjadi sebuah kitab yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Tafsir ini hadir pada masa modern kurun waktu kedua (1951-1980). Dalam kajiannya, Nasharuddin memetakan perkembangan tafsir al-Qur’an menjadi empat periode. Lihat Nasharuddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai, 2002), hal.

29Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), hal. 248-249. Lihat juga, Thaha Husein, Fî al-Adâb al-Jahili, (Mesir: Dâr al-Ma’arif), h. 89. Juga Mustafa Muslim, Mabahits fî ‘I’jâz al-Qur’an, (Jeddah: Dâr al-Manarah, 1988), hal. 72

30Cetak ulang pertama dilakukan pada tahun 1992 dan penerbitan edisi kedua dilakukan pada tahun 1997. Kata Pengantar Tim Editor Edisi Kedua, dalam Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh,h. xxii

31Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an al-Karim, kata pengantar edisi kedua, hal. xvii. Lihat juga tafsir HB. Jassin, al-Qur’an Bacaan Mulia. Di antara Vernakulisasi (pribumisasi) dalam tardis al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama Nusantara paling tidak ada dua alasan, yaitu: pertama, sebagai bentuk sosialisasi dan pembumian kitab suci al-Qur’an kepada masyarakat muslim Indonesia yang tidak paham bahasa Arab sehingga al-Qur’an tetap menjadi kitab pegangan dan petunjuk. Kedua

(23)

perlu menyelami kata-kata sembari meresapi dan menghayati maknanya dalam bahasa asli agar kemudian dituang dalam bahasa sasaran dalam bentuk puisi.

Langkah yang ditempuh untuk menerjemahkan sebuah teks dalam bentuk puisi lebih panjang dari penerjemahan bebas atau biasa.33 Pertama, menerjemahkan bahasa asli ke dalam bahasa sasaran secara harfiah. Dalam upaya terjemahan ini, Mahjiddin berusaha menangkap isi teks terlebih dahulu baru kemudian memformulasikannya ke dalam bahasa Aceh yang bersajak (hikayat).

Langkah kedua adalah memperhatikan perbedaan struktur bahasa asli dengan bahasa sasaran. Ketiga, membentuk kalimat yang puitis sesuai dengan pesan yang terdapat dalam bahasa asli. Langkah keempat adalah usaha mensejajarkan pengertian kalimat-kalimat dalam bahasa asli ke bahasa sasaran dengan memperhatikan beberapa hal seperti pengertian idiomatik (uslubiyyah), makna sekunder, metafora dan figurative beserta struktur lahir dan batin bahasa asli.

Dalam menerjemahkan, ia juga berusaha mengungkap isi teks lebih dahulu baru kemudian memformulasikannya ke dalam bahasa Aceh yang bersajak (hikayat). Barangkali tidak terlalu berlebihan sekiranya dikatakan bahwa ia melakukan penerjemahan secara idiomatis.34 Bentuk hikayat dalam bahasa Aceh adalah karangan puitis yang setiap baris terdiri dari sepuluh kata dan pada akhir baris ada persamaan bunyi. Biasanya baris-baris tersebut ditulis bergandengan dan tidak dipisahkan kepada bait-bait. Oleh penyunting, baris ini ditulis tidak lagi bergandengan, tetapi dipisahkan ke dalam bait-bait yang terdiri dari empat-empat baris. Karena hal tersebut maka bait terakhir pada akhir surat kadang-kadang hanya terdiri dari dua baris.35

      

33Terdapat beberapa perbedaan antara naskah asli dengan kitab edisi cetakan. Di antarannya: perbedaan dalam bahasa tulisan. Dalam naskah asli, bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab jawi sedangkan edisi cetakan menggunakan huruf latin. Dari bentuk penafsiran, dalam naskah asli, terjemahan lebih panjang dan mengandung penafsiran yang luas, namun berbeda dengan edisi cetakan uraian lebih singkat dan padat.

34Terjemahan jenis ini tidak jauh berbeda dengan terjemahan harfiah. Penerjemah sangat berperan dalam menentukan apakah terjemahan itu harfiah atau idiomatik. Jadi penerjemah berusaha menciptakan kembali makna dalam bahasa sumber dalam kata atau kalimat yang luwes di dalam bahasa sasaran. Penerjemahan yang benar-benar idiomatis tidak akan terasa seperti terjemahan, tetapi seperti tulisan atau ungkapan asli. Tujuan akhir setiap terjemahan hendaknya terjemahan idiomatis. Mildred L. Larson, Meaning-based Translation: A Guide to Cross-Langguage Equivalence, (London: University Press of America, 1984), hal. 3

(24)

Dalam menerjemahkan al-Qur’an, nuansa puitis dapat langsung dinikmati pembaca secara visual, susunan kalimat, bentuk dan pilihan kata akan terasa jelas. Misalnya terjemahan ayat 108 surat ali ‘Imran:

108. Kamoe buet ayat bandumkeu gata Deungon sibeuna hana nyang salah Tan hajat Tuhan Neumeung elanya Meu sidroe hana hukom meuilah

Bandingkan dengan gaya puitis HB. Jassin dalam al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, ia mempuitisasikan terjemahan ayat di atas dengan:36

108. Itulah ayat-ayat Allah

Yang kami bacakan kepadamu

Dengan benar.

Dan tiadalah Allah hendak

Menganiaya makhluk-makhlukNya.

Berbagai pesan yang terdapat dalam teks asli berupa gambaran keadaan manusia di hari kiamat dapat tertampung dalam terjemahan ini. Bandingkan dengan terjemahan ayat-ayat yang sama dalam al-Qur’an terjemahan Departemen Agama yang kemudian disunting dan diterbitkan oleh Mujamma’ Khadim al-Haramain al-Syarifain Madinah.

Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar: dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hambaNya.

Hadirnya terjemahan ini sangat penting bagi masyarakat Aceh. Al-Qur’an yang dalam bahasa aslinya berbahasa Arab, tidak mudah dimengerti oleh semua umat Islam. Padahal di sisi lain, sebagai Kitab Suci, al-Qur’an harus dapat dimengerti maksud dan kandungan isinya agar dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun tetap disadari bahwa tafsir al-Qur’an dalam bahasa selain Arab tidak akan dapat sepenuhnya menggambarkan maksud ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan penafsir selaku manusia untuk mengetahui secara persis makna teks al-Qur’an.

Mahjiddin telah membuka rahasia kemukjizatan al-Qur’an dengan kajian sastra lewat keindahan teks al-Qur’an yang mengandung nilai estetika.37 Mengutip

      

(25)

perkataan ‘Abd al-Qahir,38 pendekatan ini mampu menjamin mufassir untuk tidak terjebak pada akidah tunggal, seraya menganggap yang lain kafir dan akan menjamin anda untuk tak melakukan kesalahan di dalam membuat klaim, menjaga anda untuk tidak menjadi orang yang alim hanya secara taklid semata. Sesuai dengan pernyataan Abû Zaid, bahwa teori interpretasi tidak bisa dipisahkan dari teori teks. Penggunaan metode susastra dengan analisis linguistik diharapkan mampu meminimalisir subyektifitas dan tarikan kepentingan.39

Bukankah jalan menuju pengetahuan mukjizat al-Qur’an senantiasa terpampang bagi siapa saja yang ingin mengetahui keindahannya. Pintu untuk bisa membuka rahasia i’jâz betapapun kecil yang bisa dilakukan oleh manusia sangat mungkin dengan kajian sastra dan puisi.

Disadari bahwa teks tidak terpisah dari realitas, dan karenanya mereka tidak segan-segan memahami teks menurut perpektif teks-teks lain,40 khususnya puisi. Prinsip dasar yang dipegang semenjak usaha-usaha awal penafsiran adalah “ apabila kamu mengalami kesulitan dengan al-Qur’ân maka kembalilah ke puisi sebab puisi merupakan ontologi Arab” sebuah prinsip yang dilontarkan oleh Ibnu Abbâs.41 Salah satu usaha nyata dari gagasan di atas adalah penerjemahan al-Qur’an dalam bahasa Aceh yang digagas oleh Mahjiddin Jusuf.

        37Zainuddin Fanani, Telaah Sastra, cet. II, (Surakarta: Muhamadiyyah University Press, 2001), hal. 3. Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, cet. V, (Bandung: Angkasa, 1990), hal. 7.

38Abd al-Qahir al-Jurjâni, Dalâil al-I’jâz fî ‘Ilmi al-Ma’ânî, (Beirut: Dâr Kutub al-Misriyyah, T.th), hal. 56

39Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirasat fi Ulûm al-Qur’an, hal. 12-13.

40Memahami dan menilai teks sastra tidak hanya bergantung pada teori sastra saja, tetapi persoalan-persoalan yang terdapat di luar teks seperti politik, sosial dan sebagainya sering kali mewarnai dasar bangunan sastra yang diciptakan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa teks-teks sastra merupakan karya yang amat kompleks. Karena pada dasarnya karya sastra merupakan refleksi kehidupan manusia dengan berbagai macam dimensi yang ada. Atmazaki, Ilmu Sastra, Teori dan Terapan, cet. X, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hal. 59. Atari Semi, Kritik sastra, cet. X, (Bandung: Angkasa, 1989), h. 59. Iswanto, Penelitian Sastra dalam perspektif Strukturalisme Genetik, dalam Metodologi Penelitian Sastra, ed. Jabrohim, (Yogyakarta: PT. Hanindita, 2001), hal. 62. Lihat juga, Yudiono KS, Telaah Kritik SastraIndonesia, cet. X, (Bandung: Angkasa, 1990), hal. 30.

(26)

Safir Iskandar Wijaya,42 dalam kata pengantar terjemahan al-Qur’an bahasa Aceh, mengatakan bahwa al-Qur’an ini nantinya akan menjadi milik seluruh masyarakat sebagai upaya transformasi nilai, sehingga terwujud kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam. Dia juga mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat untuk menjaga dan menggunakan al-Qur`ân tersebut dengan baik, jangan hanya dijadikan pajangan, tapi harus diamalkan.

Kehadiran tafsir al-Qur’an sebagaimana terjemah Mahjiddin sangat penting bagi masyarakat Aceh, karena al-Qur’an yang dalam bahasa aslinya berbahasa Arab, tidak mudah dimengerti oleh semua umat Islam. Padahal di sisi lain, sebagai Kitab Suci al-Qur’an harus dapat dimengerti maksud dan kandungan isinya oleh umat Islam agar dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kendati kehadiran tafsir ini sangat membantu masyarakat muslim untuk memahami pengertian dan makna ayat-ayat al-Qur’an, namun tetap disadari bahwa tafsir al-Qur’an dalam bahasa Indonesia tidak akan dapat sepenuhnya menggambarkan maksud al-Qur’an sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Dan faktor yang paling utama adalah keterbatasan pengetahuan penafsir selaku manusia untuk mengetahui secara persis maksud al-Qur’an yang harus digali maknanya.

Yang pasti, usaha apapun dan oleh siapapun filosofi awalnya memang untuk membantu umat Islam di Indonesia untuk lebih mendekatkan diri pada kitab suci dan lebih menghayati untuk mengamalkan. Maka usaha itu sangat mulia dan patut diberi apresiasi tinggi terlepas dari kekurangan yang ada. Sebab, kekurangan

        bagi al-Quran, tetapi maksudnya puisi dipergunakan untuk mencari kejelasan makna kata asing dalam al-Qur’an sebab Allah berfirman: sesungguhnya, Kami telah menjdikannya sebagai bacaan (Qur’ân) yang berbahasa Arab. Dalam ayat lain dikatakan: Dengan bahasa Arab yang jelas. Ibnu Abbâs mengatakan: Puisi merupakan ontologi Arab, apabila ada kata dalam al-Qur’an, yang ditirunkan Allah dengan bahasa Arab yang samar maknanya, maka kita menjadikan ontologi Arab itu sebagai rujukan, kami mencari tahu kata yang sulit itu dengan puisi. Kemudian Ia meriwayatkan melalui Ikrimah dari Ibnu Abbâs, ia mengatakan: Apabila kamu bertanya kepadaku tentang bahasa asing dalam al-Qur’an maka carilah dalam puisi sebab puisi adalah ontologi Arab. Abu ‘Ubaidah dalam kitab Fadhâ’il-nya mengatakan: … dari Ibnu Abbâs bahwa ia pernah ditanya tentang al-Qur’an, kemudian ia menembangkan puisi. Abu Ubaidah mengatakan: maksdunya, ia menjadikannya sebagai dalil dalam menafsirkan al-Qur’an. Al-Suyûtî, juz I, hal. 119-120

(27)

adalah bagian yang tak terpisahkan dari kemanusiaan penafsir itu sendiri. Selain itu, usaha yang dirintis di tengah “ketidakpedulian” banyak pihak di negeri ini, juga menjadi poin tersendiri yang tak boleh dilupakan.

Mayoritas ulama menyatakan bahwa tanpa dipuitisasikan, sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an telah mengandung nilai puitis yang sangat agung, tapi ia sendiri bukanlah puisi. Sastrawan Mesir, Thâha Husein (1889–1973)43, menyatakan, “Dari bentuk eksternalnya, al-Qur’an bukanlah puisi dan bukan pula prosa. Ia bukan puisi karena ia tidak mengandung mantra dan rima puisi, dan ia bukan prosa karena ia digubah bukan dengan cara sebagaimana prosa umumnya disusun”.44

Mengungkap makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui pendekatan puisi, tidak berarti menempatkan al-Qur’an di bawah puisi. Justru dengan cara ini, keindahan al-Qur’an tidak semata-mata sebagai klaim sempit umat Islam, tapi akan memiliki landasan argumentasi pengetahuan yang kuat. Bila kita percaya bahwa al-Qur’an itu indah dan penciptanya Maha Indah.45

Karakteristik terjemahan Mahjiddin beserta metode yang digunakan dalam karyanya itu akan menjadi fokus utama tulisan ini. Prinsip yang dianut dalam penelitian ini adalah bahwa terjemahan al-Qur’an merupakan bagian dari tafsir

      

43Salah seorang sastrawan tunanetra yang pernah menjabat sebagai menteri Pendidikan di Mesir (1950–1952). Thâha Husein lahir 14 November 1889 di sebuah kota kecil bernama Maghargha dari keluarga petani pedesaan. Dari Muhammad Abduh (1849–1905) ia belajar tentang studi keagamaan dan dari al-Marshafy ia belajar sastra dan studi literatur bersama Zayyat dan Muhammad Hasan Zanati. Selain di al-Azhar yang tak tuntas, Husein muda belajar di Universitas Cairo, kemudian belajar Perancis. Doktoralnya diperoleh di Universitas Cairo. Di Universitas Sarbonne, Thâha Husein bertemu dengan sederet ilmuwan ternama, semisal, Profesor Emile Durkheim (1858–1917) dalam disiplin ilmu sosiologi, Profesor Gustaf Block dalam disiplin ilmu sejarah (ahli sejarah Romawi), Profesor Casanova dalam ilmu tafsir, dan Profesor Pierre Jenet dalam Ilmu Psikologi. Perkenalan itulah yang sangat mewarnai intelektualitas Thaha Husein hingga ia menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat kontroversi pada zamannya. Puluhan buku berhasil ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Di antara karyanya yang populer adalah Fî al-Syi‘ri al-Jahili, ditulis pada tahun 1926, saat ia dipercaya menjadi dosen sejarah sastra Arab pada Fakultas Sastra, al-Ayyam, dan Fî al-Adâb al-Jahilî

(1927), Mustaqbal al-Saqâfah fî Misr, dan The Future of Culture in Egypt (1938). Lihat, http.//www.arabworldbooks.com.

44Thahâ Husain, Mir’ât al-Islâm, hal. 130. Lihat pula A.F.L Beeston, T.M Johnstone, R.B Serjeant & G.R Smith (Eds.) Arabic Literature to the End o the Umayyad Perod (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), hal. 34

(28)

dalam pengertiannya yang luas. Perbandingan dengan terjemahan-terjemahan al-Qur’an lainnya, sepanjang dirasa perlu akan pula dilakukan.

Dalam penelitian ini juga akan dibahas mengenai pembacaan baru terhadap teks al-Qur’an dari aspek sastra khususnya memahami al-Qur’an dengan pendekatan puisi. Khususnya masalah problem interpretasi dan mekanisme pemahaman teks. Model pembacaan al-Qur’an pilihan Mahjiddin lewat pendekakatan sastra khususnya puisi sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak terlepas dari paradigma yang dikonsepsinya seputar penggunaan metode sastra dalam membaca teks al-Qur’an. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang perkembangan keilmuan yang baru ini.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas terlihat bahwa al-Qur’an telah menjadi medan seni dan budaya yang begitu luas bagi ekspresi kecintaan umat Islam. Pendekatan sastra terhadap al-Qur’an diharap mampu memberikan ruang ekspresi baru dalam penafsiran al-Qur’an masa kini. Dari persoalan ini dapat diidentifikasikan beragam persoalan berikut yang berkaitan dengannya: 1. Metode Pendekatan sastra al-Qur’an yang digunakan pada masa-masa

awal Islam

2. Dalam perkembangannya, interpretasi susastra banyak digeluti oleh intelektual reformis maupun konservatif. Misalnya Amîn al-Khûlî yang mengembangkan pendekatan susastra dalam interpretasi teks al-Qur’an. Berbeda dengan Abduh yang menyatakan bahwa metode ini akan memalingkan al-Qur’an dari nilai estetik dan spiritual al-Qur’an.

3. Para sarjana kontemporer semisal HB. Jassin berusaha menarik teks al-Qur’an ke horizon puisi. Jassin beranggapan bahwa al-al-Qur’an yang telah memiliki nilai estetika tinggi akan lebih menyentuh jika diterjemahkan dengan metode dan bahasa yang indah pula.

(29)

5. Dalam perkembangannya metode ini diikuti oleh beberapa sarjana pemerhati al-Qur’an, salah satunya adalah Mahjiddin Jusuf. Lewat karya monumentalnya Al-Qur’an a-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh berusaha menampilkan terjemahan al-Qur’an dengan nuansa puitis, yang awalnya lahir untuk mengakrabkan al-Qur’an kepada masyarakat dengan bahasa lokal.

2. Batasan Masalah

Dalam sebuah penelitian, keluasan masalah dan lingkup yang terkait dengan objek yang diteliti adalah keniscayaan sehingga sebuah penelitian mutlak memerlukan batasan masalah yang akan diteliti. Selain bertujuan untuk menjadikan kajian lebih fokus dan terarah juga sebagai acuan pencarian data agar terarah dan tepat sasaran atau dengan kata lain valid dan objektif.

Penelitian ini dibatasi pada kajian kritis terhadap terjemahan bersajak atau puitis yang dilakukan oleh Mahjiddin Jusuf. Pilihan di ambil dengan alasan di samping sebagai salah satu karya monumental yang hadir melengkapi perkembangan kajian al-Qur’an di Aceh juga merupakan karya tafsir atau terjemahan pertama yang menggunakan pendekatan susastra dalam terjemahannya serta kelebihan lainnya yang tak sama dengan kebanyakan karya sarjana lokal yaitu pemilihan bahasa daerah yang digunakan dengan tujuan agar al-Qur’an lebih dipahami dengan bahasa yang masyarakatnya. Jadi penelitian ini merupakan analisa terhadap penggunaan metode susastra yang digunakan Mahjiddin dan aplikasi penerjemahan dalam memahami makna teks al-Qur’an.

3. Perumusan Masalah

(30)

C. Studi Terdahulu yang Relevan

Upaya mendialogkan teks al-Qur’an dengan pendekatan sastra berbentuk puisi telah dilakukan oleh umat Muslim sejak dulu hingga saat ini. Pendekatan sastra atas teks al- Qur’an sesungguhnya bukan merupakan hal baru. Pendekatan ini telah dipergunakan sejak abad-abad pertama Islam, oleh Abdullah Ibn Abbâs (w.68H/687M). Upaya ini diikuti oleh beberapa ulama lain, terutama Abû ‘Ubaidah (w. 210 H/ 825 M), Al-Jâhiz (w. 255 H/ 869 M), Qâdhî Abd Jabbâr (w. 415 H/ 1024 M), Abdul Qâhir Jurjânî (w. 474 H/ 1078 M), dan al-Zamakhsyari (w. 538 H/ 1144 M).

Kajian-kajian yang berkaitan dengan interpretasi susastra kembali mendapat perhatian pada era kontemporer, seperti Amîn al-Khûlî dalam kitabnya

Manâhij al-Tajdîd fi al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab,

mengembangkan pemikiran al-Manhaj al-Adabî dalam penafsiran al-Qur’an.46 Tesis yang dikedepankan bahwa al-Qur’an adalah teks sastra Arab yang paling agung, Kitâb al-Arabiyya al-Akbar, memicu perdebatan intelektual yang intens, terutama di Mesir Modern. Penetapan al-Qur’an sebagai teks sastra Arab paripurna tersebut melibatkan diskusi tentang tekstualitas al-Qur’an yang meniscayakan pendekatan dan metode analisis susastra.

Aisya Abdurrahmân bint al-Syâti’, menerapkan metode al-Khûlî dalam kitabnya al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’an al-Karîm.47 Bint al-Syati’ secara konsisten menerapkan metode Khûlî di antaranya adalah membiarkan al-Qur’an berbicara tentang dirinya, karena dalam teks al-al-Qur’an saling menjelaskan satu sama lain. Cara yang dikedepankan adalah pelacakan makna yang dikehendaki teks dengan analisis linguistik dan sastra dengan medan-medan semantik yang jelas. Sarjana yang mengikuti sekaligus menopang metode susastra adalah Syukrî Ayyâd. Ia menulis buku Yaum al-Dîn wa al-Hisâb: Dirasâh Qur’aniyyah. Sembari menggunakan metode analisis susastra, Ayyâd berpendapat

      

46M. Nur Kholis S., Literary Interpretation of the Qur’an: A Study of Amîn al-Khûlî’s

Thought, dalam al-Jâmiah Journal of Islamic Studies 61, Juni 1998, hal. 30-317.

(31)

bahwa persoalan eskatologis yang ada dalam al-Qur’an merupakan simbol keagamaan dalam kemasan susastra yang hendaknya dipahami hidayahnya.

Tafsir susastra yang dikedepankan al-Khûlî memberikan pengaruh yang cukup luas terhadap diskursus studi al-Qur’an. Sayyid Qutb dalam karyanya al-Tashwîr al-Fannî fî al-Qur’ân (1956),48 memberikan ulasan-ulasan yang menonjol tentang pendekatan susastra. Juga Nasr Hâmid Abû Zaid yang gigih mengembangkan metode adabî dalam kajian al-Qur’an dalam karyanya Mafhûm al-Nass: Dirâsat fî ‘Ulûm al-Qur’ân.49Ia menyimpulkan bahwa al-Qur’an adalah teks yang memiliki pesan-pesan etik, moral spiritual dan juristik.

Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, karya M. Nur Khalis Setiawan,50 yang menyimpulkan bahwa penggunaan keilmuan kontemporer terhadap teks keagamaan, termasuk pendekatan susastra, tidak akan mengubah apalagi mempengaruhi secara negatif status teks ilahi. Dan sebaliknya, keilmuan tersebut menjadi pintu masuk terhadap teks keagamaan yang menunjukkan bahwa pemahaman kita terhadapnya secara saintifik dalam perspektif historis telah berubah. Kajian-kajian umum tentang kesusastraan al-Qur’an. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar karya M. Nur Kholis Setiawan, karya ini menunjukkan tiga hal penting. Pertama, pendekatan susastra terhadap al-Qur’an sepenuhnya bisa dilakukan dengan menggunakan teori dan peristilahan yang berkembang dalam dunia teori dan kritik sastra modern. Kedua, dalam khazanah tafsir al-Qur’an, terdapat benih-benih pemikiran susastra yang memang bisa ditemukan dalam karya-karya tafsir. Bahwa teks al-Qur’an memiliki fungsi sastrawi yang sangat penting, tidak ada seorang pun yang bisa membantahnya. Ketiga, arti penting dari pemikiran-pemikiran susastra al-Qur’an dalam karya-karya tafsir juga memiliki kekhususan lebih lanjut, yakni kekhususan bisa diresapi dengan baik oleh kalangan non muslim dalam keterlibatan mereka melakukan kajian terhadap

      

48Sayyid Quthb, al-Tashwîr al-Fannî fî al-Qur’an, cet. XVII, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2004) 49Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsat fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Markaz Tsaqâfah al-‘Arabî: 1998).

(32)

aspek-aspek susastra al-Qur’an. Selama al-Qur’an merupakan teks sastra, bisa mengungkapkan elemen-elemen susastra dari teks tersebut dengan leluasa.

Kesusastraan al-Qur’an juga dibahas dalam artikel yang berjudul Aspek-aspek Sastra dalam al-Qur’an, karya Chatibul Umam.51 Dalam tulisannya ia berkesimpulan bahwa al-Qur’an penuh dengan nilai-nilai sastra yang tinggi. Kritik Sastra dan Kajian al-Qur’an karya Yusuf Rahman,52 dalam tulisannya ia berkesimpulan bahwa al-Qur’an secara keseluruhan bukanlah teks teologis, akan tetapi ia juga merupakan teks sastra. Tafsir Susastra al-Qur’an (Sebuah Kajian Historis), karya Hamdani Mu’in.53 Secara historis tafsîr bayâni (susastra) telah menjadi trend penafsiran sejak masa Nabi Muhammad. Seiring dengan pesatnya penyebaran agama Islam dan keterbatasan dalam penguasaan bahasa Arab di kalangan muslim non Arab, maka lahirlah perangkat-perangkat metodologis tafsir yang disusun oleh para sarjana al-Qur’an dan pakar bahasa dan sastra Arab untuk mempermudah memahami bahasa al-Qur’an tersebut.

Kajian-kajian lain yang berkaitan dengan puitisasi al-Qur’an antara lain;

Al-Qur’an Bacaan Mulia karya HB. Jassin. Jassin menegaskan bahwa sebenarnya bahasa Qur'ân sangat puitis dan ayat-ayatnya dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra. The Glorious Koran karya Muhammad Marmaduke William Pitchall, juga Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an: English Translation of The Meaning and Commentary, kedua karya terjemahan ini menggunakan metode puisi dalam bahasa Inggris yang banyak dijadikan rujukan saat ini.

Karya-karya lainnya yang mengkaji terjemahan al-Qur’an menggunakan metode puisi seperti Muhammad Diponegoro dalam Pekabaran Puitisasi Terjemahan al-Qur’an Juz ‘Amma. Bachtiar Suryani, Menurutnya al-Qur’an itu isinya untuk didakwahkan kepada masyarakat. Namun, tidak semua orang mengerti dengan bahasa Arab. Karena itu, bagi kalangan peminat seni, ia berinisiatif mengarang puitisasi al-Qur’an. Lagipula dalam puitisasi al-Qur’an itu yang ambil

      

51Chatibul Umam, Aspek-aspek Sastra dalam al-Qur’an, ed. Kusmana dan Syamsuri, (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004)

52Yusuf Rahman, Kritik Sastra dan Kajian al-Qur’an, ed. Kusmana dan Syamsuri, (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004)

53Hamdani Mu’in, Tafsir Susastra al-Qur’an (Sebuah Kajian Historis), dalam Jurnal

(33)

garis besarnya saja. Kemudian saya rangkai dan ungkapkan dengan bahasa puisi. Jadi, bukan mengubah terjemahan ayat kata per kata.

Dari data-data di atas menunjukkan bahwa respon terhadap penafsiran atau penerjemahan al-Qur’an dengan pendekatan sastra menjadi perhatian para pemerhati al-Qur’an maupun seniman salah satu usaha menjaga kemurnian pemahaman makna al-Qur’an. Menurut penulis, dari berbagai kajian dan tulisan tersebut berbeda dengan penelitian tesis ini. Perbedaan ini terlihat dari model puitisasi terjemahan yang mengikut model persajakan serta bahasa lokal yang digunakan.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui paradigma berfikir Mahjiddin yang mendasari metodologi penerjemahan al-Qur’an gaya puitis yang berbeda dengan pendekatan ulama kebanyakan. Juga untuk megetahui sejauh mana pengaruh metode puitis Mahjiddin dalam menangkap keindahan makna teks al-Qur’an.

E. Manfaat dan Signifikansi Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang ‘ulûm al-Qur’ân atau ilmu tafsîr, khususnya kajian yang berkaitan dengan kontekstualitas al-Qur’an. Kajian ini juga berguna untuk menyadarkan kepada kita bahwa kajian ‘ulûm al-Qur’ân tidaklah stagnan, akan tetapi terus berjalan secara dinamis seiring dengan bergulirnya masa. Di samping itu, penelitian ini diharapkan akan menarik minat para peneliti al-Qur’an di masa yang akan datang.

(34)

dapat memperkuat formulasi dasar disiplin keilmuan tafsir khususnya dan mengelaborasi metodologi kajian ilmiah pada umumnya.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian dan sumber data

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (Library Research). Data-data penelitian ini sepenuhnya diperoleh dari bahan-bahan pustaka tertulis yang berupa buku, laporan hasil penelitian, makalah, jurnal ilmiah dan literatur-literatur lainnya. Sumber data primer adalah kitab al-Qur’an al-Karim Tarjamah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh karya Mahjiddin Jusuf.

Sedangkan data-data sekunder akan digali dalam sumber, yang pertama literatur-literatur tentang Mahjiddin Jusuf, terutama yang mengkaji tentang pemikirannya dan corak penafsirannya. Kedua, kajian-kajian tafsir dan ‘Ulûm al-Qur’an dan problematikannya. Ketiga, karya-karya tentang sastra al-Qur’an. Keempat, literatur lain yang relevan, seperti sejarah Islam, metodologi penelitian, ensiklopedi dan lainnya.

Dengan data penelitian yang terserak di banyak litaratur, penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dokumenter.54 Dengan teknik tersebut, setiap keeping informasi akan diperlakukan dan bernilai sama untuk kemudian diklasifikasikan, diuji dan diperbandingkan satu sama lain. Untuk melihat pengaruhnya, penulis melakukan inventarisasi dan penelusuran survei terhadap karya-karya tafsir yang muncul baik sebelum maupun sesudah terjamah ini ditulis.

2. Pendekatan Penelitian

      

54Teknik dokumenter adalah teknik pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis. Lihat, Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, cet. 12, (Jakarta: Reneka Cipta, 2002), hal. 206. Atau Teknik Elisitasi Dokumen, Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan,

(35)

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah sosial (social history).55 Penelitian ini memfokuskan kepada kajian tafsir dengan lingkup kehidupan dan situasi sejarahnya, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosio historis. Pendekatan ini dipakai untuk mendapatkan data-data tentang riwayat penulis dan latar belakang, baik intelektualitas maupun aktivitasnya. Di samping itu, karena objek penelitian kajian ini adalah karya tafsirnya maka digunakan untuk kepentingan dalam menganalisis pemikiran-pemikiran tokoh. Metode ini dipakai untuk melihat hubungan antara penulis, pembaca dan pendengar teks serta kondisi-kondisi di mana seseorang memahami sebuah teks al-Qur’an. Terjemahan juga diposisikan sebagai produk budaya yang tidak lepas dari proses interaksi dan dialektika penulis dengan dunia dan sejarah lokal. Dengan demikian, tafsir bahasa Aceh sebagai produk budaya, tidak lepas dari konstruksi sosial di mana penulisnya berada.

Pendekatan sosiologis kultural digunakan untuk melihat segi-segi sosial-keagamaan, peristiwa yang dikaji dan mengukur sejauh mana dimensi sosial budaya pada masanya turut mempengaruhi pemikiran tokoh seperti golongan sosial mana yang berperan dalam pergerakan, nilai-nilai yang dianut dan hubungannya dengan golongan sosial lainnya, konflik berdasarkan kepentingan tertentu, ideologi yang dianut dan sebagainya. Jika ditinjau dari kerja yang digunakan, maka digolongkan sebagai penelitian kualitatif yaitu penelitian yang mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antara konsep yang sedang dikaji secara empiris, dan tidak mengutamakan kuantitatif berdasarkan angka-angka.56 Atau penelitian yang jenis datanya adalah data kualitatif berupa narasi, gambar-gambar dan teks-teks.57 Menurut John Lofland dan Lyn H. Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan

      

55Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993)

56Kinayati Djojosuroto dan M.L.A. Sumaryati, Prinsip-prinsip dalam Penelitian Bahasa

dan Sastra, cet. 2, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2004), hal. 10

(36)

tindakan,58 selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Lawrence Neuman menyatakan bahwa penelitian kualitatif sangat mengandalkan data instristik yang penuh arti. Oleh karenanya, isu utama penelitian kualitatif bukanlah untuk mengkonversi data-data kualitatif ke dalam angka-angka yang reliabel dan objektif, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan subkultur masyarakat, berasal dari usaha memahami jaringan sistem sosial dan berakhir pada kebudayaan yang dipelajari.59 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif-analitis. Pendekatan deskriptif bertujuan memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau kelompok orang tertentu, atau gambaran tentang suatu gejala, hubungan antara dua gejala atau lebih.60 Sedangkan analitis berarti pembahasan yang memaparkan data yang telah tersusun dan teridentifikasi dengan melakukan kajian dan analisis terhadap data-data tersebut, atau kajian ini seutuhnya menghendaki telaah terhadap karya-karya tertulis dari para pakar di bidang tafsir. Analisa ini mempunyai tiga kriteria yakni: Objektifitas, sistematis dan generalisasi. Objektifitas dengan berdasarkan aturan yang dirumuskan secara eksplisit. Sistematika karena katagorisasi isi harus dirumuskan menggunakan kriteria. Sedangkan generalisasi artinya temuan dalam penelitian ini haruslah menemukan teori.61

Adapun dalam teknik penulisan dan transliterasi, penulis mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” karya Hamid Nasuhi, dan kawan-kawan, terbitan CeQDA

      

58John Lofland dan Lyn H. Lofland, Analizing Social Setting: A Guide to Qualitative

Observation and Analysis (Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1984) hal. 47

59W. Leurence Neuman, Social Researces Methodes: Qualitative and Quantitative

Approaches (Boston: Allyn & Bacon A Viacom Company, 1997), hal. 328

60Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) cet. V, hal. 35

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah produksi jagung respnden di Desa Bange Kecamatan Sangau Ledo dijelaskan sebesar 97,00% oleh faktor-faktor penggunaan benih, jumlah penggunaan pupuk urea, jumlah

Mulai dari proses penerimaan zakat, infak/sedekah yang diakui sesuai dengan nominal yang disetorkan kepada BAZNAS dari muzzaki, penyaluran zakat, infak/sedekah yang diakui ketika

Akan tetapi tidak hanya kompetensi dan independensi yang dimiliki auditor untuk menghasilkan kualitas audit yang tinggi, seorang auditor dalam melaksanakan

Penerapan teori humanistik dalam pembelajaran dapat dimodifikasi secara lentur oleh guru, hal ini lebih memberikan ruang kreatifitas yang tidak terbatas pada

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang menunjukkan penyimpangan yang signifikan dari anak normal, baik yang di atas normal maupun yang di

1) Memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 29-31 Mei 2012, maka penulis menyimpulkan bahwa gambaran pengetahuan remaja putri tentang dampak pernikahan dini pada

• Kurikulum dan ruang kelas ditata ulang untuk mendukung murid belajar di ruang kelas yang lebih kecil dan sesuai dengan kecepatan belajar mereka masing masing, serta memastikan