• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terjemahan Sosio-linguistik 39

Dalam dokumen Bilmauidhah Puitisasi Terjemahan Al Qur'an.bak (Halaman 135-143)

ANALISIS APLIKASI TERJEMAH PUITIS MAHJIDDIN

B. Terjemahan Sosio-linguistik 39

Betapa eratnya bahasa dan pikiran dalam penafsiran. Berpikir tidak mungkin dipisahkan dari penafsiran, adanya perbedaan bahasa akan melahirkan perbedaan produk. Sekedar contoh, karakter pemikiran bahasa Aceh yang       

38Al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lâm, hal. 568 39

Sosiolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain. Ilmu sosiolinguistik yang bersifat terapan ini memberikan pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan bahasa dalam aspek atau segi sosial tertentu. Fishman, seorang pakar sosiolinguistik yang andilnya sangat besar dalam kajian sosiolinguistik, mengatakan bahwa yang dipersoalkan dalam sosiolinguistik adalah “who speak, what language, to whom, when, and to what end.” Ragam-ragam bahasa yang ada dalam masyarakat tercipta karena adanya perbedaan sosial dalam masyarakat. Bahasa dalam ilmu sosiolinguistik tidak didekati sebatas bahasa sebagaimana dalam ilmu linguistik umum, melainkan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi dalam masyarakat manusia. Abdul Chaer dan Leonie Agustina,

memiliki hierarki kelas sosial sudah tentu ikut membentuk pemikiran orang Aceh ketika mereka berbicara dan berpikir dalam bahasa Aceh.

Dalam al-Qur’an terdapat kata-kata atau situasi khusus yang hanya terdapat di jazirah Arab seperti unta, kurma dan orang haus di padang pasir. Hal ini dapat digolongkan dalam sosio-linguistik, yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.

Penerjemah berusaha untuk menyesuaikan terjemahannya dengan alam Aceh. Misalnya, ketika beliau menerjemahkan surah al-Tin ayat 140 Demi boh ara dengan boh zaiton. Buah tin tidak sama dengan buah ara. Ketika hal ini tim penyunting tanyakan kepada Mahjiddin, ia memberikan alasan bahwa buah zaitun telah dikenal luas oleh masyarakat Aceh, sekurang-kurangnya sebagian orang mengenal dari minyaknya. Sedang tin hampir tidak dikenal, karena itu ditukar dengan nama ara. Ara diartikan secara harfiah berupa buah atau pohon. Di samping itu diperlukan kata yang bersuku dua untuk mencukupkan sepuluh suku setiap baris. Jassin dalam terjemahannya juga mengartikan kata tin dengan ara.41

‘Abdullah Yûsuf ‘Alî menerjemahkan surah al-Tin ayat 1 dengan: By the Fig And the Olive. Fig berarti Tin dan olive berarti Zaitun. Untuk kejelasan makna kedua kata tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam catatan kaki. Dalam bahasa Indonesia, Fig diartikan dengan Ara.42

Penyebutan gelar sebagai tambahan acuan terjemahan yang disesuaikan dengan gelar yang ada di daerah setempat, dalam hal ini dicontohkan penggunaan kata teungku dalam ayat 102 surah ash-Shaffat:43

102. ‘Oh ban rayekjih jak sajan Kamoe

Geukheun teruk yoh nyan aneuk meutuah Lonlumpoe gata Neuyue koh takue

Pakri aneuk droe pike tapeugah Seuot treuk aneuk hai ayah Teungku Neupubuet laju peue nyang peurinta       

40Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 956 41

HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 869 42

Abdullah Yûsuf Alî, The Holy Qur’ân: text, Translation and Commentary, hal. 1669 43

Insya Allah lon akan lonsaba Neukalon nyata teuma hai ayah

Mahjiddin menambahkan gelar teungku setelah menerjemahkan ya abati. Dalam terjemahan bahasa Indonesia diterjemahkan dengan hai Bapakku! kata Teungku tidak terdapat pada ayat di atas. lihat dalam terjemahan Qur’an al-Karim Bacaan Mulia,44

102. Maka tatkala (puteranya) mencapai Umur dapat bekerja bersama

(Ibrahim), (Ibrahim) berkata: “Hai anakku, kulihat

Dalam mimpiku

Bahwa aku menyembelihmu sebagai

korban. Sekarang katakanlah bagaimana

pendapatmu!” Menjawab anaknya: Wahai ayahku!

Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kau akan mendapati

Aku tergolong orang yang sabar!’

Dalam terjemahan Jassin, ia menerjemahkan ‘ Wahai ayahku!’ Mahjiddin memaknainya dengan ‘Hai ayah Teungku.’ Kata ini berfungsi sebagai penghormatan. Dalam bahasa Aceh Teungku merupakan gelar penghormatan kepada ulama. Dalam halnya dengan ayat di atas penggelaran ini menunjukkan gambaran begitu hormatnya Ismail kepada ayahnya Ibrahim.

Mengenai ungkapan-ungkapan seperti hidup dan mati, siang dan malam yang dalam bahasa Arab terbalik menjadi mati hidup, malam siang. Sebenarnya ungkapan semacam ini pada prinsipnya dapat saja dipertahankan gambaran aslinya, tapi demi pertimbangan nilai estetis, tidak ada keberatan untuk menggunakan ungkapan bahasa Aceh. Namun keindahan al-Qur’an tidak hanya terletak pada keindahan bahasa, terutama dalam buah pikiran yang terkandung di dalamnya, keduanya dipadukan dalam keutuhan yang estetis dan intelektual serta memberikan kenikmatan yang tinggi. Lukisan peristiwa alam amat indahnya

       44

digambarkan, bukan hanya sebagai kejadian lahiriah semata, tapi dengan artinya yang lebih dalam sebagai tanda adanya Tuhan Yang Maha Esa.

Selain itu Jassin menerjemahkan ungkapan-ungkapan menurut jalan bahasa Arab ke dalam ungkapan Indonesia. Misalnya: bainanâ wa bainakum (secara harfiah berarti: antara kami dan antara kamu) diganti dengan: "antara kami dan kamu" atau "antara kita".

Ungkapan ini dalam terjemahan Mahjiddin mengikuti ungkapan Arab, lihat terjemahan surah Yaasin ayat 37-38:45

37. Teuma saboh treuk tanda raya that Kuasa meuhat sidroe Potallah Malam ngon uroe gantoe siat-at

‘Oh lheueh trang that-that seupot sileupah

Walaupun dalam bahasa Indonesia ungkapan ini berbunyi siang malam, namun, demi nilai estetik tetap mengikuti ungkapan Arab. Sebagaimana terjemahan yang digunakan HB. Jassin,

37. Suatu tanda bagi mereka

Ialah malam:

Kami tinggalkan siang

daripadanya, Maka mereka pun tenggelam

dalam kegelapan.

Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama (tafsir) berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengingat antara lain gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya setiap zaman muncul berbagai ulama yang menafsirkan ajaran agama dari al-Qur’an yang tidak ada batas akhir. Jika logika ini diteruskan maka akan timbul pertanyaan yang menggelisahkan, bisakah manusia memahami dan menggali gagasan-gagasan Tuhan yang universal namun terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Aceh). Hanya saja, dalam psikologi linguistik dikatakan, sebuah ungkapan dalam bentuk lisan atau tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya berada jauh ke depan,

       45

bukan berhenti apa yang diucapkan ketika itu. Artinya kebenaran itu bersifat intensional dan teologis.46

Selain nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an harus menerobos batas-batas geografis dan demografis dengan segala implikasinya, juga harus menembus lapisan-lapisan kultural dan sosial dengan segala keragaman dan keunikan. Pada saat yang sama, nilai-nilai al-Qur’an di hadapkan pada: 1). Keharusan mewujudkan tuntunannya melalui penafsiran yang bersandarkan pada realita budaya lokal dan 2). Keharusan mempertahankan kontinuitas dan keotentikannya sepanjang zaman.47

Sebagaimana ide yang disampaikan oleh Abû Zaid, penafsiran atau penerjemahan al-Qur’an dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah budaya dan sejarah. Di samping bahasa itu sendiri memang sebagai bagian dari budaya manusia. Dalam hal ini, penafsir berusaha menjelaskan pengertian dan maksud suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi dengan langkah epistimologi yang mempunyai dasar pijak pada teks dengan konteks-konteksnya.48

Hubungan antara bahasa dan budaya sangatlah erat, di mana bahasa tersebut menjadi cermin budaya suatu bangsa. Bahasa bukanlah salah satu permasalahan yang dibuat oleh seseorang atau individu tertentu, melainkan diciptakan oleh sebuah masyarakat dan muncul dari kehidupan berkelompok dan merupakan ungkapan perasaan dan pikiran tentang kehidupan. Setiap individu yang tumbuh akan menemukan suatu sistem kebahasaan di hadapannya yang berlaku di dalam masyarakat dan kemudian ia menerima sistem itu melalui belajar dan meniru, seperti halnya ia menerima sistem–sistem sosial lainnya, sehingga ia mengucapkan bahasa tersebut dengan tepat dan menerimanya dengan pemahaman dan ungkapan. 49

       46

Anonim, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LidS. 1996), hal. 2 47

Peter Newmark, Approaches to Translation, (Oxford: Pergamon Press, 1981), hal. 186 48Nasr Hamid Abû Zaid, Mafhûm al-Nash: Dirâsat fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: al-Hai’ah al-Misriyyah al-Ummah li al-Kuttâb, 1993), hal.112

49

Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, al-Lughah wal mujtama’, (Kairo: Dâr ihya al-Kutub al Arabiyyah Isa babi al Halabi wa syirkahu, 1951), hal. 4

Bahasa mengandung implikasi yang hebat untuk pewarisan kebudayaan. Tanpa bahasa, kita tidak dapat meneruskan atau menerima keterangan secara simbolis. Dengan demikian, tidak dapat menjadi pewaris dari suatu kebudayaan

yang demikian kaya dan demikian aneka ragamnya.50 J dubs dan Daniel D

Whitney menegaskan hubungan yang erat antara bahasa dan kebudayaan.51

Di antara aspek budaya yang harus diperhatikan saat hendak menerjemahkan al-Qur’an yaitu aspek ekologi. Hal ini terkait dengan flora, fauna, angin, daratan dan bukit. Kata-kata bahirah, saibah, wasilah dan ham dalam surah al-Maidah ayat 103 diterjemahkan Mahjiddin dalam bahasa aslinya.

103. Hana neupeujeuet hukom le Tuhan Unta gata nyan takheun bahirah Saibah hana wasilah hana

Got ham pih hana Neuyue le Allah52

Kata-kata tersebut tidak mendapatkan padanannya dalam bahasa Aceh. Keempat kata tersebut adalah jenis unta betina. Mahjiddin tetap memberikan terjemahan dalam bahasa aslinya, karena jenis unta di atas tidak dikenal dalam budaya orang Aceh. Namun kekurangannya, ia tidak memberikan penjelasan baik berupa footnote maupun keterangan singkat mengenai maksud dari tiap-tiap jenis unta tersebut.

Berbeda dengan Jassin yang mempuitisasikan terjemahan ayat di atas dengan memberikan keterangan:53

103. Bukanlah Allah Yang mengadakan (Binatang-binatang dengan sebutan) Bahirah (unta betina belah

telinga), Sa’ibah (unta betina bebas

merumput) Washilah (domba tujuh kali beranak), Ataupun ham (onta jantan

       50

TO. Ihromi (ed), pokok-pokok antropologi Budaya, Cet. 7, (Jakarta: PT Gramedia 1994), hal. 20

51Patrick J. Dubbs dan Daniel D Whitney, Cultural Context, Making anthropology Personal, (London: Allyn & Bacon Inc, 1938), hal. 49

52

Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 178 53

Bebas bekerja), Tapi orang kafir membuat rekaan

dusta terhadap Allah.

Dan kebanyakan mereka

Tiada menggunakan pikiran

Dalam terjemahan Surah Maryam ayat 25 terdapat kata kurma, dalam terjemahan prosa sebagai berikut:54

25. “Goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan mengugurkan buah kurma yang masak kepadamu”.

Dalam terjemahan Mahjiddin:

25. Cuba tagrak-grak cabeung keuruma Rhet boh keuruma nyang mantong basah

Dalam terjemahan bahasa Indonesia, pohon kurma sebagai padanan kata ﺔﻠﺨﻨﻟا dan buah kurma sebagai padanan kata ﺐﻃر.55 Pemadanan kata terakhir dengan buah kurma sebetulnya kurang tepat karena kata kurma merupakan kata generik yang dalam bahasa Arab disebut ﺮﻤﺗ. Bila buah tersebut basah disebut

ﺐﻃر dan bila kering disebut ﺐﺴﻗ. Dalam terjemahan Mahjiddin, selain

menggunakan padanan kata buah kurma, namun juga memberikan keterangan maksud dari kata ratb tersebut di akhir kalimat.

Tidak ada penjelasan dan keterangan yang mengatakan maksud Mahjiddin tidak menerjemahkan atau memberi keterangan kata tersebut tidak diberikan maknanya. Hal ini dirasa dapat memalingkan tujuan awal dari terjemahan, agar dapat mudah dipahami masyarakat Aceh dengan gaya bahasanya sendiri. Namun kenyataannya, terdapat beberapa kalimat bahasa Arab yang tidak diberikan makna. Mengikut beberapa pendapat penerjemah lainnya, seperti Ibn Katsir56 dan Ahmad Hassan57 yang memberikan keterangan dalam foot note mengenai maksud suatu kalimat yang terasa asing.

       54

Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 1014 55Ibnu Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (t.tp.: Dâr al-Ma’ârif, t.th), hal. 65

56

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2000), hal. 123 57

Ahmad Hassan, al-Furqan: Tafsir al-Qur’an, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia, 1956), hal. v

Dari segi lain, sekiranya tejemahan Mahjiddin ini dibaca oleh orang yang memahami makna al-Qur’an, akan merasakan kebebasan penerjemah dalam menuang pesan yang terdapat dalam bahasa asli ke dalam bahasa sasaran. Sebagaimana akan ada kesan penulis relatif berupaya juga melakukan terjemahan yang bukan sekedar memberikan informasi, tetapi terjemahan yang dapat mempengaruhi emosi pembaca. Seperti berusaha mendekatkan makna terjemahan dengan latar budaya dan lingkungan pembacanya.58

Sosiolinguistik merupakan cabang dari ilmu linguistik yang bersifat antardisiplin yakni gabungan antara sosiologi dan linguistik. Seperti kita ketahui bersama, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa. Secara sederhana, sosiolinguistik dapat diartikan sebagai bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.

Ragam-ragam bahasa yang ada dalam masyarakat tercipta karena adanya perbedaan sosial dalam masyarakat. Bahasa dalam ilmu sosiolinguistik tidak didekati sebatas bahasa sebagaimana dalam ilmu linguistik umum, melainkan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi dalam masyarakat manusia.

Bahasa, sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang dimiliki manusia, dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Dalam studi linguistik umum (general linguistik) kajian secara internal disebut sebagai kajian bidang mikrolinguistik dan kajian secara eksternal disebut sebagai kajian bidang makrolinguistik. Kajian secara internal dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur yang ada dalam disiplin linguistik saja, seperti struktur fonologisnya, struktur morfologisnya, atau struktur sintaksisnya. Sedangkan kajian bahasa secara eksternal melibatkan dua disiplin ilmu atau lebih sehingga wujudnya berupa ilmu antar disiplin. Selain sosiolinguistik, ada pula disiplin ilmu psikolinguistik, antropolinguistik, dan neurolinguistik.

       58

Dalam dokumen Bilmauidhah Puitisasi Terjemahan Al Qur'an.bak (Halaman 135-143)