• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terjemahan Puitis Fawatih al-Suwar

Dalam dokumen Bilmauidhah Puitisasi Terjemahan Al Qur'an.bak (Halaman 155-160)

ANALISIS APLIKASI TERJEMAH PUITIS MAHJIDDIN

E. Terjemahan Puitis Fawatih al-Suwar

Untuk mengungkap dan membuktikan I’jâz al-Qur’an dari sisi sastranya, penulis mencoba mendiskripsikan salah satu model terjemahan kesusastraan Qur’an, yaitu deskripsi tentang awal surah dan makna filosofis huruf (fawâtih al-suwar wa sirr al-hurûf) sebagai salah satu aspek susastra dalam al-Qur’an.

Kajian tentang fawâtih al-suwar111 telah dilakukan oleh ulama

sebelumnya, seperti al-Zarkasyi, pengarang al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, dalam       

107

Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 4 108

Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal.

109Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, hal. 146 110

HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 24 111

Dari segi bahasa, fawatihus suwar berarti pembukaan-pembukaan surat, kerena posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf

salah satu bab dalam kitab tersebut ia menulis fî Asrâr al-Fawâtih wa al-Suwar”,112 dan al-Suyûtî dalam al-Itqân mendeskripsikan fawâtih al-suwar, meskipun ia lebih suka menggunakan istilah awâil al-suwar.113 Ibn Abi al-Ishba’, pengarang buku Badi’ al-Qur’ân, menulis al-Khawâthir Sawânih fi Asrâr al-Fawâtih, bahkan secara khusus mengkaji fawâtih al-suwar.

Adapun huruf-huruf Hijaiyyah yang lazim terletak di permulaan surah (fawâtih al-suwar), seperti alif lâm mîm pada surah al-Baqarah atau pada surah-surah lainnya, seluruh terjemahan al-Quran menerjemahkannya menurut bunyi dan tulisannya. Huruf-huruf yang terletak di permulaan beberapa surah ini digolongkan pada ayat-ayat mutasyâbihât,114

sehingga para mufassir dalam beberapa kitab tafsirnya menafsirkannya dengan Allâhu a’lam bimurâdihi. Alasan lain penggunaan transliterasi dilakukan pada fawâtih al-suwar (pembukaan surat-surat) karena dinilai oleh Ibn Katsîr sebagai bukti adanya I’jâz al-Qurân,115

karena manusia tidak mampu untuk membuat karya yang sejenis huruf-huruf

tersebut, apalagi seluruh al-Quran.116

        hijaiyyah, huruf tersebut sering disebut dengan huruf Muqatta’ah (huruf yang terpisah), karena posisi dari huruf-huruf tersebut yang cenderung ‘menyendiri’ dan tidak bergabung membentuk kalimat secara kebahasaan. Dari segi pembacaannya pun tidaklah berbeda dari lafazh yang diucapkan pada huruf hijaiyyah.

112

Muhammad Ibn Abdilah al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân , Juz I, (Kairo: al-Halabi, 1957), hal. 164

113

al-Suyûtî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Juz II, (Kairo: Al-Maktabah al-Taufîqiyyah, tt.), hal. 12, 43 dan juga lihat al-Itqân Juz II dalam bab al-Ayat al-Mutasyabihat, hal. 133.

114

Ayat-ayat mutasyâbihât merupakan lawan kata ayat-ayat muhkamât. Lihat, Q.S. Ali ‘Imran: 7. Pengertian tentang ayat-ayat mutasyâbihât maupun muhkamât masih diperdebatkan di kalangan ulama. Namun satu definisi yang dapat diambil antara lain, ayat muhkamât yaitu ayat-ayat yang dapat diketahui maksudnya. Dengan demikian ayat-ayat mutasyâbihât yaitu ayat yang tidak dapat diketahui maksudnya, kecuali Allah. Di antara ayat-ayat yang termasuk ayat mutasyâbihât

ialah ayat-ayat tentang keberadaan Allah dan sifat-sifat-Nya, hakikat hari akhir, tanda-tanda kiamat dan huruf-huruf di permulaan surat. Lihat, Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qurân,

hal. 207.

115I’jâz berarti melemahkan. I’jâz al-Qur’ân bermakna pengokohan al-Quran sebagai sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan untuk penciptaan karya sejenis. Lihat, al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân ,jilid 2, hal. 331. I’jâz al-Qurân dalam kaitannya dengan fungsi kerasulan Nabi Muhammad berarti memperlihatkan kebenaran kerasulan dan fungsi kenabiannya serta kitab suci yang dibawanya. Selain itu, untuk memperlihatkan kekeliruan bangsa Arab yang menentangnya, karena tantangan-tantangan yang dilontarkan Allah dalam al-Quran tidak dapat mereka layani. Lihat, Sya’bân Muhammad Ismâil, al-Madkhal li Dirâsah al-Qurân wa al-Sunnah wa al-‘Ulûm al-Islâmiyyah (Kairo: Dâr al-Ansâr, t.th), hal. 323.

116

Muhammad ‘Ali al-Sâbûni, Safwah al-Tafâsîr, jilid 1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), hal. 25.

Adapun bentuk redaksi fawatih as-suwar yang berbentuk huruf di dalam al-Qur’an dapat dijelaskan sebagai berikut. Terdiri atas satu huruf, terdapat pada tiga tempat: Surat Shaad (38):1 yang diawali huruf shaad; surat Qaaf (50):1 yang diawali huruf Qaaf; Surat al-Qalam yang diawali dengan huruf nun. Terdiri atas dua huruf, terdapat pada sepuluh tempat: surat al-Mukmin (40): 1; surat asy-Syura (42): 1; surat az-Zukhruf (43): 1; surat ad-Dukhan (44): 1; surat al-Jatsiyah (45): 1; surat al-Ahqaf (46): 1; yang diawali huruf ha mim; surat Thaha (20): 1 yang diawali dengan huruf tha ha; surat an-Naml (27): 1 yang diawali ta sin; surat Yaa Siin (36): 1 yang diawali dengan ya sin.

Terdiri atas tiga huruf, terdapat pada 13 tempat: surat al-Baqarah (20): 1; surat Ali Imran (2): 1; surat al-Ankabut (29):1; surat ar-Rum (30): 1; surat Luqman (31): 1; surat as-Sajdah (32): 1 yang diawali dengan huruf alif lam mim; surat Yunus (10): 1; surat Huud (11): 1; surat Yusuf (12): 1; surat Ibrahim (14): 1; surat Al-Hijr (15): 1; surat al-Qashshash (28): 1 yang diawali dengan huruf tha sin mim. Terdiri atas empat huruf, terdapat pada dua tempat: surat al-A’raf (7): 1 yang diawali huruf alif mim shad dan surat ar-Ra’d (13): 1 yang diawali dengan huruf alif lam mim ra’. Terdiri dari lima huruf, terdapat pada satu tempat: surat Maryam (19): 1 yang diawali dengan huruf kaf ha ya ‘ain shad.

Dalam menerjemahkan huruf-huruf yang ada di awal surat tersebut, Mahjiddin memberi komentar dengan :

Tuhan nyang teupue meukeusud ayat Sabab Hadharat hana Neupeugah

Kalimat di atas dapat memberi gambaran bahwa itulah tejemahan Alif Lam Mim atau huruf-huruf lainnya. Padahal, itu bukan terjemahnnya. Pada mulanya, teks-teks ayat fawâtih al-suwar tidak dituliskan. Tim Penyunting dalam pertemuannya dengan penerjemah mangusulkan agar terlebih dahulu menuliskan Alif Lam Mim atau huruf-huruf lainnya dan setelah itu baru diiringi dengan kalimat di atas sebagai keterangan. Teks ayat al-Qur’an harus ditulis secara lengkap lalu ditulis terjemahannya. Teks ayat penting ditulis karena ia berstatus sebagai hakim yang memberi pertimbangan serta keputusan yang adil dari segala

sesuatu yang tertulis, baik terjemah maupun tafsir.117 Berbeda dengan HB. Jassin sebagai rujukan penafsiran puitis terhadap al-Qur’an tidak memberikan penafsiran atau keterangan mengenai fawâtih al-suwar.

Mahjiddin beranggapan bahwa makna dari huruf-huruf yang ada di awal surah hanya Allah yang mengetahui maknanya. Ia tidak memberikan keterangan yang panjang lebar mengenai hal tersebut. Senada dengan pandangan al-Baqilani yang lebih memilih untuk tidak membuat kategorisasi terhadap fawâtih al-suwar, karena menurutnya, fawâtih al-suwar merupakan bagian dari dalâil al-i’jâz, yang tidak seorang pun tahu rahasia maksudnya kecuali Allah.118

Meskipun demikian, misteri seputar fawâtih al-suwar tersebut masih mengundang pertanyaan yang mendorong kalangan ulama untuk mendiskusikannya. Seperti pertanyaan, mengapa dalam fawâtih al-suwar itu ada yang berbentuk huruf yang berdiri sendiri dan ada yang tersusun dari beberapa huruf, dan apa makna serta bagaimana maksud dari fawâtih al-suwar tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut melahirkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memahami fawâtih al-suwar. al-Tabarî menyebutkan bahwa penafsiran atas fawâtih al-suwar ini melahirkan berbagai pendapat di

kalangan ulama.119 Dan perbedaan tersebut pada gilirannya menunjukkan

beragamnya pendekatan dan metode penafsiran atau penerjemahan.120

Menurut as-Suyûtî, pembukaan-pembukaan surat (awail al-suwar) atau huruf-huruf potong (ahruf al-muqata’ah) ini termasuk ayat-ayat mutasyabihat.       

117

Ahmad Ibrahim Maulana, Diraâsah Haula Tarjamat Qur’an al-Karim, t.tp.: t.pn., t.th.) 118

al-Zamakhsyarî berkata: huruf-huruf itu sengaja tidak disebutkna secara keseluruhan dalam satu surat, tetapi diulang dalam beberapa surat, supaya lebih kuat dan lebih keras tantangannya. Juga ada kalannya hanya satu huruf, dua huruf, tiga huruf, emat huruf atau lima huruf, sebagaimana kebiasaan sususnan kata-kata dalam bahasa Arab seperti: nuun, haa miim, alif lam miim, alif laam mim shad, kaaf haa ya ‘ain shad. Ibn katsîr berkata, oleh karena itu, setia surat yang dimulai dengan huruf-huruf seerti itu pasti di dalamnya disebutkan kelebihan, kebesaran, dan keagungan al-Qur’an. Ini data dirasakan dan diketahui oleh orang yang benar-benar memeerhatikn al-Qur’an yang tersebut dalam 29 surat. al-Baqilanî, I’jâz al-Qur’an (Kairo: Dar al-Salam, tt.), hal. 51, 66. baca pula Muhammad Ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, Al-Kasysysâf ‘an Haqâiqal-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta’wîl, juz I,(Kairo: Al-Maktabah Taufîqiyyah, tt), hal. 17, dan al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid II, hal. 13

119Lihat Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabari, Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wil al-Qur’ân, juz I,(Kairo: al-Maktabah al-Taufîqiyyah, 2004), hal. 118

120

Aisyah Abdurrahman bintu Syati’, al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo, 1962), hal. 147

Sebagai ayat-ayat mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat lagi dalam memahami dan menafsirkannya. Dalam hal ini pendapat para ulama dibagi menjadi dua. Pertama, pendapat ulama yang memahaminya sebagai rahasia yang hanya diketahui oleh Allah.

al-Zamaksyarî berpendapat bahwa fawâtih al-suwar itu sesungguhnya nama surah di mana ia memulai. Sementara yang lain berpendapat bahwa fawâtih al-suwâr merupakan rangkaian huruf-huruf nama Allah yang agung. Menurut Sa’id ibn Jabir, jika seseorang mengerti rangkaian huruf –huruf tersebut, niscaya ia mengetahui ism Allah. Pendapat lain mengatakan bahwa fawâtih al-suwâr merupakan rangkaian suara untuk mengingatkan (tanbih) yang digunakan al-Qur’an dengan tujuan mencari perhatian. Bentuk peringatan itu seringkali tidak berbentuk sesuatu yang biasa digunakan manusia, karena memang al-Qur’an bukan perkataan manusia, agar lebih didengar dan diperhatikan. Jika demikian, muncul persoalannya adalah siapa yang diingatkan oleh surah-surah yang dimulai dengan fawâtih al-suwâr, sehingga ia terperanjat karenanya lalu memperhatikan peringatan itu dengan sungguh-sungguh. Apakah kepada orang yang beriman terhadap al-Qur’an atau orang yang mengingkarinya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong ulama terlibat dalam diskusi tentang kepada siapa fawâtih al-suwâr itu ditujukan. Abu Hayyan berpendapat bahwa mengingatkan dengan fawâtih al-suwâr ditujukan kepada orang musyrik untuk memperkuat argumentasi al-Qur’an dengan melontarkan kalimat-kalimat asing, sehingga mereka tidak mau mendengarnya.121

Diskusrus fawâtih al-suwâr tersebut di atas terus menjadi polemik di kalangan ulama, baik dari sisi makna, maksud dan tujuan, takwil maupun kedudukan fawâtih al-suwâr dalam al-Qur’an, namun wacana fawâtih al-suwâr dalam konteks i’jâz bayân akan lebih tepat ketika huruf-huruf tersebut disebutkan untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an tersusun dari huruf hijaiyyah, seperti yang mereka kenali dalam bahasa mereka. Meskipun demikian, mereka tetap saja tidak

       121

Muhammad Ibn Yusuf Abû Hayyân, Al-Tafsîr Kabîr Musamma bi Al-Bahr al-Muhîth, juz I,(Riyadh: Maktabah wa Muthaba’ al-Nasyr al-Hadîts, tt.), hal. 34

mampu membuat semisal al-Qur’an karena kei’jazan al-Qur’an dalam bayannya tersebut. Karena itu, surah yang dimulai dengan fawâtih al-suwâr berfungsi untuk memperkuat argumentasi atas kebenaran al-Qur’an.122 Dari hasil penelitian tersebut, diskursus fawâtih al-suwâr memiliki makna filosofis tersendiri sesuai urutan surah dan konteksnya.

Dalam dokumen Bilmauidhah Puitisasi Terjemahan Al Qur'an.bak (Halaman 155-160)