• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adaptasi budaya dalam pendidikan pranikah

Dalam dokumen PENDIDIKAN PRANIKAH PERSPEKTIF AL-QUR AN (Halaman 51-66)

DISKURSUS/KAJIAN TEORITIS PENDIDIKAN PRANIKAH

B. Adaptasi budaya dalam pendidikan pranikah

Dengan adaptasi budaya harus menawarkan seluruh keluarga untuk melestarikan dan memperkaya kebudayaan nasional. Islam secara tegas mendukung hal apapun yamg dinilai oleh masyarakat sebagai yang baik dan konsisten dengan nilai-nilai agama. Budaya positif bangsa atau orang-orang yang dicakup oleh apa yang disebut untuk itu menjadi kelompok yang masing-masing orang, bahkan tugas menyebarkan ma'ruf.

Allah berfirman dalam QS. Ali imran/3:104;

َُسَ لَۡو ت َنُٔغتدَي ٞثٌٍّ ُ

أ تًُسٌِِّ

َ لَِإ ِتيَ ت ٱ ِة َنوُرُم ت لۡ

أَيَو ٱ

ِفوُرتػٍَ ت ل ََِغ َنتَٔٓتَِيَو

ِر َهٍُِتل ٱ

ًُُْ َمِهِّ َلْوُأَو َنُٔدِيتفٍُ ت ل ٱ

“Hendaklah ada diantara satu unit/kelompok (dari masing-masing kamu) menyeru kepada kebaikan (nilai-nilai agama) dan menyuruh kepada ma‟ruf (nilai-nilai budaya yang positif) serta melarang yang mungkar (nilai-nilai yang bertentangan dengan ma‟ruf). Mereka itulah orang-orang yang beruntung”

Ketahanan bangsa dan pelestarian budaya tidak dapat dicapai oleh ketahanan keluarga, antara lain, diwujudkan dengan upaya semua anggotanya untuk ma'ruf menegakkan, mempertahankan nilai-nilai luhur perusahaan dan kemampuan untuk memilih yang terbaik dari apa yang datang dari komunitas lain.11

Tak bisa dipungkiri bahwa manusia membutuhkan bantuan dari orang lain di planet ini, dari waktu kelahiranya. Setidaknya ketika ia dibantu oleh dukun beranak dan dokter sebelum bidan dan ginekolog dikenal. Pria individu secara fisik sangat lemah sampai mampu mewujudkan potensinya dalam kehidupan nyata. Dalam Al-Qur'an sangat jelas bahwa pada awal kehidupan manusia diciptakan sangat rendah, bergantian menjadi gempal manusia dewasa dan kuat, kemudian kembali ke posisi lemah di usia tuanya.

kelemahan fisik yang dialami oleh semua manusia di awal dan setelah tengah hidupnya, ia membutuhkan lebih banyak dukungan sosial dari lingkungan mereka.

Demikian pula, orang-orang yang secara fisik dirugikan, seperti terlahir sebagai orang-orang cacat (penyandang cacat), menderita penyakit kronis yang sulit disembuhkan, hilangnya menjadi "tulang punggung" keluarga, dll.

Apa pun yang bisa menderita sangat berat secara fisik, psikologis dan finansial. Namun, secara umum, akan berkurang ketika perhatian, memahami

11 M.Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur‟an ..., hal. 203-204.

dan menggunakan lingkungan sosial. Indonesia sejak manusia purba memiliki sikap dan perilaku gotong royong, saling mendukung dan saling kerjasama dalam menyelesaikan masalah. Hal ini masih tampak jelas dalam banyak aspek kehidupan di pedesaan.

Mereka menawarkan diri untuk mengingatkan kita budaya sebagai perasaan solidaritas dalam hal massa, kerja sukarela, dukungan dalam anggota-anggota masyarakat yang terkena dampak, pesta pernikahan, atau bekerja masyarakat dalam tugas-tugas yang petani dan nelayan adalah pekerjaan utama di daerah pedesaan pada umumnya.12

Al-Qur‟an mengajarkan manusia untuk hidup serba seimbang, antara pemenuhan kebutuhan idividu dan sosial, antara kehidupan jasmani dan rohani, antara orientasi kehidupa duniawi dan ukhrawi. Sepanjang manusia mengupayakan kehdupan yang seimbang maka ia akan hidup mulia.

Akan tetapi, manakala menafikan sala satunya maka akan terjadi ketimpangan dalam kehidupan. Kesalehan individual harus dibarengi dengan kesalehan sosial. Hubungan vertikalnya melalui ibadah mahdah berjalan sempurna dan hubungan sosialnya dengan sesama manusia juga berjalan optimal.13

Berkenaan dengan hal ini, Allah SWT berfirman dalam QS Ali- imran/3:

112;

“Mereka di liputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegng) pada tali (agama) allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.

Mereka mendapat murka dari allah dan (selalu) di liputi kesengsaraan. yang demikian itukarena mereka mengingkari ayat-ayat allah dan membunuh para nabi, tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas.

Keluarga adalah lembaga sosial terkecil dalam sistem sosial. Keluarga adalah agen utama sosialisasi dan anak-anak Microsystems yang mampu menjalin hubungan anak dengan lingkungan.14 Pada hakikatnya keluarga

12 M.Darwis Hude, logika Al-Qur‟an, Pemaknaan ayat dalam berbgai tema, Eurabia, Jakarta 2017, hal. 223.

13 M.Darwis Hude, Logika Al-Qur‟an..., hal. 226.

14 Rahmat, Keluarga Dan Pola Pengasuhan Anak. Jurnal Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto. Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010, hal. 35-46.

merupakan hubungan keturunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan perkawinan bersama searah dengan keturunannya yang merupakan satu kesatuan yang khusus.15

Dalam kehidupan bermasyarakat, keluarga memiliki peran penting dalam sosialisasi terhadap individu dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Sosialisasi adalah proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai-nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di masyarakat.16 Keluarga juga memiliki fungsi dasar yang harus dijalankan dalam keluarga, sehingga keluarganya bisa hidup dalam harmonis yaitu:

1. Reproduksi. Keluarga mempertahankan jumlah penduduk dengan kelahiran adanya. angka neraca mereka dari kelahiran dan kematian yang populasi manusia ada.

2. Sosialisasi. Keluarga menjadi tempat yang ideal untuk melakukan tansfer nilai-nilai masyarakat, kepercayaan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan pengetahuan akan diteruskan kepada generasi mendatang.

a) Penugasan peran sosial. mediasi keluarga identitas ke bawah (peran ras, etnis, agama, sosial, ekonomi, dan gender), dan identitas perilaku dan kewajiban. Sebagai contoh, di beberapa keluarga, anak perempuan diarahkan untuk bersih dan menjadi pengasuh, sementara anak laki-laki menuju rumah tangga.

b) Untuk mendukung perekonomian. Keluarga menyediakan tempat tinggal, makanan dan tempat tinggal. Di beberapakeluarga di negara-negara industri, semua anggota keluarga, kecuali untuk anak-anak untuk berkontribusi untuk kemakmuran ekonomi.

c) Dukungan emosional. Keluarga memberikan anak pengalaman pertama dalam interaksi sosial. interaksi sosial dapat hubungan emosional, orangtua, jaminan keamanan untuk anak-anak.17

Inti dari masyarakat adalah keluarga, di mana setiap keluarga menganggap dirinya sebgai pusat dari seluruh masyarakat. Sebagai pusat dan anggota masyarakat, keterkaitan keluarga dengan masyarakat luar.

Sementara masing-masing individu dalam keluarga berusaha untuk membawa citra keluarga dalam masyarakat. hubungan keluarga yang baik berarti perusahaan yang baik juga. Dan keluarga sebagai satu unit, masing-masing anggota adalah wakil dari keluarga dalam masyarakat sosial.

Kehidupan saja, keluarga tidak dipisahkan kondisi yang ada di masyarakat, standar dan nilai-nilai yang berlaku. Karena pada dasarnya norma-norma dan

15 Su‟adah, Sosiologi Keluarga, Malang: UMM Press, 2003, hal. 23.

16 Wiliam J. Goode, Sosiologi Keluarga, terjemahan ed-06, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hal. 20.

17 Rohmat, Keluarga Dan Pola Pengasuhan Anak. Jurnal Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto. Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010, hal. 35-46.

nilai-nilai yang ada di masyarakat juga mempengaruhi tindakan yang harus dilakukan oleh keluarga. Hal ini juga jelas bahwa nilai-nilai dan standar masyarakat dan keluarga harus mampu beradaptasi aturan yang berlaku.18 C. Pendidikan dan status perkawinan meningkatkan kinerja

Hubungan Status Perkawinan dengan kinerja, KerjaPria dan wanita yang telah menikahcenderung memiliki masa pengangguran yang lebih panjang dibandingkan pria dan wanita yang belum menikah. Wanita yang telah menikah khususnya, memiliki masa pengangguran yang lebih panjang dibandingkan pria yang telah menikah.19 Menurut Kaufman& Hotckiss20 perempuan yang telah menikah dituntut untuk melakukan aktivitas rumah, dan pasar kerja yang tersedia hanya bagi mereka yang berstatus tunggal atau single.

Bagi mereka yang sudah kawin, rumah tangga menjadi pertimbangan yang penting dalam memutuskan menerima pekerjaan yang tersedia, yakni apakah pekerjaan tersebut dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga atau tidak.21

Sementara menurut Astuti22 status perkawinan merupakan penghambat pencari kerja untuk memilih pekerjaan apabila pekerjaan tersebut diperoleh jauh dari keluarga atau pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut kecil sehingga mereka menolak untuk menerima pekerjaan tersebut. Status perkawinan dapat menyebabkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam partisipasi angkatan kerja. Angkatan kerja yang berstatus nikah akan cenderung lebih lama dalam mencari kerja dibandingkan dengan angkatan kerja yang belum nikah. Mereka yang belum nikah tidak mempunyai tanggung jawab atas rumah tangga sehingga mereka dapat menerima pekerjaan apa pun.

Pernikahan merupakan gerbang pertama yang biasanya dilewati oleh periode dewasa muda untuk memulai kehidupan. Pernikahan di usia muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu

18 Wiliam J. Goode, Sosiologi Keluarga, terjemahan ed-06, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hal. 110.

19 Congress of thle United States Congressional Budget Office (CUSCBO). (2007).

Long termunemployment.CBO Paper No. 2765. Diambil pada 8 September 2018 dari hlttp://www.cbo.gov/sites/de-fault/10-31-long termunemployment. hal. 93.

20 Kaufman, B. E. & Hotckiss j. L. (2006). The Economics of Labor Markets.

Thomson: South Western, hal 134.

21 Pasay, N.H.A. & Indrayanti, R. Pengangguran, Lama Mencari Kerja, dan Reservation Wage Tenaga Kerja Terdidik. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia.

12(2) (2012): hal. 116-135.

22 Astuti, M .Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Lama Menganggur Bagi Pekerja Di Industri Perkebunan Kelapa Sawit, Ogan Komering Ulu. Jurnal Ilmiah STIE MDP. 2(2).

(2013), hal.130-149.

pasangannya masih dikategorikan remaja yang berusia kurang dari 19 tahun23 atau pernikahan yang dilakukan sebelum usia 20 tahun.24

Menurut BKKBN, Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda yang tinggi di dunia (rangking 37). Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya pernikahan di usia muda adalah status sosial dan ekonomi yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah, adanya budaya nikah muda, pernikahan yang dipaksa, dan seks bebas.

Menurut Paul, Joseph, dan Ijeoma,25 kemiskinan merupakan penyebab utama pernikahan usia muda. Dengan menikahkan anaknya maka beban ekonomi dan tanggungan orang tua semakin berkurang. Padahal, pasangan yang menikah di usia muda rentan dengan masalah, salah satunya adalah permasalahan ekonomi.

Menurut Rahman dan Nasrin,26 permasalahan utama dalam kehidupan pernikahan di usia muda adalah pendidikan dan pendapatan bulanan yang rendah. Selain itu menurut Ahmed et al.27 Shabbir dan Nisar,28 perempuan yang menikah muda harus menghadapi banyak permasalahan lingkungan dan sosial sehingga mereka harus mampu beradaptasi untuk mengatasi stres dan tekanan yang muncul dalam kehidupan keluarganya.

Menurut BKKBN, dampak yang terjadi akibat menikah di usia muda diantaranya adalah kasus drop out sekolah tinggi, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), peluang kematian ibu tinggi, lama sekolah rendah, dan hak kesehatan reproduksi rendah.

Permasalahan ekonomi yang terjadi dalam kehidupan pernikahan di usia muda dapat memengaruhi kualitas pernikahan. Hasil penelitian Sunarti

23 WHO. (2006). Married Adolencents: No Place of Safety. Geneva, Switzerland (CHL): WHO Press.

24 BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). (2012). Pernikahlan dini pada beberapa provinsi di Indonesia: dampak overpopulation, akar masalahldan peran kelembagaan di daerahl. Jakarta (ID): BKKBN.

25 Paul, N., Joseph, U. O., Ijeoma, O. C. Education an antidote against early marriage for the girl-child. Journal of Educational and Social Researchl, (2013). 3(5), hal. 73-78.

26 Rahman, M. M., & Nasrin, S. O. Factors affecting early marriage and early conception of women: a case of slum areas in Rajshahi City, Bangladesh. Journal of Sociology and Antropology (2012)., 4(2), hal. 54-62.

27Ahmed, S., Khan, S., Alia, M., & Noushad, S. (2013). Psychological impact evaluation of early marriages. International Journal of Endorsing hlealthl Science Research, 1(2), hal. 84-86.

28 Shabir, S.& Nisar, S. R. Depression, axienty, stress, and life satisfaction among early and late married females. European Journal of Business and Social Sciences.(2015), 4(08), hal. 128-131

et al.29 Menunjukkan bahwa tekanan ekonomi keluarga berkaitan erat dengan kualitas pernikahan.

Keluarga akan memperoleh kebahagiaan apabila mempunyai uang yang cukup Hal ini dapat terjadi karena keluarga membutuhkan sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya.

Conger, Conger, dan Martin30 (2010) juga menambahkan bahwa kelas sosial atau status sosial ekonomi keluarga akan berkaitan dengan kepuasan dan stabilitas dalam pernikahan. Permasalahan ekonomi dapat merenggang-kan hubungan dalam keluarga.Hal ini dapat terjadi karena pendidimerenggang-kan dan pendapatan yang rendah merupakan faktor yang menyebabkan stres dan kerenggangan dalamsuatu hubungan.

Selain faktor ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah menjadi juga menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan di usia muda.

Pendidikan yang rendah berdampak pada kesulitan dalam mencari pekerjaan dan pada akhirnya memengaruhi jumlah pendapatan yang diterima.

Pendapatan yang rendah berdampak pada kesejahteraan keluarga baik secara objektif maupun subjektif.

Iskandar et al.31 menyatakan keluarga yang mempunyai pendapatan tinggi memiliki peluang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan rendah. Helliwell dan Putnam32 juga menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif secara tidak langsung dipengaruhi oleh tingkat pendidikan individu.

Sementara itu, Allendorf dan Ghimire33 menemukan bahwa pendidikan mempunyai hubungan yang kuat dan konsisten dengan kualitas pernikahan.

Pernikahan di usia muda juga berdampak pada ketidaksiapan keluarga dalam mengemban tugas untuk mengasuh anak.

Menurut Tsania,34 ibu yang menikah muda belum memiliki kesiapan dalam menjalankan fungsi pengasuhan. Keterbatasan informasi dan

29 Sunarti, E., Tati, Atat, S., Noorhaisma, R., & Lembayung D. P. Pengaruh tekanan ekonomi, dukungan sosial, kualitas pernikahan, pengasuhan, dan kecerdasaran emosi anak terhadap prestasi belajar anak. Media Gizi & Kel uarga, (2005).29 (1), hal. 34-40.

30 Conger, R. D., Conger, K. J., & Martin, M. J.Socioeconomic status, family processes, and indivisual development. Journal of Marriage and Family, (2010)72, hal.685-704

31 Iskandar, A., Hartoyo, Khomsan, A., & Sumarwan,U.Analisis praktek manajemen sumberdaya keluarga dan dampaknya terhadap kesejahateraan keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor (Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia (2007).

32 Helliwell, J. F., & Putnam, R.D Thle social context of well being. The Phil. Trans.

R. Soc. Lond. B, 359, (2004), hal. 1435-1446

33 Allendorf, K., & Ghlimire, D. (2012). Determinants of marital quality in an arranged marriage society. Researchl Reports. University of Michigan (USA)

34 Tsania, N. Karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak usia 3-5 tahun. Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia (2014).

pengetahuan, rendahnya sosialisasi serta kematangan usia diduga menjadi penyebab ketidaksiapan ibu muda dalam mengasuh anak. Padahal fungsi pengasuhan pada akhirnya akan berdampak pada kualitas anak.

Beberapa penelitian menemukan bahwa adanya hubungan antara kualitas pernikahan dengan lingkungan pengasuhan anak. Rizkillah, Sunarti, dan Herawati35 menunjukkan bahwa kualitas lingkungan pengasuhan dipengaruhi salah satunya adalah kualitas pernikahan.

Lai36 juga menemukan bahwa kualitas pernikahan dari pasangan suami dan istri dan kualitas lingkungan keluarga merupakan faktor yang akan menentukan perilaku anak.

Selanjutnya Rizkillah37 juga menemukan bahwa kualitas lingkungan pengasuhan juga dipengaruhi oleh kualitas pernikahan, pendidikan istri, dan besar keluarga.

Bahkan Puspitawati dan Setioningsih38 menemukan bahwa interaksi antara ayah dan anak akan berpengaruh positif terhadap kualitas pernikahan.

Kersh et al.39 juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi kualitas pernikahan dari pasangan suami dan istri adalah karakteristik anak dan dukungan sosial. Mengingat berbagai permasalahan yang dihadapi keluarga dengan pernikahan usia muda dan beberapa temuan dari penelitian terdahulu maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan kualitas lingkungan pengasuhan pada pasangan yang menikah di usia muda.

D. Hubungan antara kualitas pernikahan dan stabilitas rumah tangga Pernikahan yang berkualtas diantaranya pernikahan yang sudah cukup umur, berpendidikan dan mendapatkan restu dari orang tua. Batas usia perkawinan dalam perkembangan fikih klasik umumnya ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani yaitu tanda-tanda baligh,40seperti

35 Herawati, T. Manajemen sumberdaya keluarga dan ketahlanan keluarga peserta program pemberdayaan masyarakat di pedesaan, kasus di Kabupaten Bogor, (Disertasi).

Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia (2012).

36 Lai, C.S.Parental marital quality and family environment as predictor of delinquency amongst selected secondaryschool students in Malaysia. Britishl Journal of Arts and Social Sciences (2011), 2(2), hal.102-121

37 Rizkillah, R. Kualitas pernikahan dan lingkungan pengasuhlan pada keluarga dengan suami istri bekerja .Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia. (2014).

38 Puspitawati, H, & Setioningsih, S. S. Fungsi pengasuhan dan interaksi dalam keluarga terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga Tenaga Keja Wanita (TKW). Jurnal Ilmu Keluaga dan Konsumen(2011)., 4(1), hal. 11-20.

39 Kersh, J., Hedvat, T. T., Hauser-Cram, P., & Warfleld, M. E. The contribution of marital quality to the well-being of parents of children with developmental disabilities.

Journal of Intellectual Disability Researchl, (2006), 50(12), hal. 883-893.

40 Baligh adalah cukup umur. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahlasa Indonesia, cet. ke-3, ed. ke-3, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal. 96.

sempurnanya umur 15 tahun bagi pria dengan tanda-tanda ihtilam dan haid pada wanita umur 9 tahun.41

Terpenuhinya kriteria baligh ini, memungkinkan seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Baligh memang diidentikkan dengan kedewasaan,42 namun dalam praktiknya, tanda-tanda umum tersebut, juga dapat dipengaruhi lingkungan, geografis dan sebagainya.43

Dalam perkembangan lain, kriteria pubertas sebagai ukuran kedewasaan tidak selalu kaku, yang berarti bahwa jika pasangan menikah merupakan kebutuhan mendesak atau perwujudan dari metode sadd al-zâri'ah untuk menghindari kemungkinan mudharat lebih besar,44 maka hal itu dapat dilakukan demi kemaslahatan.

Mengenai undang-undang di Indonesia, ada peraturan umum kepada umur masalah perkawinan. Salah satu prinsip yang didukung oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan (selanjutnya ini disebut UPP) adalah kematangan pengantin perempuan. Kematangan dilaksanakan berkawin dengan had umur perkawinan. Diantaranya Pasal 7 ayat (1) UUP yang menyatakan bahwa pernikahan diperbolehkan jika seorang pria telah mencapai usia 19 dan wanita telah mencapai usia 16. Ini berarti bahwa, pada usia ini, pria dan wanita, diperkirakan telah mencapai usia minimum untuk menikah dengan segala permasalahannya.

Penentuan umur perkawinan terutamanya untuk kebaikan awam dan kebaikan pengantin perempuan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (1) Perkahwinan hanya dibenarkan apabila lelaki mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita yang telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Dalam surat penjelasan umum UUP Number 4 (d)45 yaitu prinsip pengantin harus tubuh matang jiwa raganya. realitas hukum ini jika dikaitkan dengan masalah populasi yang semakin kompleks. Hal ini untuk mencapai tujuan pernikahan adalah baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik, maka pernikahan dengan segala konsekuensinya harus diatur menurut survei demografi untuk menghindari pernikahan dini dan populasi peledakan. Mekanisme tersebut juga ditegaskan

41 Salim Bin Samir al Hadramy, Safinah an Najah, Surabaya: Daar al Abidin, tth., hal.

15-16.

42 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, cet. ke-3, Jakarta: Prenada Media, 2008, hal.

394.

43 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqh Jilid II Jakarta: Departemen Agama, 1985, hal.3-4.

44 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Lukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001, hal. 78.

45 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, Jakarta: Kemenag, 2010, hal. 37

dalam Pasal 6 ayat (2) UUP46 yang menyatakan bahwa seseorang yang belum mencapai usia 21 untuk menikah harus mendapatkan izin dari kedua orang tua.

Dalam Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam47(Selanjutnya KHI) disebut untuk kepentingan keluarga dan rumah tangga, pernikahan tidak harus menikah yang selesai usia yang ditentukan pada tahun 1983 muncul UUP pada Menteri Dalam Negeri instruksi nomor 27 1983 usia pernikahan.

Instruksi datang dalam mendukung perencanaan kependudukan dan keluarga dengan memberikan pernyataan yang mendukung keluarga dan rumah tangga, pernikahan harus dilakukan pengantin yang telah mencapai usia yang ditentukan dalam Pasal 7 UUP calon suami tua dan pengantin setidaknya 19 tahun sampai 16 tahun Kurangnya bahwa pernikahan anak adalah pernikahan dalam waktu kurang dari 20 tahun untuk wanita dan usia 25 untuk pria.

Bahkan periode ini mencerminkan hubungan dekat dengan masalah tersebut UUP dan KHI populasi. Pembatasan usia perkawinan didasarkan semata-mata sehingga kedua keluarga dapat memenuhi tujuan mulia pernikahan, mereka lan.48

Selain menghindari praktik pernikahan dini, tingkat kelahiran juga dapat diminimalkan sehingga program keluarga berencana nasional dapat dijalankan secara paralel dengan pelaksanaan peraturan perkawinan.

Wacana usia perkawinan di Indonesia, seperti disebutkan di atas, dianggap masih berkembang sebagai paradigma tinggi dewasa usia/hukum dalam literatur fiqh itu tidak sama dengan apa yang terkandung di UUP atau pengembangan masyarakat.

Sementara itu, jika peraturan mengenai usia minimum perkawinan dianggap sebagai salah satu sistem hukum, seperti yang disarankan oleh Friedmann, tumpang tindih antara ketiga sistem hukum tersebut saling terlibat dalam proses pelembagaan hukum, untuk mengetahui:

1. Struktur hukum (struktur hukum) mengenai isi dari standar/aturan hukum, 2. substansi hukum (substansi hukum) mengenai infrastruktur hukum dan

46 Pasal 6 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahlun hlarus mendapat izin kedua orang tua. Lihat juga term dewasa dalam, 1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: kategori anak-anak adalah orang yang masih di bawah usia 18 tahun, 2) Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dirumuskan kategori dewasa berumur 18 tahun, dan 3) Undang-undang Nomor 30 Tahlun 2004 tentang Jabatan Notaris, dinyatakan syarat dewasa berumur 18 tahun (atau sudah/pernah menikah).

47 Lihat Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI)

48 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2006, hal.11.

3. budaya hukum (budaya hukum) terkait perilaku taat dan masyarakat dan pemerintah sadar hukum.49

Oleh karena itu, tampaknya batas usia untuk menikah di bidang hukum positif berkaitan dengan substansi dan budaya hukum di masyarakat.Konteks kontemporer, persetujuan untuk menikah juga berubah sebagai dinamika masyarakat. Bukti ini adalah ide dari Keluarga Berencana (BKKBN seterusnya) dengan Program pematangan usia menikah Kependudukan dan Nasional (selanjutnya disebut sebagai PUP). PUP merupakan upaya untuk meningkatkan usia kawin pertama yang berusia setidaknya 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk laki-laki.50

Salah satu alasan untuk program PUP ini mengatakan bahwa musim berkembang biak di bawah 20 tahun dianjurkan untuk menunda perkawinan dan kehamilan. Dalam usia ini seorang remaja masih dianggap dalam proses fisik periode psikologis dan pertumbuhan, yang berakhir pada usia 20 tahun.

Alasan-alasan ini mendorong perempuan menikah dengan 20 tahun, di bawah ini yang dapat menyebabkan risiko morbiditas dan mortalitas selama kehamilan dan persalinan,51 dengan kata lain, mengancam hak-hak

Alasan-alasan ini mendorong perempuan menikah dengan 20 tahun, di bawah ini yang dapat menyebabkan risiko morbiditas dan mortalitas selama kehamilan dan persalinan,51 dengan kata lain, mengancam hak-hak

Dalam dokumen PENDIDIKAN PRANIKAH PERSPEKTIF AL-QUR AN (Halaman 51-66)