• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daf’ul Mafâsid

Dalam dokumen PENDIDIKAN PRANIKAH PERSPEKTIF AL-QUR AN (Halaman 88-91)

DISKURSUS/KAJIAN TEORITIS PENDIDIKAN PRANIKAH

G. Kaidah ushul fiqih dalam pembatasan usia nikah

2. Daf’ul Mafâsid

Para Pakar ushul fiqih pada zaman dahulu telah merumuskan kaidah-kaidah dalam menghadapi praktik fiqih yang diambil dari teks nash al-Quran dan Sunnah, dengan adanya rumusan dengan konsep pemikiran yang berbeda-beda maka tak heran kaidah yang ditimbulkan akan berbeda-beda, tergantung kondisi tempat dan waktu, Ibn Qayyim Al Jauziyah menyebutkan dalam kitabnya „Ilamul Muwaqqi‟in „an Rabb „Alamin bahwa;

“Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan adat kebisaaan”.126

Hal ini lah yang menjadi pertimbang dalam pemikiran para Pakar dalam merumusakan kaidah fiqih yang bersifat dinamis. Kaidah fiqih sangatlah dinamis dalam teorinya banyak kaidah fiqih yang dirumuskan secara terperinci sehingga terbentuklah pemetaan dimana yang bersifat kaidah Ashal, dan mana yang berisfat furu‟iyyah.

Kaidah daf‟ul mafâsid muqaddamun alâ jalbil mashâlih127ini, menurut harus diadakan kajian lebih mendalam, karena kaidah ini seakan-akan membatasi suatu hukum, seakan-akan ketika dalam suatu kasus terdapat kemafsadatan dan kemaslahatan, maka lebih baik ditinggalkan daripada mengambil kemaslahatan tersebut. Dan yang membuat Penulis ingin mengkaji kaidah fiqih ini adalah sebatas mana implikasi dan dampak dari penerapan kaidah ini dalam fiqih madzhab. Karena dalam era modern ini dengan kecanggihan teknologi mungkin dalam kasus diatas mungkin akan bisa kita ambil maslahatnya lalu kita minimalisir kemafsadatannya.

Maka dari sinilah Penulis mendapatkan keinginan untuk membuat tulisan untuk mengkaji lebih teoritis dan rinci dalam implikasi dan

124 Hamdan, Transformasi Hukum Perkawinan Islam ke dalam Perundang-undangan di Indonesia, Bandung: UIN SGD Bandung, 2011.

125Aulia Nurpratiwi, Pengaruh Kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan pada Dewasa Awal, skripsi, Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 2010.

126 Ibn Qayyim Al Jauzyah, „Ilamul Muwaqqi‟in „An Rabb „Alamin Beirut: Dar Al Kutub „Ilmiah. 1991, Juz II, hal 38.

127 Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 43.

dampaknya Dari permasalahan diatas yang perlu dikaji adalah sebatas mana kaidah dâr al-mafâsid muqaddamun „alâ jalbi al-mashâlih berdampak dalam praktik fiqih baik dalam bidang ibadah, muamalah, siyasah, Jinayah dan munakahat karena kaidah fiqih haruslah statis dan dinamis.

Didalam Ilmu Filsafat ilmu setiap disiplin ilmu pasti berkaita dengan tiga aspek yaitu; aspek ontologis, epistiomologis dan aksiologis. Ontologis maksudnya ialah mengkaji tentang hakikat ilmu sebenarnya.128 Epistimologis berbicara ilmu yang didalamnya Mengkaji mengenai proses penyusunan pengetahuan yang benar.129 Sedangkan aksiologis adalah ilmu yang mengkaji tentang hakikat nilai ilmu itu sendiri.130 Dengan tiga aspek inilah Penulis akan menganalisis kaidah dar‟u al mafâsid muqaddamun „alâ jalbi al mashâlih.

Penulis mengambil mengingat karena kaidah inilah kaidah yang dipegang dan menjadi rujukan utama dalam setiap perkara yang ada, sehingga dari kaidah ini akan melahirkan kaidah-kaidah yang lain yang seperti Penulis telah sebutkan sebelumnya. Nantinya kaidah ini yang akan menajadi patokan Penulis ketika memberikan penjelasan batasan mengenai implikasi kaidah dar‟u al mafâsid muqaddamun „alâ jalbi al mashâlih.

Sehingga akan terlihat titik terak substansi dan nilai-nilai yang terdapat didalamnya, serta relevansi pengamalan kaidah ini terhadap suatu kasus hukum. Pengertian Jalbu al mashâlih wadaf‟u al mafâsid maksudnya ialah bahwa semua perkara yang ada tidak terlepas dari dua unsur, yaitu unsur kemaslahatan dan unsur kemafsadatan. Ada yang hanya mengandung unsur kemafasadatan saja, ada pula yang hanya mengandung unsur kemafasadatan saja, atau bahkan mengandung dua-duanya, walaupun nanti pada akhirnya akan terjadi persentase apakah lebih besar unsur kemaslahatannya dari pada kemafsadatannya ataupun sebaliknya.

Maslahat maksudnya hal yang membawa kepada tujuan yang sesuai dengan tujuan dan konsep syariat atau Maqâsid As-Syari‟ah yaitu Hifz ad-dîn (Memelihara keberagamaan), Hifz an-Nafs (memelihara jiwa), Hifz „Aql (memelihara akal), Hifz Mâl (memelihara harta), Hifz Nasl (memelihara keturunan). Sedangkan maksud dari Kemadharatan adalah sebaliknya. Begitu juga dalam pernikahan usia dini ketika banyak kemadharatannya maka harus ditinggalkan.

Kaidah ini berlaku dalam segala permasalahan yang didalamnya terdapat percampuran unsur mashlahah dan mafsadah. Jadi bila mashlahah dan

128 Abdullah dan Jalaludin, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998, hal. 69.

129 Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuahl Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, Cet X, hal. 105.

130 Louis. O kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, Cet V, hal. 32.

mafsadah berkumpul maka yang lebih diutamakan adalah menolak mafsadah, sebab hal-hal yang dilarang dan membahayakan lebih utama disangkal, dari pada berusaha untuk meraih kebaikan dengan mengerjakan perintah-perintah agama, sedangkan disisi lain membiarkan terjadinya kerusakan. Hal ini sesuai hadits riwayat Al-Nasâ‟i dan Ibnu Majah yang artinya ‚jika aku perintahkan kamu sekalian akan satu perkara, maka kerjakanlah ia semampumu, dan jikalau aku melarang suatu hal, maka jauhilah ia.131

Demikian disyaratkan adanya kesanggupan dalam menjalankan perintah, sedang dalam meninggalkan perintah tidak disyaratkan, hal menunjukkan tuntutan meninggalkan larangan lebih kuat dari pada tuntutan

menjalankan perintah.132 Mashlahahal-Mursalah disebut juga mashlahah yang mutlak karena tidak ada dalil yang mengakui keabsahan atau kebatalannya. Jadi pembentukan hukum dengan cara mashlahah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudaratan dan kerusakan bagi manusia.133

Adapun sebagian kemaslahatan dan kemafsadatan dunia dapat kita ketahui dengan akal sehat, dengan pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan manusia. Sedangkan kemaslahatan dan kemafsadatan dunia dan akhirat bisa diketahui kecuali dengan shari‟ah, yaitu dengan dalil shara‟. Tentang ukuran yang lebih konkrit dari permasalahan ini, maka persyaratan permasalahan tersebut adalah:

a. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqâshid al-sharî„ah, semangat ajaran, dalil-dalil kulli dan dalil qat‟i.

b. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemashlahatan harus berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindar mudharat.

c. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan yang diluar batas, dalam artian kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.

d. Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan sebagian kecil masyarakat.

Cara untuk menuju kemaslahatan juga bertingkat atau berjenjang sesuai dengan tujuan dan kemaslahatan. Demikian pula sebaliknya wasilah yang menuju kepada mafsadah juga berjenjang disesuaikan dengan kemafsadatannya.134 Kekuatan mashlahah dapat dilihat dari segi tujuan shara‟

131 Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqih: Telaah Kaidah Fiqih Konseptual Buku 1, Surabaya: Khalista, 2006, hal. 237-238

132 Imam Usbikin,qawâ‟id Al-Fiqhiyah, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, hal. 75.

133 Kamal Muchltar, Usul fiqh Jilid 1, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995, hal.143.

134A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2011, hal. 29-30.

dalam menetapkan hukum, yang berkaitan-secara langsung atau tidak langsung dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia, yaitu: agama, jiwa, akal, keturuanan, dan harta Juga dapat dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut.135

Dalam dokumen PENDIDIKAN PRANIKAH PERSPEKTIF AL-QUR AN (Halaman 88-91)