• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mashlahah Mursalah terdiri dari dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah

Dalam dokumen PENDIDIKAN PRANIKAH PERSPEKTIF AL-QUR AN (Halaman 77-88)

DISKURSUS/KAJIAN TEORITIS PENDIDIKAN PRANIKAH

G. Kaidah ushul fiqih dalam pembatasan usia nikah

1. Mashlahah Mursalah terdiri dari dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah

Kata mashlahah menurut bahasa berarti manfaat, dan kata mursalah berarti lepas. Secara etimologis, kata َ ةَ حَ لَ صَ مَ اَ ل jamaknya ََ حَ لاَ صَ مَ اَ ل berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat, dan ia merupakan lawan dari keburukan dan di dalam bahasa Arab sering pula disebut denganَ باَ وَ صلاَ وَ رَ يَ خَ اَ ل yaitu yang baik dan yang benar.102 Secara bahasa, kata Mashlahah berasal dari bahasa Arab dan telah dibakukan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata“maslahat”, yang berarti mendatangkan kebaikan atau yangmembawa kemanfaatan dan atau menolak kerusakan. Menurut bahasa, kata mashlahah berasal dari kata shaluha-yashluhu-shalāhan; حلص – حلصي – احلاص, artinya sesuatu yang baik (good),damai (peace, conciliation), patut (proper), dan bermanfaat(useful), dan kepentingan (benefit, interesti). Sedang kata Mursalah merupakan isim berbentuk maf‟ul (bermakna pasif) yang berasal dari kata arsala-yursilu-irsālan; لسرأ – لسري – َالاسرإ artinya terlepas bebas, tidak ada dalil agama (Al-Qur‟an dan Al-Hadits) yang membolehkan atau yang melarangnya.

102 Romli SA, Pengantar Ilmu Usul Fiqih Metodologi Penetapan Hukum Islam, Depok: Kencana, 2017, hal. 188.

Pengertian lain maslahah dalam bahasa arab adalah perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam arti yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan (kesenangan), atau dalam arti menolak natau menghindarkan seperti menolak kerusakan.103 Sedang kata mursalah artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat.104

Dalam qawâ‟id al-fiqiyah, maslahah sendiri juga memiliki cabangnya, yakni:

“Kebijaksanaan Imam/kepala Negara terhadap rakyat itu harus dihubungkan dengan kemalahatan”

Kaidah ini memberikan pengertian, bahwa setiap tindakan atau kebijaksanaan para pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan.105

Syarat-syarat Mashlahah yang harus diperhatikan bila menggunakan Mashlahah Mursalah dalam menetapkan hukum:106

a. Kemaslahatan itu hendaknya kemaslahatan yang memang tidak terdapat dalil yang menolaknya.

Dengan kata lain, jika terdapat dalil yang menolaknya tidak dapat diamalkan. Hakikat mursalah itu sama sekali tidak ada dalam nash, baik yang menolak maupun yang mengakuinya, tetapi terdapat kemaslahatan yang dihajatkan oleh manusia yang keberadaannya sejalan dengan tujuan syara‟. dan hendaklah Mashlahah itu menyangkut hal-hal yang bersifat darûri. Maksudnya, disyaratkan bahwa mashlahah itu untuk memelihara persoalan yang darûri seperti berkaitan dengan terpeliharanya agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal.

b. Mashlahah mursalah itu hendaklah mashlahah yang dapat dipastikan bukan hal yang samar-samar atau perkiraan dan rekayasa saja. Mashlahah Mursalah itu bukan berdasarkan keinginan saja, karena hal yang demikian tidak dapat diamalkan.

c. Mashlahah mursalah hendaklah maslahat yang bersifat umum, yang dimaksud dengan mashlahah yang berlaku umum ini adalah kemaslahatan

103 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Usul Fikih, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005, hal.

200.

104 Muhlammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemahl dan Penafsir al-Qur‟an, 1973, hal. 219.

105 Imam Musbikin, Qawâ‟id al Fiqhliyyah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 124.

106 Imam Musbikin, Qawâ‟id al Fiqhliyyahl..., hal. 125.

yang memang terkait dengan kepentingan orang banyak. Mashlahah Mursalah itu hendaklah dapat merealisasi kepentingan orang banyak dan menghindari mereka dari kerusakan.

d. Selain pada sumber yang sama disebutkan ada syarat lain dari mashlahah mursalah yaitu hendaklah kemaslahatan yang logis dan cocok dengan akal.

Mashlahah Mursalah tersebut hendaklah maslahat yang esensinya logis yang didasarkan pada sifat-sifat yang sesuai dan rasional.

Maksudnya, secara substansial mashlahah itu sejalan dan dapat diterima oleh akal.

e. Mashlahah mursalah hendaklah Mashlahah yang disepakati oleh orang-orang Islam tentang keberadaanya dan terbukti dipraktikkan dalam kehidupan mereka. Mashlahah tersebut hendaklah disepakati (tidak ada pertentangan) atas keberadaannya di kalangan umat Islam.

Macam-macam Mashlahah Mursalah dilihat dari segi pembagian, maslahah dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:

Mashlahah dari segi tingkatannyaialah berkaitan dengan kepentingan yang menjadi hajat hidup manusia. Romli mengutip Mustafa Said Al-Khind pada bukunya yang berjudul Athar Al-Ikhtilaf Fi Al-Qawâid Al-Usuliyah Fi Ikhtilaf Al-Fuqaha mashlahah dilihat dari segi tingkatannya ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni:107

a. Mashlahah darûriyyah

Yang disebut dengan mashlahah pada tingkatan ini ialah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika ia luput dalam kehidupan manusia, maka mengakibakan rusaknya tatanan kehidupan manusia.

Mashlahah darûriyyah itu adalah menyangkut kepentingan asasi yang sangat bernilai, ia menyangkut persoalan-persoalan untuk terciptanya kelangsungan hidup manusia, jika ia terganggu maka cederalah dan terganggulah kelangsungan hidup yang akan mengakibatkan timulnya kerusakan (fitnah) dan bencana yang besar secara luas.

Mashlahah darûriyyah dishariatkan untuk melindungi dan menjamin kelestarian agama (hifz al-din), melindungi jiwa (hifz al-nafs), melindungi akal (hifz al-aql), melindungi keturunan (hifz al-nasl), dan melindungi harta (hifz al-mal). Untuk melidungi agama Allah mensyariatkan bermacam-macam ibadah, mengharamkan murtad, melarang memakai sesembahan selain Allah dan lain-lain. Untuk melindungi jiwa, Allah melarang pembunuhan, melarang segala tindakan yang membahayakn jiwa, mensyariakan pernikahan, mewajibkan mencari rizki dan lain-lain.

Untuk melindungi akal, Allah mengharamkan meminum minuman keras,

107 Imam Musbikin, Qawâ‟id al Fiqhliyyah..., hal. 126.

mewajibkan menuntut ilmu dan lain-lain. Untuk melidungi keturunan, Allah mesyariatkan pernikahan, perzinahan dan lain-lain. Sedang untuk melindungi harta, Allah mengharamkan pencurian, riba, judi, dan lain-lain.108

b. Mashlahah Hâjiyyah

Yang dimaksud dengan mashlahah hâjiyyah jenis ini ialah persoalan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. Dengan kata lain, mashlahah ini lebih rendah tingkatannya dari mashlahah darûriyyah. Dalam rangka merealisasikan mashlahah hâjiyyah ini Allah mensyariatkan berbagai transaksi, sepert jual beli, sewa menyewa, dan memberikan beberapa keringanan (rukhsah), seperti kebolehan menjamak dan menqashar shalat bagi musafir, kebolehan menunda pelaksanaan berpuasa ramadhan bagi orang yang sedang hamil, menyusui dan sakit, seerta tidak diwajibkannya shalat lima waku bagi orang yang sedang haid dan nifas.

c. Mashlahah Tahsiniyyah

Mashlahah ini sering disebut dengan mashlahah takmiliah, yang dimaksud dengan mashlahah jenis ini ialah sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Dengan kata lain, mashlahah ini lebih rendah tingkatannya dari mashlahah darûriyyah.

Dalam rangka merealisasikan mashlahah hâjiyyah ini Allah mensyariatkan berbagai transaksi, sepert jual beli, sewa menyewa, dan memberikan beberapa keringanan (rukhsah), seperti kebolehan menjamak dan menqashar shalat bagi musafir, kebolehan menunda pelaksanaan berpuasa ramadhan bagi orang yang sedang hamil, menyusui dan sakit, seerta tidak diwajibkannya shalat lima waku bagi orang yang sedang haid dan nifas.

Kesemua mashlahah yang dikategorikan kepada mashlahah tahsiniyyah ini, sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan.

Sekiranya tidak dapat diwujudkan dan dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan dan merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan.109

Dari pembagian mashlahah dilihat dari segit tingkatannya ini, ternyata secara substansial mashlahah dapat dibedakan, tentu saja dalam praktiknya dan usaha untuk mewujudkannya dalam kehidupan ini bisa saja terjadi benturan diantara ketiga bentuk mashlahah yang disebutkan tadi.

Jika terjadi benturan dua kemaslahatan seperti antara mashlahah darûriyyah dengan mashlahah hâjiyyah, maka mashlahah darûriyyah harus didahulukan. Sebab mashlahah darûriyyah menyangkut sektor

108 Imam Musbikin, Qawâ‟id al Fiqhliyyah..., hal.191-198.

109 Romli SA, Pengantar Ilmu Usul Fiqihl..., hal. 194.

penting yang paling asasi dalam kehidupan (َ ةاَ يَ حَ لَ لاَاماَ ظَ ن) yang tidak bisa ditawar-tawar. Jika ia terganggu dan tidak dilindungi, maka akan mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia. Berbeda hal nya dengan mashlahah hâjiyyah, ia memang penting dan dibutuhkan dan harus dipelihara, tetapi jika tidak dapat mewujudkan dalam kehidupan, hanya menimbulkan kesulitan saja bagi manusia dan tidak sampai pada rusaknya kehidupan.

Demikian juga halnya antara mashlahah hâjiyyah dengan mashlahah tahsiniyyah, maka yang didahulukan adalah mashlahah hajiyyah. Sebab, mashlahah hajiyyah menempati posisi yang lebih tinggi daripada tahsiniyyah. mashlahah tahsiniyyah sifatnya untuk kesempurnaan dan pelengkap saja serta tidak dapat diwujudkan.

Maslahah deri segi eksistensinya terbagi tiga bagian yaitu ; (dibuang nmr 2 nya, tambahan kata terbagi tiga bagian)

a. Mashlahah Mu’tabarah

Yang dimaksud dengan mashlahah jenis ini ialah kemaslahatan yang terdapat nash secara tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya.

Dengan kata lain, seperti disebutkan oleh Muhammad al Said Ali Abd Rabuh dalam bukunya yang berjudul Buhûs Fi Al-Adillah Al-Mukhtalaf Fiha Inda Usuliyîn yang dikutip Romli yaitu kemaslahatan yang diakui oleh syari dan terdapat dalil yang jelas untuk memelihara dan melindunginya. Mashlahah mu‟tabarah adalah mashlahah yang diakui oleh syari keberadaannya dan terdapat dalil (nash) yang menyatakan untuk melindungi dan memeliharanya.

Jika syari menyebutkan dalam nash tentang hukum suatu peristiwa dan menyebutkan nilai mashlahah yang dikandungnya, maka hal tersebut disebut dengan mashlahah mu‟tabarah, yang termasuk ke dalam semua mashlahah ini ialah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan, dan harta benda. Seluruh ulama sepakat bahwa semua mashlahah yang dikategorikan mashlahah mu‟tabarah wajib ditegakkan dala kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.

b. Mashlahah Al-Mulghah

Yang dimaksud dengan mashlahah ini ialah mashlahah yang berlawanan dengan ketentuan nash, dengan kata lain mashlahah yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas. Contoh yang sering dirujuk dan ditampilkan oleh ulama usul ialah menyamakan pembagian harta warisan antara seorang perempuan dan saudara lakinya. Penyamaan antara seorang perempuan dan saudara laki-laki tentang warisan memang terlihat ada kemaslahatannya, tetapi berlawanan dengan ketentuan dalil nash yang jelas dan terperinci, penyamaan anak laki-laki dan anak perempuan dengan alasan kemaslahatan seperti inilah

yang disebut dengan Mashlahah mulghah, karena bertentangan dengan nas yang sarih.110

c. Mashlahah Mursalah

Yang dimaksud mashlahah mursalah ini ialah mashlahah yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang mengakuinya, maupun menolaknya, tetap keberadaannya sejalan dengan tujuan syariat. Secara lebih tegas mashlahah mursalah ini termasuk jenis mashlahah yang didiamkan oleh nash. Romli mengutip Abdul Karim Zaidan menyebutkan yang dimaksud dengan Mashlahah mursalah ialah: mashlahah yang tidak disebutkan oleh nash baik penolakannya maupun pengakuannya.

Dengan demikian, mashlahah mursalah ini merupakan mashlahah yang sejalan dengan tujuan syara‟ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudaratan. Diakui hanya dalam kenyataannya jenis mashlahah ini terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Islam yang dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat.

Menurut Jalaluddin Abdurrahman yang dikutip Romli,111 bahwa mashlahah mursalah ini dapat dibedakan menjadi dua macam:

1) Mashlahah yang pada dasarnya secara umum sejalan dan sesuai dengan apa yang dibawa oleh syariat. Mashlahah yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh syari‟ dan secara umum sejalan dengan cara (metode) yang telah digariskan oleh Allah. Dengan kata lain, kategori mashlahah jenis ini berkaitan dengan Maqasid Al-Syari‟ah, yaitu agar terwujudnya tujuan syaria yang bersifat darûri (pokok).

2) Mashlahah yang sifatnya samar-samar dan sangat dibutuhkan kesungguhan dan kejelian para mujtahid untuk merealisasinya dalam kehidupan.

Mengenai batas umur perkawinan, Islam memberikan baasan yang sangat elastis sehingga bisa berlaku bagi semua tempat danmasa. Diantara ayat Alqur‟an yang memberikan batasan umur perkawinan yang elastis adalah QS Annisa/4: 6:

ًِْْٓ َلِْا آُْٔػَذْداَف اًدْشُر ًٌُِِّْْٓ ًُْخْسَنَٰا ْنِاَف َحَكَِّلنا أُغَيَة اَذِا ٓ ُّتَّٰخ َٰمَٰٰخَ ْلْا أُيَخْباَو ًَُْٓلأَْمَا

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.

110 Romli SA, Pengantar Ilmu Usul Fiqih..., hal. 196.

111 Romli SA, Pengantar Ilmu Usul Fiqih..., hal. 197

Kata bulugh al-nikah yang terdapat dalam ayat 6 surat An-Nisa berarti sampainya seseorang pada umur menikah, yakni sampai bermimpi. Pada umur ini seseorang telah bisa melahirkan anak dan telah menurunkan keturunan, sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Seperti ibadah dan muamalah serta diterapkannya hudûd, rushd adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasharruf serta mendatangkan kebaikan. Hal ini merupakan bukti kesempurnaan akalnya. Bulûgh al-nikah ditandai dengan al-rushd atau kecerdasan dan kecerdikan.

Nabi Muhammad saw melangsungkan akad nikah dengan Aisyah ketika ia baru berusia 6 (enam) tahun, dan dalam umur 9 (sembilan) tahun telah digaulinya. Hal ini diakui sendiri oleh Aisya ummi al Mukminin dalam hadits:

ث َشِئ َعَ وَع ن َ

ِبلنا أ لى َص ًِْي َلَع للها

ملَسَو ِهَواٍََجوَز ح ُجية

ج ِس َيِنِس جَلِخد ُ

أَو

)ىراخلبا هاور( َيِنِس ِعسِت ُجية ِهَو

112

Dari Aisyah bahwa Nabi saw menikahinya saat dia berusia enam tahun dan bercampur dengannya saa dia berusia sembilan tahun (HR Al Bukhari ).

Hadits tentang usia Aisyah saat dinikahi oleh Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim hanya bersifat khabariyah atau kabar belaka tentang perkawinan Nabi. Dalam hadis tidak dijumpai khithab (pernyataan), baik berupa khitab al thalab yang mesti diikuti ataupun khitab al-tark supaya ditinggalkan. Dengan demikian, pernyataan usia yang ada dalam hadits diatas tidak dapat disimpulkan sebagai pernyataan batas usia terendah kebolehan melangsungkan pernikahan bagi kaum perempuan dan kaum pria. Karena batas usia untuk menikah dapat dianggap suatu rahmat.

Menurut fukaha, kedewasaan itu dapat ditetapkan berdasarkan tanda-tanda fisik yang menunjukkan bahwa seseorang itu telah mampu untuk menikah, seperti telah mengalami haid bagi wanita dan mengalami mimpi seksual bagi laki-laki, karena pengalaman-pengalaman tersebut menunjukkan bahwa mereka telah mampu menikah dalam pengertian fisik. Mashlahah mursalah adalah salah satu metode ijtihad yang menjadi sumber dalil dalam khazanah hukum Islam, metode ini berusaha menetapkan hukum syara‟ terhadap suatu kasus hukum atas dasar kemaslahatan yang selaras dengan tujuan syari‟at, tetapi secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash dalam mengakui maupun menolaknya.

112 Abi „Abdillah Muhlammad bin Ismail Al bukhary, Shahih- Albukhary, t.tp, Syirkah Nur Asia, t.th. hal. 249.

Sedangkan apabila dikerjakan maka dipastikan membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan maka dipastikan mengakibatkan kemafsadatan yang bersifat umum pula.113

Yang dimaksud perkawinan usia muda dalam Inpres Mendagri No. 27 tahun 1983 adalah perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Dan yang dimaksud perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah 19 tahun bagi pria.114

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, atau yang masih dalam kandungan”. Dan pasal 26 ayat (c) 3 menyebutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab orang tua adalah mencegah perkawinan pada usia anak. Maka jika ada terjadi perkawinan di bawah usia 18, orang tua yang menikahkannya melanggar ketentuan ini, karena dianggap tidak melindungi kepentingan anak.

Tahun 2008 kita mendengar berita di berbagai media tentang kyai kaya bernama Pujiono Cahyo Widianto (Syekh Puji) seorang laki-laki kelahiran 4 Agustus 1965 (berusia 43 tahun) pemilik Perusahaan Pengrajin Kuningan PT.

Sinar Lendoh Lestari juga sebagai pemilik Pondok Pesantren Miftahul Jannah, telah menikahi seorang gadis di bawah umur yaitu Lutfiana Ulfa yang berusia 12 tahun. Status Lutfiana Ulfa yang dinikahinya adalah istri ke dua dari Syekh Puji, pernikahanya telah di langsungkan pada tanggal 8 Agustus 2008 yang dilangsungkan secara agama. Dasar agama yang dikemukakan oleh Syekh Puji untuk menikahi Ulfa adalah dikarenakan Nabi Muhammad dahulu juga menikahi Aisyah seorang anak berusia 6 tahun.

Pernikahan Syekh Puji yang tidak wajar tersebut mendapat kecaman dari banyak pihak serta di anggap telah melanggar dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Perkawinan serta Undang-Undang Perlindungan Anak.

Karena tindakan tersebut merupakan tindakan melawan hukum.115

Dilihat dari variabel kepentingan pelaku perkawinan, pelaku perkawinan yang matang secara fisik dan mental (emosional) diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan perkawinan. Hasil penelitian menemukan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan kematangan emosi dan usia saat menikah secara bersama. Mashlahah mursalah adalah salah satu metode ijtihad yang

113 Djazuli dan I Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 200, hal. 172. Lihat juga Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV Pustaka Setia, 1998 Cet. IV, hal. 119.

114 Dirjen Bimas Islam & Haji, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, Jakarta; DEPAG RI, 2001, hal. 124.

115 Sherlin Darondos, Perkawinan Anak di Bawah Umur dan Akibat Hukumnya, Journal Lex et Societaris, Vol. II/No. 4/Mei/2004, http://ejournal.undiksha.ac.id /index. php/

JJ PP/ article / view/403, hal. 55-57.

menjadi sumber dalil dalam khazanah hukum Islam, metode ini berusaha menetapkan hukum syara‟ terhadap suatu kasus hukum atas dasar kemaslahatan yang selaras dengan tujuan syari‟at, tetapi secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash dalam mengakui maupun menolaknya. Sedangkan apabila dikerjakan maka dipastikan membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan maka dipastikan mengakibatkan kemafsadatan yang bersifat umum pula.116

Fisik dan psikis pasangan yang akan menikah tentunya akan lebih siap dan matang ketika telah sampai pada saat usia tertentu. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa kedewasaan seseorang akan datang dengan sendirinya pada usia tertentu.

Tingkat kematangan fisik dan psikis pada setiap manusia mungkin berbeda-beda bergantung kepada beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti faktor keturunan, lingkungan, pendidikan dan lain-lain. Artinya, pada usia yang sama belum tentu setiap orang memiliki kematangan fisik, mental dan psikologis yang sama. Jika dihubungkan dengan kesiapan seseorang memasuki jenjang pernikahan, maka pembatasan usia ideal untuk menikah menjadi hal yang penting demi tercapainya tujuan nikah itu sendiri.

Kemudian jika dilihat dari variabel kepentingan negara, pernikahan di bawah umur dan perkawinan usia muda memicu terjadinya ledakan populasi penduduk yang berdampak negatif bagi kehidupan ekonomi dan sosial suatu negara. Menurut Erika Field dari Harvard University, ada hubungan kausalitas antara pernikahan usia dini dengan angka kemisikinan, keterbelakangan sosial dan kondisi fisik anak-anak gadis yang tidak sehat.

Mereka hanya mengecap pendidikan rendah, rendah status sosial dalam masyarakat, masa kehamilan yang kurang terkontrol, tingginya angka kematian ibu, dan kekerasan dalam rumah tangga.117

Menurut Ketua Umum PBNU Prof. Dr. Said Aqil Siradj, batasan minimal usia perempuan menikah 16 tahun sudah tidak relevan karena beresiko tinggi. Ia pun mengeluhkan perbedaan batasan usia pernikahan bagi perempuan di dalam hukum negara kita. Undang-Undang Perkawinan menyebutkan batasan minimal 16 tahun, sedangkan Undang-Undang

116Djazuli dan I Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 200, hal. 172. Lihat juga Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV Pustaka Setia, 1998 Cet. IV, hal. 119.

117Pokja analis dampak sosial ekonomi terhadap kependudukan: Pernikahan Dini pada beberapa Provinsi di Indonesia: Dampak Overpopulation, Akar Masalah dan Peran Kelembagaan di Daerah, karya Pokja analis dampak sosial ekonomi terhladap kependudukan BKKBN 2012, hal. 13.

Perlindungan Anak menetapkan 18 tahun dan BKKBN menyarankan usia menikah pertama bagi perempuan 21 tahun.118

Kritik pertama di atas menginginkan batas usia nikah dinaikkan.

Sementara itu pergeseran moral sedang terjadi pada generasi muda jaman sekarang. Mereka dapat dengan mudah mengakses informasi tentang seks dan tayangan porno melalui berbagai media (terutama internet Personal Computer dan internet pada telepon seluler). Tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi tersebut menjadi “panduan pengantar seks” dan bahkan merangsang keingintahuan anak-anak usia sekolah yang mulai menginjak masa pubertas untuk mengeksplorasi organ seks mereka sebelum waktunya.

Kemudian didukung dengan maraknya alat komunikasi seluler dan sosial network mereka lebih mudah berinteraksi satu sama lain tanpa kontrol orang tua. Maka tidaklah heran jika semua itu memicu meningkatnya kasus hubungan seks di luar nikah, hamil di luar nikah, abortus dan Married By Accident (MBA) di kalangan remaja yang sudah sangat memprihatinkan.

Lebih ironisnya lagi, menjelang peringatan Hari Aids sedunia tahun 2013 ada yang menganjurkan seks bebas (zina) daripada menganjurkan pernikahan dini.119 Kritik yang diajukan pada paragraph ini justeru mengisyaratkan batas usia nikah harus diturunkan. Penelitian tentang regulasi perkawinan di Indonesia dan hubungannya dengan hukum Islam telah dilakukan oleh Hamdan, berupa jurnal yang berjudul “Transformasi Hukum Perkawinan Islam ke dalam Perundang-undangan di Indonesia”.

Kesimpulannya, dasar utama umat Islam untuk mengajukan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan Islam ke dalam bentuk undang-undang sangat terkait dengan pemikiran bahwa hukum perkawinan Islam adalah bagian dari hukum Islam yang bersumber dari wahyu Allah. Realitas umat Islam yang mayoritas dan landasan konstitusional negara Indonesia sangat menjamin dan memungkinkan adanya legislasi hukum perkawinan Islam menjadi undang-undang.120

Dan juga sebuah tulisan berjudul “Implikasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terhadap Kesadaran Pencatatan Perkawinan di Cirebon: Studi kasus di KUA Kota Cirebon”.

Kesimpulannya, masih kurangnya kesadaran msyarakat dalam mencatatkan pernikahannya di KUA se-Kota Cirebon dengan dipengaruhi oleh faktor

Kesimpulannya, masih kurangnya kesadaran msyarakat dalam mencatatkan pernikahannya di KUA se-Kota Cirebon dengan dipengaruhi oleh faktor

Dalam dokumen PENDIDIKAN PRANIKAH PERSPEKTIF AL-QUR AN (Halaman 77-88)