• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pernikahan bagi pasangan dengan beda usia jauh

Dalam dokumen PENDIDIKAN PRANIKAH PERSPEKTIF AL-QUR AN (Halaman 66-71)

DISKURSUS/KAJIAN TEORITIS PENDIDIKAN PRANIKAH

E. Pernikahan bagi pasangan dengan beda usia jauh

Salah satu aspek yuridis dari perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan (UUP) adalah mengenai usia para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Usia merupakan salah satu syarat yang harus diperhatikan dalam melaksanakan perkawinan. Secara fisik dan psikis calon suami dan istri harus matang untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hal ini UUP tidak menyatakan masalah perbedaan usia seseorang untuk menikah akan tetapi di sini hanya menyatakan masalah usia minimal seseorang untuk menikah, sebagaimana yang terdapat dalam dalam pasat 7 ayat (1) bahwa usia perkawinan calon mempelai laki-laki berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun,6 walaupun baru-baru ketentuan ini sudah mengalami perubahan pasca disahkannya UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dimana dalam redaksinya disebutkan bhwa “perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah 19 (sembilan belas tahun). 72 Oleh sebab itu, sebelum ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) UUP ini mengalami perubahan (pria umur 19 tahun dan wanita 16 tahun) seolah-olah memberikan gambaran bahwa dalam interpretasinya jarak usia ideal menurut UUP untuk melangsungkan perkawinan antara pria dan wanita tidak terlalu jauh (selisih 3 tahun).

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menganjurkan usia ideal untuk melangsungkan pernikahan antara pria dan wanita, yaitu bagi wanita berumur 21 tahun dan bagi pria berumur 25 tahun (selisihnya 4 tahun). Sedangkan usia ideal perkawinan perspektif maqâshid syarî‟ah adalah bagi perempuan 20 tahun dan dan bagi laki-laki 25 tahun (selisih 5 tahun), karena pada usia ini dianggap telah mampu merealisasikan tujuan-tujuan pensyariatan pernikahan maqâshid syarî‟ah seperti, menciptakan keluarga yang sakînah mawaddah warahmah, menjaga garis

70 Selo Soemarjan, Sosisologi Suatu Pengantar, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1962, hal. 127.

71 Subino dkk, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, Yogyakarta, 1994, hal.

8-1.

72 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

keturunan, menjaga pola hubungan keluarga, menjaga keberagamaan dan dipandang siap dalam hal aspek ekonomi, medis, psikologis, sosial, agama.73 Perlu ditegaskan di awal, bahwa ketentuan tersebut di atas (UUP, BKKBN dan maqâshid syarî‟ah) tidak dimaksudkan untuk menentukan selisih usia antar suami-istri, tetapi lebih kepada batas usia minimum yang direkomendasikan. Namun dalam penelitian ini, penulis ingin mencoba meneliti apakah kemudian perbedaan usia antara suami istri yang terpaut jauh akan mempengaruhi keharmonisan rumah tangga mereka? karena dalam banyak kebudayaan, khususnya di Indonesia pernikahan dengan selisih usia terpaut jauh dianggap tidak lazim. Misalnya selisih umur antara suami istri sampai 10-18 tahun. Terlebih jika usia istri lebih tua bila dibandingkan suaminya saat menikah. Perkawinan beda usia yang terlampau jauh sebenarnya tidak berbeda dengan perkawinan pada umumnya, hanya saja bagaimana cara mereka membina keharmonisan rumah tangga itu tergantung individu masing-masing orang yang menjalaninya. menjalani kehidupan rumah tangga yang usia antara suami-istri terpat jauh tidaklah mudah.

Terlebih jika usia istri lebih tua bila dibandingkan suaminya, dimana istri harus selalu menyesuaikan diri dengan usia suami yang lebih muda, seperti menyesuaikan diri dengan lingkungan kerabat suami yang lebih muda dari usia istri. Kemudian tidak kalah menarik juga ketika istri harus terlihat cantik meskipun usianya lebih tua dari suami, istri juga harus melakukan penyesuaian seksual meskipun usianya lebih tua dari suami. Sedangkan suami juga perlu melakukan penyesuaian diri dengan menerima keadaan istri meskipun usia istri lebih tua dari suami.

Di era sekarang ditengah kemajuan zaman serta teknologi masalah hukum keluarga menjadi semakin kompleks dan kian marak cepat menyebar dikalangan masyarakat. Apalagi tentang perkawinan dengan usia antara suami dan istri berbeda jarak umur yang jauh dan ditambah bukan hanya satu kasus terjadi di Indonesia tapi ada beberapa orang yang memutuskan menikah dengan perempuan yang sudah berumur lebih tua dan ditambah perempuan itu sudah menopause.

Dari hasil kuesioner, pernikahan pasangan yang beda usia sebanyak 75%

responden mengaku baik-baik saja terhadap pernikahan yang dijalani.

Kemudian, sebanyak 87,5% responden merasa puas dengan pernikahan selama ini, karena tidak ada permasalahan yang besar dalam pernikahan, bilapun ada permasalahan maka dapat di selesaikan dengan baik, kehadiran anak-anak dalam rumah, serta menerima apapun kondisi pasangan dengan rasa syukur yang tinggi. Hasil tersebut tidak lepas dari beberapa faktor,

73 Holilur Rohman, “Batas Usia Ideal Pernikahan Perspektif Maqāshid Syarī‟ah” dalam Jurnal JISH (Journal of Islamic Studies and Humanitites) Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Vol. 1 No.1 (2016), hal.67.

menurut Saxton dalam Larasati,74 kepuasan pernikahan merupakan hasil dari terpenuhinya tiga aspek kebutuhan dasar pernikahan. Tiga kebutuhan tersebut adalah, kebutuhan materi, kebutuhan seksual, dan kebutuhan psikologis.

kepuasan perkawinan belum dapat dicapai apabila aspek kepuasan perkawinan belum terpenuhi.

Dinamika psikologis kepuasan pernikahan pada pasangan beda usia (studi fenomenologis usia kronologis istri lebih tua) muncul ketika terjadi keselarasan baik pada dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik. Struktur kognitif terdiri dari pemikiran yang muncul, afektif berhubungan dengan perasaan yang dirasakan, sedangkan psikomotorik berkaitan dengan perilaku atau tindakan yang dilakukan seseorang. Dukungan pihak keluarga yang setuju dengan pernikahan beda usia dimana istri lebih tua akan menimbulkan pemikiran yang positif bagi individu. Hasil kuesioner menjelaskan bahwa keluarga dekat merupakan pihak yang berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan. Keterlibatan keluarga, khususnya orang tua mampu memperkuat maupun memperlemah kualitas relasi pasangan suami istri .

Permasalahan yang dihadapi pasangan beda usia dimana usia kronologis istri lebih tua umumnya adalah stigma dari masyarakat, masalah komunikasi dan keadaan ekonomi. Biasanya masyarakat memandang bahwa pernikahan dengan usia kronologis istri lebih tua merupakan hal tidak biasa karena jarang terjadi di masyarakat. Disinilah dukungan pasangan diperlukan.

Dukungan tersebut dapat dikembangkan melalui komunikasi yang efektif antara suami dan istri.75

Adanya dukungan emosional dari pasangan dapat menimbulkan kepuasan pernikahan, terutama pada pasangan beda usia dimana usia kronologis istri lebih tua. Kurangnya dukungan emosional dari pasangan memberikan dampak pada kurang terpenuhinya aspek psikologis yang dirasakan sehingga mempengaruhi kualitas kepuasan pernikahan. Adapun dalam hal komunikasi, pasangan yang memiliki komunikasi yang bebas dan terbuka, baik dalam berbagi pikiran, perasaan atau pun sudut pandang dengan pasangan dapat merasakan kepuasan dalam pernikahannya.Sikap saling terbuka akan menciptakan suasana kondusif bagi pasangan suami istri untuk saling memahami satu sama lain. Sebaliknya pasangan yang kurang mampu berkomunikasi secara terbuka dengan pasangan, dapat menciptakan rasa ketidakpuasan pernikahan.

Pada pasangan beda usia dimana usia kronologis istri lebih tua, keadaan ekonomi merupakan masalah yang sering terjadi. Hasil kuesioner pun

74 Larasati, A.Kepuasan Perkawinan pada Istri Ditinjau Dari Keterlibatan Suami dalam Menghladapi Tuntutan Ekonomi dan Pembagian Peran dalam Rumahl Tangga.Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan (2012). Vol. 1, No. 03 , hal. 1-6.

75 Dewi, N. R., & Sudhlana, H. Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal Pasutri.

Jurnal Psikologi Udayana (2013). Vol. 1, No. 1, ISSN: 2354-5607, hal. 22-31.

menunjukkan bahwa keadaan ekonomi merupakan salah satu jenis konflik yang sering muncul dan mampu mempengaruhi kepuasan pernikahan. Dalam menghadapi masalah ekonomi umumnya seseorang memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan, bahkan sebagian memutuskan untuk merantau ke luar kota, disamping istri juga ikut bekerja.

Penelitian Hakim dkk76 menunjukkan bahwa istri yang tidak memiliki perencanaan keuangan harus melakukan keputusan keuangan yang tidak direncanakan. Sehingga harus dilakukan pemisahan keuangan sesuai kegunaannya. Untuk menghadapi keadaan ekonomi diperlukan keseimbangan antara pendapatan dan belanja keluarga yang menjadi tanggung jawab bersama. Adanya kerja sama dengan pasangan dalam mengerjakan tugas rumah tangga merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kepuasan pernikahan. Ketidakpuasan pernikahan yang dirasakan dapat terjadi saat seseorang merasa kesulitan dalam pembagian peran dalam rumah tangga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kerja sama sangat berkaitan erat dengan adanya pembagian peran yang fleksibel dalam rumah tangga. Keintiman merupakan salah satu emosi dasar dari cinta.

Keintiman mencakup aspek fisik, emosional dan spiritual. Proses keintiman sesungguhnya dimulai ketika salah satu pasangan mengekspresi-kan diri melalui pikiran dan perasaan kepada pihak yang lain.77

Keintiman akan tercipta melalui keterlibatan pasangan satu sama lain baik dalam situasi yang menyenangkan maupun menyedihkan. Meskipun pasangan memiliki keintiman yang sangat tinggi, bukan berarti pasangan selalu melakukan berbagai hal bersama. Perbedaan karakter pribadi pasangan mampu menimbulkan konflik dalam kehidupan pernikahan apabila salah dalam menyikapi. Kepuasan pernikahan dapat ditingkatkan apabila pasangan suami istri memiliki banyak kesamaan kepribadian, minat, dan kecenderungan. Sedangkan hasil kuesioner mengenai kepuasan pernikahan menunjukkan bahwa perbedaan karakter pribadi dengan pasangan merupakan faktor resiko ketidakpuasan pernikahan, namun hal tersebut dapat diatasi dengan adanya pengertian dan penerimaan dari kedua belah pihak.

Penerimaan masing-masing pasangan terhadap faktor kepribadian yang sulit berubah akan berdampak positif pada kebahagiaan yang dirasakan dalam pernikahan. Setelah pasangan suami istri mempunyai anak maka status, peran, dan tugas semakin berkembang. Kehadiran anak dalam suatu pernikahan, mampu menciptakan kebahagiaan dalam berumah tangga.

76 Hakim, F. A., Sunarti, E., & Herawati, T. Manajemen Keuangan dan Kepuasan Keuangan Istri pada Keluarga Dengan Suami Istri Bekerja.Jur. Ilm. Kel. & Kons. (2014).

Vol. 7, No. 3, hal. 174-182.

77 Widjanarko, W. Keintiman sebagai Landasan Komunikasi Perkawinan: Sebuah Tinjauan Interaksi Simbolik. Acta diurnal. (2010). Vol.6 No.2, hal. 44-55.

Karena umumnya pasangan yang menikah mendambakan kehadiran keturunan. Sedangkan pada pasangan beda usia dimana usia kronologis istri lebih tua tidak menutup kemungkinan adanya anak tiri dari salah satu pihak.

Pengambilan keputusan secara bersamasama terutama mengenai masalah anak dan pengasuhan akan meningkatkan kepuasan pernikahan.

Usia muda merupakan seseorang yang berusia dengan kisaran usia 16-25 tahun. Sedangkan pernikahan muda ialah pernikahan yang dilangsungkan oleh laki-laki dan perempuan yang masih berusia remaja, yaitu dibawah usia 20 tahun dan di atas usia 16 tahun baik laki-laki maupun perempuan.78

Sedangkan Badan Koordinasi Keluarga BerencanaNasional (BKKBN) sebagai salah satu lembaga pemerintahan yang memiliki fokus kajian pada masalah keluarga, kependudukan dan pembangunan indeks manusia dalam salah satu programnya yaitu,

“Generasi Berencana” memberikan batasan usia ideal untuk melangsungkan pernikahan yaitu 21 tahun bagi wanita dan 25 tahun untuk laki-laki. Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai pertimbangan untuk kemaslahatan dalam upaya membangun sebuah rumah tangga.

Tujuan BKKBN dengan meningkatkan batas ideal usia perkawinan ialah mempertimbangkan kondisi kesehatan perempuan (reproduksi), mental/

psikologisnya dan intelektual, sedangkan pertimbangan batas anusia bagi laki-laki ialah 25 tahun, dengan mempertimbangkan aspek kesiapan mental, intelektual dan tanggung jawab ekonomi, karena laki-laki merupakan kepala keluarga yang harus bertanggungjawab penuh untuk menafkahi keluarganya.79 Contoh pernikahan yang tidak berkualitas adalah pernikahan dini. Keluarga mempengaruhi mayarakat, begitu juga sebaliknya masyarakat memiliki nilai dan norma yang berlaku yang mengharuskan setiap individu secara tidak langsung mentaatinya juga. Seperti pernikahan siri, pengetahuan masyarakat akan penikahan siri mempengaruhi individu di keluarganya.

Sehingga lembaga keluarga disini telah dimasuki pemahaman suatu kebiasaan di masyarakat tetang pernikahan siri. Fungsi keluarga sebagai fungsi sosialisasi dan orang tua di dalam keluarga memliki peran penting dalam pola asuh orang tua (suami dan istri) yang hadir dengan pemahaman atau pun bahkan mereka pelaku pernikahan siri telah memberi pengetahuan tentang pernikahan siri secara tidak langsung kepada anaknya.

Sehingga pengertian ataupun kebiasaan itu bisa saja terjadi terus-menerus jika orang tua mengarahkan pada hal yang sama. Lain halnya jika orang tua mengarahkan hidup yang lebih terbuka dengan melarang anaknya melakukan pernikahan siri seperti halnya orang tuanya.

78 Departemen Kesehlatan RI, Kesehlatan Anak dan Ibu..., hal.2.

79 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Genereasi Berencana, Menuju Generasi Emas, Jakarta, 2013, hal. 24.

Sehingga disini peran lembaga keluarga sangatlah penting dalam membentuk karakter anak dan menjadi contoh perubahan baru di masyarakat yang lebih baik lagi. Sejak dahulu dalam sejarah perempuan selalu diperlakukan dengan cara yang tidak baik. Elit Yunani Kuno bahkan memperlakukan perempuan sebagai tahanan yang di sekap di dalam istana sedangkan kalangan bawahnya memperlakukanya sebagai barang dagangan yang diperjual belikan.

Begitupun pada peradaban Romawi menepatkan sepenuhnya kekuasaan pada laki-laki, jika perempuan ketika sudah menikah maka kekuasaan jatuh pada suaminya. Perempuan sejak dahulu di jadikan barang yang selalu dibawa tidak memiliki harga. Bahkan ahli filsapat selalu memposisikan perempuan sebagai makhluk yang lemah. Banyak sekali cerita yang menceritakan perempuan didominasi pada kaum laki-laki maupun dalam perkawianan perempuan biasanya dikuasi atau dihegemoni oleh laki-laki.

Peran perempuan pun seakan menjadi tidak berdaya dalam menghadapi perkawinan baik secara fisik maupun secara psikologis.

Apalagi dalam pernikahan siri, perempuan tidak dapat memiliki hak yang dapat diperjuangkan di dalam pernikahannya. Baik itu hak atas harta, anak dan lain sebaginya. Perempuan yang lemah dalam perkawinan dapat dilihat dari berbagai latar belakang;

1. Perempuan dijadikan objek seks laki-laki.

2. Masih rentan dalam hal perjodohan

3. Perempuan dalam pernikahan, jika tidak segera menikah di bayangi dengan mitos perawan tua.

Dalam hal tersebut perempuan terpaksa menikah ataupun menjadikan posisinya harus menikah. Ini tentunya sangat jelas dalam budaya patiarkhi yang sangat melekat pada masyarakat terutama pada masyarakat Jawa yang kental akan patriakhinya.

Dalam dokumen PENDIDIKAN PRANIKAH PERSPEKTIF AL-QUR AN (Halaman 66-71)