• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS AKAR INTOLERANSI MAHASISWA AKTIVIS ISLAM DI INDONESIA

Dalam dokumen STRATEGI INTELEKTUALISASI DAN PROGESIFITAS M (Halaman 140-146)

Oleh:

Dr. M. Fashihullisan

STIKIP PGRI Pacitan

Imam sekolah dari SD sampai SMP di Rembang, saat SMA maka bersekolah di kota Pati, yang merupakan kota tetangga Rembang. Kota Pati memiliki sebuah sekolah SMA yang dianggap lebih maju dibandingkan SMA di derah lainnya, termasuk SMA di kota Rembang. Saat di Pati inilah Imam mulai belajar hidup terpisah dengan orang tua dan harus kos di kota Pati.

Saat sekolah di Pati, Imam bukanlah sosok yang menonjol baik dalam sisi akademik maupun sisi keorganisasian. Bukan merupakan siswa berprestasi di kelas, juga bukan siswa yang aktif di organisasi kesiswaan. Sebagian besar kehidupannya hanya terfokus di sekolah, di kos dan sesekali berjamaah di masjid.

Setelah lulus dari SMA, Imam diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Beberapa teman dekatnya saat di SMA sudah mulai tidak mengetahui aktivitas kesehariannya di Yogyakarta. Seringkali Imam terlihat ikut kajian di masjid kampus, berpakaian jubah dan jarang masuk kuliah.

Beberapa temannya akhirnya mengetahui Imam lebih banyak beraktivitas di luar kampus dalam kajian ke-Islaman dan gerakan dakwah. Kuliah menjadi terbengkalai, dan puncaknya tidak dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Kurang begitu jelas, bagaimana respon keluarga saat Imam tidak lagi dapat menyelesaikan studi, tetapi beberapa waktu setelah tidak dapat menyelesaikan studi, Imam menikah dan kemudian berkeluarga.

Imam di tahun 2016 sangat aktif di media sosial facebook, sebagai saluran pandangan keagamaan dan pandangan politik. Saat ada isu tentang penista agama yang dilakukan Ahok ( Basuki Cahaya Purnama), Imam sangat aktif menulis update status dan juga menulis link-link artikel yang provokatif. Hampir setiap hari puluhan komentar silih berganti ditanggapi dan juga selalu melakukan aktivitas menyerang bagi pandangan yang dianggapnya berbeda dengan yang dimiliki melalui facebook.

Saat dilaksanakan aksi bela Islam, Imam dengan sangat bangga berangkat ke Jakarta untuk membuktikan dukungannya. Adanya isu yang mengatakan bahwa peserta aksi bela Islam dibayar, dibuktikan oleh Imam bahwa dia secara mandiri dan sukarela tidur di hotel berbintang dengan biaya mandiri. Bukti foto sambil memegang kuitansi pembayaran pun ikut di upload di facebook, disamping upload foto-foto dirinya diantara massa aksi.

Nada profokatif juga disampaikan di media facebook, yang mengatakan bahwa bukan Islam sejati bila tidak mau ikut aksi membela Islam. Saat salah seorang temannya mengomentari, Imam dengan cepat merespon dengan tulisan mencemooh bahwa orang macam itu tidak layak mengaku Islam. Tentu saja bersama teman-teman sepandangan, aktif menyerang dengan tanpa argumentasi tetapi lebih sebagai pernyataan subyektif yang bernada menyudutkan.

Bentuk perilaku intoleransi juga terlihat dengan menulis sebuah komentar, bahwa mengapa salah satu propinsi di Kalimantan yang mayoritas Muslim, Gubernurnya harus non Muslim. Bahkan meskipun tanpa dukungan data, dia mempertanyakan besaran sumbangan gubernur pada pen- dirian salah satu tempat ibadah agama di luar Islam yang jumlahnya cukup besar. Baginya ini merupakan masalah besar yang merupakan wujud ketidak adilan bagi kehidupan ummat muslim. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rumagit (2013), menjadi konfirmasi bahwa isu hubungan minoritas dan mayoritas pemeluk agama merupakan hal yang cukup sensitif dalam perilaku intoleransi.

B. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif studi kasus dengan menganalisis fenomena kehidupan seseorang. Wawancara dilakukan secara langsung dengan obyek penelitian, maupun dengan orang-orang yang terhubung dengan obyek penelitian. Wawancara ini sebagian besar berkaitan dengan konfirmasi, respon dan pandangan-pandangan obyek penelitian mengenai beberapa hal yang dibutuhkan dalam penelitian.

Observasi dilakukan melalui observasi di lapangan maupun observasi perilaku obyek penelitian di media sosial. Data hasil observasi digunakan untuk melengkapi data wawancara dan juga untuk menganalisis hasil data wawancara secara trianggulasi. Dimungkinkan trianggulasi antar hasil data menjadikan proses penggalian data menjadi lebih menyeluruh dan lebih valid.

Penelitian dilakukan mulai dari pertengahan tahun 2016 sampai akhir tahun 2016. Pada tahap awal, penelitian dilakukan secara naturalistik yaitu tanpa sepengetahuan obyek penelitian bahwa dirinya masuk dalam proses pengambilan data penelitian. Setelah data yang masuk dirasa- kan cukup dan dirasakan obyektif, barulah peneliti memberi tahu kepada obyek bahwa ini merupakan suatu aktivitas penelitian.

C. Persepsi Tentang Pribadi Nabi Muhammad SAW

Imam sangat aktif membela diri saat ditanya mengapa dia harus marah-marah terutama dalam kasus Ahok yang menurutnya merupakan penistaan terhadap agama Islam. Menurutnya apa yang dilakukan merupakan bentuk menjalankan sunnah Rosul, karena menurutnya ajaran Rosul diantaranya adalah harus marah saat Agama dilecehkan dan dihinakan.

Salah satu argumentasi yang dibangunnya, bahwa indikasi Nabi menjadi marah saat Agama- nya dilecehkan adalah dengan terlibatnya Nabi dalam beberapa peperangan. Peperangan menu- rutnya merupakan suatu ekspresi kemarahan Nabi, saat agamanya dilecehkan dan dihinakan. Oleh karena itulah, ekspresi marahnya dengan menyerang pribadi Ahaok baik secara pribadi mau- pun secara politik, merupakan suatu bentuk amaliyah menjalankan ajaran Nabi sebagaimana Nabi saat melakukan peperangan.

Saat ditanyakan mengenai beberapa pendapat bahwa Nabi adalah pribadi yang lembut, penuh kasih sayang, Imam dengan tegas membenarkan. Menurutnya pribadi nabi yang lembut dan penuh kasih sayang adalah dalam kerangka kehidupan internal ummat Islam dan kema- nusiaan, serta bagian dari strategi Nabi saat gerakan dakwahnya masih lemah. Menurutnya ajaran Nabi yang penuh kasih sayang dilakukan sebagai strategi untuk mengatasi kelemahan saat pengikutnya belum kuat dan belum banyak, terutama saat periode dakwah di kota Makkah.

Lebih jauh, kondisi itu sudah berbeda sekali saat Nabi sudah hidup di Madinah, saat ummat Islam sudah kuat dan jumlahnya sudah besar. Nabi akan sangat marah dan melakukan pepe- rangan saat Islam dilecehkan oleh orang kafir. Inilah yang harus ditiru oleh ummat Islam di Indonesia yang mayoritas, oleh karenanya sangat aneh apabila orang Islam yang sudah kuat dan mayoritas tidak marah saat merasa dilecehkan oleh ummat lain, yang baginya dianggap kafir. Fashihullisan (2016), menyampaikan bahwa perilaku ini diperoleh dari proses belajar mengenai persepsi dari apa yang dilakukan nabi secara kurang lengkap. Proses pengenalan mengenai sikap nabi, perilaku nabi dan ajaran nabi hanya melalui saluran tertentu yang terkadang penuh mani- pulatif dengan doktrin tunggal. Dialektika dan diskursus menjadi sesuatu yang haram untuk dilakukan, karena keyakinan bukanlah pilihan tetapi suatu kemutlakan tanpa penolakan sedikitpun. Lebih jauh, Imam berpendapat bahwa momentum dihinakannya Islam oleh Ahok, menjadi momentum pembuktian pribadi-pribadi muslim maupun ormas-ormas Muslim tentang kese- tiaannya pada nilai-nilai Islam. Saat orang muslim dan ormas muslim tidak merespon dengan marah apa yang dilakukan oleh Ahok, itu merupakan suatu bentuk kemunafikan. Menurutnya, orang dan ormas macam itu hanya mengaku Islam, tetapi sesungguhnya tidak benar-benar Islam. Mereka tidak mengikuti ajaran Nabi yang akan marah saat Islam dihinakan sehingga tidak layak mereka menyebut dirinya Islam.

Pandangan ini sungguh sangat sempit, karena mengidentifikasi ke-Islaman seseorang dan suatu kelompok orang hanya dari suatu kasus yang belum pasti dan butuh pembuktian panjang. Tuduhan penistaan agama oleh Ahok, secara faktual belum merupakan suatu keputusan hukum yang mengikat karena awalnya Ahok hanya tertuduh, kemudian meningkat menjadi tersangka dan baru terdakwa. Proses pengadilan masih belum memberikan suatu keputusan, yang tentu saja bagi sebagian orang Islam dan mungkin ormas Islam belum dalam kapasitas menilai Ahok sebagai seorang penista. Alasan semacam itu bagi Imam sangat tidak dapat diterima, karena orang di luar Islam sama sekali tidak berhak mengomentari apa yang ada pada ajaran Islam, apalagi ajaran kitab suci.

Pandangan Imam mengenai apa yang dilakukan oleh ormas keagamaan terbesar di Indonesia yaitu NU sangat dangkal dan permukaan. NU tak lebih dari bentuk pragmatisme politik, yang akan selalu mengambil untung dengan melakukan kolaborasi dengan kaum kafir dan juga akan

aktif memusuhi sesama muslim. Baginya, catatan penting bagi NU adalah saat NU menjadi salah satu pilar pendukung Nasakom di era Soekarno, itu merupakan penghianatan terbesar bagi ummat muslim semua. NU juga dipandang oleh Imam melakukan hal serupa saat tidak marah dengan apa yang dilakukan oleh Ahok, bahkan beberapa fungsionaris NU secara aktif mendukung Ahok, maka sangat beralasan apabila Imam ikut menghujat NU baik secara keorganisasian maupun perorangan.

Persepsi yang dibangun bahwa Nabi sangat tegas dan sangat marah dengan penghinaan terhadap agama, diperolehnya dari sumber-sumber kelompoknya. Imam sangat tidak memahami bahwa terdapat keragaman dalam pemahaman keagamaan dan juga keragaman hasil maupun proses penafsiran. Bahkan dirinya mengaku sangat tidak mengerti tentang perbedaan madzhab, yang bagi kalangan pesantren dan kalangan NU merupakan suatu bentuk kewajaran.

Saat diajak diskusi tentang tata bahasa Arab yang paling dasar, mengenai perbedaan kata tunggal dan kata jamak, Imam sangat tidak peduli dan tidak mau mengerti. Baginya pener- jemahan Al Qur’an dari Kementerian Agama dalam bahasa Indonesia merupakan sesuatu yang final, oleh karena itu konstruksi persepsi Nabi yang marah juga didapatkannya dari memahami Al Quran lewat terjemahan dalam bahasa Indonesia. Bahkan dia secara satir mengatakan bahwa proses belajar di pesantren terlalu menyita waktu, karena sudah cukup belajar agama dari terjemahan Al Quran dan Hadist, meskipun terkadang sumbernya juga hanya dari artikel di internet.

Inilah kerangka dasar mengapa Imam menjadi yakin bahwa intoleransi yang dilakukan merupakan bentuk dari tafsir dari terjemahan teks Al Quran dan Hadist, yang terkadang sumbernya sangat tidak dapat dipertanggung jawabkan. Identifikasi perilaku marah nabi hanya dari proses tafsir terjemahan yang menyampaikan peperangan yang dilakukan nabi, dan juga bagaimana nabi bermusuhan dengan orang kafir. Apa konteks di seputar peperangan dan bagaimana konteks besar kemarahan nabi, tidak menjadi obyek yang terlalu dipermasalahkan, karena baginya pesannya sudah jelas, Nabi marah apabila agamanya diganggu, maka dia akan melakukan hal yang serupa dengan apa yang dianggapnya dilakuan nabi.

D. Persepsi Tentang Tidak Efektifnya Dakwah Melalui Gerakan Kultural

Imam dibesarkan dari suatu pedesaan Jawa, yang tentu saja sudah melekat tradisi Islam pedesaan di tanah kelahirannya. Imam mengaku bahwa di desanya setiap ada kematian pasti dilaksanakan tahlilan. Begitu juga saat ada kelahiran maupun momentum lain di desanya akan terlihat pelaksanaan selametan.

Menurutnya acara selametan dan tahlilan tidak membawa dampak apapun dalam kehidupan keagamaan di desanya. Mereka ikut tahlilan, ikut kondangan dan selametan, tetapi setelahnya akan tetap melakukan kebatilan yang sama. Masyarakat desa yang suka mabuk-mabukkan dan judi, tetap saja tidak berubah perilakunya meskipun sekian ratus forum tahlilan dan selametan telah didatangi.

Acara keagamaan yang bersifat kultural tersebut tidak lebih dari acara kemasyarakatan, yang sebetulnya bukan merupakan bentuk pengamalan agama. Bahkan menurut Imam, bapak- nya juga seringkali menjadi pemimpin acara-acara tahlilan dan selametan, tetapi dirinya tidak merasakan nilai-nilai keagamaan diterima dalam kehidupannya. Semua aktivitas itu terjebak dalam aktivitas rutin yang menurutnya tidak akan mampu merubah perilaku keagamaan masyarakat di pedesaan.

Hayami, et al (1987) lebih melihat fenomena ini sebagai suatu gejala kerusakan pranata lokal oleh gempuran modernisasi, sehingga Imam menjadi tidak lagi yakin pada efektivitas pranata dakwah kultural di lokal desanya. Imam lebih melihat bahwa gerakan dakwah yang dikenalnya di kampus sebagai bentuk dakwah yang modern sehingga lebih efektif dan optimal. Inilah yang menjadikannya lebih memilih model dakwah yang secara fundamental mampu memisahkan secara jelas siapa lawan dan siapa kawan sehingga inilah awal dari kemunculan nilai dasar intoleransi.

Kritik pada kehidupan keagamaan kultural juga tidak berhenti pada tataran masyarakat desa kelahiran, tetapi lebih dari itu Imam juga menggugat eksistensi pesantren kultural yang berada di lingkungan NU. Pesantren-pesantren di Rembang tidak dikenalnya sama sekali, bahkan tokoh nasional sekaliber Kyai Mustofa Bisri juga tidak dikenalnya dari tempat hidupnya di Rembang. Meskipun rumahnya hanya berjarak kurang dari 5 km dari kediaman Kyai Mustofa Bisri, tetapi justru secara pribadi dia tidak mengenal sama sekali siapa dan bagaimana dakwah yang dilakuan oleh Kyai Mustofa Bisri. Menurutnya, apa yang dialaminya serupa dengan yang dialami orang-orang di desanya, termasuk juga para remajanya.

Imam baru mengenal Kyai Mustofa Bisri secara pribadi, saat sudah kuliah di Yogyakarta. Teman-teman kuliahnya selalu menanyakan pada dirinya mengenai sosok Gus Mus, sebagai seorang tokoh budaya, seniman dan ulama yang berkaliber nasional. Saat itulah baru disadari- nya bahwa ada orang tokoh besar yang ternyata juga tetangganya. Tapi baginya keberadaan tokoh besar itu tidak membawa dampak apa-apa dalam kehidupan keagamaan di desanya.

Meskipun ada tokoh besar, menurutnya orang kampungnya juga tetap begitu-begitu saja. Inilah yang menjadikan keyakinannya makin tumbuh, bahwa dakwah secara kultural kurang efektif dan kurang optimal. Dirinya menjadi semakin yakin dengan pola dakwah kampus, yang mampu merubah secara fundamental perilaku seseorang dalam keagamaan. Dirinya cukup menjadi bukti betapa dakwah kampus yang sarat muatan idiologis dan bersifat fundamental menjadikan dirinya menjadi lebih Islam.

Pengalaman itulah yang menjadikan dirinya terus aktif melakukan model dakwah dengan cara yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh para mentornya. Baginya dakwah kultural adalah dakwah tradisional yang cocok dalam kehidupan masyarakat di masa lalu, bukannya pada kehidupan masyarakat kekinian. Pemanfaatan jejaring sosial dalam penyebaran nilai-nilai fundamental keagamaan dan pembangkit emosional keagamaan dinilainya lebih efektif merubah perilaku keagamaan, pandangan keagamaan dibandingkan hanya terjebak dalam rutinitas ceremonial semacam tahlil dan selametan.

Pola dakwah semacam itu salah satunya adalah dengan cara semakin menajamkan perbedaan dan hal-hal emosional. Salah satunya adalah dengan semakin menajamkan relasi minoritas dan mayoritas dalam pemeluk agama di suatu kelompok masyarakat. Pengarus utamaan isu ketim- pangan mayoritas muslim oleh minoritas non muslim menjadi hal penting yang harus selalu didengung dengungkan. Hal ini sebagai upaya mewujudkan kesadaran kolektif bahwa Islam menjadi titik sentral kebenaran dan secara politis juga harus diuntungkan.

Penajaman muslim dan kafir menjadi salah satu hal yang penting yang harus dibiuskan pada seluruh umat muslim. Media jejaring sosial dan penyebar luasan artikel-artikel intoleran yang penuh kecurigaan menjadi metode yang dianggap lebih efektif dalam perubahan perilaku keagamaan. Inilah titik pangkal dari tradisi intoleransi yang cukup penting selain argumentasi nabi yang marah dengan orang kafir melalui peperangan.

Tidak hanya mengkafirkan orang di luar Islam, pengkafiran juga mulai dilakukan kepada orang-orang Muslim yang dianggap tidak sejalan dengan pandangan dan dakwah mereka. Dja’far ( 2014) melihat gejalan ini sebagai sebuah gejala ta’firi, dimana ada upaya untuk meng- anggap orang lain yang tidak sejalan sebagai kafir. Sikap ta’firi ini juga diperlihatkan dengan sikap penolakan terhadap pandangan demokrasi, sehingga tidak menerima perbedaan pandangan dan tidak menerima keragaman.

E. Kesimpulan

Penelitian dengan pendekatan studi kasus dengan obyek Imam memperoleh temuan bebe- rapa hal penting yaitu:

1. Identifikasi bahwa Nabi akan marah saat agamanya diganggu menjadi alasan pembenar kemarahan Imam sehingga wajar untuk bersikap intoleran. Argumentasi Nabi marah dida- patkan dari fakta bahwa Nabi sering berperang dengan orang kafir. Sangat tidak logis baginya orang yang berperang itu tidak marah, sehingga peperangan Nabi merupakan bentuk kemarahan nabi pada orang kafir. Semua orang yang berperang menurutnya didasarkan pada

suatu kemarahan dan latar belakang kemarahan adalah diganggu, dihinakan dan dinistanya Islam sebagai agama oleh orang kafir.

2. Dakwah Islam melalui gerakan kultural dianggap tidak lagi efektif, karena hanya terjebak pada rutinitas dan seremonial belaka. Seseorang atau masyarakat yang melakukan seremono tahlilan dan selametan, tidak akan berubah perilaku keagamaannya. Oleh karena itulah diyakini bahwa dakwah keagamaan yang lebih mengedepankan perubahan nilai-nilai fun- damentalis keagamaan dirasakan akan lebih efektif. Perubahan nilai-nilai fundamental itu diantaranya adalah dengan semakin menjelaskan siapa insider dan siapa outsider.

Saran

1. Diperlukan upaya yang terus menerus untuk mengkampanyekan perilaku Islam yang rohmatan lil alamin, diantaranya dengan menjelaskan secara gamblang mengapa dan bagaimana Nabi berperang. Fakta bahwa nabi berperang dalam perspektif defensif, ternyata telah mampu dimanipulasi sedemikian rupa sehingga seakan-akan merupakan suatu upaya yang ofensif.

2. Diperlukan review mendalam mengenai efektivitas dakwah melalui cara-cara kultural, ter- utama dalam melakukan reformulasi dakwah dan inovasi dakwah. Masyarakat yang terus berkembang, menjadikan format dakwah harus mengalami transformasi, meskipun tanpa harus ditinggalkan secara keseluruhan. Bagaiamanapun dakwah kultural merupakan suatu upaya dakwah merangkul dan dakwah pembiasaan, hanya saja memiliki kelemahan kurang progresif dan cenderung stagnan.

Daftar Pustaka

Dja’far, AM. 2014. Memperjuangkan Wajah Islam Toleran dan Damai. Wahidinstitute.org. 18 November 2014.

Hayami, Y. and Kikuchi, M. 1987. Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Penerjemah Zahara D. Noer. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Fashihullisan, M. 2016. Dibangun Persepsi Nabi Tukang Marah dan Tukang Perang.

Intelektualmudanu.com. 28 Oktober 2016.

Rumagit, SK. 2013. Kekerasan dan Diskriminasi Antar Umat Beraga di Indoenesia. Jurnal Lex Administratum, Vol.I/No.2/Jan-Mrt/2013.

Abstrak

Indonesia dalam masa kini, terutama bidang sosial keagamaan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Tingkat keingintahuan terhadap ilmu-ilmu keagamaan semakin mening- kat. Namun, meningkatnya kebutuhan pemenuhan terhadap ilmu-ilmu keagamaan ini, dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu agar dapat memenangkan kompetisi antar sesama umat Islam. Ironinya, metode ini menimbulkan efek perpecahan antar umat disebabkan pemahaman yang disulutkan.

Ahlus sunnah wal jamaah sebuah pemahaman dari awal negeri ini berdiri, tentunya tidak luput dari sasaran berbagai pemahaman baru ini. Berbagai tradisi yang dibawa oleh Ahlus sunnah wal jama’ah lebih dekat di hati seluruh masyarakat disebabkan sesuai dengan paham budaya masyarakat Indonesia seperti, tahlil, haul, ziaroh kubur, dan berbagai tradisi ahlus sunnah wal jama’ah. Berbagai tradisi ini dibenturkan dengan perspektif teologis yang dipahami oleh kelompok pemahaman baru tersebut. Kegelisahan ini, memunculkan rasa keingintahuan penulis bahwa tradisi-tradisi Ahlus sunnah wal jama’ah yang menghu- bungkan antara alam dhohir maupun yang ghoib misalkan ziaroh kubur, haul, tahlil, ta’dhim ulama, merupakan suatu bagian upaya keilmiahan. Adanya pengklasifikasian bahwa tradisi tersebut bagian dari animisme dan dinamisme, dijadikan patokan paham-paham baru mengganggap tradisi-tradisi aswaja bukan bagian dari paham teologis. Dalam per- spektif sosiologis, akan muncul sintesa pemahaman yang membenturkan keghoiban dan ilmu pengetahuan.

Sebab tradisi-tradisi yang ada di Aswaja dijalankan atas dasar teologis dan filosofis. Ilmu Metafisika (keghoiban) dapat dianalisa dengan analisis filsafat terapan ini. Dengan filsafat terapan, maka pemahaman teologis dan tradisi-tradisi Aswaja dipahami sebagai suatu bagian yang saling menguatkan. Serta pemahaman filsafat terapan ini, mampu mengakurkan antara pemahaman teologis dan tradisi budaya.

Kata kunci : Tradisi Aswaja, Teologis, filsafat terapan

Dalam dokumen STRATEGI INTELEKTUALISASI DAN PROGESIFITAS M (Halaman 140-146)