• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN ASWAJA DALAM PUSARAN GERAKAN TRANSNASIONAL

Dalam dokumen STRATEGI INTELEKTUALISASI DAN PROGESIFITAS M (Halaman 133-140)

Oleh:

Fahrul Muzaqqi

PENDAHULUAN Sekilas tentang Aswaja

Memahami dan mendiskusikan Aswaja hari ini, khususnya untuk sebagian kalangan muda, barangkali tidaklah semenarik dibanding membicarakan perkembangan gemerlap dunia maya dengan segala pernak-perniknya, atau memprediksi dan membangun dunia usaha, atau meramai- kan dunia politik yang kian riuh, atau pula menjajaki peluang-peluang di belahan dunia yang lain yang kian terlipat sempit.1

Namun demikian, tidaklah mubazir kiranya mendiskusikan hal-hal yang sudah sedemikian lama menjadi bagian dari identitas generasi sebelum-sebelumnya itu hingga generasi kita sekarang ini dan ke depan. Karena toh-ibarat Werkudara dalam pewayangan yang berguru kepada Resi Durna untuk mendapatkan ilmu sangkan paraning dumadi yakni kita tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan tempat kita berasal berikut segala dunia kehidupannya dan berpikir ke mana nanti- nya kita akan pergi. Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja), sebagai bagian dari dunia kehidupan (lifeworld) kita telah banyak dibahas oleh baik para ulama maupun kalangan intelektual beraliran Sunni yang di Indonesia sangat lekat dengan organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Secara ringkas didefinisikan di sini, bahwa Aswaja merupakan paham keagamaan walau berimplikasi pula pada kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi yang melingkupi setidak- nya tiga bidang, yaitu keimanan (aqidah), tingkah laku (‘ubudiyyah; fiqh; syari’at) dan keruhanian/ hati/jiwa (tasawuf). Dalam hal akidah mengikuti salah satu dari aliran Imam Abu al-Hasan al- Asy’ari (w. 324 H) atau aliran Imam Abu al-Manshur al-Maturidi (w. 333 H). Dalam soal-soal ‘ubudiyyah

mengikuti salah satu dari imam mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah (w. 150 H), Malik ibn Anas (w. 179 H), Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H), dan Ahmad ibn Hambal (w. 230 H). Sedangkan dalam bertasawuf mengikuti salah satu dari dua imam besar sufi, yaitu Abu al- Qasim al-Junaidi al-Baghdadi (w. 297 H) dan Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H).2 Perdebatan seputar

Aswaja, diantara beragam spektrumnya, diantaranya berkutat seputar apakah paham ini meliputi satu kesatuan dari salah satu aliran pemikiran imam-imam tersebut untuk diadopsi dalam kehi- dupan ataukah diadaptasi bagaimana para imam tersebut dalam menyikapi persoalan-persoalan kehidupan, yakni sebagai metode berpikir (manhaj al-fikr).

Bagi sebagian besar ulama maupun intelektual NU, Aswaja diadaptasi lebih sebagai metode berpikir yang lentur dan fleksibel, dengan memegang landasan etika sosial NU meliputi sikap moderat (tawassuth), toleran (tasammuh), seimbang (tawazun) dan tegak lurus (i’tidal) dengan tiada mengenal sikap ekstrem/radikal (tatharruf) serta tidak mengkafirkan ahlul-qiblat (sesama pemeluk Islam).3 Namun bagi penulis, perlu ditegaskan bahwa pemosisian Aswaja sebagai manhaj al-fikr itu tidak lantas dipahami bahwa masing-masing aliran pemikiran dari para imam itu dapat diaplikasikan secara comot-comot (eklektik) untuk, katakanlah, diambil yang enak-enaknya

1 Untuk yang terakhir ini, ungkapan ahli geografi bernama David Harvey pada 1989 kiranya menarik

berkaitan dengan tema yang penulis bahas di makalah ini. Ia mengatakan kondisi masyarakat terkini dengan istilah time-space compression dan time-space distantiation yang bermakna berikut pengembangan dari istilah ini dalam literatur-literatur yang lain bahwa masyarakat kekinian memiliki kerakteristik yang cepat berpindah tempat (speed-space; speeding up) dan menyebar luas (spreading out). Lebih lanjut, ide Harvey itu kini lekat dengan diskursus seputar globalisasi yang merekonstruksi segenap dimensi kehidupan manusia mulai dari kewarganegaraan, lingkungan hidup, gerakan sosial-politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Lihat: Harvey, David, The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural Change, Cambridge, MA: Blackwell, 1990.

2 Siroj, Prof. Dr. KH. Said Aqil, Rekonstruksi Aswaja Sebagai Etika Sosial: Akar-Akar Teologi Moderasi Nahdlatul

Ulama, dalam: Sahal, Akhmad dan Aziz, Munawir (eds.), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Konsep Historis, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015, hal. 138-139. Kiai Said Aqil juga menelusuri sejarah awal pondasi Aswaja dibangun di tengah situasi politik tidak menentu pada masa pemerintahan Mu’awiyah, pasca kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib. Adalah Hasan Bashri (21-110 H) nama lengkapnya Abu Said Hasan ibn Abi Hasan Yasar al-Bashri yang merupakan peletak dasar (al-wadhi’) ajaran Aswaja, dan bukannya Abu Hasan al-Asy’ari sebagaimana yang berkembang selama ini. Ibid, hal. 144-145.

saja. Melainkan bahwa aliran pemikiran dari para imam itu dapat diterapkan salah satunya, misalnya menganut Imam Abu Maturidi dalam berakidah, Imam Syafi’i dalam mengerjakan suatu ibadah, dan Imam al-Ghazali dalam bertasawuf.

Dalam mengerjakan sholat, misalnya, mulai dari wudlu’ hingga salam berikut segala hal yang mengharuskan maupun yang membatalkan hendaklah mengambil salah satu, misalnya Imam Syafi’i, dari empat mazhab fiqh. Tidak dibenarkan, misalnya, dalam mengerjakan sholat, wudlu’nya mengambil mazhab Imam Syafi’i, sholatnya dengan mazhab Imam Hambali dan hal- hal yang membatalkan menganut Imam Maliki. Secara operasional, sebenarnya Aswaja sebagai

manhaj al-fikr maupun Aswaja sebagai buah pemikiran dari salah satu para imam tersebut dalam praktiknya dijalankan secara bersamaan.

Selain pamahaman Aswaja sebagai paham Islam Ahlussunnah Waljamaah yang meliputi rujukan atas salah satu aliran pemikiran para imam dalam masing-masing bidang kehidupan keberagamaan maupun sebagai manhaj al-fikr berikut landasan etika sosialnya, terdapat lima prinsip universal kemanusiaan yang kerap disebut dengan tujuan-tujuan syariat/agama (maqashid al-syari’ah), yaitu: (1) Hifdz al-Din (perlindungan terhadap agama/keyakinan); (2) Hifdz al-Nafs (perlindungan terhadap hak hidup); (3) Hifdz al-‘Aql (perlindungan terhadap hak berpikir dan mengekspresikannya); (4) Hifdz al-Nasl (perlindungan terhadap hak-hak reproduksi); dan (5) Hifdz al-Mal (perlindungan terhadap hak-hak milik/kekayaan/properti). Lima prinsip/tujuan syariat tersebut merupakan konsensus agama-agama (ittifaq al-Milal) yang harus dipegang teguh demi terciptanya keteraturan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Lima prinsip itu juga telah ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Al-Mustashfa’ min ‘Ilm al-Ushul dan diuraikan lebih luas oleh Imam al-Syathibi dalam bukunya, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah.4 Tentu saja, lima

prinsip itu telah dipikirkan oleh para imam (auliya) dalam tradisi pemikiran Islam jauh sebelum para pemikir dari Eropa abad XVII-XVIII merumuskan ide-ide tentang hak asasi manusia.

Namun lebih jauh, tulisan ini tidaklah membahas secara mendalam perihal ajaran Aswaja berikut teknis-teknis hukumnya, akidahnya maupun tasawufnya, karena memang bukan menjadi kompetensi penulis, melainkan hendak merentangkan perihal bagaimana gerakan Aswaja tumbuh dan berkembang di Indonesia beriringan dengan tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan sosial ke-Islaman yang lain, khususnya dalam atmosfir sosio-politik pasca-Reformasi. Penulis menginsyafi bahwa tulisan ini bukanlah disusun dari penelitian ilmiah yang ketat melainkan dari telaah penulis yang didasarkan dari literatur-literatur terkait. Namun demikian, pembahasan yang dituangkan dalam tulisan ini tidaklah lepas dari teori, konsep maupun variabel yang berkaitan dengan studi gerakan sosial dan ilmu-ilmu sosial secara umum. Secara sistematik, penulis membahas secara berurutan kaitannya dengan judul di atas, yaitu: (a) sekilas pandang perihal Aswaja, dilanjutkan dengan (b) landasan konseptual gerakan sosial, khususnya gerakan sosial baru (new social movement) dan gerakan transnasional, (c) gerakan Aswaja dalam peta gerakan sosial transnasional ke-Islaman.

Transnasionalisasi Gerakan Sosial Baru

Kajian gerakan sosial, termasuk gerakan sosial ke-Islaman, dalam khasanah ilmu-ilmu sosial memiliki perkembangan kesejarahan yang kompleks. Kompleksitas kajian gerakan sosial dan ke-Islaman itu dalam perkembangannya melibatkan berbagai disiplin keilmuan sosial termasuk psikologi, sosiologi, ilmu politik, ekonomi-politik, teologi hingga sejarah. Perjalanan kajian gerakan sosial telah membawa beragam batasan konseptual perihal apa itu gerakan sosial. Namun diantara pluralitas definisi konseptual berikut batasannya, Sidney Tarrow kiranya dapat mewakili definisi konseptual yang relatif terbuka dan memungkinkan untuk terus berkembang. Baginya, gerakan sosial adalah kelompok-kelompok yang bersifat tidak melembaga dari berbagai anggota masyarakat yang tidak terwakili yang bergerak dalam alur interaksi yang berseberangan dengan elit atau pihak oposisi.5 Sedangkan Jenkins dan Form mendefinisikan gerakan sosial dengan

4 Muhammad, KH. Husein, Hukum Islam yang Tetap dan yang Berubah, dalam: Sahal, ibid, hal. 104-105. 5 Tarrow, Sidney, Social Movement, dalam: Kuper, Adam & Jessica Kuper, “Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial”, edisi

penekanan pada perubahan sosial, yaitu upaya-upaya terorganisir untuk menghasilkan per- ubahan sosial perihal distribusi kekuasaan.6

Pada abad ke-19 dan ke-20, sebagian besar ilmuwan maupun intelektual sosial berasumsi bahwa gerakan sosial, termasuk yang ke-Islaman, lahir dan berkembang tidak lepas dari keberadaan ideologi7 dan keyakinan keagamaan yang menjadi landasan utamanya. Ideologi dan keyakinan

keagamaan, untuk sebagian besar kajian ‘gerakan sosial lama’ (old social movement), menjadi penentu keberadaan bahkan keberhasilan dari suatu gerakan sosial.8 Di samping itu, setting semangat

zaman sebagai negara-negara industrial di belahan Eropa dan Amerika turut melatarbelakangi gerakan sosial yang dikarakteristikkan dengan kelas sosial-politik, khususnya kelas pekerja, buruh atau petani, menjadi garda depan revolusi dalam upaya pengambil-alihan negara.

Gambar 1 Relasi Sektoral dalam Gerakan Sosial dan Sistem Kebijakan Publik9

Oleh karenanya, gerakan sosial model lama itu mengandaikan bentuk pengorganisasian yang birokratis sekaligus sangat potensial memfasilitasi bagi lahirnya pemimpin-pemimpin, lebih daripada menekankan mobilisasi akar rumput demi suatu tujuan yang spesifik.10 Dalam

wataknya yang lebih ekstrem, gerakan-gerakan sosial lama yang besar dicirikan oleh fasisme atau komunisme, atau gerakan-gerakan totalitarian lainnya.11 Perkembangan kajian gerakan

sosial dan keagamaan hingga kini melahirkan beragam penjelasan dari para sarjana maupun ilmuwan sosial yang kebanyakan berangkat dari riset-riset empiris komparatif. Suzanne Staggenborg menyederhanakan pendekatan dalam teori-teori gerakan sosial yang berbeda yang

6 Jenkins, J. Craig, and Form, William, Social Movements and Social Change, dalam: Janoski, Thomas (eds.),

The Handbook of Political Sociology: States, Civil Societies, and Globalization, NY: Cambridge University Press, 2005, hal. 331-332. Walau kemudian Craig dan Form merumuskan definisi gerakan sosial dengan mengacu pada Meyer dan Tarrow (1998:4), yakni tantangan kolektif terhadap tatanan kekuasaan dan distribusi yang ada dengan tujuan dan solidaritas bersama dalam interaksinya secara terus-menerus dengan elit, oposisi maupun pemerintah.

7 Istilah ideologi di sini dipahami sebagai seperangkat nilai dan ide-ide yang melingkupi seluruh dimensi

kehidupan penganutnya dan memiliki cita-cita yang diperjuangkan untuk bisa terwujud dalam kehidupan di dunia (profan). Karena melingkupi seluruh dimensi kehidupan secara ekslusif, maka konsekuensi ideologi adalah keberadaan karakteristik eksklusi yang menegaskan siapa ‘kami’ dan siapa ‘bukan kami’.

8 Aziz, M. Imam, Memahami Gerakan Islam: Sebuah Agenda untuk Indonesia, dalam: Wicktorowicz, Quintan

(ed.), Gerakan Sosial Islam: Teori Pendekatan dan Studi Kasus, Yogyakarta: Penerbit Gading Publishing dan Paramadina, 2012, hal. 2-5. Lihat juga: Smith, Christian (ed.), Disruptive Religion: The Force of Faith in Social Movement Activism, New York: Routledge, 1996.

9 Jenkins, op.cit, hal. 334.

10 Mayo, Marjorie, Global Citizens: Social Movements and the Challenge of Globalization, Toronto: Zed Books

Canadian Scholars’ Press Inc., 2005, hal. 73.

berkembang diantara di Amerika Utara dan Eropa dalam menggambarkan kemunculan, per- kembangan, kemunduran maupun capaian dari suatu gerakan sosial. Amerika Utara lebih mene- kankan pendekatan perilaku kolektif (collective behavior), mobilisasi sumber daya (resourse mobi- lization) dan proses politik (political process), sedangkan di Eropa pendekatannya lebih menekan- kan pada gerakan sosial baru (new social movement)12 yang kini agaknya mendapatkan perhatian

lebih besar dalam kajian gerakan sosial kekinian. Namun demikian, agaknya penjelasan Staggenborg bersinggungan dengan bagaimana gerakan sosial baru dibedakan karakteristiknya dengan gerakan sosial lama.

Secara teoretik, sebagian sarjana kajian gerakan sosial membedakan karakteristik gerakan sosial lama (old social movement) dengan gerakan sosial baru (new social movement). Gerakan sosial lama, secara umum disamping determinan ideologi dan kelas sosial sebagaimana di atas dikarak- teristikkan pula dengan variabel psikologis seperti teori penularan kerumunan (contagion theory), yakni bahwa gerakan sosial kerapkali bermula dari perilaku kolektif yang bersifat kerumunan, terkadang potensial mereduksi rasionalitas walau sebagian teoretisi contagion merevisi potensi irasionalitas tersebut seseorang untuk mencapai tujuannya secara kolektif. Diantara teoretisi

contagion theory ini adalah Gustave Le Bon, Casper Milquettoast hingga para revisionis yang merevisi irasionalitas perilaku kolektif menjadi rasional, yaitu Hans Toch dan Rudolph Heberle.

Berbeda dengan teori contagion, teori deprivasi relatif (relative deprivation theory) melihat gerakan sosial muncul karena kondisi sosio-politik-ekonomi yang timpang antara harapan dengan kenya- taan. Para teoretisi ini, misalnya Ted Robert Gurr, Denton E. Morrison dan James Davis, melihat gerakan sosial lahir dari ketimpangan sosial-ekonomi yang berefek pada frustasi sebagian masya- rakat dan menjadi pemicu timbulnya perlawanan berupa gerakan. Teori deprivasi relatif itu kemudian berkembang dan turut mempengaruhi munculnya teori mobilisasi sumberdaya (re- source mobilization theory). Teori mobilisasi sumberdaya, diantaranya diwakili oleh John D. McCarthy dan Mayer Zald sebagai proponen, menjelaskan sekaligus mengkritik dua teori sebelumnya, bahwa kondisi psikologis maupun kondisi sosial deprivatif tidak selalu memunculkan gerakan sosial.13

Sebagian masyarakat merasa hanya menunggu atau bahkan menggantungkan orang lain untuk menyuarakan frustasinya atau memperjuangkan kondisi yang timpang itu. Di sinilah celah yang kemudian ditambal oleh teori mobilisasi sumberdaya. Bahwa suatu gerakan sosial muncul karena terdapat sebagian masyarakat yang secara sadar berpartisipasi dalam suatu gerakan sosial dan bersedia mengorbankan sumberdaya-nya (tenaga, pikiran, waktu, uang, materi) bagi suatu gerakan sosial tersebut.

Teori mobilisasi sumberdaya hingga kini masih sangat relevan untuk digunakan dalam memahami dan menganalisis bagaimana suatu gerakan sosial beroperasi – termasuk yang berlabel ke-Islaman membangun gerakannya, berjejaring, membentuk opini publik, hingga melancarkan aksi-aksi lapangan. Namun demikian, diantara teori-teori gerakan sosial tersebut, tidak dapat dimungkiri bahwa ideologi dan/atau keyakinan/identitas bersama yang menjadi dasar gerakan masih sangat kuat melekat sebagai karakteristik utama.

Perkembangan berikutnya terlihat pada akhir abad XX dan awal abad XXI. Terdapat perge- seran dramatis dalam kajian-kajian gerakan sosial. Hal ini terutama berangkat dari perubahan- perubahan sosial-ekonomi-informasi global yang berlangsung cukup signifikan. Fenomena per- ubahan dunia yang dramatis ini kemudian lazim dikenal dengan istilah globalisasi, atau kadang globalisasi-neoliberal.14 Merespon perubahan dunia yang makin memampat itu, karakteristik

gerakan sosial, mengalami pergeseran, walau tidak secara keseluruhan. Pada momentum memasuki milenium baru inilah konsep dan teori gerakan sosial baru (new social movement/NSM) lahir dan berkembang. NSM sendiri, dalam banyak literatur diterangkan, banyak dipengaruhi oleh pemikiran- pemikiran dari sejumlah tokoh sosiolog besar seperti Ulrich Beck, Karl-Werner Brand, Jean Cohen, Stephen Crook, Anthony Giddens, Jurgen Habermas, Ronald Inglehart, Herbert Kitschelt, Alberto Melucci, Jan Pakulski, Alain Touraine, Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, Charles Tilly, dan lain-lain.

NSM, merespon sekaligus memanfaatkan perubahan dunia tersebut, justru banyak tumbuh di negara-negara maju dengan memanfaatkan teknologi komunikasi elektronik. Di samping itu, teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang pesat mengkoneksikan aktivis-aktivis

gerakan sosial baik di dalam negeri maupun lintas batas negara. Seseorang di Norwegia bisa saja berkontak dengan, katakanlah aktivis India atau Kazakhstan dalam hubungan komunikasi elit terbatas.15 Namun di atas itu, apa saja sebetulnya karakteristik gerakan sosial baru yang khas

dibanding dengan gerakan sosial lama?

Pertama, isu-isu utama NSM berkaitan dengan perkembangan masyarakat memasuki era

post-industry, post-modernitas, post-capitalism, yakni masyarakat yang beranjak dari mode industri ke masyarakat informasi, masyarakat posmodern, atau kapitalisme lanjut yang menggeser aktor- aktor utama gerakan sosial dari kelas pekerja atau petani kepada kelas menengah baru. Isu-isu utamanya menyangkut kemanusiaan secara umum diantaranya menentang perang, memprotes degradasi lingkungan, menentang penindasan perempuan, melawan rasisme, anti-nuklir, gay dan lesbian, menentang ekses-ekses negatif neoliberalisme, dan lain-lain. Namun perlu diper- hatikan bahwa isu-isu itu bukanlah turunan dari suatu ideologi yang ekslusif dan kompre- hensif16 seperti marxisme, islamisme atau gerakan anti-semit melainkan terfragmentasi kasuistik

dan inklusif. Dalam hal ini, gerakan-gerakan ke-Islaman, merujuk kajian-kajian NSM awal sebenarnya tidak termasuk dalam kategori isu-isu NSM, walau dalam tahap perkembangannya gerakan-gerakan fundamentalisme dicakup kemudian.17

Kedua, berseiring dengan perkembangan masyarakat yang mengalami globalisasi berikut pesatnya teknologi informasi dan komunikasi, NSM dicirikan dengan penggunaan perangkat teknologi itu dalam aksi-aksinya, diantaranya petisi online, diskusi online, pembentukan opini publik melalui media sosial, koordinasi untuk menggalang dukungan, mengkombinasi aksi- aksi riil (face-to-face performances) dengan aksi-aksi virtual (virtual performances).18 Dalam hal ini,

NSM bersifat lentur dalam jangkauan gerakannya. Ia bisa melingkupi masyarakat lokal, regional, nasional hingga global.

12 Staggenborg, Suzanne, Social Movement Theory, dalam: Ritzer, George (ed.), Encyclopedia of Social Theory,

Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications, 2004, hal. 753.

13 McCarthy, J. dan Zald, M., Resource Mobilization and Social Movements: a Partial Theory, American Journal

of Sociology 82, hal. 1212-1241.

14 Dalam catatan kaki yang dikutip oleh Peter Evans dari seorang ekonom nobelis, Joseph Stiglitz (2002:9)

perihal globalisasi, yaitu proses integrasi yang lebih dekat antara masyarakat dan negara di seluruh dunia yang menghasilkan pengurangan signifikan dalam hal biaya transportasi dan komunikasi, dan merusak batas-batas artifisial atas aliran barang, jasa, modal, pengetahuan dan manusia (ke level terendah) melintasi batas-batas tersebut. Dalam kondisi makin kaburnya batas-batas artifisial itu, Stiglitz menaturalisasikan globalisasi. Walau demikian, ia kemudian mengutuk globalisasi karena regulasi barunya dalam hal ekonomi – seperti liberalisasi keuntungan modal sebagai “tidak natural” dan secara ekonomi berbahaya. Lihat: Evans, Peter, Counterhegemonic Globalization: Transnational Social Movements in the Contemporary Global Political Economy, dalam: Jenkins, op.cit., hal. 655.

15 Tilly, Charles, Social Movements, 1768-2004, Boulder. London: Paradigm Publishers, 2004, hal. 104. Tilly

mencontohkan (mengutip Rheingold 2003:158) beberapa NSM yang bermunculan di penghujung abad XX dan awal abad XXI: (a) pada 30 November 1999 pasukan demonstran independen (otonom) menggunakan internet untuk memprotes pertemuan World Trade Organization (WTO) dengan taktik “kawanan”, ponsel, website, laptop, dan komputer genggam untuk memenangkan “Battle of Seattle”; (b) pada September 2000, ribuan warga di Britania marah karena kenaikan harga bensin mendadak, dengan menggunakan ponsel, SMS, email dari laptop PCs dan radio CB di taksi mereka mengkoordinasikan kelompok-kelompok untuk menghadang pengiriman bahan bakar pada SPBU dalam sebuah protes politik kucing garong; (c) demonstrasi politik yang hebat di Toronto pada musim semi 2000 yang didokumentasikan oleh sekelompok peneliti- jurnalis melalui video digital webcast. Ibid, hal. 97. Peristiwa aksi besar-besaran memprotes kasus penistaan agama yang dilakukan oleh seorang politisi juga terjadi di tanah air pada 4 November 2016 di Jakarta, dengan menggunakan perangkat komunikasi dan informasi internet untuk mengkonsolidasikan dan melancarkan aksi mereka, sekaligus dapat dimasukkan sebagai fenomena NSM kekinian.

16 Tilly, ibid, hal. 106.

17 Mayo, op.cit., hal. 61. Secara khusus, Mayo menyoroti pula bagaimana gerakan feminis turut menggeser

pandangan mainstream bahwa ‘politik itu bersifat publik’ menjadi slogan ‘hal-hal personal adalah (juga) politik’ yang pada gilirannya melebar pada isu-isu identitas, budaya dan gaya hidup.

Ketiga, struktur organisasi NSM bersifat lebih lentur dan inklusif dibandingkan model gerakan sosial lama yang secara tegas membatasi diri siapa “kita” dan siapa “mereka”. Struktur yang lentur itu terkadang bahkan tidak mementingkan tingkatan keanggotaan yang hirarkis. Gerakan petisi online, penentangan rasisme, gerakan homoseksual, protes anti-nuklir hingga gerakan “Battle of Seattle” sebagai eksponen utama NSM, kerap menampilkan suatu pengorganisasian gerakan yang cair namun menggelinding-membesar seperti bola salju (snow-balling). Tidak terlihat jelas siapa ketuanya, siapa anggotanya, bagaimana pembagian tugasnya, hingga otoritas dan batasan-batasannya. Terkadang suatu aksi demonstrasi besar-besaran yang muncul tidak secara langsung membidik target eksplisit yang menjadi tuntutan utama melainkan justru mencakup pula efek samping dari aksi demontrasi itu seperti turunnya saham, kaburnya investor asing, hingga efek domino munculnya gerakan-gerakan senada dengan isu yang diperjuangkan.

Alhasil, walaupun terdapat beberapa karakteristik khas dari NSM yang lain, berikut kritik analitis dari para sarjana kajian gerakan sosial atas sejumlah karakteristik tersebut, namun setidaknya tiga karakteristik itu bisa membantu para sarjana dalam mengidentifikasi bagaimana kajian dan fenomena gerakan sosial telah berkembang sedemikian kompleks.

Gerakan Aswaja

Sebagai sebuah manhaj, aswaja khususnya an-nahdliyah harus menjadi lokomotif utama di dalam melawan aksi-aksi teror dan tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama. Apapun alasannya, gerakan-gerakan radikal harus di sikapi dengan kerjasama-sosial seluruh komponen masyarakat dunia. Bahwa, gerakan sosial yang muncul akhir-akhir ini menjadi anti-tesis dari gerakan yang marak muncul dipermukaan atas nama agama tertentu. Tentu hal itu sah-sah saja, sepanjang gerakan tersebut memposisikan diir di dalam pembangunan suatu negara.

Curriculum Vitae

Fahrul Muzaqqi, lahir di Jepara, Jawa Tengah adalah dosen tetap pada Departemen Politik

Universitas Airlangga Suarabaya. Menyelesaiakan program Sarjana dan Magister di Universitas Airlangga.

Abstrak

Utopia khilafah kembali bangkit pasca reformasi bersamaan dengan terbukanya ruang kebebasan dan demokrasi. Gerakan Islamis juga mulai masuk di kalangan mahasiswa terutama di perguruan tinggi umum non agama Islam. Mereka aktif melakukan kegiatan dakwah kampus dari musholla dan masjid yang telah ada di perguruan tinggi.

Gerakan ini menawarkan angin surga melalui ide khilafah Islamiyah dan utopia solusi

Dalam dokumen STRATEGI INTELEKTUALISASI DAN PROGESIFITAS M (Halaman 133-140)