• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DISKUSI/PEMBAHASAN

Dalam dokumen STRATEGI INTELEKTUALISASI DAN PROGESIFITAS M (Halaman 127-133)

NUSANTARA BERBASIS MAQASHID ASY-SYARI’AH (NILAI-NILAI UNIVERSAL AGAMA)

III. HASIL DISKUSI/PEMBAHASAN

3.1 Makna Al-Musawa Dalam Kerangka Politik Islam Nusantara Berbasis Maqashid Syariah

Konsep persamaan (Al-Musawa) dalam politik islam menempatkan pilar keadilan tanpa memandang perbedaan agama bangsa, bahasa dan budaya atau paham politik17. Keadilan disini

diartikan membawa nilai-nilai kemaslahatan yang sejalan dengan cita-cita syariat (Maqashid Syariah). Kemaslahatan harus dilihat secara kontekstual agar bisa menangkap prinsip-prinsip universal syariat ini dengan mendefinisikan bahwa keadilan mempunyai arti sama, yaitu kese- taraan yang tidak membedakan antara satu dengan yang lain secara diskriminasi berdasarkan hal-hal yang bersifat subjektif.18 Hal ini berarti setiap warga negara harus diperlakukan sesuai

dengan nilai keadilan yang menjadi kewajiban pemerintah untuk mewujudkannya dalam praktik. Keadilan yang hendak diwujudkan adalah keadilan dengan menekankan pada prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat, artinya setiap kebijakan pemerintah yang sudah ditetapkan seyogyanya mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup ditengah masyarakat, karena kebijakan atau peraturan yang berlaku itu tidak hanya menjamin kepentingan pihak yang berkuasa, melain- kan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua pihak tanpa kecuali. Sebagaimana secara eksplisit al-quran menyatakan dalam surat Al-Maidah ayat 105, yang artinya:

15 Ibid, hlm 332.

16 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik (Bandung: Tarsito, 1995), hlm 42 17 Hamid Fahmi Zarkasy, Konsep Adil Dalam Politik Islam, http://inpasonline.com/konsep-adil-dalam-politik-islam/,

diakses 29 April 2011.

18 Tim Forza Pesantren, Ijtihad Politik Islam Nusantara: Membumikan Fiqih Siyasah Melalui Pendekatan Maqashid Asy-Syari’ah, (Kediri:Lirboyo Press, 2015), hlm 73.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak mene- rimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.

Ayat tersebut secara kontekstual mengingatkan kepada pemegang kekuasaan/ pemerintah dalam menetapkan suatu hukum harus bersikap adil. Artinya terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia modern yang dikategorikan dalam hak-hak sipil, hak sosial ekonomi, hak politik dan sosial budaya harus dijadikan prioritas utama dalam menegakkan keadilan dengan menempatkan warga yang lemah sebagai prioritas agendanya untuk memenuhi hak-haknya yang hilang.

Dalam konteks Indonesia dengan Pancasila, persamaan disini mempunyai hubungan yang sejajar dan serasi antara hubungan pemerintah dengan rakyat sebagai warga negara berdasarkan asas kerukunan.19 Dalam artian, adanya keseimbangan antara hak dengan kewajiban. Rakyat

mempunyai hak-hak tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh Pemerintah dan menyadari kewajibannya untuk mematuhi aturan-aturan pemerintah yang dibangun atas kehendak bersama sebagai dorongan kodrat untuk hidup bermasyarakat. namun yang terpenting adalah sarana dan cara penyelesaian sengketa dalam batas-batas yang tetap menjaga keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat.20

Berpangkal dari uraian diatas, materi muatan dari konsep Al-musawa yang telah diuraikan diatas, khususnya di bidang politik yaitu lebih ditekankan pada keadilan dalam perlindungan hak-hak politik warga dan persamaan hak di muka hukum dan pemerintahan tanpa diskriminatif yang mengedepankan asas kerukunan dalam NKRI. Dalam penulisan ini juga akan dijabarkan terkait konsep Al-musawa di bidang politik, yaitu:

1) Perlindungan Hak Politik

Salah satu kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan syariat (maqashid asy-syariah) adalah perlindungan terhadap akal. Dalam konteks demokrasi dimaknai adanya jaminan perlindungan hak untuk mengembangkan dan memberdayakan potensi intelektual dan potensi pemikiran atau biasanya lazim dengan kebebasan berbicara dan berpendapat terkait persoalan-persoalan publik tanpa rasa takut dan mengeluarkan kritik terhadap pemerintah baik pada saat proses pembuatan kebijakan mupun pada pelaksanaan kebijakan tersebut. Mengutip pendapatnya dari Abdurrahman Wahid bahwa pemberdayaan politik rakyat itu sangat menentukan dalam tercapainya stabilitas politik antara pemerintah dengan masyarakat. Semua unsur masya- rakat harus dilibatkan tanpa mengenal golongan manapun. Hal inilah yang mendasari adanya penguatan terhadap civil society untuk melakukan control sosial politik terhadap dominasi negara, karena penguatan lembaga negara dngan prinsip check n balance masih memung- kinkan adanya peluang dominasi kepentingan politik pemerintah.

2) Perlindungan persamaan hak di muka hukum dan pemerintahan

Ketika pemikiran politik masyarakat itu djamin hak kebebasannya, maka harus di imbangi dengan persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yang lazim dikenal dengan

equality before the law sebagai nilai-nilai fundamental demokrasi yang akan menuju pada kemaslahatan yang dicita-citakan, yaitu Maqashid Asy-syariah. Hal ini pernah dipraktekkan dalam constitution of Medina pada pasal 1 yang berbunyi: “Antara orang-orang beriman dari kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan yang berasal dari Yastrib (Madinah) beserta yang mengikuti mereka dan menyusul mereka, dan berjuang bersama mereka adalah satu umat, diluar golongan yang lain”.21

Sedangkan di Indonesia sebagai negara hukum berada dalam tataran negara yang menganut prinsip-prinsip rule of law dalam arti luas, sebagaimana dinyatakan oleh Robeerto M. Unger dalam bukunya “Law andModrenSociety: Toward a Criticism Of SocialTheory”, yaitu mendefinisikan

19 Philippus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. (Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1987), hlm. 88. 20 Ibid

bahwa lewat gagasan tentang sifat netral (neutrality), seragam (uniformity), dan dapat dipredik- sikan (predictability). Penggunaan pemerintah harus berlangsung didalam batasan-batasan per- aturan yang berlaku bagi cukup banyak kategori orang dan tindakan. Segenap peraturan ini, apapun bentuknya, harus diberlakukan secara seragam.22 Hal ini dapat dipahami bahwa Prinsip

Equality Before The Law dalam konteks negara hukum berasaskan Pancasila adalah hukum dibuat menurut prosedur yang dapat diterima dan setiap orang memiliki hak persamaan didepan hukum untuk turut berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan pemerintah yang bersifat otonom substantive diantara golongan-golongan/ sekolompok masyarakat dengan tidak meng- utamakan kepentingan individu tetapi secara bersama-sama dan tidak didiskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, golongan maupun kelompok yang memiliki pandangan politik tertentu dalam rangka. mewujudkan tujuan yang berdasarkan pada nilai Keadilan Sosial Pancasila. Hal ini tentunya sejalan dengan prinsip-prinsip politik islam yang mengutamakan kemaslahatan publik

Dengan demikian , dalam konsep persamaan (Al-Musawa), nilai keadilan menduduki peran sentral dalam konteks politik terkait relasi kekuasaan anatara negara dengan masyarakat. Oleh karena itu, politik islam nusantara harus menjadi tuntunan baik prinsip, pemikiran dan tindakan untuk mewujudkan kehidupan politik yang santun dan bermoral dengan tidak menghalalkan segala macam cara, namun mengacu pada tujuan mensejahterakan rakyatnya. Etika poltik disini bermuara pada upaya kulturisasi politik dengan menempatkan sistem nilai yang memiliki karakteristik tertentu (local wisdom) sebagai salah satu elemen utama dalam konsepsi Islam Nusantara yang mampu menyeimbangkan antara islam dengan budaya lokal dalam wilayah nilai-nilai luhur dan universal keislaman dan kenusantaraan dengan menempati posisi yang sejajar. Dengan kerangka berpikir seperti itu, tentunya akan melahirkan wawasan yang tidak hanya menekankan aspek yang bersifat tekstual tetapi lebih berorientasi pada pemikiran yang substantif. 3.2 Hubungan Al-Musawa Dengan Demokrasi Partisipatif Yang Berbasis Maqashid

Asy-syariah

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa konsep Al-Musawa dalam arti politik mengandung muatan persamaaan hak-hak politik dan kedudukan di muka hukum, maka penguatan terhadap civil society sebagai kontrol sosial politik tehadap domniasi negara perlu di upayakan melalui pemberdayaan dan penyadaran politik masyarakat secara kultural dengan mengedepankan nilai-nilai etika politik islam nusantara yang berbasis Maqasid Asy-syariah. Politik tidak hanya dilihat melalui proses pemilu yang memilih wakil-wakil politik secara struktural tetapi bagaimana politik itu bisa mensejahterakan rakyat melalui pelibatan langsung dalam proses pembuatan kebijakan publik.

Di negara-negara demokrasi, partisipasi warga dalam proses kebijakan merupakan hal yang lazim. Partisipasi publik dalam proses kebijakan tidak hanya merupakan cermin demokrasi yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari melainkan juga bermanfaat bagi pemerintahan. Keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan membantu pemerintah mengatasi persoalan dalam penentuan prioritas kebijakan.23 Sehingga, dengan antusias masyarakat memberikan

dukungan terhadap pelaksanaan kebijakan agar berhasil baik dan nantinya berimplikasi bahwa pelibatannya dalam kebijakan publik merupakan bagian miliknya dalam politik..

Penulis disini akan mendeskripsikan tentang peran Nahdlatul Ulama sebagai kelompok civil society dan organisasi sosial keagamaan yang memainkan posisinya dalam gerakan Islam pada masa kurun waktu kepemimpinan Orde Baru sampai Pasca Reformasi (sekarang), yaitu: a. Konfigurasi Politik Orde Baru

Terkait kehidupan kepartaian, sejak awal pemerintah orde Baru memiliki tekad menjamin satabilitas politik dengan mengatur sistem kepartaian secara ketat dalam rangka stabilitas pembangunan ekonomi. Pemerintah menetapkan kebijakan hanya 3 partai politik yang

22 Roberto M. Unger. Teori Hukum Kritis (Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern). Bandung, Nusamedia,

diakui secara formal oleh pemerintah,yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Pengaturan yang sangat ketat dari pemerintah, membuat NU mengambil keputusan untuk menarik diri dari keter- libatan politiknya secara organisatoris sebagai bagian dari PPP pada tahun 1992. Hal ini dengan pertimbangan sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Wahid bahwa kalau NU terus membiarkan dirinya terperangkap di dalam struktur politik formal yang secara ketat dikendalikan oleh pemerintah, ia harus terus digiring untuk melakukan penyesuaian dengan keinginan penguasa.24 Pernyataan ini jelas merupakan upaya penyelamatan atas kepen-

tingan NU sendiri dan kepentingan umat secara keseluruhan terhadap pemerintahan orde Baru yang otoriter-birokratis. Karena negara seyogyanya memberikan kesempatan kepada

civil society yang berada diluar struktur pemerintahan untuk berpartisipasi aktif dalam pem- bangunan nasional secara mandiri bergerak di luar pengendalian pemerintah. Tetapi apabila tingkah laku politik itu dibatasi untuk kepentingan mendukung program pembangunan pemerintah Orde Baru, maka gerak fungsi NU direduksi oleh kepentingan politik penguasa. Penarikan NU dari PPP menyebabkan mengalirnya banyak warga NU untuk mendukung Golkar dalam Pemilihan Umum 1987. Kendatipun demikian, meski NU tidak berada dijalur struktur pemerintah namun sebagai kumpulan civil society yang otonom mampu berdayaguna dalam proses kegiatan politik dengan banyak memprioritaskan kepada pemberdayaan masya- rakat sipil. Hal ini ditunjukkan dalam kegiatan Rapat Akbar tahun 1992 yang menegaskan kembali kesetiaan NU kepada Pancasila, konstitusi dan demokrasi.

Berpangkal uraian diatas, dalam memahami watak Orde Baru peranan pemerintah sangat dominan. Logika yang dibangun pada saat itu adalah memaksimalkan pembangunan ekonomi dan harus didukung oleh stabilitas politik dengan meminimalisasi konflik politik. Realita politik yang demikian, maka tidak ada satupun elemen masyarakat yang terlibat dalam pem- buatan kebijakan publik, karena semua produk hukum yang berbentuk UU berasal dari rancangan dan inisiatif pemerintah semenjak tampilnya anggota-anggota DPR hasil Pemilu 1971. Oleh karena itu, meski NU sebagai civil societ kekuatannya sangat lemah untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan publik tetapi tetap menunjukkan kritik dan pendapatnya tentang kebijakan pemerintah di luar birokrasi.

b. Konfigurasi Pasca Reformasi

Tumbangnya Orde Baru mulai membuka kran demokrasi dengan ditandai banyak partai (multipartai) yang ikut dalam sistem pemilu. Namun, jika dicermati dengan seksama pola perilaku politik NU mengalami pergeseran orientasi politik NU yang semula bercorak kultural (cultural oriented) dengan fokus gerakan pada pembelaan masyarakat, kini perilaku politik NU kian menampakkan wajahnya yang struktural (structural oriented). Pergeseran perilaku politik ini juga bisa dilihat dari keterlibatan tokoh-tokoh NU yang secara intens memobilisir massa nahdliyyin guna menopang perolehan suara PKB pada pemilu1999 sebagaimana amanat hasil rapat pleno PBNU ke-4 tanggal 24 Juli 1998 di Jakarta. Hasil rapat ini berisi seruan agar seluruh warga NU memberikan dukungan dan memelihara PKB sebagai satu- satunya partai milik warga NU.25 Kendati demikian, tindakan politik NU yang berpolitik

praktis dan masuk pada sturuktur negara itu tidak serta merta harus dijustifikasi bahwa NU berorientasi pada politik kekuasaan. Realita politik tentang strategi politik NU yang cenderung masuk dalam struktur negara berimplikasi adanya keraguan apakah peran NU sebagai wakil eksekutif maupun eksekutif mampu menampung aspirasi ummat ataukah kepentingan elite politik yang mendominasi terhadap pembuatan kebijakan publik dalam wujud pemben- tukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, NU sebagai lembaga gerakan sosial islam yang tidak hanya fokus pada politik kekuasaan tetapi sebagai gerakan yang menggunakan politik untuk mencapai kesejahteraan umatnya dan harus tampil sebagai sarana penyeimbang yang berada di luar pemerintahan untuk fokus dalam pemberdayaan politik masyarakat secara kultural. Mengutip pendapat dari Kiai Sahal, bahwa:

24 Andre Feillard, Nahdlatul Ulama: Fleksibilitas, Legitimasi, dan Pembaharuan ( Yogyakarta, LKiS bekerjasama

dengan Pustaka Pelajar, 1994), hlm 20.

“ soal politik bukan sekedar soal menyalurkan aspirasi politik untuk menegakkan kepemim- pinan negara semata, melainkan soal menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat. Karena itu, yang penting bukan penguasaan kekuasaan struktur politik formal dengan meng- abaikan proses kulturisasi politik dengan warna yang lebih islami. Bila ini terjadi maka kenyataan sekularlah yang akan terwujud, dan hanya akan menjauhkan umat dari tujuan utamanya, sa’adatuddarain”.26

Berpangkal dari uraian diatas, hubungan konsep Al-musawa dapat memiliki keterkaitan dengan demokrasi partisipatif jika ditarik pada penguatan partisipasi politik civil society yang tidak bermakna politik kekuasaan tetapi sebagai alat kontrol mulai dari pembuatan dan pelaksa- naan kebijakan publik. Partisipasi tersebut setidaknya sesuai dengan tujuan kemaslahatan maqasid asy-syariah yang terbingkai dalam kerangka amar ma’ruf dan nahi munkar di satu pihak dan kerangka bekerja sama dalam menegakkan kebaikan dan ketakwaan.27

Dalam konteks politik, partisipasi tidak hanya dimaknai sebagai proses pelibatan dan dukungan yang bertendensi mobilisasi dengan melahirkan partisipasi politik yang cukup besar dan hanya sekedar untuk memperoleh legitimasi atau dukungan saja tetapi juga sebagai arena tawar menawar yang dimungkinkan lahirnya persetujuan, legitimasi, ataupun penentangan dan resistensi, sehingga partisipasi dijadikan sumber pengetahuan dan komunikasi. Pemaknaan seperti ini akan berimplikasi pada keseimbangan kekuatan relatif antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan Oleh karena itu, semakin banyak kegiatan dalam rangka pelibatan masya- rakat yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok masyarakat sebagai representative stake- holder maka akan menentukan kualitas partisipasi politik. Selain itu juga didukung oleh instrument dan media partisipasi melalui penelitian, survey, diskusi, seminar, lokakarya, pembuatan counter legal draft, kunjungan lapangan, dan lain-lain.28

Faktor-faktor di atas merupakan bukti bahwa dengan konsep Al-musawa/persamaan kedudu- kaan antara pemerintah dengan masyarakat dapat dikatakan sejajar yang diakui eksistensi hak rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan, sebagaimana dikuatkan secara normatif dalam Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Persamaan hak dimaknai sebagai peluang untuk melahirkan dan menguatkan masyarakat civil society atau dikenal dengan masyarakan madani yang mengedepankan nilai-nilai prinsip keagamaan sebagai etika politik yang berpijak pada tanah airnya tanpa kehilangan nilai-nilai keislamannya.

IV KESIMPULAN

1. Makna al-musawa dalam konteks politik islam nusantara yang berbabasis maqashid asy- syariah bukan meupakan konsep tunggal dan berdiri sendiri tetapi di dalamnya mengandung nilai-nilai keadilan yang menduduki peran sentral dalam membawa kemaslahatan publik dengan menekankan pada persamaan hak politik dan perlakuan kedudukan yang sama di muka hukum dan pemerintahan yang berdasar pada etika politik sesui dengan nilai-nilai islam. 2. Konsep Al-musawa dapat memiliki keterkaitan dengan demokrasi partisipatif jika secara kontekstual dimaknai sebagai peluang untuk melahirkan dan menguatkan masyarakat civil society/masyarakat madani yang berada di luar kerangka struktur negara sebagai alat kontrol pemerintah mulai dari pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public dengan mengedepankan nilai-nilai prinsip keagamaan sebagai etika politik yang berpijak pada tanah airnya tanpa kehilangan nilai-nilai keislamannya.

26 Munawir Aziz , “Fikih Siyasah . Op.Cit., hlm 334. 27 Ibid, hlm 332.

28 Zaini Rahman, Fiqih Nusantara dan Sistem Hukum Nasional Perspektif Kemaslahatan Kebangsaan

DAFTAR PUSTAKA Buku

1. Feillard Andre, Nahdlatul Ulama: Fleksibilitas, Legitimasi, dan Pembaharuan ,Yogyakarta, LKiS bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1994.

2. Ridwan, Paradigma Politik NU: Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik, cet. I, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004.

3. Masdar, Umarudin, Membaca pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi, cet.II, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999.

5. Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi , Jakarta: Kencana, 2006.

6. Hasan, Tolchah, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural,Edisi I, Jakarta: Lantabora,2014. 7. Budiardjo,Miriam Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet ke 7, Jakarta:Gramedia, 1996.

8. Urofsky, Melvin, Prinsip-prinsip Dasar Demokrasi, Virginia Commonwealth University, United States, 2001.

9. Teraju Indonesia, Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan, cet.3, Mizan Pustaka, Jakarta, 2016, hlm 321.

10. Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik (Bandung: Tarsito, 1995), hlm 42

11. Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Cet ke 2, Jakarta, Konstitusi Press,2005.

12. Tim Forza Pesantren, Ijtihad Politik Islam Nusantara: Membumikan Fiqih Siyasah Melalui Pendekatan Maqashid Asy-Syari’ah,,Kediri:Lirboyo Press, 2015.

13. M Hadjon, Philippus, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia., Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1987.

14. Haekal, Muhammad, Husain, Sejarah Hidup Muhammmad , Jakarta: Lentera Antar Nusa,2003. 15. Unger, Roberto, Teori Hukum Kritis (Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern). Bandung,

Nusamedia, 2007.

16. Darmawan,Triwibowo, Gerakan Sosial; Wahana Civil Society bagi Demokratisasi, Jakarta: LP3ES, 2006.

17. Rahman, Zaini, Fiqih Nusantara dan Sistem Hukum Nasional Perspektif Kemaslahatan Kebangsaan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2016

Jurnal

Wahid Abdurrahman, Islam dan Pemberdayaan Civil Society:Pengalaman Indonesia,Halqoh, Edisi No.6/1988, 22.

Hidayat Arif, Analisis Politik Hukum Partisipasi Masyarakat Dalam Sistem Penganggaran Daerah di Indonesia Pasca Reformasi, Jurnal Pandecta, Volume 6, No.1, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang,2012.

Online

Hamid Fahmi Zarkasy, Konsep Adil Dalam Politik Islam, http://inpasonline.com/konsep-adil-dalam- politik-islam/, diakses 29 April 2011.

Curriculum Vitae

Erfina Fuadatul Khilmi, adalah dosen tetapi pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Jember, Jawa Timur. Bisa di hubungi melalui Email: finakhilmi@gmail.com

ABSTRAKSI

Ahluss sunnah Wal Jama’ah atau Aswaja makna sederhananya adalah kelompok atau golongan yang senantiasa mengamalkan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Tentu pen- definisikan makna Aswaja tersebut hanya disesuai dengan pemahaman dan perspektif kami. Dalam sejarah islam, paham Aswaja muncul tidak lebih dari persoalan kehidupan politik kekuasaan para sahabat. Sebab, konsep kepemimpinan dengan khilafah pada masa itu mengalami benturan mazhab politik sehingga perpecahan-perpecahan di kalangan umat islam terjadi dan menimbulkan banyak korban. Petikaian yang bermula pada persoalan politik kekuasaan, berubah menjadi persoalan ke-tauhid-an dan aqidah. Akibat dari perbe- daan paham umat Islam, muncul firqoh-firqoh (kelompok), yang saling mengkafirkan bahkan saling membunuh antar umat Islam.

Di zaman modern seperti sekarang ini, seolah gerekan-gerakan radikal (trans-nasional), hanya mengulang kembali firqoh-firqoh yang dulu sudah pernah muncul pada masa khilafah Islam. Jargon khilafatisme yang dikampayekan oleh sebagian kelompok islam Indonesia adalah barang dagangan yang di luar Indoensia tidak laku untuk diperjual- belikan. Paham Aswaja yang di pahami sebagai mazhab beragama di bumi nusantara ini telah terbukti dapat memberikan kepastian di dalam kehidupan sosial, politik, hukum dan lainnya. Tentu prinsip-prinsip aswaja belum semua dapat terlakasana secara sempurna, akan tetapi ghiroh aswaja sudah dapat di rasakan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan aswaja hari ini, dapat dimunculkan sebagai media untuk menuju negara yang berkeadilan, makmur dan sejahtera. Praktik keagamaan yang sesuai dengan local wisdom adalah jawaban dari krisis paham keagamanan yang dimotori oleh kelompok-kelompok anti-pancasila dan anti-kebinneka tunggal ika-an.

Key Word: Aswaja, Gerakan Aswaja

GERAKAN ASWAJA DALAM PUSARAN

Dalam dokumen STRATEGI INTELEKTUALISASI DAN PROGESIFITAS M (Halaman 127-133)