• Tidak ada hasil yang ditemukan

GARIS-GARIS BESAR DOKTRIN ASWAJA

INTERNALISASI DOKTRIN DAN PEMIKIRAN ASWAJA DALAM BERAGAMA, BERBANGSA DAN BERNEGARA

III. GARIS-GARIS BESAR DOKTRIN ASWAJA

Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (addīn) yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syarī’ah sebagai realitas  hukum, tharîqah sebagai jembatan  menuju haqīqah yang  meru- pakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan), masing-masing saling meleng- kapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa mengintegrasikan keimanan

dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang ditegaskan dalam firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. (QS. Albaqarah: 208) Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, ”hakikat Islam adalah aktifitas badaniah (lahir) dalam menjalankan kewajiban agama, hakikat iman adalah aktifitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat ihsan adalah aktifitas ruh dalam penyaksian (musyâhadah) kepada Allah”.[2]

Dalam perkembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keislaman, melahirkan disiplin ilmu yang disebut fiqh. Kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu tauhid. Dan kecenderungan ulama dalam dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau akhlak. Paham ASWAJA mengakomodir secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran esensialnya. Karena praktek eksoterisme keagamaan tanpa disertai esoterisme, merupakan kemunafikan. Begitu juga esoterisme tanpa didukung eksoterisme adalah klenik. Semata-mata formalitas adalah tiada guna, demikian juga spiritualitas belaka adalah sia-sia. Imam Malik mengatakan:

Barang siap menjalani tasawuf tanpa fiqh, maka dia telah zindiq, barang siapa memegang fiqh tanpa tasawuf, maka dia telah fasiq, dan barang siapa menyatukan keduanya, maka dia telah menemukan kebenaran.

a. Doktrin  Keimanan

Iman adalah pembenaran (tashdīq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang dibawanya dari Allah. Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman pada akidah islamiyah (ushūluddīn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al’asy’ari (260 H./874 M.-324 H./936 M.) dan Abu Manshur Almaturidi (w. 333 H). Kedua tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam masalah akidah islamiyah, meliputi sifat- sifat wajib, mustahil dan ja’iz bagi Allah, para rasul dan malaikatNya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal. Yaitu dalam masalahistitsnā’, takwīn, dan iman dengan taqlid.

Pertama istitsna’, atau  mengatakan keimanan  dengan insya’Allah, seperti ”Saya beriman, insya’Allah”, menurut Maturidiyah tidak diperbolehkan, karena istitsnādemikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal dengan adanya ragu-ragu. Menurut Asyā’irah diperboleh- kan, karena maksud istisnā’ demikian bukan didasari keraguan atas keimanan itu sendiri, melain- kan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ūdzu billah min dzalik. Atau, istitsnā’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.

Kedua sifat takwīn (mewujudkan), menurut Asyā’irah sifat takwīn ( ) tidak berbeda dengan sifat Qudrah. Sedangkan menurut Maturidiyah, takwīn adalah  sifat tersendiri  yang berkaitan dengan sifat Qudrah.

Dan ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya). Menurut Maturidi, imannya muqallid sah  dan  disebut arif serta  masuk  surga.  Sedangkan Menurut Abu Alhasan Al’asy’ari, keimanan demikian tidak cukup. Sedangkan Asyā’irah (pengikut Abu Alhasan Al’asy’ari) berbeda pendapat tentang imannya muqallid. Sebagian menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau berusaha mengetahu melalui dalil; sebagian mengatakan mukmin dan tidak berdosa kecuali jika mampu mengetahui dalil; dan sebagian yang lain mengatakan tidak dianggap mukmin sama sekali.

Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada imanbittaqlīd, iman biddalīl, iman bil iyyān dan iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîdadalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, imanbiddalīl (ilmul yaqīn) ialah keyakinan terhadap aqā’id lima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang ( ) dalam menge-

kepada Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya. Dan keempat, iman bil haqq (haqqul yaqīn) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadīts dan tenggelam dalam fanā’ billah.

Mempelajari ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl(ilmul yaqīn), dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman bil iyyān (‘ainul yaqīn) hingga puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqîn). Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau mengEsakan Allah dalam af’āl, shifah dan dzāt. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid fi’li, yaitufana’ dari seluruh perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana’ dari  segala  sifat;  dan tauhiddzati, yaitu fana’ dari  segala  yang maujūd. Fana’ fi’li disebut juga dengan ilmul yaqīn, fana’ washfi disebut juga dengan ‘ainul yaqīn, dan fana’ dzati juga disebut  dengan haqqul yaqīn. Level tauhid demikian ini merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah:

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. Ashshafat: 96) Sebagian ulama ’arif billah menyatakan:

Barang siapa dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia telah beruntung, barang siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu diperbolehkan, dan barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia telah wushul.

Konsep tauhid ASWAJA mengenai af’âl (perbuatan) Allah, berada di tengah antara paham Jabariyah di satu pihak dan Qadariyah dan Mu’tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah menya- takan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia atas segala kehendak dan perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan perbuatannya, maka lahirlah ASWAJA sebagai sekte moderat di antara dua paham ektrim tersebut. ASWAJA meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam keyakinan ASWAJA, secara dhahir manusia adalah ‘kuasa’ (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah majbûr(tidak memiliki qudrah apapun).

Dalam doktrin keimanan ASWAJA, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan menjadi kafir, dengan melakukan kemaksiatan. Seseorang yang melakukan maksiat ataupun bid’ah, sementara hatinya masih teguh meyakini dua kalimat syahadat, maka ASWAJA tidak akan menvonis sebagai kafir, melainkan sebagai orang yang sesat (dhalâl) dan durhaka.[3] ASWAJA sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam sikap takfīr (mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang yang sejatinya mukmin akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw. bersabda:

Ketika seseorang berkata kepada saudaranya: “wahai seorang yang kafir”, maka salah satunya benar- benar telah kafir. (HR. Bukhari)

Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan wujud Allah, mengandung unsur syirik yang tidak dapat dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam agama (ma’lūm bi adldlarūri), dan mengingkari hal- hal mutawātir atau mujma’ ‘alaih yang telah lumrah diketahui. Tindakan yang menyebabkan sese- orang dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa dita’wil.

b. Doktrin Keislaman

Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fiqh yang meliputi hukum-hukum legal-formal (ubudiyah, mu’amalah, munakahah, jinayah, siyasah dan  lain-lain), ASWAJA berpedoman pada salah satu dari empat madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.

terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari empat madzhab ini relatif tawāzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan). Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab Mu’tazilah yang cenderung rasionalis.

Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh ASWAJA di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang selamat, jalan terbaik diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya:

Sebaik-baiknya perkara adalah tengahnya.

Dengan prinsip inilah ASWAJA mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan dalil Alqur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas (analogi), diakuinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh ASWAJA hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan bukan mutlak benar. Empat dalil (Alqur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas) ini dirumuskan dari ayat:

Hai orang-orang yang beriman, ta‘atilah Allah dan ta‘atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya) ... (QS. Annisa’: 59)

Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa dijadikan tendensi penggalian (istinbâth) hukum, yaitu Alqur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang pada Alqur’an dan Hadits, perintah taat kepada ulil amri berarti  perintah berpegang  pada  Ijma’  (konsensus)  umat  (mujtahidîn), dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti perintah berpegang pada Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma’. Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.

Disamping itu, ASWAJA juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat yang tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan melakukan ijtihad. Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-benar memiliki kapasitas dan piranti ijtihad sebagai- mana yang dikaji dalam kitab Ushul Fiqh. Dengan demikian, ASWAJA tidak pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang agaknya dewasa ini ‘enggan’ memasukinya. Mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja memaksakan susuatu di luar batas kemampuannya. Maka kepada umat seperti inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh ASWAJA berdasarkan firman Allah:

... Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS. Annahl: 43) c. Doktrin Keihsanan

Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhallī) baju kenistaan (akhlaq madzmūmah) dan mengenakan (tahallī) jubah keagungan (akhlaq mahmūdah), sehingga Allah hadir (tajallī) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya, dan inilah

Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.

Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau akhlaq ini, ASWAJA berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Imam Aljunaid Albaghdadi dan Alghazali. Limitasi (pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok ASWAJA, seperti Ibn Al’arabi, Alhallaj dan tokoh-tokoh sufi ‘kontroversial’ lainnya.

Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori ASWAJA meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fiqh (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli hadits (muhadditsīn). Dari kelompok-kelompok ini masing-masing memiliki konsep metodologis dan tema kajian sendiri-sendiri yang tidak bisa diuraikan di makalah ringkas ini.