• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Aktansial

Dalam dokumen SEMIOTIKA KONTEMPORER (Halaman 139-148)

Tokoh dan Pemikiran Semiotik

C. Analisis Aktansial

omorphaus (bahan) C. Analisis Aktansial

Bila ‘wacana’ yang dimaksudkan oleh Greimas sebagai “bahasa sebagaimana yang dipakai oleh penutur bahasa’ atau wacana itu adalah “bahasa sebagaimana ia dipakai”, maka bila dipahami dengan cara ini, akan jelas bahwa Greimas itu pertama-tama lebih tertarik pada sisi parole dalam distingsi

langue-parole. Walaupun demikian, langue (atau sistem

bahasa) tetap merupakan satuan analisis yang harus dipakai, karena apabila seseorang ingin membangun suatu ‘kata bahasa’, maka ujaran harus dipahami sebagai yang tertata dengan cara tertentu. Ujaran tidak bersifat kontingen atau sembarang saja. Berdasar pada alasan ini, maka semiotik struktural etnografi dari Bourdie lebih diorientasikan pada strategi daripada aturan. Aturan mensyaratkan adanya seorang pelaku di balik suatu tindakan yang patuh pada aturan ini. Pengertian ‘aturan’ banyak mendominasi pemikiran para ahli strukturalis awal, yang akibatnya mengutamakan para pelaku di balik tindakan.

Sebaliknya bagi Greimas, yang ada hanyalah para

actant—entitas yang dibentuk oleh konfigurasi

tindakan-tindakan diskursif itu sendiri. Dengan cara yang sama, pada suatu semiotik struktural jenis Greimasian, tidak

ada subjek di balik wacana, yang ada hanyalah subjek yang dibentuk oleh tindakan diskursif itu sendiri. Dapat saja ada suatu subjek puncak, namun tidak menjadi bahan pemikiran semiotik selain ontologi. Oleh ssebab itu, Greimas mengatakan bahwa ‘pelaku sintaksis’ (syntactic actant) bukan ‘orang’ yang berbicara (subjek ontologis) melainkan ‘orang yang berbicara’—manusia semua yang dibentuk oleh tindak bercakapnya. Selain itu, seperti para pemikir strukturalis lainnya, Greimas berusaha untuk tidak mempsikologisasikan subjek diskursif. Seorang pelaku dapat sama dengan dua orang pelaku psikologis, misalnya sepasang suami istri yang bersama-sama membentuk satu fungsi dalam suatu narasi. Sebuah kota dapat menjadi actan, seperti kota Paris dalam “Two Friends” karya Maupassant.

Dalam usaha untuk menyajikan seperangkat peran atau aktan yang universal, Greimas mengembangkan sebuah model aktansial yang mendasari setiap “pertunjukkan” makna, entah itu berupa kalimat ataupun cerita. Makna menjadi sebuah totalitas, karena ia didasari oleh struktur aktansial ini. Tidak ada satu pun cerita yang dapat menjadi suatu totalitas yang bermakna tanpa didasari oleh struktur aktansial ini (Kris Budiman, 1999:76). Menurut Greimas, di dalam tahap pemikiran pra-bahasa, proses signifikasi bermula dari oposisi-oposisi biner dasariah yang mengambil bentuk antroposentris. Melalui tahap ini oposisi-oposisi yang murni bersifat logis dan konseptual berubah menjadi aktan-aktan yang berada dalam situasi yang penuh polemik, yang akan membentuk sebuah cerita seandainya dibiarkan secara temporal. Aktan-aktan ini, apabila memperoleh kualitas sosio kultural, akan membentuk peran-peran (roles) di dalam tindakan-tindakan fiksional. Namun, apabila mendapatkan kualitas individual, mereka menjadi pelaku-pelaku (acteurs) atau tokoh-tokoh (characters) (Kris Budiman,

Penolong Subjek Penghalang

Tokoh dan Pemikiran Semiotik

1999:3).

Model aktansial di atas berfokus pada objek yang dikehendaki atau dicari oleh subjek dan yang disituasikan di antara pengirim (sender) dan penerima (receiver). Berbarengan dengan itu, keinginan subjek didukung oleh penolong (helper) dan dihambat oleh penghalang (opponent). Yang menjadi poros-poros dari model ini adalah keinginan, komunikasi, dan partisipasi. Ketiganya menghubungkan aktan-aktan atau “pelaku-pelaku” secara mendasar (Kris Budiman, 1999:76-77). Di lain pihak, Sebuah sekuens naratif pada dasarnya tersusun karena adanya transfer suatu nilai atau objek dari satu aktan kepada aktan yang lain, meskipun aktan-aktan yang pokok di dalam sebuah wacana naratif hanya berjumlah dua buah. Aktan-aktan tersebut, pada dasarnya memerankan dua peran pokok, yaitu disjungsi dan konjungsi (penyatuan dan pemisahan; perjuangan dan rekonsiliasi). Aktan-aktan tersebut masih dapat dijabarkan lagi ke dalam enam peran yang bervariasi, yaitu 1) subjek, 2) objek, 3) pengirim (destinateur); 4) penerima (destinaire), 5) lawan (opposant), serta pembantu (adjuvant). Inventarisasi aktan-aktan ini, dalam padangan Greimas, sekaligus menyusun sebuah leksikon bagi paradigma naratif ((Kris Budiman, 1999:3)

Apabila penginventarisasian aktan-aktan dapat dianggap membentuk suatu leksikon paradigma wacana naratif, maka suatu daftar tambahan berupa struktur-struktur sintaktik atau prinsip-prinsip struktur-strukturasi pun dibutuhkan untuk melengkapi sebuah gramatika naratif. Untuk itu, Greimas mencoba memilah tiga tipe sintagma

10 7

yang masing-masing berlainan; 1) sintagma kontraktual

(syntagmes contractuels), yang mengarahklan situasi

secara menyeluruh untuk membina atau mematahkan kontrak, pengasingan, dan atau integrasi, dan seterusnya; 2) sintagma performatif (syntagmes

performanciels), yang terdiri dari pengujian-pengujian,

perjuangan, pelaksanaan tugas-tugas, dan seterusnya;

dan 3) sintagma disjungional (syntagmes

disjonctionnels), yang terdiri dari gerakan-gerakan

peralihan, kepergian, kedatangan, dan seterusnya (Kris Budiman, 1999:109-110).

Untuk memahami cara aktan berfungsi, khususnya dalam suatu wacana naratif, Greimas mengembangkan sejumlah istilah kunci yang harus dipahami, yaitu ‘modalitas’, ‘aspektualitas’, ‘isotopi’. Istilah kunci pertama adalah ‘modalitas’. Dalam linguistik, pada awalnya istilah ini menunjuk pada ‘yang mengubah predikat pada sebuah ujaran’. Dalam ujaran ‘John harus menulis surat’, predikatnya ada dalam cara kewajiban. Dalam logika, modalitas terkait dengan cara bagaimana sesuatu itu dapat berarti dalam suatu hal atau lainnya, benar atau salah. Misalnya, bila seseorang mengatakan ‘ia sakit pada tahun 2005’ adalah memberikan modalitas temporal kepada satu keadaan sakit. Mungkin penggunaan modalitas Greimas lebih dekat kepada ‘pengertian logis’ daripada ‘pengertian linguistik”, karena ia ingin memberikan status aksiomatik pada pengertian ini. Maka dari itu, modalisasi merupakan ciri yang membatasi setiap situasi aktansial yang memang selalu ada dalam situasi semacam itu.

Oleh sebab itu, ‘ingin untuk’, ‘harus’, ‘mengetahui’, ‘mampu untuk’, ‘melakukan’, ‘adalah’, dan lainnya membentuk nilai-nilai modal dasar yang sesuai dengan tingkatan-tingkatan eksistensi tertentu pada jagat semiotik mikro yang otonom. ’Ingin untuk’ dan ‘mampu untuk’ berkaitan dengan eksistensi pada tataran

abstrak nilai modal, ‘mengetahui’ dan ‘mampu untuk’

berhubungan dengan tataran aktualitas, sedangkan ‘melakukan’ dan ‘adalah’ berjalinan dengan tataran realisasi. Singkatnya, modalisasi adalah upaya ‘meletakkan’ bentuk suatu ‘deklarasi aksiomatik’, yang didasarkan pada ‘prosedur hipotetiko-deduktif’, bukan bersifat induktif.

Modalisasi bersikap berlebihan dalam menemukan tidakan para aktan, yaitu subjek dalam wacana naratif, Karena secara khusus mereka terkait dengan tindakan, secara niscaya mereka tidak bersifat kontinyu. Oleh sebab itu, mereka tidak mampu memasukkan keadaan-keadaan yang kontinyu, seperti pada nafsu dan emosi, atau kepada perwatakan—‘modalisasi pada keadaan subjek’—lebih daripada dalam upaya bertindak. Lebih lanjut, jika modalitas datang dari suatu aksiomatik yang membangkitkan suatu tatanan dan sistem, maka nafsu

akan membangkitkan ketidakteratutaran,

ketidaklengkapan, kekusutan, dan ketidakstabilan— proses-proses yang sulit untuk distabilkan.

Untuk menghadapi hal ini, Greimas memperkenalkan istilah ‘aspektualitas’ dalam telaah semiotik tentang nafsu. Di sini aspektualitas kelihatan dominan dalam karya puisi-puisi tertentu yang menitikberatkan ketidaklengkapan dari pada ‘nilai semantik yang diidamkan objek itu’ Oleh sebab itu, ‘cinta hanya dapat diraih pada saat-saat pertama, ‘tatapan saat kelopak mata terbuka; hari saat fajar; kehidupan manusia saat kecil’. Kata atau frase atau kalimat seperti itulah yang sering muncul sebagai penggambaran ‘situasi permulaan’. Hal kunci pada aspektualitas adalah kedudukan penting yang dianggapnya ada pada tubuh dalam kaitannya dengan nafsu dan perwatakan subjek, suatu hal yang dapat mengawali bidang penelitian yang tampaknya bersifat sangat abstrak dan sarat pemikiran (cerebral).

Konsep kedua, isotopi adalah kata kunci lainnya untuk memahami semiotik Greimas. Melalui konsep ini, Greimas mampu memindahkan titik pusat perhatian semiotik dari kalimat ke wacana. Terpinjam dari ilmu kimia (atau ilmu-ilmu alam), isotopi terkait dengan tingkatan-tingkatan makna yang sejajar dalam suatu diskursus homogen yang tunggal. Hal ini berbeda dengan pertentangan hirarkis ‘permukaan laten’ yang mirip dengan struktur permainan kata. Isotopi memungkinkan berbagai unsur berbeda (makna, tindakan, ujaran) menjadi terkait dengan suatu wacana yang sama. Dalam telaahnya terhadap cerita pendek karya Maupassant “Two Fiends”, Greimas menunjukkan bahwa suatu isotopi dapat berupa aktorial, diskursif,

figuratif, atau tematis. Isotopi bentuk aktorial berfungsi

saat kalimat yang mengungkapkan berbagai tindakan pada akhirnya menunjuk ke satu pelaku--, “Paris”. Isotopi diskursif berfungsi saat kalimat-kalimat yang dibuat secara independen dilihat merujuk pada subjek yang sama. Isotopi figuratif berfungsi saat naskah menjadi sarana berbagai alegori atau perumpamaan. Sedangkan isotopi tematis berfungsi saat naskah ini menyarankan adanya pengetahuan yang berkembang di luar naratif. Greimas meyakini bahwa yang dikandung isotopi berupa ‘pembedaan kandungan mimpi antara yang ‘laten’ dan ‘yang tampil’, seperti yang diyakini Freud, sudah tidak berlaku lagi. Tanpa menolak baik wawasan yang mendalam dari ‘isotopi’ maupun kerumitan masalah, Greimas menangani naskah yang homogen menjadi homogen. Upaya Greimas ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Freud yang seringkali berhadapan dengan naskah yang heterogen dan diusahakan menjadi naskah yang homogen. Hasilnya, pemahaman yang ‘tampil’ dan ‘laten’ tampak menjadi berbeda dalam kedua kasus tersebut.

Isotopi aktorial Satu pelaku

Isotopi diskurfis Subjek yang sama Isotopi figuratif Alegori

Isotopi tematis Pengetahuan

Untuk sampai pada pemahaman seperti itu, Greimas mengingatkan kepada pembaca tentang homologi

empat terma. Konsep homologi empat terma bersangkutan dengan kondisi-kondisi tentang persepsi makna. Di saat pembaca sedang mengkonstruk objek-objek kultural, pikiran pembaca harus mematuhi aneka kendala yang menentukan “kondisi-kondisi keberadaan objek-objek semiotik”. Kendala paling mendasar adalah ‘struktur signifikasi elementer’ yang mengambil bentuk

homologi empat terma (A:B:-A:-B) dan memperlengkapi

sebuah model semiotik yang dirancang untuk menjelaskan artikulasi-artikulasi makna di dalam semesta semantik bertataran mikro (micro-semantic

universe). Karena sifatnya yang diakritik, maka setiap

makna bergantung pada oposisi-oposisi, dan struktur empat terma ini menghubungkan satuan sekaligus dengan kebalikan dan lawan-lawannya (hitam:putih:

tidak hitam: tidak putih). Konfigurasi dasar ini tetap

berlaku pula bagi representasi makna yang paling sederhana dari sebuah teks secara keseluruhan serta dapat dipahami sebagai suatu korelasi di antara dua pasang terma yang beroposisi (Kris Budiman, 1999:46). D. Kasus “Two Friends”

Two Friends merupakan karya Maupassant yang

dibedah wacana naratifnya oleh Greimas. Namun dari 250 halaman Two Friends hanya 5 halaman saja yang dianalisis oleh Greimas. Kontras semacam ini yang menjadi ciri khas Greimas, tampaknya mulai mempertanyakan kemungkinan praktis dalam melakukan analisis, bukan hanya naskah yang panjang, tetapi juga naskah yang lebih rumit. Potongan kisah yang dianalisis Greimas berawal dari kisah dua sekawan yang sedang memancing tertangkap oleh tentara Prussia. Setelah tertangkap oleh tentara Prussia (waktu itu sedang berlangsung perang Prancis-Prussia), pada saat sedang memancing, dua orang bersahabat (the

two friends) itu ditembak karena dianggap sebagai

mata-mata Prancis. Tubuh mereka diberi beban dan dimasukkan ke dalam sungai tempat ikan yang sedang mereka pancing. Eksekusi selesai, perwira Prussia yang memerintahkan eksekusi ini kemudian memerintahkan agar ikan yang ada untuk dimasak. Segera setelah itu, pada akhir baris terakhir tertulis, ‘kemudian ia mulai mengisap pipanya lagi’.

Di sini para pembaca akan terhenyak oleh adanya kontras yang tajam antara baris terakhir dengan yang mendahuluinya. Dapat ditafsirkan bahwa (karena nampak tidak bersatu dengan bagian sebelumnya dan tampak seperti begitu saja diletakkan) baris terakhir ini mejadi kunci muatan emosional cerita ini, muatan yang dimunculkan oleh ketidakpedulian tanpa rasa iba sedikitpun dalam hati si perwira Prussia. Meskipun— melalui penggunaan isotopi—ia sering merujuk ke simbolisme Kristen dan yang lainnya, namun dalam kaitan dengan kisah ini Greimas tidak meninjaunya sedikit pun. Ini adalah yang dituliskan Greimas dalam bagian yang terkait dengan baris terakhir kisah ini. ‘Mengisap pipa’ jelas merupakan representasi figuratif dari keadaan tenang, yang dicirikan dengan tiadanya

gangguan somatik atau nologis.

Bagi Greimas, baris terakhir ini adalah unsur yang memberikan sumbangan pada sebagian wacana naratif yang dibangunnya. Dalam terang ini ia berusaha menyingkapkan struktur naratif, kemungkinan yang dibentuk oleh modalitas, isotop, tindakan kognitif dan pragmatis, dan sebagainya. Tata bahasa ini akan menjadi sebuah sistem yang implisit terdapat dalam diskurus narasi. Ia (tata bahasa) lebih mendahulukan strategi daripada aturan. Secara mendasar tata bahasa ini masih berada di luar sistem yang ingin diisolasikannya; ia masih mendominasi naskah ajar

(tutor text) dan tampaknya ingin menjadikan naskah

ajar ini sebagai sasaran kuncinya, yang sekaligus disepadankan dengan upaya menghindari penguasaan (atau mistifikasi) naskah oleh tata bahasa. Berdasarkan hal ini, semangat ilmiah yang berada di belakang proyek Greimas ini mensyaratkan adanya keterbukaan dalam upaya melakukan modifikasi teori bila menemui kesulitas. Oleh sebab itu, mungkin pada prinsipnya muatan emosional pada naskah ini seharusnya ikut dikaji, sekalipun itu berarti bahwa semiotik struktural terpaksa harus menerima tantangan yang paling berat.

R

R

OLANDOLAND

B B

ARTHESARTHES

: :

Dalam dokumen SEMIOTIKA KONTEMPORER (Halaman 139-148)