• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Puitik dalam Puisi

Dalam dokumen SEMIOTIKA KONTEMPORER (Halaman 105-112)

Tokoh dan Pemikiran Semiotik

D. Bahasa Puitik dalam Puisi

Dari keenam faktor bahasa dan fungsi bahasa di atas, Roman Jakobson memberikan penekanan khusus pada faktor pesan dan fungsi puitik. Fungsi puitik

bertumpu pada orientasi spesifik pembaca ke arah pesan, yang dirangsang oleh kualitas-kualitas tertentu dari pesan itu. Fungsi puitik itu kerap didefiniskan oleh Jakobson sebagai “seperangkat (einstellung) yang mengarah kepada pesan secara terpusat” atau “fungsi dari ekspresi bahasa puitik (Artur Asa Berger, 2000:16). Menurut Jakobson, salah satu fungsi dari pesan-pesan tersebut adalah penggunaan alat-alat literatur sebagai metafora dan metonimi. Pesan-pesan juga memiliki fungsi emotif dan referensial (Artur Asa Berger, 2000:208).

Fungsi puitik dapat dijumpai dalam semua proses komunikasi verbal, jika perhatiannya hanya diarahkan pada pesan itu sendiri. Jakobson sendiri mengakui bahwa fungsi puitik atau estetik, tidak terbatas pada teks sastra khususnya dan karya seni umumnya, tetapi muncul juga dalam artikel surat kabar, ceramah, dan sebagainya. Seseorang dapat mengimajinasikan bahwa dalam bacaan, misalnya dalam studi sejarah, fungsi puitik (yang disebabkan oleh pemakaian bahasa “sastra”) bersaing keras dengan fungsi referensial (suatu deskripsi tertentu tentang situasi-situasi tertentu dalam sejarah). Fungsi puitik yang diperkenalkan Jakobson ini telah menerobos pemikiran beku tentang puisi. Ia mengemukakan bahwa setiap produksi verbal dapat memiliki fungsi puitik selama memenuhi sifat-sifat seperti perulangan, penyimpangan, penonjolan, atau keambiguan. Pendapat ini diperkuat oleh tokoh lain, antara lain Koch (1966). Namun Koch secara lebih berhati-hati mengemukakan bahwa sesuatu yang memiliki kepuitikan (poeticalness) baru berpotensi sebagai puisi, dan belum tentu sebuah puisi, yang biasanya merupakan bagian dari sastra.

Sebelum Jakobson, usaha untuk menentukan secara sistematis kekhasan bahasa puisi ataupun bahasa kesastraan mulai dilakukan lagi pada abad ini oleh kaum

formalis di Rusia. Mereka adalah kelompok sastrawan daan peneliti bahasa dan sastra yang muncul di Rusia disekitar akhir tahun 1915 dan yang melanjutkan usahanya sebagai kelompok sampai tahun 1930, pada tahun itu pendekatan sastra ini secara resmi dilarang oleh para penguasa Soviet. Kaum formalis ini tidak puas dengan penelitian sastra yang bersifat sosiologis atau psikologis ataupun yang bersifat sejarah, mereka juga tidak tertarik oleh penelitian positivis yang khusus memperlihatkan masalah pokok, tema, motif, lepas dari karya sastra yang konkret. Para formalis itu ingin kembali ke hakikat puisi, yaitu pemakaian bahasa

“poetry is verbalact”(puisi adalah tindak kata); mereka

ingin mengetahui apa yang merupakan ciri khas sebuah karya sastra, apakah literariness-nya, sifat kesastraannya. Roman Jakobson, pada waktu itu seorang linguist yang berusia muda, pada tahun 1921 sudah merumuskan prinsip sastra yang sampai sekarang terus dianutnya “poetry is an utterance

oriented towards the mode of expression”(puisi adalah

ungkapan yang terarah ke ragam ekspresinya); definisi ini diulang pada tahun 1960, dalam bentuk yang agak lain tetapi prinsipnya tetap sama.

Dalam telaah dalam praktek perpuisian, Jakobson menjadi pelopor dalam menunjukan cara bagaimana segala bentuk pertentangan, tetapi secara khusus pertentangan antara konsonan-konsonan muncul dalam kelahiran puisi. Ia juga adalah orang pertama yang menekankan pentingnya irama alam puisi karya Mayakovski dan Khlebnikov. Singkatnya, belum pernah ada ahli linguistik yang berhasil menganalisis puisi dan menyingkapkan struktur diskursus poetika. Di sini Jakobson menyatukan dimensi-dimensi “literer”dan linguitik secara keseluruhan, melalui pengertian tentang struktur yang mempersatukannya.

melainkan fungsi poetika yang terkandung dalam keanekaragaman bentuk-bentuk tertulis dan lisan. Poetika menjadi bagian niscaya dalam telaah bahasa dan realitas atau kata dan benda, tanda dan penanda tidak saling bersinggungan bahwa makna dalam bahasa hanya terkait dalam minimal dengan keterujukan. Bagi Jakobson subjek yang dipelajari oleh ilmu sastra atau poetika bukanlah sastra itu sendiri sebagai sebuah totalitas, melainkan kesastraan (literatur-nost), yakni sesuatu yang membuat sebuah karya menjadi karya sastra.

Menurut Jakobson, hal penting dalam fungsi puitik bukanlah referensi, acuan diluar ungkapan bahasa itu. Pemakaian bahasa dan kata merupakan hal yang menjadi pusat perhatian, walaupun fungsi-fungsi lain bukan tidak ada ada dalam puisi. Dalam puisi, hal utama yang harus diambil adalah message itu saja. Misalnya makna aku dalam puisi Chairil Anwar tidak seperti dalam bahasa sehari-hari yang mengacu pada pembicara, pemakai kata itu, yaitu Chairil Anwar, melainkan pada seseorang yang ke-aku-annya dapat dijabarkan dari isi sajak itu sendiri, lepas dari acuan yang konkret dalam kenyataan. Demikian pula dengan

binatang jalang, yang dipakai sebagai metafora, maka

puisi mungkin sekali menjadi ambigu, bermakna ganda; terlebih lagi pula pengirim dan penerima pesan itu sendiri tidak jelas orangnya. Yang ada hanya pesan itu sendiri, dan pesan itu, yaitu sajak, menjadi sesuatu yang langgeng, lestari dari pada pemakaian bahasa yang formal yang prinsipnya hanya sampah, karena fungsinya sudah terpenuhi kalau pesannya telah diterima dengan baik oleh pendengar. Dalam hal sajak, justru sajak yang tunggal, sedangkan acuan, pengirim dan penerima tidak jelas, itulah yang disebut reification (pembendaan) ungkapan puisi sajak itu menjadi benda, lepas dari pengirim dan penerimanya; sajak sekaligus

benda dan tanda.

Teori Jakobson tentang analisis puisi masih sangat memperlihatkan aroma strukturalis karena ia menggunakan kaidah-kaidah fonologi. Prinsipnya adalah bahwa dalam puisi ada struktur. Konsep strukturalis sebelumnya tentang struktur puisi adalah bahwa puisi harus dikaji dari segi ekspresi, yakni bentuk yang terbaca (atau terdengar), khususnya gejala fonologis dan struktural. Kemudian, analisis puisi pun diarahkan untuk mengkaji isi puisi, biasnya dari segi ‘penyimpangan semantis’ dan ‘pesan’. Meskipun bagi Jakobson dan para tokoh lain, puisi cenderung bergerak ke arah kutub metaforis dari pencarian linguistik, yang mendorong penenelitian awal Jakobson dalam bidang ini adalah pola bunyi puisi yang pada awalnya muncul dalam perbedaan antara puisi Rusia dan Ceko dan bukannya peranan metaphor itu sendiri. Hasilnya Jakobson menemukan bahwa perbedaan antara puisi Ceko dan Rusia adalah dalam iramanya.

Dari telaah irama puisi inilah berkembang fonologi Jakobson. Secara khusus, dengan menitikberatkan perhatian kepada kaitan antara bunyi dan makna, Jakobson menyimpulkan bahwa bunyi dan makna di antarai oleh perbedaan yang kemudian disebutnya sebagai “ciri khusus”. Dapat juga karena dalam pandangan Jakobson, bahasa dietampatkan sebagai suatu sistem makna wicara yang tidak tersusun dari bunyi atau suara, melainkan dari fonem. Dari dasar inilah Jakobson mengarahkan analisis strukturalnya atas fonem, yakni untuk 1) mencari distinctive features (ciri pembeda) yang membedakan tanda-tanda kebahasaan satu dengan yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda seiring dengan ada-tidaknya ciri pembeda dalam tanda-tanda tersebut; b) memberikan suatu ciri menurut

features tersebut pada masing-masing istilah, sehingga

c) merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah-istilah kebahasaan--melalui distinctive features—yang dapat berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan yang lainnya; d) menentukan perbedaan-perbedaan antartanda yang penting secara paradigmatis, yakni perbedaan-perbedaan antartanda yang masih dapat saling menggantikan (Hedy Ahimsa-Putra, 2001:56).

Karena pengertian fonem ini yang masih bertitik pusat pada kualitas intrinsik dari unsur-unsur linguistik meskipun mengarah pada aspek diferensialnya, Jakobson menggunakan istilah “distinctive features (ciri pembeda)” yang pertama kali dipakai dalam karya dua orang linguist yaitu Bloomfield dan Sapir. Distinctive

features merupakan “satuan pembeda makna yang

paling sederhana seperti sonoritas, nasalitas dan sebagainnya. Satuan pembeda makna yang hanya dapat ditentukan secara diferensial ini menjadi penting dalam upaya pembentukan makna. Distinctive features antar-fonem yang tampaknya sederhana, namun ia menjadi penting dalam pembentukan makna. Sebelum diterbitkannya karya Jakobson dalam bidang ini, fonem dianggap mirip seperti “atom” suara yang tidak menuntut adanya “lawan”. Analisis lebih lanjut menunjukan bahwa sekalipun fonem itu sendiri tidak pernah meminta lawan (oposisi), namun pada realitasnya fonem tersebut selalu dikerangkakan dalam

oposisi. Misal, kata basa dan basi, yang hanya berbeda

fonem a dan i, tetapi mengakibatkan perbedaan makna di antara keduanya.

Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain. Misalnya saja /c/ dan /j/ dalam kata ‘pancang’ dan

‘panjang’. Keduanya adalah konsonan yang diartikulasikan dengan melekatkan bagian tengah lidah pada langit-langit mulut. Keduanya bukan huruf hidup, bukan bunyi sengau (nasal), bukan bilabial, bukan pula

dental. Keduanya memiliki ciri-ciri positif dan negatif

tersebut. Meskipun begitu, ciri-ciri itu tidak begitu saja dapat ditangkap, diketahui, dan dijelaskan serta ciri-ciri itu tidak menjelaskan perbedaan di antara keduanya. Ciri pembeda yang beroperasi di antara keduanya adalah suara. Dalam kata voiced saja, fonem /c/ tidak disuarakan, yang terdengar adalah fonem /j/.

Yang paling kontroversial dengan kaitannya dengan teori Jakobson tentang ciri yang menonjol adalah klaimnya tentang ciri yang sama ada dalam setiap bahasa, dan mereka membentuk suatu kategori aspek-aspek linguistik yang tak berubah. Berdasarkan hal ini, ciri khusus menjadi salah satu bagian tak terubahkan dalam sistem komunikasi itu sendiri. Suara dalam bahasa juga melandasi teori Jakobson tentang poetika. Walaupun begitu, istilah suara ini dapat menyesatkan bila pendekatan Jakobson disalah-pahami. Karena suara itu merupakan suatu entitas fisik, Jakobson lebih suka untuk membandingkan wicara dengan musik yang “mengatur suara dalam skala yang berubah secara teratur”, sedangkan bahasa meletakkan ke dalam dirinya skala dikotomis yang hanya menjadi konsekuensi peranan diferensial yang dimainkan oleh entitas fonemik.

Meskipun Jakobson berhasil melakukan

pembaharuan dalam beberapa aspek, Jakobson masih tetap terbelenggu dalam kerangka fenomenologi bahasa yang mempengaruhinya dalam awal karier sebagai seorang ahli linguistik. Sebagai akibatnya ia selalu konsisten mempertahankan model bahasa sebagai sarana pengiriman pesan dari pengirim ke penerima. Meskipun Jakobson terus menekankan

perlunya peranan pengirim seperti halnya penerima dalam lingkaran komunikasi, ia masih tetap memposisikan pengirim dan penerima sebagai entitas psikologi dan bukan linguistik yang membentuk bagian sistem yang paling penting. Masalah utama dengan model ini adalah adanya suatu kesadaran bahwa bahasa bukan hanya milik pengirim, tetapi fakta dan konvensi sosial, yakni ia hanya dapat dipahami dengan benar sebagai suatu sistem yang merupakan prasyarat dari individualitas dan kolektifitas.

Dalam dokumen SEMIOTIKA KONTEMPORER (Halaman 105-112)