• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marginalisasi Teks

Dalam dokumen SEMIOTIKA KONTEMPORER (Halaman 37-41)

A

KARKAR DANDAN

M M

ADZHABADZHAB

S S

EMIOTIKEMIOTIK

D

D

II

E E

ROPAROPA

D D

ANAN

A A

MERIKAMERIKA

M M

ODERNODERN

Isi tulisan yang terkandung di bawah judul di atas tentunya tidaklah sehebat judulnya. Yang ingin dicapai adalah sekedar indeks-metonimik, yakni hanya

menyebutkan sebagiannya untuk menggambarkan sesuatu yang besar. Indeks-metonimik ini ibarat “teori gunung es di lautan”, yang muncul hanya sebagian kecil, sedangkan sebagian besarnya berada di dalam lautan. Oleh karena itu, tulisan bagian ini berusaha memaparkan sebagian kecil kecendrungan dan pemikiran ‘tokoh semiotik’ (atau tepatnya beberapa tokoh yang diklaim mewakili ‘tokoh semiotik’) di belahan dunia Eropa dan Amerika Modern. Sekali lagi, pembaca tidak usah membayangkan bahwa buku ini memaparkan ‘tokoh-tokoh semiotik’ yang ada di dua benua tersebut satu per satu. Yang ada adalah upaya ‘meng-ekor’ terhadap klaim-klaim dalam memilih dan memilah tokoh dan pemikiran. Mungkin saja, tulisan ini masih mempraktekkan logosentrisme, yakni terjebak ke dalam “opini logo” yang dipromosikan orang lain.

Menurut Noth ada empat tradisi yang

melatarbelakngi kelahiran semiotika, yaitu semantik, logika, retorika, dan hermeneutika.

A. Marginalisasi Teks

Dalam sejarah di dua benua tersebut, teks memiliki sejarah panjang, hampir sebanding dengan sejarah manusia. Namun demikian teks tidak pernah menduduki posisi yang mapan di sepanjang zaman. Selama abad ke-19, misalnya, ketika kaum Romantik dan

perhatian utama teori dan studi teks terfokus kepada pengarang sebagai penghasil karya sastra. Tolok ukur penilaian karya sastra (literary work) adalah persoalan orisinalitas, jenialitas, kreativitas, dan individualitas pengarang (penulis), bukan karya sastra sendiri sebagai teks. Teks dimarjinalkan sebagai komplemen dari sang pengarang (dirinya, jiwanya, daya ciptanya, intensinya, dan sebagainya).

Pada abad ke-20, teks yang semula marginal

diangkat pamornya sebagai objek vital di tangan kaum Formalisme di Rusia tahun 1914-1915, yang kemudian disusul oleh Strukturalisme di Praha 1930-an, dan terwujud pula gerakan New Criticism di Amerika. Dapat dikatakan bahwa kemunculan Formalisme, yang

merupakan reaksi terhadap Romatisme dan Ekpresionisme pada abad ke-19, telah membawa tranformasi menuju babak baru kajian teks, terutama dalam ilmu sastra. Pergeseran itu terjadi karena para teoritikus menyadari bahwa teks merupakan fakta objektif, wilayah otonom, dan terlepas dari pengarang dan pembaca. Dalam konteks studi sastra, misalnya, teks menjadi perhatian utama, bukan lagi hal-hal yang berkaitan dengan pengarang dengan berbagai

atributnya. Hal ini sesuai dengan ungkapan Dresden (Teeuw, 1991:218) yang menyatakan, “hal terpenting adalah dunia dalam kata”.

Kendati keyakinan otonomi teks (sastra) berhasil menggeser pemikiran teori teks (sastra) abad ke-19, pada masa-masa selanjutnya (dalam abad ke-20 dan 21) timbul kesadaran baru bahwa ternyata bahasa sastra tidak mampu menyajikan seluruh idealitas, impian, harapan, pengalaman, dan kekecewaan

manusia. Orientasi pemikiran teori sastra bergerak dari otonomi teks (sastra) ke arah pembaca yang diberi kebebasan relatif sampai absolut untuk merekonstruksi bahkan mendekonstruksi teks. Sehingga, teks sastra

secara radikal tidak lagi diklaim sebagai wilayah otonom yang mampu memenuhi dirinya sendiri, tetapi memiliki kebergantungan yang tinggi dengan wilayah di luarnya, misalnya dengan teks-teks lain (interteks) atau dengan respons pembaca. Berkaitan dengan respons-respons pembaca, terlihat bahwa penafsiran teks

merupakan sifat yang sangat mencolok mengenai kritik sastra di abad ke-20. Untuk menafsir teks dibutuhkan pendekatan yang dapat digunakan untuk membedah teks, misalnya teks kesusastraan.

Semiotik, sebagai salah satu alternatif untuk

mengkaji teks, terutama teks karya sastra, mucul sejak perhatian pakar sastra memfokuskan diri pada

hubungan antara petanda dan penanda. Dalam proses memahami, makna bukan secara tiba-tiba tampil di hadapan pembaca, melainkan melalui proses panjang sebagai kelanjutan dari ancangan sebelumnya, yakni formalisme Rusia dan Strukturalisme Praha. Kaum formalisme Rusia berpendirian bahwa ada hubungan antara perkembangan karya sastra dan sikap terhadap karya sastra itu sendiri. Dalam hal ini nilai susastra terus menerus berubah sehingga sukar untuk menentukan sebuah batasan tentang pengertian susastra itu sendiri. Perubahan inilah yang tampaknya mendominasi

pandangan para Formalis Rusia itu. Penganut faham Formalisme Rusia ini sama sekali tidak memahami karya sastra sebagai media tanda yang memungkinkan

terjadinya komunikasi, baik karya itu sendri secara otonom, karya sastra dengan pembaca, karya sastra dengan semesta, karya sastra dengan pengarangnya sendiri, maupun. dialog antara pengarang dan

pembaca. Semua yang diabaikan Formalisme Rusia tersebut menjadi pusat perhatian kaum strukturalisme Praha. Menurut anggapan faham ini karya sastra sebagai teks atau naskah adalah tanda yang otonom dalam proses komunikasi. Ia sama sekali bukan ekspresi

langsung pengarangnya dan juga bukan cermin jiwa pembacanya. Jadi, karya sastra dalam kedudukannya yang otonom dalam proses komunikasi akan hilang eksistensinya sebagai karya seni. Karya sastra hanyalah artefak atau benda seni, yang tidak mungkin dipahami tanpa diberi makna oleh pembacanya (Puji Santosa, 1993:1).

Mengatasi terjadinya kemacetan komunikasi dalam merebut makna karya sastra ini, maka diciptakan

sebuah acangan semiotik. Dasar dari semiotik ini adalah tanda sebagai tindak komunikasi (Teeuw, 1982:18). Berdasarkan pengertian ini maka setiap tanda yang terdapat dalam karya sastra baik mengenai penanda maupun petandanya selama masih dapat

memungkinkan terjadinya komunikasi dengan berbagai pihak terkait, terutama insan susastra, maka dapat dikategorikan termasuk ancangan semiotik. Bermula dari bahasa sebagai sistem tanda, maka karya sastra yang bermediumkan bahasa merupakan sistem semiotik atau sistem tanda. Pengarang pun ketika

mengekspresikan idenya menggunakan bahasa, karenanya pengarang pun harus memanfaatkan

semiotik dalam karya sastranya. Jadi, sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua karena menggunakan

bahasa sebagai bahasa dasarnya (Puji Santosa, 1993:2). Bila sudut pandang ini dapat diterima, maka

semiotik merupakan hasil atau respon terhadap stagnasi formalisme dan strukturalisme. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa formalisme,

strukturalisme, dan semiotika, masing-masing berakar pada kondisi yang berbeda sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sosial, dan budaya yang menghasilkannya. Keterkaitan sejarah dan tradisi intelektual antara strukturalisme dan semiotik kemudian memunculkan anggapan bahwa teori keduanya menjadi identik, sebagaimana dikatakatan

Culler, yakni strukturalisme memokuskan kajiannya pada karya, sedangkan semiotik memokuskannya pada tanda. Raman Selden menganggap keduanya berada wilayah kajian yang sama sehingga dapat dioperasikan secara bersama-sama. Menurut Selden, untuk

menemukan makna terdalam dari sebuah karya harus dikaji melalui kajian struktural yang dilanjutkan dengan kajian semiotik. Dengan demikian, masih menurut Selden, kajian semiotik mengharuskan adanya kajian struktural. Dalam hubungan ini, proses dan cara kerja analisis keduanya bagaikan dua sisi mata uang, yang tidak dapat saling dipisahkan.

B. Pertentangan Filosofis Materialisme dan

Dalam dokumen SEMIOTIKA KONTEMPORER (Halaman 37-41)