• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan interpretant (I) dengan jenis

Dalam dokumen SEMIOTIKA KONTEMPORER (Halaman 88-95)

Tokoh dan Pemikiran Semiotik

3. Hubungan interpretant (I) dengan jenis

representament (R):

a. Rheme or seme: Representament yang masih

memiliki berbagai kemungkinan (probabilitas) untuk diinterpretasi oleh interpreter;

b. Dicent or dicisign: Representament yang sudah dapat dijadikan fakta real dan memiliki makna tertentu; c. Argument: representament yang sudah dihubungkan

dengan kaidah atau preposisi tertentu.

Trikotomi

Ketegori Representament Relasi ke Obyek

Relasi ke Interpretan

Firstness

(Kualitas) Qualisign Icon Rhema

Secondness

(fakta real) Sinsign Indeks Dicent

Thirdness

(Kaidah/atura

n) Legisign Simbol Argument

Kesembilan tipe penanda sebagai struktur semiosis itu dapat dipergunakan sebagai dasar kombinasi satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh sinsign indexical

rhematis: (tertawa tiba-tiba). Tertawa tiba-tiba itu

menandai kenyataan, yaitu kenyataannya tertawa (sinsign). Ekspresi tertawanya yang tiba-tiba itu mengisyaratkan sesuatu, mungkin lucu atau berubah pikiran (indexical). Mungkin juga ia tertawa tiba-tiba itu objek yang didengar atau dilihatnya ataupun yang dirasakan dapat terpahamkan (rhematis) (Puji Santosa, 1993:11).

Sebagai contoh yang lain, sinsign indexial dicent: (karung angin). Karung angin yang terpasang pada salah satu bandar udara itu dapat menandai kenyataan, yaitu kenyataannya ada sehelai karung angin di pasang di salah satu bandar udara, misalnya Bandar Udara Soekarno Hatta (sinsign). Karung angin yang bergerak itu menandakan atau mengisyaratkan adanya angin bertiup. Akan tetapi, jika karung angin itu diam tidak bergerak, maka akan mengisyaratkan tidak ada angin yang bertiup (indexical). Dari bergerak atau tidaknya karung angin akan dapat menginformasikan sesuatu, yaitu memberikan informasi akan adanya angin yang bergerak dengan kencang, pelan-pelan, angin itu

bergerak dari arah mana dan menuju ke mana (dicent). Jadi, suatu tanda dapat merangkum beberapa sifat dari tipe-tipe strutur semiosis di atas (Puji Santosa, 1993:11).

Peirce lebih lanjut menjelaskan bahwa tipe-tipe tanda seperti ikon, indeks, dan simbol memiliki nuansa-nuansa yang dapat dibedakan (Hawkes, 1978:128-130). Penggolongan yang berdasarkan pada hubungan

kenyataan dengan jenis dasarnya itu melihat atas pelaksanaan fungsi sebagai tanda. Pada ikon, terdapat kesamaan yang tinggi antara yang diajukan sebagai penanda dan yang diterima oleh pembaca sebagai hasil petandanya. Sebuah tanda bersifat ikonik apabila

terdapat kemiripan (resemblance) antara tanda dan hal yang diwakilinya. Di dalam hubungan antara tanda dan objek-ya terwujud sebagai “kesamaan dalam beberapa kualitas”, yakni kesamaan atau “kesesuaian” rupa yang terungkap oleh tanda dan dapat dikenali oleh

penerimanya. Bentuk-bentuk diagram, lukisan, gambar, sketsa, patung, kaligrafi, ukiran-ukiran, yang tampak sebagai tata wajah (grafika atau tipografi dalam bentuk-bentuk puisi ikonis) merupakan contoh bagi tanda-tanda

ikonis. Ciri ini juga nampak di dalam bahasa sebagai

gejala onomatope, misalnya embe, embe, embe… di dalam bahasa Indonesia yang pada batas tertentu meniru suara kambing.

Dalam indeks terdapat hubungan antara tanda sebagai penanda dan petandanya yang memiliki hubungan fenomenal atau eksistensial atau memiliki sifat-sifat konkret, aktual, sekuensial, kausal, dan selalu mengisyaratkan sesuatu. Misalnya, bunyi bel rumah merupakan indeksial bagi kehadiran tamu; gerak dedaunan pada pohon merupakan indeksial andanya angin yang bertiup; asap yang mengepul merupakan indeksial bagi api yang menyala; dan sebagainya. Pada

simbol menampilkan hubungan antara pananda dan

dituntut untuk menemukan hubungan penandaan itu secara kreatif dan dinamis. Tanda yang berubah menjadi simbol dengan sendirinya akan dibubuhi sifat-sifat kultural, situasional, dan kondisional. Oleh sebab itu, bahasa sebenarnya merupakan prestasi

kemanusiaan yang besar mengenai penanda yang bersifat arbitrer. Lihat contoh di bawah ini:

Ikonis Indeksikal Simbolis

a. Lukisan Julius

Caesar a. Suara Julius Caesar a. Diucapkan kata Julius Caesar b. Gambar Julius

Caesar b. Suara Julius Caesar b. Makna gambar Julius Caesar c. Patung Julius

Caesar c. Bau Julius Caesar c. Makna suara Julius Caesar d. Lukisan Julius

Caesar d. Gerak Julius Caesar d. Makna bau Julius Caesar e. Sektsa Julius

Caesar e. Makna gerak Julius Caesar

Dari gambar diagram di atas dapat dikenali bahwa sesuatu yang berupa gambar, lukisan, patung, sketsa, dan foto merupakan hal-hal yang berisifat ikonis. Sesuatu yang mengisyaratkan sesuatu hal melalui suara, langkah-langkah, bau, dan gerak adalah tanda-tanda yang bersifat indeksikal. Sesuatu tanda-tanda yang dapat diucapkannya baik secara oral maupun dalam hati, arti atau makna dari: gambar, bau, lukisan, dan gerak, merupakan sesuatu yang bersifat simbolis. Sesuatu tanda dapat dikatakan penuh apabila

penandanya teramati dan petandanya pun terpahami. Kata mawar dapat dikatakan penuh sebagai tanda apabila penandanya sudah tertulis atau terucapkan dan petandanya pun--makna yang diacunya--telah

terpahami, yaitu sejenis tanaman hias yang tumbuh di taman, bunganya indah ada yang berwarna putih, merah, atau seroja (KBBI, 1996:936). Akan tetapi, sebagai penanda saja kata mawar itu dikatakan kosong apabila mawar tidak terpahami maknanya, misalnya, dihadapkan kepada orang asing yang belum mengenal

bahasa Indonesia (Puji Santosa, 1993:13). C. Makna Bahasa dan Makna Mitis

Menurut teori Peirce, setiap tanda tentunya memiliki dua tataran, yaitu tataran kebahasaan dan tataran mitis (Hawkes, 1978:132). Tataran kebahasaan disebut sebagai penanda primer yang penuh, yaitu tanda yang telah penuh dikarenakan penandanya telah mantap acuan maknanya. Hal ini karena berkat prestasi

semiosis tataran kebahasaan, yaitu kata sebagai tanda tipe simbol telah dikuasai secara kolektif oleh

masyarakat pemakai bahasa. dalam hal ini kata atau bahasa tersebut sebagai penanda mengacu pada makna lugas petandanya. sebaliknya, pada penanda sekunder atau pada tataran mitis, tanda yang telah penuh pada tataran kebahasaan itu dituangkan ke dalam pananda kosong. Petanda pada tataran mitis ini sesuatunya harus direbut kembali oleh penafsir karena tataran mitis bukan lagi mengandung arti denotatif, melainkan telah bermakna kias, majas, figuratif, khusus, subjektif, dan makna-makna sertaan yang lain. Secara skematis Peirce melukiskan dua tataran tanda itu sebagai berikut

Tataran Bahasa 1. Penanda 2. Petanda 3. Tanda I. Penanda 1 II. Petanda ? Tataran mitis III. Tanda

Skema tersebut memerikan model penandaan primer yang telah penuh makna acuannya, yaitu sudah dapat dianggap penuh karena penandanya telah

mantap acuan maknanya. Pada skema di atas, arti denotatif--arti yang menunjuk pada arti kamus atau

leksikal--mencakup penanda, petanda, dan tanda. wilayah denotatif menjadi tataran kebahasaan karena bermakna lugas, objektif, dan apa adanya, yaitu sebagai model primer bahasa. Tanda dalam tataran kebahasaan itu berubah menjadi penanda pada tataran mitis,

sehingga petanda harus dikemukakan sendiri oleh penafsir agar petanda itu dapat penuh acuan maknanya. dengan dikemukakannya petanda oleh penafsir, maka menjadi penuhlah tanda sebagai makna tataran mitis. Misalnya, “Aku melihat rembulan berjalan di atas panggung juara”. Makna kata “rembulan” dalam kalimat tersebut bukan lagi bermakna denotatif seperti arti leksikal dalam kamus, melainkan telah memiliki makna konotatif atau makna-makna sertaan yang lain, yakni wanita cantik. Makna pada tataran mitis ini harus dapat ditemukan sendiri oleh si penafsir (pembaca) secara kreatif dan dinamis.

Namun, ternyata membaca dan menafsirkan itu merupakan aktivitas yang diatur oleh kaidah-kaidah (tataran kebahasaan) (rule-governed activity), yang memerlukan kreativitas (rule-hanging creativity)dengan kaidah yang berubah-ubah (tataran mitis). Model primer merupakan wilayah denotatif (arti lugas) dan model sekunder merupakan wilayah konotatif (makna kias, majas, khusus, figuratif, dan subjektif). Penanda-penanda pada wilayah konotatif dibentuk dari tanda-tanda yang ada di wilayah denotatif. Petanda-tanda pada wilayah konotatif bersifat “mengambang” dan “menggantung”, yang harus ditemukan sendiri oleh penafsir secara kreatif dan dinamis. Gagasan Peirce ini jelas sangat kontras dengan pemikiran semiologi de Saussure. Andai saja Peirce bertemu Saussure, maka pemikiran Peirce ini dapat dianggap sebagai reaksi terhadap pemikiran Saussure yang menyederhanakan makna tanda dalam konteks kearbitreran hubungan

hal ini jelas mempersempit ruang lingkup semiotik ketika harus berhadapan dengan berbagai bentuk tanda yang pastinya tidak selalu bersifat sewenang-wenang seperti di atas.

A

A

NALISISNALISIS

S S

TRUKTURALTRUKTURAL

Dalam dokumen SEMIOTIKA KONTEMPORER (Halaman 88-95)