• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distingsi Langage, Langue, dan Parole

Dalam dokumen SEMIOTIKA KONTEMPORER (Halaman 62-69)

B. Semiologi Ferdinand de Saussure

2. Distingsi Langage, Langue, dan Parole

Dalam suratnya kepada Antoine Meillet, salah satu muridnya, pada tahun 1894, Saussure mengeluh bahwa hingga saat itu linguistik tidak pernah berusaha

menentukan hakekat objek yang diselidikinya. Padahal tanpa operasi yang elementer seperti itu, suatu ilmu tidak dapat mengembangkan metode yang tepat. Dari keresahan itu, terformulasinya pertanyaan dihadapan Saussure, yaitu “Apa wujud objek otentik dan konkret bagi linguistik?” dan “Apakah hubungan antara kata dan benda?” Untuk menjawab permasalah tersebut, Saussure mengemukakan suatu perbedaan antara

langue dan parole dalam langage. Saussure

secara umum, artinya langage memiliki segi sosial dan segi individual. Karenanya, dalam langage harus dibedakan antara langue (segi sosial) dan parole (segi individual).

Menurut Saussure (1990:75), langue merupakan produk masyarakat dari langage yang berisi himpunan konvensi seluruh masyarakat. Langue juga merupakan suatu benda tertentu di dalam kumpulan heteroklit peristiwa-peristiwa langage. Langue berisi sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut telah disepakati bersama di masa lalu oleh pemakai bahasa. Langue bersumber dari keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, yang memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami dalam masyarakat. Oleh karena itu, menurut Saussure, langue merupakan fakta sosial, seperti halnya bahasa nasional merupakan fakta sosial. Dapat dikatakan bahwa langue adalah setengahnya dari langage, meupakan suatu institusional sekaligus juga sebagai sistem nilai. Sebagai sistem sosial, langue bukan tindakan dan tidak direncanakan sendiri individu tidak dapat membuatnya dan mengubahnya. Ia harus berdasarkan suatu kesepakatan bersama atau konvensi. Jadi dalam kehidupan sosial orang harus mengikuti konvensi tersebut dan konvensi itu bersifat otonom yaitu orang tidak dapat menggunakannya kecuali telah mempelajarinya terlebih dahulu.

Yang dimaksud parole adalah manifestasi atau penggunaan bahasa secara individual atau tindakan individual, namun bukan semata-mata sebentuk kreasi-otonom. Dengan kata lain parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang, termasuk konstruk-konstruk individu yang muncul dari pilihan penutur, atau

menghasilkan konstrukasi-konstruksi ini berdasarkan pilihan bebas. Penutur seolah-olah memilih unsur

tertentu dari kamus umum tersebut. Menurut Saussure, parole itu bukan merupakan fakta sosial, karena

seluruhnya merupakan hasil individu yang sadar. Jika seorang Indonesia mendengar ucapan (parole) dari masyarakat lain yang tidak dikenal bahasanya, maka ia hanya mendengar bunyi, bukan fakta sosial dari bahasa. Ia tidak dapat menghubungkan bunyi-bunyi itu dengan fakta-fakta sosial yang oleh masyarakat bahas itu dengan bunyi-bunyi itu. Dengan demikian, pertama-tama, parole dapat dipandang sebagai kombinasi tindakan individual terseleksi dan terakulturasi yang memungkinkan subjek (penutur) sanggup menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pemikirannya. Lalu

parole juga dapat ditempatkan sebagai mekanisme

psiko-fisik yang memungkin menampilkan kombinasi-kombinasi tadi. Aspek kombinatif ini mengimplikasikan bahwa parole tersusun dari tanda-tanda yang identik dan senantiasa berulang. Karena adanya keberulangan inilah, setiap tanda dapat menjadi elemen langue.

Bila seorang Inodesia mendengar ucapan (parole) dalam masyarakat yang dikenal bahasanya, maka ia menghubungkan bunyi-bunyi itu dengan fakta-fakta sosial menurut seperangkat kaidah. Kaidah-kaidah ini lazimnya disebut tata bahasa (grammar) dan

merupakan hasil konvensi serta ditransfer secara kontinyu dan simultan melalui pengajaran. Kaidah-kaidah ini bersifat universal meliputi dan mengikat seluruh masyarakat bahasa, sehingga individu (pengguna bahasa) tidak diberi pilihan lain dalam mengaitkan bunyi dengan fakta sosial untuk

berkomunikasi. Kaidah-kaidah inilah yang dimaksudkan oleh Saussure sebagai langue. Jika langue merupakan produk yang direkam individu secara pasif dan bukan merupakan abstraksi, maka parole merupakan kegiatan

aktif individu untuk mengungkapkan gagasannya.

Pengungkapan tidak pernah dilakukan secara massal; pengungkapan selalu individual, dan individu selalu menjadi tuan pengungkapannya sendiri. Kita akan menyebutnya parole. Sedangkan langue bukanlah kegiatan penutur, melainkan langue merupakan produk yang direkam individu secara pasif. Langue tidak pernah mengasumsikan kegiatan premeditasi, dan penalaran hanya turut dalam kegiatan klasifikasi. Parole sebaliknya adalah satu tindak individual dari kemauan dan

kecerdasan dan dalam tindak ini perlu dibedakan: 1) kombinasi-kombinasi kode bahasa yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan-gagasan

pribadinya; 2) mekanisme psiko-fisik yang memungkinkan dia mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut

(Saussure, 1990:80).

Dengan demikian, langage merupakan gabungan dari langue dan parole. Langage memiliki makna sepenuhnya kecuali dengan parole dialektik yang

menghubungkannya satu sama lain. Jadi kedua unsur di atas bagaikan dua sisi mata uang yang satu sama lainnya sangat bergantung. Tidak ada langue tanpa

parole dan tidak ada parole yang berada diluar langue

dan dengan hubungan inilah terletak aktivitas linguistik.

Langue dan parole ini beroposisi tapi sekaligus

bergantung. Ini tidak berarti tidak ada yang lebih utama antara keduanya. Di satu pihak , sistem yang berlaku dalam langue adalah hasil dari kegiatan parole; di lain pihak pengungkapan parole serta pemahamannya hanya mungkin berdasarkan penelusuran langue sebagai sebuah sistem. Dikotomi ini, secara simplistis, menimbulkan dua model bahasa, yaitu 1) bahasa sebagai sebuah sistem (langue), dan 2) bahasa sebagaimana dipraktekkan oleh penutur (parole). Sebagai sebuah totalitas struktur, maka bahasa tertata dengan cara tertentu, sehingga individu, yang menjadi

bagian dari bahasa, menjadi tidak bermakna

(meaningless) keberadaannya, jika dilepaskan dari struktur tersebut.

Contoh terkenal yang diberikan Saussure untuk menjelaskan langue sebagai sistem ini adalah sebuah permainan catur. Pelaksanaan permainan catur

ditetapkan oleh “aturan-aturan” seperti cara menjalankan “kuda” (mengikuti huruf L), “raja” (selangkah-selangkah ke segala arah, kecuali

“diagonal”) atau “ratu” (dapat berjalan dengan langkah tak terbatas ke segala arah, kecuali “diagonal”). Setiap pemain catur dipedomani oleh langue (tata aturan abstrak) permainan catur untuk diwujudkan dalam

parole (praktik) permainan catur. Aturan-aturan

(langue) itu disepakati bersama oleh para pemain catur. Menurut Saussure yang paling penting dalam permainan catur adalah aturan-aturannya. Jadi hubungan antara unsur yang satu dengan unsur lainnya serta fungsi dari setiap unsur (raja, bidak, dll). Permainan itu sama dengan langage. Bagi setiap pemain tersedia

seperangkat unsur dan aturan-aturan yang mengatur hubungan antar unsur. Setiap pemain terikat pada aturan permainan tersebut, namun si pemain dapat menentukan sendiri kapan ia mau memainkan unsur (anak catur) yang ditentukannya sendiri dan bagaimana ia memainkannya. Itu semua merupakan tindakan bebas si pemain sendiri, sama halnya dengan parole sebagai penggunaan langue secara individual. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa menurut Saussure, sebuah unsur bahasa baru mempunyai arti setelah pengguna bahasa menentukan nilainya dalam sistem bahasa bersangkutan dengan menyebutkan

pertentangan dengan unsur-unsur lainnya. Arti sebuah unsur bahasa ditentukan oleh sejauh mana unsur itu membedakan diri dengan unsur lainnya dalam sistem yang sama.

Secara keseluruhan, menurut Saussure, langue lah yang dapat dijadikan objek kajian linguistik, karena ia bersifat permanen, stabil (setidaknya dalam jangka waktu tertentu), dan konkret karena merupakan seperangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Langue bukan merupakan fakta fisik, tetapi sepadan dengan fakta sosial karena mengandung pola-pola di belakang ujaran-ujaran pada penutur.

Sedangkan parole tidak dapat diselidiki karena bersifat heterogen dan tidak mungkin digambarkan secara terinci karena ucapan kata yang terkecil sekalipun melibatkan gerak otot yang tidak terhitung jumlahnya yang sulit sekali dikenali dan ditandai dengan tulisan. Menurut Saussure, sekalipun langue memiliki

determinasi terhadap parole, namun sebagai sistem total konvensi bahasa. Dari sisi individu manapun yang menggunakannya, sistem tersbut telah tersedia— pengguna bahasa tidak menciptakan konvensi ini, sehingga walaupun yang menggunakan bahasa

tersebut beraneka ragam gaya, pilihan, dan kombinasi katanya, hal ini tidak akan mempengaruhi kemapanan sistem tadi.

Ambil contoh lain, yaitu gedung. Tentu di sini dapat dibedakan sistem langage, langue, dan parole yang berbeda sesuai dengan realitas yang digunakan dalam komunikasi. Dalam bangunan yang tertulis atau rancangan yang digambarkan oleh seorang arsitek dengan bantuan bahasa yang diucapkan dapat dikatakan di sini parole tidak ada. Rancangan yang digambarkan tidak pernah sesuai dengan aturan-aturan yang pembangunan, itu merupakan suatu ketentuan sistem tanda dan aturan atau dengan kata lain adalah

langue dalam keadaan yng murni. Langue dalam

pembangunan gedung terdiri dari: 1) Oposisi pembangunan ukuran-ukuran, unsur-unsur yang rinci yang variasinya menimbulkan perubahan makna

(memakai cerobong asap, dll). 2) Aturan-aturan yang mendahului penguraian satuan-satuan pembangunan gedung. Sedangkan, parole mencakup semua fakta produksi yang sudah mengikuti aturan, atau cara penggunaan gedung tersebut (ukuran gedung, tingkat pemeliharaan dsb). Dialektika di sini menghubungkan bangunan (langue) dan penggunaaan gedung (parole).

Misal lain lagi adalah tentang ‘makanan’. Langue ‘makanan’ terbentuk dari, 1) Aturan-aturan yang mengucilkan (larangan memakan suatu macam makanan); 2) Oposisi (misalnya: oposisi antara rasa asin dan manis); 3) Aturan-aturan dan asosiasi makanan baik yang bersamaan (gabungan dalam suatu hidangan/menu); atau 4) Protokol penggunaan makanan yang mungkin berperan sebagai suatu retorika umum. Adapun parolenya adalah terdiri dari semua variasi pribadi atau keluarga dalam menghidangkan dan dalam asosiasi (tetap dapur keluarga yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan tertentu sebagai idiolek).

Perbedaan antara langue dan parole dalam bahasa ini mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap disiplin keilmuan lain selain semiotik. Hal ini karena pada hakekatnya distingsi ini menggambarkan

hubungan antara sebuah ‘institusi’ dan ‘ peristiwa’ yang dimungkinkan oleh adanya institusi ini; antara sistem yang menopang, dan tingkah laku aktual yang

dimungkinkannya. Menurut Jonathan Culler,

sebagaimana dikutip Yasraf (2002:3), melalui model bahasa ini, segala praktek sosial dapat dianggap sebagai satu sistem pertukaran tanda dan makna di antara subyek-subyek yang terlibat, yang bersandar pada kode sosial yang telah melembaga. Istilah ‘kode’ ini sendiri dapat dijelaskan sebagai seperangkat aturan atau konvensi yang disepakati bersama dalam

pengkombinasian tanda-tanda untuk memungkinkan disampaikannya pesan.

Claude Levi Strauss, misalnya, melihat tingkah laku kultural, upacara, ritus, hubungan kekerabatan, serta cara memasak dan menghidangkan masakan, tidak sebagai satu fenomena sosial yang berdiri sendiri dan bersifat intrinsik, melainkan dapat dipandang sebagai suatu sistem pertandaan dan pemaknaan, yang bersandar pada kode sosial tertentu. Hubungan kekerabatan, misalnya, diatur oleh seperangkat kode sosial, yang berkaitan misalnya dengan kode siapa yang boleh atau tidak boleh mengawini siapa di dalam satu masyarakat. Perkawinan menandai posisi seseorang dalam satu masyarakat, dengan demikian ia juga

merupakan ‘tanda’ (Hawkes, 1979:34; Leach, 1976:44). Demikian pula, Roland Barthes melihat fenomena kultural seperti fashion, furniture, periklanan, media massa, dan arsitektur sebagai satu sistem tanda, yang dapat menandai posisi sosial tertentu bagi orang yang menggunakannya. Pakaian, misalnya, lewat bentuk, warna, bahan, dan motifnya dapat mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang makna-makna status, kelas sosial, ideologi, atau kepercayaan pemakainya (Roland Barthes, 1967:109.

Dalam dokumen SEMIOTIKA KONTEMPORER (Halaman 62-69)