Distingsi-distingsi yang diusulkan oleh de Saussure merupakan fundamen semiologi yang dicanangkannya. Distingsi-distingsi tersebut dapat diletakkan sebagai oposisi biner. Oposisi sendiri diartikan sebagai “pengaturan terma-terma secara internal di dalam suatu medan asosiatif atau paradigmatik”. Sedangkan oposisi biner dimaksudkan sebagai “segala hubungan oposisional yang di dalamnya penanda dari sauatu terma dicirikan oleh kehadiran sebuah elemen signifikan (marka) yang tidak dimiliki oleh penanda dari terma yang lain. Distingsi-distingsi tersebut merupakan unsur
utama semilogi Saussure. Ferdinand de Saussure
memaksudkan semilogi sebagai “A science that studies
the life of signs within society is conceivable, it would be a part of social psychology and consequently of general psychology; I shall call it semiology (from the Greek semeion ‘sign’. Semiology would show what
conastitutes signs, what laws govern them (sebuah ilmu
yang mengkaji tanda-tanda di dalam masyarakat dapat dibayangkan; ia bakal menjadi bagian dari psikologi sosial dan, dengan begitu, psikologi general; saya akan menamakannya semiologi [dari bahasa Latin semeion
‘tanda’]. Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa yang
membangun tanda-tanda, hukum-hukum apa yang mengaturnya).
Jika Saussure mendefinisikan semilogi sebagai “ilmu yang mengkaji peran tanda sebagai bagian dari
kehidupan sosial”, maka implikasinya, tanda itu
berperan sebagai bagian dari kehidupan sosial dan juga sebagai aturan sosial yang berlaku. Fokus utama
kajiannya berkisar pada persoalan bahasa dan struktur yang digunakan oleh manusia dan menyingkap reasi-relasi unsur-unsur yang membentuk suatu totalitas kompleks pada fenomena-fenomena termasuk bahasa sebagai tanda. Subjek tidak dianggap penting karena hanya pengguna, begitu pula dengan sejarah dan perubahan. Istilah semiologi atau semiotik sudah terdapat dalam karya Saussure. Tanda memang
merupakan unsur utama dalam teori Saussure tentang bahasa. Ia menjadikan sistem tanda dalam linguistik sebagai landasan semiologinya. Ia menyatakan bahwa teori tentang tanda linguistik perlu menemukan
tempatnya dalam sebuah teori yang lebih umum, dan untuk hal itulah ia mengusulkan nama semiologi. Linguistik, ia posisikan sebagai bagian dari ilmu umum (semiologi) itu; hukum yang akan ditemukan oleh
linguistik akan berkaitan dengan suatu bidang khusus. “Adalah tugas psikolog untuk menempatkan tempat yang tepat bagi semiologi, sedangkan tugas para linguist untuk merumuskan apa yang membuat langue menjadi suatu sistem khas dari kumpulan peristiwa semiologis, “ tegas Saussure.
Secara simplistis semiologi yang dikembangkan de Saussure berdiri di atas beberapa prinsip, yakni:
Pertama, prinsip struktural yaitu memandang relasi
tanda sebagai relasi struktural, yang di dalamnya tanda dilihat sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material, yang disebut Penanda (signifier) dan sesuatu yang bersifat konseptual yang disebut Petanda (signified). Oleh karena itu, semiotik yang
dikembangkan oleh de Saussure sering disebut sebagai
semiologi struktural (structural semiotics) dan
kecendrungan ke arah pemikiran ini disebut
structuralism. Strukturalisme dalam semiotik tidak
menaruh perhatiannya terhadap realsi kausalitas antara suatu tanda dan causa prima-nya, antara bahasa dan realitas yang direpresentasikannya, melainkan pada relasi yang secara total unsur-unsur yang ada di dalam sebuah sistem bahasa. Sehingga, yang diutamakan bukanlah unsur itu sendiri melainkan relasi di antara unsur-unsur tersebut. Apa yang disebut sebagai ‘makna’ tidak dapat ditemukan sebagai bagian intrinsik dari sebuah unsur, melainkan sebagai akibat dari relasi total yang ada dengan unsur-unsur lain secara total.
Kedua, prinsip kesatuan (unity). Sebuah tanda
merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang bersifat konkret atau material (suara, tulisan, gambar, objek) dan bidang petanda (konsep, ide, gagasan, makna). Meskipun penanda yang abstrak non-material tersebut bukan bagian dari intrinsik dari sebuah petanda tapi ia
kehadirannya adalah absolut, sehingga ada konsep metafisika, di mana sesuatu yang bersifat non-fisik (petanda, konsep, makna, dan kebenaran) dianggap hadir di dalam sesuatu yang bersifat fisik (penanda).
Ketiga, prinsip konvensional yaitu kesepakatan sosial
tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Tanda disebut konvensional dalam pengertian bahwa relasi antara penanda dan petandanya
disepakati sebagai konvensi sosial.
Keempat, prinsip sinkronik yaitu kajian tanda sebagai
sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap konstan, stabil, dan tidak berubah. Dengan demikian, ia mengabaikan dinamika, perubahan, serta transformasi bahasa sendiri di dalam masyarakat.
Kelima, prinsip representasi, yaitu suatu tanda
merepresentasikan suatu realitas yang menjadi rujukan atau refresentasinya. Keenam, prinsip kontinuitas, yaitu sebuah relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa selalu secara berkelanjutan mengacu pada sebuah sistem atau struktur yang tidak pernah berubah, sehingga di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perubahan radikal pada tanda, kode, dan makna. Perubahan hanya dimungkinkan secara evolutif, yaitu perubahan kecil pada berbagai elemen bahasa, sebagai akibat logis dari perubahan sosial itu sendiri.
Lebih lanjut ia mengeleminir bahwa untuk membuat orang mengerti hakikat semiologi dan disajikan secara representatif, langue harus dikaji secara internal dan intensif. Sementara ini, mayoritas orang senantiasa memposisikan langue hanya sebagai tatabahasa (structure) dan dipahami secara artifisial. Hal inilah yang telah menyebabkan omnipotensi langue pada posisi dan fungsi sebenarnya. Saussure juga mengkritik pandangan para psikolog yang mengkaji mekanisme tanda hanya sebagai fenomena individul ansich. Baginya, sudut pandang ini memang mudah, tetapi
tidak membawa pemahaman seseorang tentang simbol-individual, yang hakikatnya juga bersifat sosial.
Saussure juga mengingatkan bahwa apabila orang mendapat tanda harus dikaji secara sosial; orang hanya memperhatikan ciri-ciri bahasa yang mengaitkan
dengan pranata-panata lain, yaitu pranata yang kurang lebih tergantung kepada kemauan manusia.
Bagi Saussure, tanda-tanda muncul secara jelas hanya dalam langue. Untuk memahami langue, seseorang harus menandai kesamaan (similaritas) semua sistem organisasi dan juga memperhatikan faktor-faktor kebahasaan beserta berbagai medianya (seperti peran alat wicara). Dengan cara ini, seseorang tidak hanya memfokuskan kajiannya pada aspek
linguistik murni, tetapi disertai perhatian terhadap ritus, adat istiadat, dan lainnya sebagai tanda. Seseorang harus berpikir bahwa fakta bahasa muncul dalam bentuk lain (tanda tidak tersurat misalnya) dan harus mengelompokkannya di dalam semiologi diserta
penjelasan kaidah-kaidah tanda tersebut. Dengan kata lain, Saussure mencoba mengelaborasi tanda ke luar lintas batas linguistik, sebagaimana dibuktikan nanti oleh Roland Barthes (ketika mengkaji mitologis dan fenomena pakaian) dan Levi Strauss (ketika membahas fenomena antropologis).
Berkaitan dengan konsep semiologi itu, Saussure selanjutnya menjelaskan kembali tentang
kesinambungan langue dalam waktu. Waktu, kata Saussure, memungkinkan tanda-tanda bahasa diganti dalam rentang ruang dan waktu tertentu. Meskipun demikian, lanjutnya, perubahan dan keterbukaan dari segi tertentu sama-sama merupakan ciri tanda bahasa. Fakta tersebut bersifat solider, artinya tanda selalu berganti tetapi selalu berkesinambungan. Sekalipun terjadi perubahan, namun unsur lama masih ada,
lalu, sifatnya relatif. Itulah sebabnya, Saussure menyandarkan prinsip pergantian (perubahan) pada prinsip kesinambungan (ruang dan waktu).
Pergantian tanda dalam ruang dan waktu beraneka ragam bentuknya dan faktor pemicunya. Perubahan ini selalu meniscayakan perubahan proses signifikasi, perubahan antara signifian (penanda) dan signifie (petanda). Setiap langue sama sekali tidak berkekuatan untuk mempertahankan diri terhadap faktor-faktor yang setiap waktu mendorong perubahan hubungan
penanda-petanda. Inilah, menurut Saussure, adalah konsekuensi dari kesamaan lambang. Menurut
Saussure, pranata manusia selain bahasa--seperti adat istiadat, hukum, dan lainnya--, semuanya didasari— dengan tarap yang berbeda—oleh hubungan wajar antar berbagai tanda. Di dalam pranata terdapat keniscayaan adanya keselarasan antara sarana (media) yang
digunakan dengan tujuan yang ingin dicapai. Mode pakaian, misalnya, tidak seluruhnya arbitrer (semena), karena orang tidak mungkin melepaskan diri dari syarat-syarat yang ditetapkan oleh tubuh manusia dan
standard sosial.
Usaha Whitney untuk menonjolkan bahwa langue merupakan pranata murni dan menekankan sifat kearbitreran tanda linguistik, dinilai Saussure sebagai langkah tepat. Namun, Whitney dianggap Saussure tidak cukup melangkah jauh dan tidak memisahkan kearbiteran langue dari pranata lainnya. Menurut Saussure, tanda-tanda lingual, selain bersifat linear, mempunyai karakteristik primordial yang lain, yaitu
arbitrer. Paduan antara penanda dan petanda pada
dasarnya bersifat manasuka (arbitrer). Misalnya saja gagasan tentang ‘kucing” sama sekali tidak berkaitan secara intrinsik dengan rangkaian kata k-u-c-i-n-g yang menjadi penandanya di dalam bahasa Indoensia. Hal ini bukan berarti bahwa pemilihan penanda-penanda
tersebut sepenuhnya terserah pada diri si penutur, melainkan bahwa pemilihan tersebut unmotivated (tak bermotivasi), tidak berhubungan secara alamiah dengan hal yang ditandai (petanda) (Kris Budiman, 1999:6-7).
Pemikiran semiotik a la Saussure ini tentunya tidak memiliki jangkauan yang cukup luas untuk berhadapan dengan berbagai bentuk tanda yang bukan termasuk
arbitrary signs (tand-tanda yang berifat
sewenang-wenang), seperti yang dicontohkan di atas. Maka untuk memperluasnya, tipologi tanda yang diajukan oleh Charles Sasnders Peirce akan sangat membantu. Teori dari Peirce, sebagaimana teori Saussure, menjadi grand
theory dalam semiotik. Hal ini karena gagasannya
tersebut bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktural tunggal (Alex Sobur, 2001:97). Dengan pemikiran de Saussure seperti di atas, maka wajar apabila kaum strukturalis, sebagai penerus dan turunan dari pemikiran Saussure, mendapat kritikan pedas. Kelemahannya terletak karakter pemikiran strukturalisme yang bersifat yang
statis, metafisis, dogmatis, dan transenden. Sifatnya
yang mekanistik “terlalu menyandarkan pada struktur yang tidak berubah”, maka menghambat proses
perubahan struktur itu sendiri. Ia membatas gerak yang
unthinkable (tak terpikirkan), unimaginable (tak
terbayangkan), dan unrepresentable (tak
terrepresentasikan), sebagaimana dikritik oleh Jacques Derrida.
Namun demikian, Pada perkembangannya, distingsi-distingsi Saussurean tersebut telah memberikan
kontribusi besar dalam linguistik dan kritik sastra. dalam bidang linguistik, madzhab strukturalisme yang
dimunculkan Saussure ini diadaptasi oleh Noam Avram Chomsky, yang melakukan modifikasi dualitas struktur
bahasa, yakni struktur dalam (deep structure) dan struktur luar (surface structure). Selain Chomsky, Levi Strauss yang dikenal sebagai bapak strukturalisme antropologis Prancis, mengadaptasi pemikiran Saussure terutama menyangkut oposisi biner dalam struktur alaminya (Alex Sobur, 2001:103). Dalam konteks yang terakhir, kritik sastra strukturalis-Saussurean
memperlakukan teks sastra sebagai ‘sistem tanda’. Kritikus strukturalis beranggapan bahwa tugas mereka adalah mempelajari struktur sastra, dengan mengamati secara objektif hakekat sastra yang khas dan
penggunaan alat-alat fonemis dalam karya sastra, dan bukan mempelajari amanat, sumber, atau sejarah sastra. Puisi terjadi dari kata-kata, bukan subjek-subjek puitis, jadi perhatian kritikus sastra haruslah