• Tidak ada hasil yang ditemukan

Madzhab dan Pemikiran Semiotik Eropa dan Amerika Modern

Dalam dokumen SEMIOTIKA KONTEMPORER (Halaman 46-54)

Berbagai teori yang lahir di Eropa dan Amerika umumnya lahir sebagai sebuah respon atau penajaman analisis terhadap unsur yang terdapat dalam sistem komunikasi bahasa, termasuk komunikasi sastra.

Unsur-unsur itu, minimal, terdiri dari penulis (pengirim), pembaca (penerima), tulisan (teks; wicara), kode, dan konteks. Teori-teori yang lahir dalam penajaman analisis tersebut adalah romantik (dan ekspresionisme), marxisme, formalisme, strukturalisme, dan orientasi-pembaca.

Teori-teori romantik (dan ekspresionisme) menekankan proses kreatif penulis dan kehidupannya. “Kritik sastra-pembaca” (kritik sastra fenomenologis) memusatkan diri pada pembaca. Teori-teri formalis berpusat pada kodrat tulisan secara otonom. Kritik sastra marxis memandang konteks kemasyarakatan dan kesejarahan sebagai dasar. Selanjutnya, poetika strukturalis memberikan penekanan pada kode-kode yang digunakan untuk menyusun arti. Menurut Raman Selden (1996:xi), tidak ada satu pun teori-teori itu mengabaikan dimensi komunikasi sastra yang lain secara total. Misalnya, dalam kritik sastra Marxis, penulis, pembaca, dan teks semuanya terangkum dalam sebuah perspektif kemasyarakatan secara umum. Namun sebaliknya, tidak ada satupun teori yang benar-benar memberikan penekanan pada seluruh dimensi komunkasi sastra tersebut. Apabila semiotik kemudian ditempatkan sebagai evolusi dari strukturalisme, maka dalam hal ini fokus kajian utama semiotik adalah kode. Namun demikian, sekian banyak tokoh semiotik tetap saja memperhatikan unsur-unsur lain, bahkan sebagian semiotik bergerak memberi penekanan-penekanan pada unsur-unsur lain, selain kode.

Konteks

Penulis Tulisan Pembaca

Marxis

Romatik Formalistik Orientasi-Pembaca Struktura

lis

Dalam sejarahnya, banyak tokoh semiotik (atau mungkin para pencinta semiotik mengelompokkan tokoh-tokoh tersebut sebagai tokoh semiotik) yang lahir. Demikian pula dengan madzhab-madzhab semiotik. Namun dalam konteks madzhab semiotik, jarang seorang tokoh menyebutkan madzhab yang dilahirkannya, tetapi kebanyakan orang yang hidup belakangan (terutama murid-murid, atau penganut paham seorang tokoh), mengidentikkan pemikiran seorang tokoh kepada madzhab tertentu. Katakanlah Ferdinand de Saussure ketika ia mengintrodusir pemikiran dalam bidang linguistik dan semiologi, ia tidak memproklamirkan madzhab strukturalisme atau semiologi-strukturalis. Para murid dan penganut pemikirannya lah yang menyebutkan bahwa Saussure merupakan pendiri strukturalisme atau semiologi struktural. Dalam hal ini tentunya pula, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, tipologi madzhab-madzhab semiotik di bawah ini berdasarkan anggapan populer tentang identitas seorang tokoh dalam bidang semiotik; dengan kata lain, apa identitas madzhab semiotik yang diberikan oleh para penulis sebelumnya, maka penulis ikuti di sini.

Sebagaimana diklaim banyak orang bahwa terdapat semacam ‘kubu-kubu’-an dalam semiotik Eropa dan Amerika. Semiotik Eropa atau dikenal pula sebagai

semiotik kontinental dibangun di atas temuan

intelektual Ferdinand de Sasussure dalam bidang linguistik. Pandangan semiotik de Saussure

dikembangkan lebih lanjut oleh Roland Barthe dan Hjelmslev (seorang strukturalis asal Denmark). Sedangkan semiotik Amerika atau dikenal pula sebagai

semiotik Anglo Saxon dikembangkan oleh Charles

Sanders Peirce yang berdiri di atas filsafat pragmatisme. Tentunya seperti diklaim, bahwa perbedaan pijakan dari de Saussure dan Peirce menyebabkan hasil kajian keduanya menjadi berbeda.

Di samping penyebutan madzhab semiotik berdasarkan geografis di atas, masih banyak penamaan madzhab atau nama aliran semiotik lainnya yang disandarkan kepada fokus kajian atau konsep yang dimunculkan oleh tokoh tersebut. Misalnya, Panuti Sudiman dan Zoest (1922:3-4) menyebutkan adanya aliran semiotik konotasi yang dipelolpori oleh Roland Barthes, aliran semiotik ekspansionis yang dipelopori Julia Kristeva, dan aliran semiotik behavioris yang dipelopori oleh Charles Moris. Prinsipnya, penamaan ini dibuat secara berbeda oleh setiap penulis, tergantung kepada pemahaman dan perspektif para penulis ketika mengapresiasi karya-karya dari para tokoh semiotik tersebut. Sekali lagi, nama-nama ini merupakan kerjaan orang yang hidup belakangan atau orang yang ingin menyimpelkan saja. Misal, karena Roland Barthes lebih banyak menganalisis aspek konotatif dari objek-objek telaahnya, maka secara serampangan saja orang menyebutnya sebagai tokoh semiotik konotasi. Demikian pula aliran-aliran lainnya.

Memang terdapat banyak arus utama (madzhab) pemikiran semiotik semenjak Saussure merancang bangun semiologi dan Peirce mengkonstruksi semiotik, namun rata-rata tidak menyebut nama alirannya. Oleh karena itu, ketika setiap orang memberi ‘label’ kepada hasil “olah intelektual’ para tokoh tersebut, adalah menjadi sah dan menjadi hak setiap orang, ya.. demi kebebasan ekspresi dan reproduksi makna. Tentunya,

penamaan yang terdapat dalam tulisan ini pun ingin didudukkan dalam ‘koridor’ tersebut, yakni kebebasan ekspresi dan repsroduksi makna, namun tentunya tidak melepaskan alasan ‘rasionalitas’ penamaan. Ada banyak tokoh dan penamaan semiotik yang ditulis di sini, yiatu Ferdinand de Saussure (Praha) dengan semiotik

signifikasi, Peirce (Amerika) dengan semiotik komunikasi, Roman Jakobson (imigran asal Rumania,

menetap di Prancis) dengan semiotik struktural, Hjemslev (Swedia) dengan Glosematika, Greimas (imigran asal Lithuania menetap di Prancis) dengan

aktansial-wacana Naratif, Roland Barthes (Prancis)

dengan semiotik transisi dari Strukturalis ke Post-Strukturalis, Haliday dengan semiotik sosial, Paul Ricoeur dengan Semiotik Long Road, Jaques Lacan (Prancis) dengan Psikoanalisis, Jacques Derrida (terlahir di Aljajair kemudian berimigrasi ke Prancis) dengan

dekonstruksi, Umberto Eco (terlahir di Alexandria, Italia)

dengan Semiotik Model Petofi, Julia Kristeva (imigran asal Bulgaria menetap di Prancis) dengan semiotik

revolusioner, Todorov (imigran asal Rusia menetap di

Prancis dengan semiotik narasi, dan terakhir Riffaterre dengan semiotik Superreader. Selain itu, Mohammed Arkoun ditambahkan di sini sebagai bahan perbandingan.

Namun demikian, terdapat hal yang perlu dieliminir bahwa membaca dan memahami berbagai aliran dan pemikiran semiotik tersebut, biasanya, pembaca dihadapkan pada pelbagai stream of thought, meminjam istilah William James, dengan segala implikasi pemikirannya. Misalnya, ketika pembaca memahami ‘hubungan antar tanda dan realitas’, maka pembaca dihadapkan pada dua pendapat bertentangan, yakni Saussure dan Peirce. Saussure menyatakan bahwa tanda merupakan akumulasi sistem bahasa yang berada pada kognisi manusia dan terlepas dari

realitasnya; sementara Peirce justru menekankan bahwa ‘hubungan erat antara tanda dengan realitas’ lah yang memungkinkan dinamisasi eksplorasi tanda. Contoh lain, de Saussure menyatakan bahwa tidak diperlukan medium dalam penandaan; sedangkan ahli semiotik lainnya justru memperkuat keberadaan medium dalam penandaan; Roland Barthes menyebut medium tersebut sebagai relasi, Eco menyebutnya

signifikasi, sedangkan Peirce menyebutnya interpretant.

Semiotik Saussure menekankan pada makna denotatif, tidak bermotif, dan arbiter; sedangkan sifat pemaknaan pada semiotik lainnya membuat makna tanda yang bermotif. Keunikan-keunikan yang dipikirkan dan dikonstruk oleh para ahli semiotik inilah yang ingin dipotret dalam bagian tulisan selanjutnya.

Madzhab dan pemikiran tokoh semiotik pun oleh sebagian penulis, sebagaimana dijelaskan Richard Harland, dapat diposisikan pada tipologi madzhab strukturalisme dan post-strukturalisme. Tentunya, untuk kesekian kalinya perlu disebutkan bahwa generalisir seperti ini hanya ditujukan untuk membuat opini atau sekedar ingin menyederhanakan pemahaman. Richard Harland dalam bukunya Superstructuralisme (1987), secara garis besar membedakan strukturalisme dan poststrukturalism. Strkturalisme masih bertolak dari upaya “mengetahui” dan “menemukan” sesuatu dalam dunia manusia, mencari “objektivitas” dan “kebenaran” sesuai dengan kaidah ilmu (terutama ilmu alam), sekalipun sebagain strukturalis sudah menetapkan bahwa struktur ada pada kognisi manusia sebagai warga masyarakat (artinya sudah meluas dari sekedar ilmu alam, seperti diungkapkan Piaget yang melingkupi ilmu alam, biologi, dan matematika). Objektivitas yang dimaksud adalah dalam melihat sebuah struktur dalam suatu gejala sosial budaya ditinjau dari pandangan manusia. Namun, dalam kepanjangannya, teori

strukturalis lebih mengutamakan kebudayaan sebagai objek analisis daripada alam. Kalaupun gejala alam yang dibicarakan, maka itu ditinjau dalam kerangka kebudayaan. Analisis tanda pada masa strukturalis ini masih terikat pada kaidah-kaidah yang mengikat masyarakat atau interpreter (seperti langue pada konsep Saussure; atau superstuktur pada konsep Harland).

Pada kalangan post-strukturalis sikap ini berkembang menjadi mementingkan tanda dan pemaknaannya sebagai objek kajian, sehingga tidak lagi mengutamakan “objektivitas” ilmu, sekalipun konsep yang menggambarkan adanya “struktur” masih tetap ada (Beny H. Hoed, 2003:23). Post-strukturalisme yang dimaksudkan di sini merupakan sebuah wacana multidispliner dan heterogen yang lahir dari lingkaran strukturalisme Prancis. Pengaruh yang paling utama terhadap teori-teori pascastrukturalis adalah seorang filosof dekonstruksionis Prancis (Jacques derrida) dan teoritikus kultural (Michael Foucault), selain juga melalui karya-karya psikoanalisis Jacques Lacan. Pemikiran-pemikiran pascastrukturalis memberikan dampak yang besar terhadap kritik sastra di Amerika sejak tahun 1970-an, khususnya terhadap kelompok kritikus yang bermarkas di universitas Yale atau dikenal dengan “Dekonstruksionis Yale”. Pentolan utama kelompok ini antara lain adalah Paul de Man yang pendapat-pendapatnya banyak sependapat dengan difference-nya Derrida (Kris Budiman, 1999:90).

Pada periode poststrukturalisme ini, terlihat makin besarnya kebebasan dalam melihat dan menganalisis gejala sosial budaya sebagai tanda. Initinya adalah bahwa segala gejala sosial budaya mempunyai nilainya melalui kognisi, melalui pikiran manusia yang hidup berkonvensi sosial. Jadi, yang dicari adalah suatu

pada perkembangan selanjutnya, pencarian semakin dalam, tidak hanya superstruktur yang mereka cari, tetapi makna yang diberikan oleh manusia kepada tanda sebagai gejala sosial budaya dalam kerangka sebuah superstruktur. Yang dicari adalah sebuah “struktur utama” yang memayungi struktur-struktur bawahan.

Foucault, misalnya, berbicara mengenai episteme yang dasarnya adalah sistem representasi dalam kehidupan manusia yang mencakup tiga ranah, yakni

bahasa (“kata” mewakili realitas), ekonomi (“uang”

sebagai tanda), dan alam (“flora” dan “fauna” sebagai tanda yang mewakili alam). Episteme adalah konsep tentang realitas di tiga ranah itu dan merupakan semacam superstruktur yang memayungi realitas di tiga ranah itu. Apa yang dibicarakan adalah episteme dan bukan realitasnya sendiri. Realitas di sini dilihat dari kacamata budaya, yakni melalui pandangan manusia sebagai warga dalam hidup bermasyarakat. Dari kajian tentang episteme itu, makna yang diberikan oleh manusia tentang bahasa, ekonomi, dan alam dapat diperoleh (Beny H. Hoed, 2003:24).

Lacan berusaha membentuk superstruktur dalam teori psikoanalisisnya. Ia mencari suatu model pemaknaan atas “bawah sadar” atau “Yang Lain” yang menurutnya tidak dapat ditemukan kecuali melalui apa yang ada di dalam penanda sistem “bawah sadar”. Hal ini karena dalam bahasa “bawah sadar” batas antara penanda dan petanda sulit ditembus sehingga pemaknaan harus dilakukan dengan mempelajari hubungan antarpenanda agar dapat ditafsirkan apa yang ada dalam tataran petanda “bawah sadar”. Model seperti ini adalah sebuah superstruktur pula.

S

S

EMIOLOGIEMIOLOGI

S S

IGNIFIKASIIGNIFIKASI

Dalam dokumen SEMIOTIKA KONTEMPORER (Halaman 46-54)