• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Makrolinguistik

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 83-90)

DALAM PERSPEKTIF KULTURAL

3. Analisis Makrolinguistik

Analisis makrolinguistik meliputi aspek konteks kultural maupun konteks situasi. Konteks kultural adalah analisis secara holistik berkaitan dengan apa yang dipaparkan dalam wacana puisi. Adapun dalam konteks situasi tercakup konteks fisik, epistemis, dan konteks sosial, di samping konteks linguistik. Konteks tersubut tidak dipisahkan secara tegas tetapi kadang-kadang terjadi tumpang tindih karena antara konteks yang satu dengan yang lain saling berkaitan membangun satu kesatuan wacana yang utuh.

a. Konteks Kultural

Pada puisi ‗Batik‘ disebutkan bahwa sejak dahulu batik sudah dikenal diseluruh dunia.

Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali dipaparkan dalam buku History of Java

(London, 1817) karya Sir Thomas Stamford Raffles seorang Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman (Nadia, 1991). Peristiwa inilah yang menjadikan batik Indonesia (Jawa) terkenal ke seluruh dunia. Bahkan Batik Indonesia sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009.

Dalam sumber yang lain dijelaskan bahwa G.P. Rouffaer menyatakan bahwa pola

gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Detil ukiran kain yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita yaitu sebuah arca dewi kebijaksanaan buddhis dari Jawa Timur abad ke-13. Detil pakaian menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa yang dapat ditemukan kini. Hal ini menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat dengan

canting telah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau bahkan lebih awal. Batik Jawa adalah sebuah warisan kesenian budaya orang Indonesia, khususnya daerah Jawa yang dikuasai orang Jawa dari turun temurun. Batik Jawa mempunyai motif-motif yang berbeda-beda. Perbedaan motif ini biasa terjadi dikarenakan motif-motif itu mempunyai makna, maksudnya bukan hanya sebuah gambar akan tetapi mengandung makna yang mereka dapat dari leluhur mereka, yaitu penganut agama animisme, dinamisme atau Hindu dan Buddha.

Batik dapat dipilah menjadi dua yaitu batik tradisi atau batik klasik dan batik modern atau batik bukan tradisi. Batik tradisi ialah batik dengan motif klasik dan digunakan pada acara yang erat hubungannya dengan adat istiadat. Batik modern ialah batik dengan motif modern untuk bermacam-macam kebutuhan sandang dan bukan sandang. Pada batik tradisi atau klasik, dikenal tiga jenis motif, yakni motif baku, anggitan, dan isen. Motif baku dalam peristilahan batik disebut pola baku (Jawa). Motif utama pada kain batik. Sebagai contoh, motif baku yang terdapat dalam batik semēn rama. Ada 9 yaitu mēru, modang, baita, dampar, lar, burung, pusaka, binatang, pohon hayat. Setiap motif baku tersebut memiliki makna perlambangan. Anggitan (istilah batik) ialah motif pelengkap, dipakai untuk mengisi ruang kosong di antara motif baku, dan tidak memiliki arti perlambangan seperti halnya motif baku. Isēn (istilah batik) ialah unsur pembentuk motif baku dan anggitan, terdiri atas bermacam bentuk kecil-kecil. (Widiastuti, 2011).

Motif batik mempunyai beberapa fungsi, yakni sebagai penunjuk kedudukan pemakai, pelengkap upacara, dan pemakaian sehari-hari. Motif batik yang digunakan sebagai penunjuk

kedudukan pemakai dan terdapat pada batik larangan yang terdiri atas delapan jenis batik, yaitu kawung, parang, parang rusak, cemukiran, udan riris, sawat, semēn, alas-alasan. Batik larangan hanya berlaku di lingkungan keraton dan dimonopoli oleh pihak Kerajaan Mataram sejak abad ke-18. Setiap batik larangan dipakai oleh orang tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku di dalam keraton. Pada masa sekarang pemakaian ke-8 jenis batik larangan ini masih dipatuhi oleh kerabat raja dan mereka yang masih memahami aturan pemakaiannya saja, sedangkan masyarakat umumnya sudah tidak lagi mengerti mengenai aturan pemakaian batik larangan.

Motif batik yang digunakan sebagai pelengkap upacara terdapat pada batik upacara. Semula batik upacara hanya digunakan dalam upacara di lingkungan keraton, baik upacara yang dilakukan secara tetap sebagai tradisi, seperti misalnya upacara jumenengan, maupun upacara tertentu seperti kelahiran, perkawinan, kematian. Dalam perkembangannya, batik upacara ini juga dipakai oleh masyarakat di luar keraton, terutama untuk uapcara perkawinan. Salah satu contoh batik upacara yang selalu digunakan dalam upacara perkawinan adalah batik sidomukti .

Motif batik yang digunakan pemakaian sehari-hari terdapat pada batik modern. Jenis motif baku pada batik modern antara lain: tiruan motif baku dari batik larangan atau upacara yang telah dimodifikasi, dan motif yang sama sekali baru. Batik modern banyak dapat dijumpai pada pelengkap rumah tangga, pelengkap ruang, dan cinderamata, di samping sebagai bahan sandang dan pelengkap pakaian.

Motif baku pada batik larangan dan upacara merupakan motif perlambangan, yaitu mengandung maksud tertentu yang erat hubungannya dengan pandangan hidup dan kepercayaan masyarakat pembuatnya di zaman dahulu dan sampai sekarang masih dilestarikan oleh mereka yang mengerti arti perlembangan tersebut. Umumnya perlambangan pada motif baku batik larangan dan upacara tidak terlepas dari paham Jawa Kuno, Hindu, dan unsur alam pertanian.

Pada puisi ‘Kimono‘ disebutkan bahwa tampilan kimono adalah indah, cantik, dan menawan. Kimono sendiri adalah pakaian tradisional Jepang yang secara harfiah (ki berarti pakai

dan mono berarti barang) adalah baju atau sesuatu yang dikenakan. Pada saat sekarang, kimono berbentuk seperti huruf "T" dan mirip mantel berlengan panjang, berkerah, dan panjangnya hingga ke pergelangan kaki. Kimono sekarang ini lebih sering dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut furisode (Dalby, 2001). Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Perempuan yang genap berusia 20 tahun mengenakan furisode untuk menghadiri seijin shiki. Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal lainnya. Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional diharuskan mengenakan kimono (Sharnoff, 1993). Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi-Go-San. Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan wanita rumah makan tradisional (ryōtei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan).

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome ishō) terdiri dari furisode dan

uchikake (mantel yang dikenakan di atas furisode). Furisode untuk pengantin wanita berbeda dari

furisode untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan untuk furisode pengantin diberi motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang. Warna furisode

pengantin juga lebih cerah dibandingkan furisode biasa. Shiromuku adalah sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupa furisode berwarna putih bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.

Pemilihan jenis kimono yang tepat memerlukan pengetahuan mengenai simbolisme dan isyarat terselubung yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat formalitas kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan warna, mulai dari kimono paling formal hingga kimono santai. Berdasarkan jenis kimono yang dipakai, kimono bisa menunjukkan umur pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri. Menurut wikipedia berikut ini adalah macam-macam kimono berdasarkan unsur-unsur di atas. Pertama, Tomesode adalah kimono paling formal untuk wanita yang sudah menikah. Bila berwarna hitam, kimono jenis ini disebut

kurotomesode (arti harfiah: tomesode hitam). Kurotomesode memiliki lambang keluarga di tiga tempat yaitu di punggung, di dada bagian atas (kanan/kiri), dan bagian belakang lengan (kanan/kiri). Ciri khas kurotomesode adalah motif indah pada suso (bagian bawah sekitar kaki)

depan dan belakang. Kurotomesode dipakai untuk menghadiri resepsi pernikahan dan acara-acara yang sangat resmi.

Tomesode yang dibuat dari kain berwarna disebut irotomesode (arti harfiah: tomesode

berwarna). Bergantung kepada tingkat formalitas acara, pemakai bisa memilih jumlah lambang keluarga pada kain kimono, mulai dari satu, tiga, hingga lima buah untuk acara yang sangat formal. Kimono jenis ini dipakai oleh wanita dewasa yang sudah/belum menikah. Kimono jenis

irotomesode dipakai untuk menghadiri acara yang tidak memperbolehkan tamu untuk datang memakai kurotomesode, misalnya resepsi di istana kaisar. Sama halnya seperti kurotomesode, ciri khas irotomesode adalah motif indah pada suso.

Furisode adalah kimono paling formal untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian kain. Ciri khas furisode adalah bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Furisode dikenakan sewaktu menghadiri upacara seijin shiki, menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda, atau hatsumode. Pakaian pengantin wanita yang disebut hanayome ishō termasuk salah satu jenis furisode. Jenis yang lain adalah hōmon-gi artinya baju untuk berkunjung adalah kimono formal untuk wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk memakai bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak. Ciri khas homongi adalah motif di seluruh bagian kain, depan dan belakang. Homongi dipakai sewaktu menjadi tamu resepsi pernikahan, upacara minum teh, atau merayakan tahun baru.

Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji

tersebut memiliki lambang keluarga (kamon). Sesuai dengan tingkat formalitas kimono, lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada).

Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah jambu, biru muda, atau kuning muda atau warna-warna lembut. Iromuji dengan lambang keluarga di 5 tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan. Bila menghadiri upacara minum teh, cukup dipakai iromuji dengan satu lambang keluarga. Kimono semiformal lainnya adalah tsukesage yang digunakan wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitas, kedudukan

tsukesage hanya setingkat di bawah homongi. Kimono jenis ini tidak memiliki lambang keluarga.

Tsukesage dikenakan untuk menghadiri upacara minum teh yang tidak begitu resmi, pesta pernikahan, pesta resmi, atau merayakan tahun baru.

Adapun kimono untuk acara santai adalah komon dan digunakan wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran kecil-kecil yang berulang. Komon dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung. Jenis kimono santai lainnya adalah tsumugi yang digunakan untuk sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika berbelanja dan berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain hasil tenunan sederhana dari benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan kasar. Kimono jenis ini tahan lama dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang. Jenis kimono untuk santai lainnya adalah yukata yang dibuat dari kain katun tipis tanpa pelapis untuk kesempatan santai di musim panas.

b. Konteks Situasi

Konteks situasi dapat dipandang sebagai pembatas makna. Konteks situasi yang dibahas adalah pada konteks fisik, epistemis, dan konteks sosial yang dipertimbangkan dari berbagai penafsiran (personal, lokasional, dan temporal) serta prinsip analogi. Konteks fisik ini meliputi tiga aspek penting yaitu tempat terjadinya suatu peristiwa, objek atau topik yang dibicarakan, dan tindakan-tindakan para partisipan dalam komunikasi. Konteks situasi (peristiwa, keadaan, proses)

yang diungkapkan dalam wacana puisi ‘Batik‘ dan ‘Kimono‘ adalah penggambaran secara deskriptif berkaitan dengan batik dan kimono. Topik yang disajikan adalah keindahan secara visual yang dimiliki oleh batik dan kimono. Adapun tindakan partisipan adalah mengapresiasi apa yang disampaikan penulis dalam setiap baik puisi yang dipaparkan.

Konteks epistemis berkenaan dengan masalah latar belakang pengetahuan yang

sama-sama diketahui oleh penutur maupun mitra tutur. Dalam hal ini, penulis puisi ‗Batik‘ dan

kedua negara telah memperlihatkan kemampuannya bertahan dalam gobalisasi saat ini. Kedua karya adiluhung tersebut saat ini masih tetap eksis dan digunakan oleh masyarakat kedua negara. Konteks sosial menunjuk pada relasi sosial dan setting yang melengkapi hubungan antara penutur dengan mitra tutur. Dalam hal ini, adalah komparasi antara budaya Jepang dan Jawa atau yang lebih spesifik antara batik dan kimono.

Fenomena budaya yang terjadi di Jepang dan Jawa pernah dipaparkan secara detail dalam makalah Suranto (2011). Dalam tulisannya dinyatakan bahwa fenomena budaya yang terjadi di Jawa saat ini masih banyak orang Indonesia terutama orang Jawa yang tidak mengetahui nilai-nilai luhur budaya keraton dan hal ini juga terjadi di Jepang. Untuk memahami budaya, sejarah, seni, dan bahasa Jawa, tidak hanya berdasarkan pemikiran orang Eropa, namun dari pandangan orang Asia sendiri agar dapat mempertimbangkan nilai-nilai budaya sendiri. Sebagai contoh misalnya banyak dosen dari Indonesia yang belajar dan studi lanjut di luar negeri akan tetapi penelitiannya tentang Indonesia dan di Indonesia.

Budaya adalah kristalisasi nilai dan pola hidup yang dianut suatu komunitas, khususnya masyarakat Jawa. Budaya tiap komunitas tumbuh dan berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu. Sebagai contoh perbandingan budaya Jepang dan Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan perbedaan kedua budaya itu akan semakin dapat memahami keanekaragaman pola hidup yang ada dan akan bermanfaat saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak yang berasal dari budaya yang berbeda. Kesulitan utama dalam membuat perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang disebabkan perbedaan karakteristik kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen dan hanya memiliki sekitar 15 bahasa serta telah memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sehingga nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun bangsa Indonesia berciri heterogen, multietnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili Indonesia secara nasional. Perlu dipisahkan nilai-nilai mana yang diterima secara nasional di Indonesia dan mana yang merupakan karakter unik salah satu suku yang ada. Hal ini tentunya berkaitan dengan beragamnya suku bangsa dan budaya yang ada di Indonesia.

Perbandingan budaya Jepang dan budaya Indonesia, khususnya Jawa sangat menarik. Budaya Jepang dan Jawa merupakan budaya yang luhur dan sangat menarik untuk dikaji. Antara budaya Jepang dan Jawa ada persamaannya dan perbedaannya. Persamaan antara Jepang dan Jawa ada persamaannya, yaitu meskipun terpisah dari benua Asia, seperti India dan Cina, namun iklim serta geografis yang sama, sehingga memiliki tanah yang subur. Dalam pemerintahan Jepang dan Jawa ada sejarah dulu dan sekarang mengembangkan budaya agraris pertanian. Berkaitan dengan budaya ini ada sesuatu yang menarik yaitu ketika masuknya agama Budha di Jawa dengan membawa perubahan berkaitan dengan budaya akan tetapi sebagai agama luar yang dileburkan bersama budaya Jawa sehingga menghasilkan suatu budaya gabungan yang unik ditambah lagi budaya aristokrat yang pada akhirnya melahirkan budaya yang baru.

Perbedaan yang ada antara Jepang dan Jawa sebenarnya telah ada beberapa yang dipaparkan sebelumnya. Kebudayaan Jepang lebih tua daripada kebudayaan Jawa. Hal ini dapat dilihat dari kalender yang ada yaitu Jepang telah berumur 2671 sedangkan budaya Jawa 1944. Dilihat dari umur tersebut jelas budaya Jepang lebih tua daripada budaya Jawa sehingga wajar apabila khasanah bahasa Jepang mempunyai kosakata yang sangat banyak akan tetapi bahasa Jawa juga mempunyai kosakata yang banyak dan bahasa Jawa juga dikenal dengan bahasa yang ekspresif dan mempunyai speech level yang sangat unik di dunia. Kosakata bahasa Jawa lebih banyak dan beragam apabila dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Dalam kebahasaan ini juga Jepang mempunyai mempunyai huruf sendiri yaitu Hiragana, Katakan, dan Kanji. Adapun Jawa mempunyai huruf Jawa. Dalam kehidupan bermasyarakat dalam setiap budaya pasti mempunyai simbol sebagai acuan. Jepang masih memiliki kerajaan yang menjadi simbol bagi negara dan Jawa juga memiliki Keraton sebagai simbol Jawa.

Dalam meningkatkan kualitas bangsa dan masyarakatnya, tidak cukup hanya melakukan modernisasi dengan teknologi yang maju dan canggih. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh negara-negara barat seperti Amerika, Jerman, Perancis, dan lain dapat diraih dengan pendidikan. Sebagai negara yang ingin maju tidak hanya ilmu pengetahuan dan teknologi saja

yang dikembangkan akan tetapi juga budayanya. Dalam hubungan dengan budaya Jepang dan Jawa yang perlu dipelajari tidak hanya bahasa, namun juga saling bertukar pengetahuan dalam seni, dan banyak penelitian bidang penting lainnya. Kekayaan budaya merupakan kekayaan yang terpendam dan harus diungkap melalui penelitian-penelitian yang berkualitas dan hal itu dapat dilakukan secara bersama-sama antara Jawa dan Jepang.

4.

Simpulan

Puisi ‗Batik‘ dan ‗Kimono‘ berisikan tentang deskripsi tentang batik dan kimono secara

deskriptif. Keindahan secara fisik tergambar secara detail dalam kedua puisi tersebut. Aspek gramatikal yang dimanfaatkan sebagai alat pendukung kepaduan wacana puisi tersebut meliputi referensi (persona, demonstratif, dan komparatif), substitusi untuk memperoleh unsur pembeda, menghilangkan kemonotonan, dinamisasi narasi, dan variasi bentuk, elipsis untuk membangun kalimat efektif, praktis dan ekonomis dalam bertutur, dan bagi pembaca berguna untuk membangkitkan daya-pikir terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam puisi, dan konjungsi untuk merangkaikan makna unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam suatu konstruksi. Aspek leksikal berupa repetisi, sinonimi, kolokasi, hiponimi, antonimi, dan ekuivalensi.

Berdasarkan segi konteks kultural menjadi dasar bagi pemahaman makna wacana secara holistik, sedangkan analisis dari segi konteks situasi menjadi pembatas atau penjelas makna wacana secara komprehensif. Konteks situasi ini meliputi konteks fisik, epistemis, dan konteks sosial yang dipertimbangkan dari berbagai penafsiran serta prinsip analogi. Berdasarkan konteks kultural bahwa kedua hasil karya budaya adiluhung dari kedua negara yaitu batik dan kimono harus terus dilestarikan walupun keduanya masih mempunyai tempat dalam masyarakat masing-masing.

Daftar Pustaka

Aminuddin. 1989. ―Analisis Wacana dan Telaah Sastra‖, dalam Puitika Edisi 01/Th.I/1989. (Terbitan Ilmiah HISKI Komisariat Malang).

Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.

Djajasudarma, Fatimah. 2006. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Refika Aditama.

Gorys Keraf. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Halliday MAK dan Hasan, Ruqaiya. 1976. Cohesion in English. London: Longman.

Jorgensen, Marianne W., Louise J. Phillips. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mochtar Lubis. 1988. Manusia indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban). Jakarta: Haji Masagung. Mulyana. 2009. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana

Rani, Abdul, Bustanul Arifin, Martutik. 2006. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Jakarta: Bayumedia

Saddhono, Kundharu. 2009. Analisis Wacana. Surakarta; Program Pengembangan Bahan Ajar PPSP LPP Universitas Sebelas Maret.

Sumarlam (ed.). 2008. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.

Suranto, Kundharu Saddhono, dan Sahid Teguh Widodo. 2011. ‖The Development of Cultural

Studies Java-Japan to Increase the Relationship between Indonesia and Japan‖ in Tozu,

Masakatsu, dkk. (eds.). Reinventing the Indigenous Value of Batik-Kimono to Strengthen the Indonesia-Japan Relationship. Surakarta: Institut Javanologi, Pemkot Surakarta, Japan Foundation, dan Kokushikan University

Tozu, Masakatsu. 2011. ‖The Meaning of Indonesian Batik as World Heritage‖ in Tozu,

Masakatsu, etc. (eds.). Reinventing the Indigenous Value of Batik-Kimono to Strengthen the Indonesia-Japan Relationship. Surakarta: Institut Javanologi, Pemkot Surakarta, Japan Foundation, dan Kokushikan University.

Tozu, Masakatsu, Laura Romano, Nuraini Yusoff, Sahid Teguh Widodo, Kundharu Saddhono (eds.). 2011. Reinventing the Indigenous Value of Batik-Kimono to Strengthen the Indonesia-Japan Relationship. Surakarta: Institut Javanologi, Pemkot Surakarta, Japan Foundation, dan Kokushikan University.

Widiastuti, Theresia. 2011. ‖Prime‘s Motives and Visual Patterns Batik in Every Life Cycle Ceremonies of Java‖ in Tozu, Masakatsu, dkk. (eds.). Reinventing the Indigenous Value of Batik-Kimono to Strengthen the Indonesia-Japan Relationship. Surakarta: Institut Javanologi, Pemkot Surakarta, Japan Foundation, dan Kokushikan University.

Lampiran Wacana Puisi

I. Batik (Fateh Yasin Muhammad)

1. Sejak dahulu kala indahmu dikenal 2. Karena eloknya motifmu

3. Seolah menceritakan perjalananmu

4. Keagunganmu telah terpancar ke seluruh dunia 5. Dengan berbagai corak dari daerah asalmu 6. Kau mengahrumkan nama Indonesia 7. Dari Sabang sampai Merauke

8. Tangan tangan pengerajin tak pernah lelah 9. Menghasilkan ragam batiknya

10. Dengan penuh cinta

11. Dan jiwa seniman yang tulus 12. Mengalir dari dalam hati 13. Tak heran dan tak ragu 14. Batik menjadi idola 15. Membanggakan Indonesia

16. Menjadi warisan budaya yang lestari 17. Hingga akhir sang waktu

18. Batik ada untuk selamanya

Sumber: http://batikindonesia.com/puisi-batik/6334 II. Kimono (Erwin Zulkifli Nasution)

1. Trotoar mamanjang

2. Riuh taman menyorak gembita 3. Jiwa nan belia bergelak menderai 4. Rasa…

5. Tapak pertama menjajaki dewasa 6. Sutra membalut mesra nan mempesona 7. Pita berwarna melilit sempurna

8. Raga menapak pada kepastian asa 9. Benang berajut terlukis bunga-bunga 10. Menjiplak manis pada bidang

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 83-90)