• Tidak ada hasil yang ditemukan

Segmentasi Tuturan PA dalam Tayangan Televisi Berdasarkan Fase

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 69-73)

SEBAGAI GAMBARAN PENGGUNAAN RAGAM BAHASA INFORMAL DI INDONESIA

2. Segmentasi Tuturan PA dalam Tayangan Televisi Berdasarkan Fase

Secara umum tugas PA adalah memandu jalannya acara dari awal sampai akhir sesuai dengan jadwal yang telah disusun oleh tim produksi suatu program tayangan televisi. Pelaksanaan kegiatan dengan jadwal kadang-kadang tidak sesuai. Perubahan acara dan kejadian tidak terduga dapat saja terjadi. Dalam kondisi apa pun, para PA dituntut untuk tetap menguasai forum. Jika rekan PA terlambat, misalnya, si PA harus siap bermonolog atau berinteraksi dengan penonton yang ada. Jika pengisi acara datang terlambat, biasanya para PA menampilkan candaan-candaan yang bukan sekadar pengisi waktu luang, melainkan yang juga merupakan bagian unggulan acara itu.

Secara garis besar, tuturan yang disampaikan oleh pembawa acara dapat dibagi dalam empat fase, yaitu fase pembukaan, fase pencairan suasana, fase peralihan, dan fase penutup. 2.1 Tuturan dalam Fase Pembukaan

Fase pembukaan yang dimaksud adalah pembukaan baik di awal acara, maupun pembukaan di awal segmen karena acara terputus oleh jeda iklan. Fase ini biasanya diawali dengan yel khas acara tersebut yang berfungsi juga sebagai bumper atau penanda dimulainya sebuah segmen. Dalam acara biasanya ada penonton yang datang atau sengaja didatangkan untuk memeriahkan suasana. PA dan penonton (selanjutnya disebut PT) ini biasanya menyerukan yel-yel yang telah menjadi ciri khas acara. Ada yel yang hanya berupa teriakan-teriakan disertai gerakan seperti (1) Lalala yeyeye, lalalala yeyeye!, (2) Heeeee, haaaaa!, (3) Eee… A! Eee… A! E E E E,

A! Ada juga yel berupa lagu yang khusus diciptakan untuk acara tersebut seperti (4) Kite lagi, kite lagi, kite lagi. Kite lagi, nongol di tipi dan (5) Sore-sore pulang kerja di rumah dhewe daripada bengong mending nonton Show_Imah wae.

Selain yel, ada juga tuturan PA yang ditujukan untuk menjalin interaksi dengan PT. Berikut contoh-contohnya.

(6) PA: Kumaaaaaan? ‗Kurang mantap?‘

PT: Mantap, Cing! (7) PA: Inbox? PT: Mantap!

(8) PA: Opera van Java? PT: Yaaa‘e!

(9) PA: Ahay deu! ‗Halo!‘

PT: Ahay deu! ‗Halo!‘

(10) PA: Wasap, Duuut? ‗What‘s up, Dude?‘

PT: Baaaiiik!

(11) PA: Hoi, apa kabar Mas Bro dan Mbak Bro? PT: Baaaiiik!

(12) PA: Hoi Penontooon! PT: Hoi!

PA: Apa kabar? PT: Baik!

Selain menjalin interaksi dengan PT, PA juga berusaha menjalin hubungan dengan pemirsa (selanjutnya disebut PR). Meskipun komunikasinya bersifat satu arah, tetapi PR tetap disebut dan dianggap berada di tempat yang sama seperti halnya PT. Namun demikian, berbeda dengan tuturan kepada PO yang berada di lokasi, tuturan kepada PR lebih formal.

(13) PA: Selamat pagi! Salam terdahsyat untuk keluarga Indonesia!

(14) PA: Selamat malam, pemirsa. Jumpa lagi dengan kami, dalang dan wayang OVJ yang akan menceritakan kisah-kisah seru walau ceritanya sedikit ngawur.

(15) PA: Apa kabar pemirsa yang ada di rumah? Kita jumpa lagi dalam bincang-bincang bersama para bintang tamu saya yang luar biasa. Pastinya dalam acara Bukan Empaaat Matta.

Ketika menjalin interaksi, baik dengan sesama PA, PT, maupun PR, biasanya digunakan sapaan-sapaan tertentu, seperti (16) Hoi, Mas Bro, (17) Hai, Cakep, (18) Hai, Cyiiin, dan (19) Pemirsa! Pepe, mimir, sasa. Sapaan yang digunakan bersifat khas, sapaan pada (16), (17), dan (18) bersifat informal yang mengimplikasikan bahwa lawan tuturnya adalah seumuran atau tidak berbeda jauh usianya. Adapun tuturan (19), meskipun dikreasikan sedemikian rupa, lebih bersifat formal karena segmen acara tersebut diasumsikan disaksikan oleh keluarga.

Jika diamati, tuturan PA dalam fase pembukaan ini ditujukan untuk menjalin komunikasi dan ikatan dengan PA dan PR. Dalam sebuah acara, fase ini biasanya dianggap sangat penting. Demikian pentingnya fase ini, bahkan ada yang mengatakan bahwa keberhasilan suatu acara dapat diketahui dari sukses atau tidaknya fase pembukaannya. Oleh karena itu, tim kreatif biasanya mengonsep fase ini dengan sebaik-baiknya dan PA biasanya berusaha menaikkan animo PO dan PT sehingga perhatian PO dan PR semaksimal mungkin tercurah kepadanya.

2.2 Tuturan dalam Fase Pencairan Suasana

Fase pencairan suasana (ice breaking) dapat dimunculkan sewaktu-waktu. Pada awal acara, pencairan suasana dilakukan untuk memecah kekakuan dan menunggu rekan PA atau pengisi acara siap. Pencairan suasana juga dilakukan agar penonton tidak jenuh. Pencairan suasana biasanya dilakukan dengan candaan-candaan, baik antara pemandu acara dengan pemandu acara yang lain, maupun antara pemandu acara dengan penonton. Berikut strategi pencair suasana yang digunakan.

Untuk menimbulkan suasana yang meriah dan menimbulkan gelak tawa, PA biasanya menampilkan karakter yang menuturkan hal-hal yang lucu dan unik. Karakter yang mereka perankan berbeda-beda sehingga walaupun PA-nya hampir sama setiap hari, PT dan PR tidak akan bosan karena para PA ini selalu berganti peran karakter tergantung tema yang sudah ditentukan oleh tim kreatif. Berikut beberapa karakter yang sering ditampilkan.

Karakter manja dan genit biasanya ditunjukkan dengan tampilan visual dan gaya bicara yang khas. Hal tersebut ditunjukkan misalnya dengan memuji pengisi acara dengan (12) dan dengan (13) memuji diri sendiri. Demikian juga dengan (14), disertai dengan gaya bicara dan gestur yang genit dan manja, biasanya tuturan PA berikut membuat PT ramai menyorakinya.

(12) Ke Cimahiiii Beli sekuteng Pagi-pagi

Ada yang ganteng

(13) Biar muka setan, tapi dalemnya ketan, Cyiin.

(14) PA1: ―Dari tadi gangguin mulu. Apa sih mau kamu?‖ PA2: ―Akyuuu maunya jadian sama kamyu.‖

Selain itu, karakter perayu juga pasti ditampilkan dalam segmen-segmen tertentu. Karakter perayu ini biasanya sangat khas karena selalu melancarkan rayuan gombal dalam setiap kesempatan. Untuk melancarkan jurusnya, PA biasanya harus bekerja sama dengan rekan PA atau dengan PT seperti dalam seperti dalam (15), (16), dan (17).

(15) PA1: ―Boleh lihat telapak kakimu, nggak?‖

PA2: Kenapa?

PA1: ―Aku hanya mau melihat surga untuk anak-anak kita nanti.‖

PA2: (tersipu-sipu)

(16) PA1: ―Kamu nggak capek?‖ PA2: ―Kenapa?‖

PA1: ―Karena kau selalu menari-nari di pikiranku.‖ PA2: ―Oouuh, co cuiit.

(17) PA1: ―Ayah kamu tukang kebun, ya?‖ PT: ―Kok (kamu) tahu?‖

PA1: ―Karena kau telah menanam benih-benih cinta di hatiku.‖ PT: ―Waaaah.

Menirukan atau memparodikan karakter atau figur tertentu juga merupakan hal yang sering dilakukan PA. Karakter ratu film horor Suzana dimunculkan dan raja dangdut Rhoma Irama, misalnya, dimunculkan melalui dialog film mereka masing-masing dalam (18) dan (19). Parodi ini bisa dilakukan dengan langsung menyebutkan nama karakter dengan sifat tertentu yang dibuat hiperbola seperti pada (20) dan (21). Parodi juga dilakukan dengan meniru gaya bicara (idiolek), penampilan, dan nama yang diplesetkan seperti pada (22), (23), dan (24).

(18) PA1: ―Bokir… tak borong krupukmu, Maas.‖ PA2: ―Ampun, Nyi Kerti.‖

PA1: ―Mas Karto….‖ (19) PA1: ―Siapa kau?‖

PA2: ―Aku adalah ksatria bergitar buntung.‖ (20) PA1: ―Iiih, Marsyanda nggak suka, deeeeh.‖

PA2: ―Marshanda apaan. Marshanda kok mukanya gitu‖ (21) PA1: ―Kamu siapa, critanya?‖

PA2: ―Aku Keti Pewri (Katy Perry)‖ PA1: ―Keti Peri apaan. Ketek perih, lu.‖

(22) PA1: ―Pemirrrsa. Jumpa lagi dengan saya Peniti Bros (Feni Rose). Dalam Jilat (Silet).

Elelelel (menjulurkan lidah).

PA2: ―Buset, kayak cicak nangkep nyamuk.‖

(23) PA1: ― Alhamdulillah yah, pemirsahhh. Sol sepatu. (Karakter Syahrini) PA2: ―Sesuatu. Kok sol sepatu.‖

(24) PA1: ―Adha apa ini, ada apa, ada apa?‖ (Karakter Gogon Srimulat)

Karakter sombong juga sering ditampilkan seperti pada (25), yaitu dengan gaya hiperbola. Dapat juga dengan pengakuan langsung seperti pada (26) dan (27). Karakter sombong ini bisanya ditampilkan untuk memancing konflik yang dapat membuat acara menjadi hidup.

(25) Penonton. Lagi bingung nih. Gue harus ngabisin duit nih. Masa uang jajan gue satu hari 1 M (Milyar) dan harus habis. Pusing nggak tuh.

(26) PA1: ―Sombong banget sih jadi orang.‖

PA2: ―Ya biar aja gue sombong. Gue gitu loh. Orang kayaaaa!‖ (27) PA1: ―Juragaaan (saya) mau duduk.‖Masalah buat lo?!‖

PA2: ―Silakan, Ndoro.‖

Beberapa karakter sering dimunculkan secara bersamaan, baik diperankan oleh satu orang maupun oleh beberapa orang dengan melibatkan juga penonton. Misalnya saja dalam (28), ketika muncul karakter sombong dan perayu, karakter manja mengadu sehingga dimunculkan karakter orang tua yang berperan sebagai penghukum si karakter sombong. Selain itu, dalam tuturan juga digunakan prinsip kerja sama antara penutur dan lawan tutur sebagi berikut.

(28) PA1: ―Jessica. Ke Majalengka, beli paku.‖ PA2: ―Beli paku aja jauh banget.‖

PA2: ―Wah, kurang ajar, nih.‖

PA1: ―Loh, kenapa? Abang Sapri kan ganteng begini. Mau kan jadi pacar abang? ‖ PA2: ―Bang Opi!‖

PA3: (masuk) ―Kenape?‖

PA2: ―Masa Sapri mau jadi pacar aku. Itu kan hal yang tidak mungkan.‖ PA1&PA3: ―Tidak mungkin!‖

PA3: ―Penonton! Hajar?‖ PT : ―Hoi!Hajar!‖ PA3: ―Masak aer,‖ PT : ―biar mateng.‖ PA3: ―Masak aer,‖ PT : ―biar mateng.‖

PA3: ―Ke pasar beli blimbing. Lu jangan sok ganteng. Muke lo kaya kutu kucing.

Selain penggunaan karakter, untuk mencairkan suasana juga digunakan hal lain seperti idiolek, dialek, sosiolek, dan variasi kebahasaan lainnya. Misalnya saja ada julukan berdasarkan

usia seperti (28) ababil ‗ABG (Anak Baru Gede) labil‘, (29) ABG Tua ‗orang tua yang

kelakuannya seperti ABG‘; kemampuan berpikir seperti (30) Pe‘A‘ ‗PA(Pendek Akal),bego,bodoh‘, (31) tulalit‘tidak nyambungdiajak bicara, bodoh‘, dan (32) lemot‘lemah otak‘; perilaku seperti (33) Kamseupay, ‗kependekan dari kampungan sekali uh payah‘ dan (34) lebay; keadaan fisik seperti (35) Jenong (Jedat (jidat) Nongol) ‗jidat menonjol‘ dan (36) bantet ‗pendek‘; status percintaan seperti (37) jablay ‗jarang dibelai/jauh dari pasangan‘ dan (38) duren‘duda keren‘; atau masalah transjender seperti(39) Sukirman ‗waria dari Sleman‘.

Untuk membuat lawan tutur kesal atau penasaran, biasanya digunakan pertanyaan retoris

seperti (40) Kasih tahu nggak ya?, (41)Terus, gua harus bilang ―Wauw‖, gitu?, (42) Elo tau siapa

gue?, (43) Emang penting, gitu?, (44) Situ OK?, dan pernyataan seperti (45) Pokoknya sesuatu, (46) Elo, gue, end, dan (47) Apa banget deh.

Untuk mengomentari sesuatu, biasanya digunakan istilah dalam bahasa pergaulan remaja seperti (48)Jutek banget, (49) Cucok banget, (50) top banget, (51) Jleb banget, (52) Ngehits, (53)Jadul banget dan (54) Endang bambang gulindang

Selain hal-hal di atas, penggunaan unsur suprasegmental seperti, intonasi (jeda, keras lembut, panjang pendek), idiolek, dialek, sosiolek, dan variasi kebahasaan lainnya juga digunakan. Adapun pemaparan selengkapnya ada dalam paparan mengenai komponen pembentuk PA.

2.3 Tuturan dalam Fase Transisi

Selain fase pembuka dan fase pencair suasana, ada juga fase transisi. Fase transisi merupakan fase perubahan, baik dari satu segmen ke segmen lain maupun dari satu topik ke topik lain dalam satu segmen. Pada fase transisi ini PA memandu PT dan PR agar kembali mengikuti rancangan acara yang telah disusun oleh tim kreatif, misalnya ketika PA harus mulai berbincang-bincang dengan bintang tamu. Dalam fase ini digunakan tuturan yang mirip dengan fase pembuka mengingat fungsinya pun hampir sama, yaitu mengarahkan perhatian penonton untuk fokus ke acara. Berikut yang biasa digunakan (55) Juragaaan mau duuuuduk, (56) Ahaydeu!, (57) Penontooon!, (58) PA: Kumaaan? ‗Kurang mantap?‘ PT: Mantap, Cing! ‗Mantap, Cing!‘, (59)

Sahabat, Dahsyat! Hoi!, (60) Hello, hello, helloooo?!, (61) Jangan ke mana-mana, tetep di

Show_Imah. So‘ banget. Emang iya, masalah buat lo?!, (62) Cabcus, (63)Tancep dulu ‗Touch up‘ dulu, ya dan (64) Cekidot ‗Check it out‘.

2.4 Tuturan dalam Fase Penutup

Fase penutup ini biasanya lebih serius dibandingkan dengan fase-fase sebelumnya karena merupakan antiklimaks dari fase-fase yang lain. Dalam fase ini biasanya pemandu acara menyatakan bahwa acara telah selesai, menginformasikan acara pada episode berikutnya atau acara berikutnya, meminta maaf, dan mengakhirnya dengan pantun atau yel acara itu. Oleh karena

itu, ragam bahasa dan tuturan yang digunakan dalam fase ini biasanya lebih formal dan santun seperti contoh berikut.

(65) Di sana gunung di sini gunung Ditengah-tengah ada pulaunya

Wayangnya bingung dalangnya juga bingung Yang penting bisa ketawa

Jumpa lagi di Opera van Java, Yaaa‘e!

(66) Pemirsa. Demikian tadi bincang-bincang kita dengan bintang tamu kita. Mohon maaf apabila ada salah-salah kata, semua hanya canda dan canda untuk menghibur Anda semua. Kita jumpa lagi esok, tetap di Empat Mata.

Mental leksikon dardjowidjojo (2003:162) dapat diibaratkan sebagai sebuah gudang, tetapi bukan sembarang gudang tempat menyimpa barang. Gudang iNi bukan sembarang udang karena tidak hanya barangnya yang disimpan unik, yakni kata, tetapi cara pengaturannya juga sangat rumit. Permintaan berupa bunyi, wujud fisik, wujud grafik, atau hubungan satu ―barang‖ dengan ―barang‖ lain.

Untuk menghidupkan suasana dan mendekatkan diri dengan pemirsanya, dipakai berbagai strategi kreatif yang dapat membuat para PA lebih komunikatif. Salah satunya adalah strategi kebahasaan, yaitu penggunaan bahasa pergaulan sehari-hari yang dikemas menjadi sesuatu yang dapat dipertunjukkan. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa Indonesia ragam informal dengan memunculkan idiolek, dialek, sosiolek, dan variasi kebahasaan lainnya sehingga terbentuklah sebuah bahasa yang khas, yaitu bahasa Indonesia dalam tayangan televisi.

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 69-73)