• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Pergeseran Bahasa Jawa Masyarakat Samin dalam Ranah Keluarga

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 184-188)

BENTUK PERGESERAN BAHASA JAWA MASYARAKAT SAMIN DALAM RANAH KETETANGGAAN

3. Pergeseran Bahasa Jawa Masyarakat Samin

3.1 Bentuk Pergeseran Bahasa Jawa Masyarakat Samin dalam Ranah Keluarga

Pada mulanya, masyarakat Samin dalam berkomunikasi selalu menggunakan bahasa Jawa ngoko. Masyarakat Samin tidak mengenal tingkat bahasa Jawa (Hutomo, 1996:35; Mumfangati

dkk, 2004:36). Dalam ajaran Samin siapapun sama. Mereka tidak pernah membeda-bedakan orang. Manusia hidup mempunyai kedudukan dan tingkatan yang sama. Oleh karena itu, dalam pergaulan sehari-hari, terutama dengan sesama sedulur, orang Samin menggunakan bahasa Jawa

ngoko.

Namun sejalan dengan perkembangan zaman dan berbagai pengaruh, baik pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi maupun sosial budaya telah terjadi perubahan penggunaan bahasa. Saat ini masyarakat Samin sudah bias basa. Dengan demikian, diasumsikan telah terjadi pergeseran bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Samin. Pergeseran yang dimaksud di sini adalah pergeseran variasi bahasa, yakni pergeseran dari bahasa Jawa ngoko ke bahasa Jawa krama (basa). Masyarakat Samin hidup dalam satu komunitas dan menempati satu wilayah tertentu. Namun, wilayah tempat hidup mereka tidak jauh dari masyarakat lainnya. Wilayah yang ditempati warga Samin berada di sekitar wilayah tempat tinggal masyarakat lainnya.

Dengan kondisi seperti ini, dalam hubungan ketetanggaan masyarakat Samin akan selalu berhubungan dengan sesama masyarakat Samin. Namun untuk keperluan tertentu, masyarakat Samin juga menjalin hubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Dalam berkomunikasi dengan sesama masyarakat Samin atau dengan masyarakat non-Samin, mereka akan selalu menggunakan bahasa Jawa. Hubungan seperti inilah yang dimaksudkan sebagai hubungan dalam ranah ketetanggaan. Saat ini hubungan masyarakat Samin dalam ranah ketetanggaan ini tidak lagi selalu menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko, tetapi ternyata juga menggunakan bahasa Jawa ragam

krama (basa). Data yang dapat diamati :

(1) KONTEKS : SUATU SORE P1 BERKUNJUNG KE RUMAH P2. MEREKA

MEMBICARAKAN TENTANG ANAK.

P1 : Nduwe anak turun Untung, merga untung terus ‗Punya anak bernama Untung karena beruntung terus‘

P2 : Iya nek rak untung piye leh, nduwe turunan akeh kok rak untung, dadi reja ‗Ya kalau nggak beruntung ya bagaimana, punya banyak anak kok tidak beruntung, jadi sejahtera‘

P1 : Aku ndek bengi iki ape rene, tibake apea ngetan ya rak sida, ape niliki putuku sing kembar, nek ngene ya mbuh ape esuk tak tinggal turu ya ijih gembrambyang, ya udan.

‗Tadi malam saya mau ke sini, mau ke timur (ke rumah anaknya) juga tidak

jadi, mau mengunjungi cucu saya yang kembar, kalau begini ya saya tidak tahu, saya tinggal tidur tetap masih ada suara hujan‘

P2 : Iki ijih ana rokok dhe!

‗Ini masih ada rokok, pakde‘

P3 : Ndhek nem pake niki nggih kalih kula angger ngluyur-ngluyur nggih kula dijak mawon

‗Ketika masih muda, bapak ini selalu bersama saya, kalau pergi ya saya selalu diajak‘

P2 : Lha iki rak ngene leh, teka ngedha cara agama diarani ndisik cara mono iya

adham kuwi…

‗Lha begini, kalau menurut agama pada masa dulu ya disebut Adam …‘

P3 : Cara mono niku mpun teng awake piyambak

Data (1) merupakan data pembicaraan antara 3 orang warga Samin yang bertetangga (P1, P2, dan P3). Dengan demikian, tuturan tersebut terjadi dalam ranah ketetanggaan. Tuturan tersebut dilakukan dalam situasi nonformal di rumah salah seorang warga pada sore hari setelah warga Samin tersebut seharian bekerja di sawah. Mereka membicarakan anak salah seorang warga Samin (P2) yang kebetulan bernama Untung. Dalam tuturan tersebut P1 mengawali dengan kalimat

nduwe anak turun Untung, merga untung terus. Tuturan tersebut dilakukan dengan bahasa Jawa

ngoko. Hal ini dilakukan sebagai suatu kebiasaan warga Samin yang selalu menggunakan bahasa Jawa ngoko. Namun, di antara tuturan tersebut, terselip tuturan menggunakan basa. Tuturan yang menggunakan basa tersebut dituturkan oleh P3 yang merupakan warga Samin peserta tuturan yang usianya paling muda bila dibandingkan dengan kedua peserta yang lain. P3 menggunakan basa

untuk merespons P1 dan P2. Tuturan yang diucapkan oleh P3 yang menggunakan basa yakni ndek nem pake niki nggih kalih kula angger ngluyur-ngluyur nggih kula dijak mawon sambil menunjuk seorang anak yang berada di dekatnya. P3 menggunakan basa ketika berkomunikasi dengan P1 dan P2 karena P3 menyadari bahwa dirinya merupakan warga Samin peserta tuturan yang usianya paling muda. P3 bermaksud menghormati P1 dan P2.

(2) KONTEKS : SEORANG WARGA SAMIN BERTANDANG KE RUMAH SALAH

SEORANG SESEPUH. MEREKA MEMBICARAKAN LANGIT DAN BUMI P1 : Lha kuwi sekolahan, ngono kuwi ya sekolah, mulane sampe diarani lambang

gendera abang karo putih iki wujude wong lambange neng kana kuwi ya wong mesthine ya bakalan putih karo abang

‗Ya seperti di sekolah itu ada lambang bendera merah putih, wujudnya melambangkan orang yang mestinya akan menjadi merah dan putih‘

P2 : Langit nggih nginggil, bumi nggih ngandhap, menawi nggih saget temok

‗Langit ya di atas, bumi ya di bawah, mungkin ya bisa bertemu‘

P1 : Sing diarani langit wujude neng kono, nanging nek wong sing neng bumi, wujude kaya kuwi aku ketoke ya iki, ning wong manggone neng ndi, engko ya kuwi padhane neng awake dhewe kabeh ning isih goleki

‗Yang disebut langit wujudnya ada di sana, tetapi kalau orang yang ada di

bumi, wujudnya kelihatannya seperti ini, tetapi orang bertempat tinggal di

mana, ya semuanya kembali pada diri kita sendiri‘

P2 : Lha nek langit teng pundi mbah?

‗Kalau langit di mana mbah?‘

P1 : Langit ngarani kana iki ya langit, nek neng wonge ya lanang wonge iki, rak ya lanang leh

‗Yang di sana itu langit, kalau orang laki-laki ya laki-laki‘

P2 : Gampang-gampang ngeten mawon, nek langit kalih bumi nek mpun awor mpun dados setunggal, pokoke langit teng nginggil, mpun apal

‗Gampang-gampang saja, kalau langit dan bumi sudah bersatu jadi satu,

pokoknya langit di atas, sudah hapal‘

P1 : Iki ya tenanan padha wae leh, omonganem kon nglebokna iki lho

‗Ini ya bersungguh-sungguh, perkataanmu disuruh memasukkan di sini lho‘

(sambil menunjuk sesuatu) P2 : Napa mboten saru niku?

P1 : Ora saru wong kabeh nglakoni. Diarani bumi wujude ya iki nek sandang pangan, nek wonge bumi iki ibumu, lha nek ibumu iku rak ya wedok leh, mulane ndek sore aku rak wis kandakke nek nandur wong thukul wong, nandur sandhang pangan thukul sandhang pangan, ana pari apa wae mengko sing isa tukul isa dadi rak dikekna tengah, nandur menyok rak ning tengah guritan engko nek kalenane ya rak dadi menyok, nandur pari ya ning tengah kedhukan, lha nandur wong ya padha wae lho ning tengah kuwi.

‗Tidak tabu karena semua melaksanakan. Dikatakan bumi wujudnya ya ini

harta, kalau ibarat orang bumi itu ya ibu kamu, lha ibu kamu itu kan perempuan, makanya tadi sore saya kan sudah mengatakan kalau menanam orang ya tumbuh orang, menanam harta ya tumbuh harta, ada padi dan yang lain yang bisa tumbuh tentu ditanam di tengah, menanam ubi kayu ya ditengah kebun, kalau ditanam dipinggir (di selokan) ya tidak tumbuh ubi kayu, menanam padi ya di tengah tanah cangkulan, lha menanam orang (hubungan laki-laki dan perempuan) ya sama saja pada bagian tengah‘

Data (2) merupakan data percakapan antarsesama masyarakat Samin dalam ranah ketetanggaan. Percakapan tersebut terjadi antara salah seorang sesepuh masyarakat Samin (P1) dengan seorang tetangganya (P2) yang masih muda. Mereka membicarakan tentang langit dan bumi serta hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Dalam tuturan tersebut, P1 selalu menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko, sedangkan P2 menggunakan basa. Kalimat yang dituturkan oleh P2 yang menggunakan basa, antara lain Langit nggih nginggil, bumi nggih ngandhap, menawi nggih saget temok ‗Langit ya di atas, bumi ya di bawah, mungkin ya bisa bertemu‘. Kalimat yang lain adalah Lha nek langit teng pundi mbah ‗Kalau langit di mana mbah‘; Gampang-gampang ngeten mawon, nek langit kalih bumi nek mpun awor mpun dados setunggal, pokoke langit teng nginggil, mpun apal ‗Gampang-gampang saja, kalau langit dan bumi sudah bersatu jadi satu, pokoknya langit di atas, sudah hapal‘ dan Napa mboten saru niku? ‗Apa tidak tabu seperti itu?‘.

Tuturan tersebut diucapkan oleh P2 dengan menggunakan basa. P2 tentu ingin menghormati P1 sebagai mitra tuturnya. Apalagi P1 merupakan salah seorang sesepuh masyarakat Samin yang sangat dihargai. Namun P1 tetap menggunakan bahasa Jawa ngoko karena di samping merupakan kebiasaan masyarakat Samin, mitra tutur (P2) merupakan warga Samin yang usianya lebih muda dari P1.

Dengan digunakannya basa dalam tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Samin. Masyarakat Samin dari dulu selalu menggunakan bahasa Jawa ngoko. Namun data (1) dan (2) menunjukkan ternyata masyarakat Samin juga menggunakan basa ketika berkomunikasi meskipun dengan sesama masyarakat Samin. Mereka sudah menyadari arti pentingnya penghormatan terhadap orang lain. Meskipun sebenarnya bagi masyarakat Samin penghargaan dan penghormatan kepada sesamanya lebih ditekankan dengan perbuatan bukan dengan tuturan semata.

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 184-188)