• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Mikrolinguistik

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 78-83)

DALAM PERSPEKTIF KULTURAL

2. Analisis Mikrolinguistik

Analisis mikrolinguistik akan memberikan paparan berkaitan dengan aspek gramatika dan aspek leksikal dalam wacana puisi. Bahasa terdiri dari bentuk dan makna. Oleh karena itu, hubungan antarbagian wacana dapat dibedakan menjadi hubungan bentuk atau kohesi dan hubungan makna yang disebut koherensi. Berkaitan dengan kohesi Halliday dan Hasan (1976: 6) menyatakan bahwa kohesi dapat dibagi menjadi dua yaitu kohesi gramatika dan kohesi leksikal. Adapun dalam analisis wacana aspek bentuk disebut gramatika dan aspek makna disebut leksikal. Mulyana (2005: 26) menyatakan bahwa unsur kohesi meliputi aspek leksikal, gramatikal, dan fonologis. Adapun unsur koherensi mencakup aspek semantik dan topikalisasi. Pada paparan makalah ini, acuan yang dipakai adalah berkaitan dengan aspek gramatikal dan aspek leksikal (Sumarlam, 2008).

Sebelum membahas aspek gramatika dan leksikal puisi berjudul ‘Batik‘ dan ‘Kimono‘

terlebih dahulu akan dipaparkan berkaitan dengan aspek bahasa yang dipakai oleh kedua puisi tersebut. Ada beberapa kesalahan tulis di dalam kedua puisi tersebut. Kesalahan tulis terdapat pada data berikut ini.

(I.6) Kau mengahrumkan nama Indonesia. (II.2) Riuh taman menyorak gembita

(II.11) Budaya purba setia terpegang jaman

Pada data (I.6) terdapat kata mengahrumkan yang seharusnya adalah mengharumkan

yang berasal dari kata harum. Hal yang sama juga terdapat pada data (II.2) gembita seharusnya

gembira berarti suka, bahagia, bangga, dan senang. Data (II.2) sebenarnya juga dapat diganti gempita yang berarti riuh rendah, meriah sekali, dan ribut sekali. Akan tetapi kata gempita harus mengikuti kata gegap sehingga yang tepat adalah kata gembira. Pada data (II.11) terdapat kata

jaman seharusnya ditulis dengan kata zaman yang berarti jangka waktu yang panjang atau pendek yang menandai sesuatu, kala, dan waktu. Selain bentuk tersebut pada kedua puisi juga terdapat kesalahan dalam pembentukan kata baku pada data berikut ini.

(I.8) Tangan tangan pengerajin tak pernah lelah. (II.6) Sutra membalut mesra nan mempesona.

Pada data (I.8) terdapat kata pengerajin yang seharusnya adalah perajin ‘ orang yang pekerjaannya (profesinya) membuat barang kerajinan‘. Pada data ini juga seharusnya pada kata

tangan diberi tanda sekang atau tanda hubung menjadi tangan-tangan. Adapun pada data (II.6) terdapat kata mempesona seharusnya memesona yang berarti sangat menarik perhatian; mengagumkan. Hal ini sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa setiap kata yang berawalan /k/, /p/, /t/, dan /s/ apabila bergabung dengan awalan me- akan luluh.

a. Aspek Gramatikal Wacana

Analisis wacana puisi dari aspek gramatikal meliputi pengacuan (referensi), penyulihan (substitusi), pelesapan (elipsis), dan perangkaian (konjungsi). Pengacuan (referensi) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengacuan persona, demonstratif, dan komparatif. Pengacuan persona yang ditemukan dalam puisi ini mencakup persona kedua dalam bentuk bebas maupun terikat. Pengacuan persona dapat diamati pada baris-baris puisi berikut

(I.1) Sejak dahulu kala indahmu dikenal (I.2) Karena eloknya motifmu

(I.3) Seolah menceritakan perjalananmu

(I.4) Keagunganmu telah terpancar ke seluruh dunia (I.5) Dengan berbagai corak dari daerah asalmu

Pada data (I.1) sampai (I.5) terdapat pengacuan persona kedua dengan bentuk terikat lekat kanan yaitu –mu dalam kata indahmu, motifmu, perjalananmu, Keagunganmu, dan asalmu.

Pada data di atas terlihat bahwa pronomina persona kedua merupakan jenis kohesi pengacuan endofora karena acuannya berada di luar teks yaitu pada judul. Selain itu pronomina persona II ini bersifat anaforis (anaphoric reference) yaitu salah satu kohesi gramatika yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya atau mengacu antesenden di sebelah kiri atau mengacu pada unsur yang disebut terdahulu, yaitu kata batik pada judul puisi tersebut. Bentuk pengacuan persona kedua juga ditujukan dengan kata kau, seperti pada data berikut ini.

(I.6) Kau mengahrumkan nama Indonesia (II.16) K a u…

(II.17) K i m o n o

Pada data (I.6) terlihat bahwa kata kau merupakan pengacuan pronomina kedua bentuk bebas yang bersifat anaforis. Adapun kata kau pada data (II.16) juga pengacuan pronomina kedua tetap bersifat kataforis karena salah satu kohesi gramatikalnya yang berupa satuan ingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual yaitu mengikutinya atau mengacu antesenden di sebelah kanan atau sesudahnya atau mengacu pada unsur yang baru disebut kemudia, dalam hal ini adalah kimono (II.17).

Pengacuan demonstratif berupa pronomina penunjuk waktu atau tempat. Pronomina demonstratif waktu dapat mengacu pada waktu kini, lampau, akan datang, dan waktu netral. Adapun pronomina demonstratif tempat dapat mengacu pada tempat yang dekat dengan penutur, agak jauh, jauh, dan tempat yang menunjuk secara eksplisit. Adapun pengacuan waktu yang terdapat di dalam kedua wacana puisi dapat dilihat pada data berikut.

(I.1) Sejak dahulu kala indahmu dikenal (I.17) Hingga akhir sang waktu

(I.18) Batik ada untuk selamanya

(II.12) Tak lekang oleh peradaban

Pada data (I.2) terdapat pengacuan demonstratif penunjuk waktu atau temporal masa lampau yaitu Sejak dahulu kala. Adapun data (I.17), (I.18), dan (II.12) merupakan pengacuan demonstratif temporal yang akan datang yaitu akhir sang waktu, untuk selamanya, dan Tak lekang oleh peradaban. Adapun pegacuan demonstratif lokasional terdapat pada data berikut ini.

(I.6) Kau mengahrumkan nama Indonesia

(I.7) Dari Sabang sampai Merauke

(I.15) Membanggakan Indonesia

Pada data (I.6), (I.7), dan (I.15) tampak adanya penggunaan unsur nama negara dan kota yaitu Indonesia, Sabang, dan Merauke pada realitas tempat (ruang) secara eksplisit. Adapun jenis pengacuan yang terakhir adalah pengacuan komparatif atau perbandingan. Pengacuan ini berfungsi membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan wujud, keadaan, sikap, perilaku, dan sebagainya. Jenis pengacuan ini tidak ditemukan dalam kedua puisi yang dianalisis.

Aspek gramatikal kedua yang mendukung kepaduan wacana puisi adalah penyulihan (substitusi), yaitu penggantian unsur tertentu dengan unsur yang lain yang mengacu pada realitas yang sama. Aspek gramatikal substitusi, misalnya, tampak pada data berikut.

(I.17) Hingga akhir sang waktu

(I.18) Batik ada untuk selamanya

(II.14) Indah… (II.15) Cantik… (II.16) Menawan

Dari beberapa data tuturan di atas (I.17) dan (I.18) dapat diketahui bahwa kata Hingga akhir sang waktu dapat digantikan dengan kata untuk selamanya. Fenomena penyulihan atau substitusi juga terdapat pada data (II.14), (II.15), dan (II.16) yaitu kata indah diganti dengan kata

cantik dan menawan. Berdasarkan analisis terhadap wacana puisi tersebut dapat diketahui bahwa substitusi dapat berfungsi sebagai variasi bentuk, dinamisasi narasi sekaligus untuk menghilangkan kemonotonan akibat penyebutan unsur atau nama yang sama berkali-kali, dan juga untuk memperoleh unsur pembeda.

Pelesapan merupakan salah satu jenis aspek gramatikal yang berupa penghilangan unsur (konstituen) tertentu yang telah disebutkan. Unsur yang dilesapkan dapat berupa kata, frasa, atau klausa. Dalam teks puisi penghilangan unsur semacam itu sering terjadi, seperti dapat diamati pada tuturan berikut.

(I.1) Sejak dahulu kala indahmu dikenal (I.16) Menjadi warisan budaya yang lestari

Pada data (I.1) dan (I.16) terlihat bahwa ada unsur yang dihilangkan yaitu subjek berupa kata batik. Pelesapan tersebut merupakan salah satu aspek gramatikal pendukung kepaduan wacana itu berfungsi untuk memenuhi kepraktisan dalam bertutur, menghasilkan kalimat yang efektif, menciptakan efisiensi dalam berbahasa, dan bagi pembaca atau mitra tutur dapat berfungsi mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam kalimat atau tuturan.

Perangkaian (konjungsi) merupakan salah satu aspek gramatikal yang berfungsi menghubungkan antara unsur yang satu dengan unsur lainnya. Perangkaian menyatakan bermacam-macam makna, misalnya menyatakan pertentangan, urutan (sekuensial), sebab akibat, konsesif, dan sebagainya. Dalam kedua puisi yang dikaji ini ditemukan beberapa jenis konjungsi, seperti tampak pada data berikut ini.

(I.2) Karena eloknya motifmu

(I.5) Dengan berbagai corak dari daerah asalmu (I.10) Dengan penuh cinta

(I.11) Dan jiwa seniman yang tulus (I.13) Tak heran dan tak ragu

Pada data (I.2) terdapat konjungsi karena yang bermakna sebab akibat. Dalam hal ini bermakna sebab eloknya motif yang dimiliki oleh batik. Adapun konjungsi yang lain adalah bermakna cara dengan penggunaaan kata dengan (I.5) dan (I.10) dan ditulis pada awal kalimat. Adapun konjungsi yang bermakna penambahan atau aditif terdapat pada data (I.11) dan (I.13) dengan kata dan yang terletak di awal kalimat dan tengah kalimat.

b. Aspek Leksikal Wacana

Kepaduan wacana didukung pula oleh aspek leksikal atau kohesi leksikal. Kohesi leksikal ialah hubungan antarunsur dalam wacana secara semantik (Kundharu, 2009: 43). Dijelaskan lebih lanjut bahwa hubungan kohesif yang diciptakan atas aspek leksikal dengan pilihan kata yang serasi menyatakan hubungan makna atau relasi semantik antara satuan lingual yang satu dengan satuan limgual yang lain dalam wacana. Aspek leksikal yang dimanfaatkan oleh penulis untuk mendukung kepaduan wacana puisi dapat berupa repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), kolokasi (sanding kata), hiponimi (hubungan atas-bawah), antonimi (lawan kata), dan ekuivalensi (kesepadanan).

Repetisi adalah pengulangan unsur wacana (kata, frasa, klausa) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Gorys Keraf, 1994:127); misalnya untuk menekankan makna unsur tertentu maka dapat dilakukan pengulangan pada awal, tengah, atau akhir baris puisi. Repetisi yang terdapat pada puisi yang dianalisis ini misalnya tampak pada data berikut.

(I.1) Sejak dahulu kala indahmu dikenal (I.2) Karena eloknya motifmu

(I.3) Seolah menceritakan perjalananmu

(I.4) Keagunganmu telah terpancar ke seluruh dunia (I.5) Dengan berbagai corak dari daerah asalmu

(I.14) Batik menjadi idola (I.18) Batik ada untuk selamanya

Pada data (I.1) sampai (I.6) terlihat adanya repetisi epizeuksis, yaitu pengulangan kata yang dipentingkan beberapa kali secara langsung. Dalam hal ini, kata mu yang merupakan pronomina persona kedua yang melekat pada kata indahmu, motifmu, perjalananmu, keagunganmu, dan asalmu. Repitisi ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan terhadap batik yang mempunyai keindahan, motif atau corak, sejarah, nilai filosofis, dan asal muasal batik.

Pada tuturan (I.14) dan (I.18) terdapat repetisi anafora, yaitu pengulangan kata batik

pertama pada tiap baris berikutnya. Pada tuturan (I.14) kata batik menjadi idola diulang kembali pada (I.18) yaitu batik ada untuk selamanya. Repetisi anafora seperti itu berfungsi untuk menekankan pentingnya makna kata yang diulang pada tiap baris puisi tersebut.

Sinonimi (padan kata) dilihat dari unsur-unsur bahasa atau kategorinya dapat dibedakan antara sinonimi kata dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya, frasa dengan frasa, dan klausa dengan klausa. Berikut ini adalah contoh sinonimi yang ditemukan dalam puisi.

(I.17) Hingga akhir sang waktu

(I.18) Batik ada untuk selamanya

(II.11) Budaya purba setia terpegang jaman

(II.12) Tak lekang oleh peradaban

(II.13) Indah…

(II.14) Cantik…

Pada data (I.17) dan (1.18) terdapat sinonim antara hingga akhir sang waktu dan

selamanya. Repitisi ini bertujuan memberikan penekan pada kata dan frasa tersebut sehingga terkesan menjadi suatu hal yang peting. Hal yang sama juga terdapat pada data (II.11) dan (II.12) yang merupakan sinonimi berkaitan dengan keabadian atau maknaya hampir sama yaitu selamanya. Repitisi ini juga mempunyai tujuan agar kata atau frasa yang muncul tidak monoton akan tetapi bervariasi sehingga menimbulkan efek puitis. Repitisi ini juga dapat mendukung kekohesifan dan kekoherenan sebuah wacana.

Repitisi yang terdapat pada puisi ‘Kimono‘ juga berupa kata yang diulang dan

mempunyai kemiripan makna atau sinonimi yaitu pada data (II.13), (II.14), dan (II.15). Repetisi sinoniminya adalah indah, cantik, dan menawan. Ketiga kata ini menggambarkan keindahan, kecantikan, dan menawanya pakaian tradisional Jepang yang bernama kimono. Ketiga kata tersebut mempunyai kesamaaan makna dan pemakaiannya ditujukan untuk variasi dan menimbulkan efek puitis.

Antonimi (lawan kata) merupakan salah satu jenis aspek leksikal wacana dengan cara mengoposisikan makna unsur yang satu dengan unsur yang lain. Oposisi makna semacam itu ada yang bersifat kutub, hubungan, hirarkial, dan majemuk. Adapun oposisi makna yang ditemukan

dalam teks puisi ‗Batik‘terlihat pada data berikut ini. (I.7) Dari Sabang sampai Merauke

Data (I.7) termasuk dalam antonimi yang bersifat hubungan. Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi. Oleh karena oposisi ini bersifat saling melengkapi maka kata yang satu dimungkinkan ada kehadirannya karena kejadiran kata yang lain yang menjadi oposisinya atau kehadiran kata yang satu disebabkan oleh adanya kata yang lain. Kata

Sabang akan muncul pelengkapnya yaitu Merauke untuk menyebutkan wilayah seluruh Indonesia dari barat sampai timur. Apabila menyebutkan wilayah Indonesia maka kedua kata tersebut saling melengkapi.

Kolokasi adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata dan kata tersebut

cenderung digunakan secara berdampingan (bersanding). Dalam teks puisi ‗Kimono‘, karena topik

pembicaraannya mengenai pakaian tradisional wanita Jepang, maka pilihan kata-katanya pun (sebagian besar) adalah kata-kata yang mendukung tentang pakaian tersebut seperti pada data berikut ini.

(II.6) Sutra membalut mesra nan mempesona (II.7) Pita berwarna melilit sempurna

(II.9) Benang berajut terlukis bunga-bunga

(II.10) Menjiplak manis pada bidang (II.17) Kimono

Pada data (II.6), (II.7), dan (II.8) terlihat adanya kata sutra, pita, dan benang. Kata tersebut adalah kata-kata yang berkolokasi dengan bahan atau bagian dari kimono. Contoh kolokasi yang lainnya adalah kata bunga dan bidang pada data (II.9) dan (II.10) yang merupakan motif dalam kimono. Kolokasi sebagai salah satu aspek leksikal dapat ikut serta membangun kepaduan wacana puisi tersebut.

Hiponimi adalah kata-kata yang maknanya merupakan bagian dari makna kata yang lain

yang merupakan superordinatnya (hipernimnya). Dalam puisi ‗Kimono‘, hiponimi tercermin pada

kata sutra, pita, dan benang (II.6), (II.7), dan (II.9) yang ketiganya merupakan bagian dari pakaian tradisional wanita Jepang yaitu kimono (II.17).

Beberapa kata bentukan sebagai hasil proses afiksasi yang berasal dari bentuk asal sama disebut ekuivalensi. Ekuivalensi juga merupakan salah satu peranti untuk mendukung kepaduan wacana, misalnya terlihat pada data berikut ini.

(I.9) Menghasilkan ragam batiknya

Pada data (I.9) dan (I.14) terdapat persamaan kata yaitu batik akan tetapi pada data (I.9) telah ditambah dengan akhiran –nya. Apabila berdasar dari kata batik tersebut dapat diturunkan juga kata-kata yang lain, misalnya membatik, perbatikan, pembatik, dan lain-lain. Kata-kata bentukan yang mempunyai kesepadanan bentuk asal seperti disebutkan di atas mempunyai hubungan ekuivalensi dan secara leksikal dapat mendukung kepaduan makna wacana.

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 78-83)