• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSPLOITASI UNSUR LINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM WACANA TEKA-TEKI MODERN

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 175-180)

I Dewa Putu Wijana Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

A. Pengantar

Di dalam teori makna oleh Ogden dan Richard secara sederhana dilukiskan bahwa konstelasi makna kebahasaan terdiri dari tiga simpul, yakni bentuk lingual, makna, dan referen. Hubungan antara simpul bentuk dan makna disebut asosiasi. Hubungan antara makna dan referen disebut referensi, dan hubungan antara referen dengan bentuk disebut makna (Kreidler, 1999; Wijana, 2010) . Bentuk dan makna lingual ada di dalam bahasa, sedangkan referen adalah sesuatu yang ada di luar bahasa yang bersangkutan dengan segala sesuatu yang ditunjuk oleh makna. Bahasa digunakan oleh para penuturnya untuk membicarakan referen-referen (kenyataan luar bahasa). Di dalam menggunakan bahasa jarang sekali para penutur secara sadar mengkaitkan isi pikiran atau tuturannya dengan faktor atau unsur kebahasaan yang bersifat internal, seperti bunyi (huruf), suku kata, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, atau wacana karena kesemua ini hanyalah istilah-istilah metalingual yang digunakan untuk menerangkan bahasa. Di antara berbagai aktivitas penggunaan bahasa yang sangat luas, ternyata ada juga aktivitas manusia yang secara sengaja mengeksploitasi pencampuradukkan unsur lingual yang ada di dalam bahasa dan unsur ekstralingual yang ada di luar bahasa itu. Aktivitas itu adalah aktivitas berteka-teki yang akan menjadi topik bahasan kertas kerja ini. Adapun pembahasan akan difokuskan pada aneka teknik yang digunakan untuk mengeksploitasi unsur lingual dan unsure ekstralingual itu.

Tidak diketahui secara pasti, sejak kapan manusia melakukan aktivitas berteka-teki. Yang penting aktivitas ini sudah berlangsung sejak lama, dan masih ditemukan hingga saat ini. Ada perbedaan- perbedaan yang cukup mendasar antara teka-teki lama yang digunakan oleh masyarakat agraris jika dibandingkan dengan teka-teki masyarakat modern pada masa industri saat ini. Pada masa agraris formula teka-teki masih bersifat sakral, dan pada umumnya digunakan di dalam situasi-situasi tertentu yang jauh lebih terbatas, sedangkan di masa industri sekarang ini nilai- nilai kesakralan teka-teki hampir tidak dirasakan lagi (Stokhof, 1980; Cook, 2000), dan penggunaannya tidak terbatas karena difungsikan untuk memenuhi berbagai kebutahan komunikatif, seperti bercanda, menyombongkan diri, mengejek, mengkritik, memberikan informasi, dsb. Bila struktur teka-teki dipandang terdiri dari unsur pertanyaan dan jawaban, perbedaan yang lebih mencolok antara teka-teki tradisional dan teka-teki modern adalah relasi antara pertanyaan dan jawabannya. Ada hubungan analogi antara pertanyaan dan jawaban pada teka-teki tradisional, sedangkan hubungan semacam ini mungkin tidak ditemui pada teka-teki modern. Di dalam teka-teki modern, sering kali ditemukan pertanyaan dan jawaban yang hanya dibangun dengan permainan bahasa atau apa yang dikenal secara luas dengan istilah pun. Eksploitasi unsur lingual dan unsur ekstra lingual pada hakikatnya adalah salah satu bentuk permainan bahasa.

B. Metode Penelitian

Data yang digunakan untuk penelitian ini diambilkan dari buku kumpulan teka-teki 1101 Teka-teki Ngocol Bikin Nyengir yang disusun oleh Sutuejo . Buku ini dipilih dari sekian banyak kumpulan buku teka-teki homur karena buku ini memuat cukup banyak teka-teki, dan diharapkan dari pertimbangan kuantitas ini semua teknik permainan bahasa yang dimanfaatkan oleh buku-buku lain sudah ada dalam buku-buku ini. Dari kumpulan ini kemudian dipilih teka-teki yang sumber (kelucuan) teka-tekinya memanfaatkan permainan unsur lingual dan unsur ekstralingual. Selanjutnya, teka-teki itu diklasifikasikan berdasarkan teknik penciptaannya. Sebagai usaha untuk pembuktian kebenaran dilakukan, metode penggantian atau modifikasi jawaban secara total

dengan jawaban yang seharusnya yang biasa ditemukan di dalam dialog pemakaian bahasa yang wajar sebagaimana yang dituntut oleh prinsip-prinsip berkomunikasi, baik dalam upaya pemenuhan prinsip kerja sama maupun prinsip kesantunan.

C. Aneka Teknik Pemanfaatan Unsur Lingual dan Unsur Ekstralingual

Di dalam pemakaian bahasa ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pemakainya sehingga wacana yang terbentuk dapat menjalankan fungsinya secara wajar. Persyaratan itu sangat banyak jenisnya, dari pemilihan kata sampai penyusunan kata untuk membentuk satuan-satuan kebahasaan yang lebih besar (frase, klausa, dan kalimat) sampai dengan satuan kebahasaan yang tertinggi (wacana). Apabila wacana itu hendak disajikan ke dalam bentuk tertulis, kaidah-kaidah yang mengatur tata tulisnya juga harus diperhatikan secara cermat. Dalam halnya terjadi pelanggaran, ketidakpatuhan itu pun harus dilakukan dalam kerangka untuk mencapai efektivitas pertuturan. Di dalam wacana dialog peserta pertuturan (penutur dan mitra tutur) tunduk pada maksim-maksim pertuturan (conversational maxim) yang terjabar ke dalam prinsip kerja sama (cooperative principle) dan prinsip kesantunan (politeness maxim).

Teka-teki adalah wacana ―dialog‖ yang khas yang tidak dapat disejajarkan dengan wacana

dialog lainnya. Bila dalam wacana dialog biasa, penanya dan petanya melaksanakan secara ketat prinsip kerja sama (cooperative principle) dalam upaya mensukseskan proses komunikasi, dalam teka-teki justru terjadi hal yang sebaliknya. Prinsip kerja sama yang mengatur keinformatifan (maksim kuantitas), kebenaran (maksim kualitas), kejelasan (maksim relevansi), serta kewajaran dan kelogisan (maksim cara) (Grice, 1975; Brown and Yule, 1983) justru harus dilanggar oleh penanya sehingga asumsi-asumsi yang dibangun oleh lawan tutur dapat diruntuhkan, dan sebagai akibatnya akan sedikit kemungkinan ia dapat menebak persoalan yang disodorkan oleh penanyanya. Akhirnya sebagai dampak dari keseluruhan aktivitas ini, terciptalah sebuah wacana yang bila dilihat dari kaca mata pertuturan biasa sebagai wacana yang tak wajar. Dalam wacana yang tak wajar prinsip kohesi dan koherensi yang merupakan syarat bangun sebuah wacana diabaikan dengan berbagai jenis permainan unsur-unsur kabahasaan yang sangat rumit. Satu di antaranya adalah dengan mempermainkan unsur lingual dan ekstralingual. Sehubungan dengan ini ada berbagai teknik yang dimanfaatkan oleh para pencipta teka-teki. Teknik-teknik itu di antaranya adalah analogi, delesi, metafora, dan permutasi.

1. Analogi

Permainan unsur ekstralingual dan intralingual dengan teknik analogi dilakukan dengan mensubstitusikan secara analogi salah satu bunyi yang membentuk kata yang menjadi topic wacana teka-teki. Misalnya di dalam wacana biasa (nonteka-teki) pertanyaan (1) akan dijawab, seperti berikut ini:

(1) + Apa perbedaan soto dengan coto?

- Kalo soto dari mana-mana, sedangkan coto dari Makasar, Sulawesi Selatan

Namun, untuk mengecoh pembaca atau pendengar (bila saja wacana ini dilisankan), di dalam wacana teka-teki perbedaannya dilihat secara analogi dari salah satu bunyi yang membentuk topik teka-teki itu, yaitu soto dan coto. Karena soto diawali dengan /s/ dan coto diawali dengan /c/, maka secara analogis jenis daging yang menjadi kandungan utama kedua makanan itu dibedakan, yakni secara berturut-turut menjadi sapi dan capi. Untuk ini dapat diperhatikan wacana teka-teki (2) berikut:

(2) + Apa perbedaan soto dengan coto?

- Kalo soto dagingnya sapi, kalo coto dagingnya capi Adapun contoh lainnya adalah wacana (3) dan (4) di bawah ini: (3) + Apa bedanya pemurung dengan pemulung?

- Pemurung tidak pernah merasa gembira, sedangkan pemulung tidak pernah merasa gembila.

(4) + Bagaimana orang cadel tertawa? - Teltawa telkekeh-kekeh

Dalam wacana nonteka-teki pertanyaan (3) secara koperatif kemungkinan dijawab dengan (5), sedangkan (4) dijawab dengan (6) karena di dalam berbicara yang diperhatikan adalah referen yang bersifat luar bahasa, dan tidak begitu peduli dengan unsur dalam bahasa.

(5) + Apa bedanya pemurung dengan pemulung?

- Pemurung suka melamun, sedangan pemulung suka mengumpul sampah untuk dipisah-pisah dan dijual kembali.

(6) + Bagaimana orang cadel tertawa? - Sama dengan orang yang nggak cadel.

Dimungkinkannya kreasi teka-teki (3) dan (4) karena kreatornya secara analogi melihat unsur internal yang membentuk kata pemurung dan pemulung yang dibedakan dengan bunyi /r/ dan /l/ serta fakta orang cadel tidak fasih mengucapkan bunyi /r/, dan mengubahnya menjadi /l/ sehingga

tertawa terkekeh-kekeh diubah menjadi teltawa telkekeh-kekeh. Kadang-kadang pencipta teka-teki tidak dapat membedakan bunyi dan huruf, seperti terlihat pada (6a) di bawah ini yang tidak membedakan bunyi /e/ dan /ê/:

(6a) + Apa perbedaan penyakit pada ular dan uler?

- Kalo ular kelebihan vitamin A, kalo uler kelebihan vitamin E. 2. Delesi, Adisi, Substitusi, dan Permutasi

Teknik ini dilakukan dengan melesapkan atau menambahkan, mengganti, atau menukarkan letak bunyi atau kumpulan bunyi yang membentuk topik teka-teki, misalnya seperti yang terdapat di dalam wacana (7) dan (8) di bawah ini:

(7) + Apa yang menyebabkan bebek goreng enak.

- huruf e, karena kalo tidak ada e jadi eek goreng. (8) + Apa yang menyebabkan Anti itu cantik?

- Huruf c dan k

Bebek goreng secara ekstralingual mengacu pada sejenis makanan. Adapun yang mengakibatkan enaknya ada bermacam-macam, misalnya kandungan lemaknya, bumbunya, dsb. Di dalam wacana nonteka-teki jawaban seperti (9)-lah yang diharapkan. Cantik secara ekstralingual mengacu pada keadaan (fisik) yang bagus, anggun, enak dipandang, dsb. Dalam pada itu jawaban, seperti (10)-lah yang biasanya diharapkan untuk pertanyaan (8).

(9) + Apa yang menyebabkan bebek goreng itu enak? - Kandungan Lemak atau bumbunya.

(10) + Apa yang menyebabkan Anti cantik? - Baju dan make up-nya

Dalam wacana (11) teknik delesi dipadukan dengan homonimi karena bunyi-bunyi yang dilesapkan (b,a, dan n) secara aksidental berhomonim dengan ban yang secara ekstralingual

mengacu pada ‗benda bulat dari karet yang menempel di roda kendaraan‘

(11) + Ada bis jurusan Jakarta-Bandung, waktu di jalan Ban-nya lepas, tinggal apa hayo?

- Tinggal Jakarta-Dung aja.

Secara ekstralingual pertanyaan wacana (11) akan mengharapkan jawaban seperti (12) berikut: (12) + Ada bis jurusan Jakarta-Bandung, waktu di jalan Ban-nya lepas, tinggal apa hayo?

- Tinggal badannya aja.

Akhirnya wacana teka-teki (13) dan (13a) berikut dikreasikan dengan teknik substitusi dan permutasi:

(13) + Mengapa sapi bisa bergerak sendiri?

- Karena ada i nya, coba i nya diganti u, kan jadi sapu.

(13a) + Sayur dibalik menjadi ruyas, nasi dibalik menjadi isan. Bakso dibalik jadi apa? - Jadi tumpah deh….

Secara ekstralingual sapi mengacu ‗sejenis binatang berkaki empat‘. Karenanya, jawaban yang

diharapkan pada (13) mungkin: Karena sapi memiliki nyawa, Karena punya kaki, dsb. Jawaban yang diharapkan pada (13a) adalah oskab.

3. Penyamaran

Dalam teknik metafora satuan lingual (dalam hal ini biasanya bunyi atau huruf) yang menjadi topik teka-teki disamarkan seolah-olah merupakan orang (person) atau benda (substansi). Misalnya

dalam wacana (14) dan (15) satuan yang ditanyakan disamarkan seolah-olah merupakan orang, sedangkan dalam (16) dan (17) satuan itu disamarkan seolah-olah merupakan benda.

(14) + Aku ada di depan ibu, dan suka sembunyi di belakang kursi. Aku suka sekali di tengah air, tapi kalo ayah datang aku nggak ada. Siapakah aku?

- huruf i.

(15) + Di tengah-tengah keributan ada apa? - Ada huruf b.

(16) + Ada apa di ujung laut - Ada t

(17) + Ada apa di tengah sawah? - Ada w

Di dalam wacana nonteka-teki, secara ekstralingual pertanyaan (13), (14), (15) dan (16) berturut-turut mempresuposisikan jawaban, seperti anak nakal, provokator, cakrawala,dan padi.

Kemungkinan yang lain adalah tidak ada penyamaran sehingga satuan lingual yang menjadi topik teka-teki secara langsung dikatakan huruf. Untuk ini perhatikan (18) dan (19) di bawah ini: (18) + Ada berapa huruf dalam abjad?

- Ada 5, a-b-j-a-d

(19) + Ada berapa huruf dalam alphabet? - Ada 8, a-l-p-h-a-b-e-t

Karena secara ekstralingual abjad dan alphabetadalah ‗kumpulan huruf yang ada di dalam sistem tata tulis bahasa tertentu‘, dalam konteks bahasa Indonesia jawaban atas pertanyaan teka-teki itu adalah 26. Sementara itu, dalam wacana (20) terdapat pengacauan makna kata di sana yang secara

ekstra lingual mengacu ‗tempat yang jauh dari pembicara atau sesuatu yang telah disebutkan‘.

(20) + Jika guru minum susu ada berapa huruf u di sana? - Tidak huruf u pada kata di sana.

Jawaban konvensional dari pertanyaan wacana (20) seharusnya empat karena di sana secara

ekstralingual mengacu ‗pada kalimat guru minum susu’ D. Tataran Satuan Kebahasaan yang Dieksploitasi

Setelah dilakukan pengamatan secara saksama, ternyata satuan lingual yang sering dieksploitasi adalah bunyi (seperti kebanyakan contoh) dan kelompok bunyi (seperti contoh (10), (11), dan (13a). Selain itu, kadang kala ada juga pemanfaatan unsur intralingual kata, seperti (21) dan (22): (21) + Apa perbedaan manusia dengan orang?

- Beda kata.

Mungkin pula tataran kebahasaan yang dimanfaatkan lebih besar, seperti contoh (22) di bawah ini: (22) + Apa bedanya lagu Melayu dengan lagu Mandarin?

- Bahasanya kalik?

E. Kesimpulan

Walaupun di dalam berbicara manusia tidak ingat lagi dengan satuan-satuan kebahasaan secara internal karena bahasa telah sedemikian rupa difungsikan untuk menunjuk unsur-unsur luar bahasa (referen), tetapi ada pula aktivitas yang secara sengaja memanfaatkan pengacauan antara keduanya. Aktivitas itu adalah melucu atau berbagai kegiatan yang erat berhubungan dengannya. Ada berbagai teknik yang dimanfaatkan untuk mengacaukan unsur dalam dan luar bahasa, seperti analogi, delesi, substitusi, adisi, permutasi, dan penyamaran. Secara kuantitas unsur bunyi tunggal yang paling banyak dipermainkan. Satuan lingual yang lebih besar seperti kumpulan bunyi, kata, dal lain-lain terbilang jarang.

Bibliografi

Brown, Gillian & George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.

Cook, Guy. 2000. Language Play and Language Learning, Oxford University Press.

Grice, H.P. 1975. ―Logic and Conversation‖. in Syntax and Semantics 3: Speech Acts. P. Cole & J Morgan (Eds.). New York: Academic Press.

Kreidler, Charles W. 1999. Introducing English Semantics, London: Routledge.

Stokhof, W.A.L. 1980. ―100 Woisika Riddles‖. Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia.Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

BENTUK PERGESERAN BAHASA JAWA MASYARAKAT SAMIN

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 175-180)