• Tidak ada hasil yang ditemukan

WATAK BAHASA JAWA BANYUMAS SEBAGAI PENUNJANG PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 61-64)

Ahmad Tohari

Bahasa Jawa Banyumas (BJB) adalah salah satu anggota rumpun Bahasa Jawa. Sudah berabad-abad BJB tumbuh dan berkembang relatif jauh dari pusat kebudayaan Jawa (nagarigung) yakni Yogyakarta dan Surakarta. Seperti bahasa-bahasa lokal lain (Bahasa Jawa Tegal, Cirebon, Banten, dan Samin di Blora) yang tumbuh jauh dari nagarigung BJB mempunyai ciri dan watak yang berbeda.

Menurut G. Mudjanto (1985)*, Bahasa Jawa mengalami pertumbuhan dari Bahasa Jawa Kuna ke Bahasa Jawa Tengahan dan kemudian Bahasa Jawa Anyar (BJA). Bahasa Jawa yang sekarang dibakukan adalah BJA yang berdialek Surakarta-Yogyakarta yang berbeda dengan BJB. Banyak perubahan terjadi ketika Bahasa Jawa Kuna dan Bahasa Jawa Tengahan berkembang menjadi BJA yakni sejak akhir masa kerajaan Pajang dan awal Mataram pada abad ke-16. Antara

lain, bunyi vokal ‗a‘ (ha-na-ca-ra-ka) berubah ‗o‘ (ho-no-co-ro-ko).

Selain itu dalam BJA dikembangkan pola gradual atau pertingkatan bahasa (anggah-ungguh) yang tidak dikenal dalam Bahasa Jawa Kuna. Pada dasarnya BJA terbagi menjadi dua yaitu Basa Krama dan Basa Ngoko. Basa Krama terbagi lagi menjadi Krama Adhap (Krama Desa), Krama Madya dan Krama Inggil. Perkembangan BJA telah mencapai puncaknya pada masa kejayaan punjangga Ki Ranggawarsita dan Mangkunegara !V hampir 150 yahun yang lalu. Dan kenyataannya sekarang BJA yang telah berubah menjadi bahasa yang berorientasi elitis (kerajaan) sudah jauh berbeda dengan Bahasa Jawa Kuna.

Sementara itu di wilayah-wilayah luar yang jauh dari nagari gung (manca nagari) seperti eks Karesidenan Banyumas yang terdiri atas Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara dan Kebumen, sisa-sisa peninggalan Bahasa Jawa Kuna masih cukup kuat. Yang

terpenting antara lain bunyi vokal ‗a‘ (ha-na-ca-ra-ka) tidak berubah menjadi ‗o‘ (ho-no-co-ro-ko) serta orientasi populis/egalitariannya masih terjaga. Juga (aslinya) BJB hanya terdiri atas satu strata bahasa (tanpa tingkatan), jadi seperti Bahasa Jawa Kuna. Selain itu BJB juga punya ciri

pengucapan huruf ‗k‘ pada akhir sebuah kata dengan jelas.

Dalam perkembangannya saat ini, meskipun masih bertahan pada orientasi dan watak asalnya, BJB sudah bergeser dari keasliannya. Pada waktu ini BJB sudah mengenl Basa Krama dalam bentuk yang sederhana yakni Krama Desa. Perubahan ini disebabkan oleh pengaruh BJA melalui beberapa saluran :

1. Kedatangan para utusan kerajaan ke Banyumas yang tentu saja berbicara dalam bahasa nagari gung (BJA). Para utusan kerajaan disebut gandhek sehingga nsi Banyumas bahasa mereke disebut bahasa gandhek yang kemudian berubah menjadi

‗bahasa bandhek‘.

2. Pentas seni wayang kulit, wayang golek, kethoprak dan lain-lain (terakhir, pranata cara dalam hajatan) di Banyumas selalu menggunakan BJA. Memang BJB digunakan juga dalam pentas wayang kulit tetapi hanya untuk para hamba (punakawan) dan lawakan. Maka penggunaan BJB dalam pewayangan justru menimbulkan citra yang kurang menguntungkan karena menjadi justifikasi BJB sebagai bahasa kelas bawah dan hanya untuk lawakan.

3. Menyusul Politik Budi Baik (Politik Etik) yang dijalan oleh pemerintah penjajahan Belanda maka sejak awal abad ke-20 rakyat Indonesia mulai mengenyam pendidikan formal sekolah. Di Sekolah Rakyat anak-anak pengguna BJB juga dibe ri pelajaran Bahasa Jawa, tetapi bukan BJB melainkan BJA bahkan hingga saat ini.

4. Khutbah di masjid maupun gereja di Banyumas kebanyakan tidak menggunakan BJB melainkan BJA. Demikian juga kitab-kitab agama uang berbahasa Arab di pesantren diterjemahkan ke dalam BJA.

Karena pengaruh keempat faktor tersebut yang telah berlangsung ratusan tahun maka BJB yang asli yang tidak mengenal pertingkatan bahasa seakan tersisih. Sekarang sudah menjadi kenyataan sosial bahwa dalam BJB dikenal Basa Krama meskipun bentuknya sederhana tidak secanggih Basa Krama dalam BJA.

Perlu Pelestarian

Gejala ketersisihan BJB yang semakin nyata bukan hanya karena dominasi BJA yang sudah berlangsung lama melainkan juga karena menguatnya pemakaian Bahasa Indonesia di

seluruh Nusantara. ―Urbanisasi‖ di bidang bahasa yang membawa gelombang dialek Betawi, atau

bahasa gaul juga berlangsung intensif. Bahasa gaul mungkin mampu memenuhi tuntutan kebahasaan terutama di kalangan kaum muda dan hal ini menurunkan minat pengguna BJB secara mengesankan. Pasangan-pasangan muda dan anak-anak mereka di Banyumas sampai ke pelosok desa, sehari-hari sudah sudah berbahasa Indonesia gaul.

Meskipun telah menjadi kenyataan sosial di mana BJB sudah kurang populer bahkan di tengah pewarisnya sendiri namun upaya pelestariannya atau konservasi tetap amat perlu dilakukan. Selain alasan komitmen kebudayaan karena BJB merupakan bahasa ibu bagi lebih dari 20 juta orang, dan warisan kultural Indonesia bahkan dunia, pelestarian juga dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-nilai yang menjadi watak BJB. Pelestarian watak dan nilai-nilai BJB bisa disumbangkan bagi pembangunan karakter Indonesia dengan dasar pemikiran bahwa karakter suatu bahasa akan membentuk karakter masyarakat penggunanya.

Sudah disebutkan di atas watak atau karakter BJB berorientasi populis/egalitarian seperti moyangnya yaitu Bahasa Jawa Kuna. Oleh karena itu BJB lebih sederhana, dan lebih terasa langsung karena orientasinya adalah kepentingan kebahasaan masyarakat umum yang kurang menyukai bahasa yang bertingkat dan rumit serta eufemisme dan konotasi yang kental. Dalam istilah banyumasan BJB lebih cablaka (terbuka, terus terang dan apa adanya).

Jika masyarakat Banyumas di kenal punya karakter cablaka tentu ada sangkut paut dengan BJB yang mereka pergunakan setiap hari. Dalam pengertian modern cablaka berarti watak dan sikap jujur serta transparan, sebuah karakter yang amat penting untuk di budayakan oleh Bangsa Indonesia.

BJB yang aslinya tidak mengenal stratifikasi juga terbukti telah melahirkan watak

egalitarian/kesataraan pada masyarakat Banyumas. Ungkapan ‗sepadha-padha‘; ‗sepenginyongan‘;

‗ana ngkene ana ngkono‘ merupakan bentuk ekspresi watak sadar kesetaraan masyarakat

Banyumas. Watak sadar kesetaraan ini bisa menjadi sumbangan penting bagi pengembangan karakter demokratis yang selanjutnya akan menjadi kondisi yang menunjang pertumbuhan budaya demokrasi.

Adapun upaya pelestarian BJB bisa dilaksanakan cara-cara sebagai berikut :

 Membangun kesadaran bersama masyarakat Banyumas akan hakikat BJB sebagai warisan bahasa ibu dan bahasa penentu jatidiri serta ciri utama budaya Banyumas yang harus tetap dipergunakan, dihidupkan dan dikembangkan.

 Menghilangkan trauma sejarah yang menempatkan kebanyumasan - termasuk BJB - pada posisi ‗rendah‘, padahal pandangan seperti itu sudah ketinggalan

zaman.

 Menggiatkan kembali penggunaan BJB di rumah terutama oleh orangtua kepada anak-anak, mengajarkannya di sekolah sejak TK sampai SMA, memperbanyak siaran radio, TV maupun film dalam BJB, menyelenggarakan Hari BJB di kantor-kantor dan memperbanak penerbitan BJB dalam bentuk teks jurnalistik maupun sastra.

Pada tahun-tahun terakhir ini muncul gejala yang menggembirakan menyangkut keberadaan BJB. Terasa ada arus balik di mana orang Banyumas mulai terang-terangan menampilkan jatidiri kebanyumasannya melalui penggunaan BJB. Komunitas-komunitas banyumasan muncul di kota-kota baik di Jawa maupun luar Jawa dan mereka berkomunikasi dengan BJB. Siaran radio yang menggunakan BJB makin sering terdengar, demikian juga iklan.

Dalam bidang sastra sudah terbit beberapa kumpulan cerpen dan puisi, bahkan novel. Juga dalam tiga tahun terakhir ini terbit majalah bulanan yang sepenuhnya menggunakan BJB.

Namun demikian kembangkitan kembali BJB ini baru merupakan gejala awal yang harus dikawal agar tidak layu sebelum berkembang. Diperlukan kerjasama yang serius dan terencana dari berbagai kalangan dan pihak agar BJB bisa dibangkitkan kembali. Dengan demikian kita bisa menggali pelajaran dari wataknya, nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam BJB sebagai kontribusi untuk membangun karakter Bangsa Indonesia.

---

*Judul buku Konsolidasi Dinasti Mataram Lewat Pengenbangan Bahasa Jawa, lihat juga buku Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja -raja Mataram, oleh penulis yang sama. Disebutkan, pengembangan Bahasa Jawa (Anyar) merupakan bentuk konsolidasi politik dinasti Mataram. Stratifikasi bahasa juga disebut sebagai upaya pengingkaran dinasti Mataram atas kenyataan mereka merupakan keturunan masyarakat biasa (petani) dan setelah Sultan Agung wafat mereka bekerjasama dengan penguasa asing.

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 61-64)