• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAJARAN SASTRA DAN KEARIFAN LOKAL 28

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 64-68)

Suminto A. Sayuti29

1/.

Sastra Indonesia pada dasarnya adalah sastra lokal. Artinya, persoalan-persoalan yang diangkat oleh para sastrawan merupakan persoalan yang ditimba dari sumur-sumur budaya lokal: Minang, Jawa, Sunda, Bali, dan seterusnya. Ia menjadi bercitra Indonesia karena persoalan tersebut di-―rumah‖-kan melalui dan dalam bahasa Indonesia, yakni bahasa yang di satu sisi, diyakini para sastrawan berfungsi membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan dan telikung sangkan-paran sosialnya: lokalitas tempat ia beranjak menyuarakan diri sebagai kreator; sementara pada sisi lain, merupakan bahasa yang fungsinya tidak berhenti dalam sifatnya yang reproduktif, tetapi konstruktif.

Ketika persoalan lokal tertentu bersemuka dengan ―yang lain‖ sehingga muncul persoalan

konfliktual yang kompleks, proses pe-―rumah‖-annya dalam teks-teks sastra diproyeksikan dalam sejumlah cara sesuai dengan pilihan masing-masing sastrawan. Ada sastrawan yang mengkonstruksi jagat imajiner cerita dengan cara mempertahankan nilai-nilai lokal dan tradisi. Konflik pun dibangun dengan menempatkan nilai-nilai tersebut secara dialektis, yakni dihadapkan dengan persoalan-persoalan eksternal, tetapi relevan dan berguna bagi penguatan yang lokal. Dalam karya semacam ini, posisi lokalitas tertentu dalam relasinya dengan lokalitas lain tetap mengedepan sebagai penanda pentingnya akar-akar budaya lokal itu. Karenanya, tokoh-tokoh yang melahirkan dan menggerakkan peristiwa dalam cerita pun tampil sebagai sosok pribadi lokal yang berwawasan terbuka, yang mampu membangun dialog secara translokal. Bisa saja tokoh tersebut adalah individu yang utamanya bertindak pada tataran lokal, tetapi ia sebenarnya berkembang melampaui batas-batas lokalitasnya. Tokoh Mae dalam Jatisaba karya Ramayda Akmal, atau Las dalam Bekisar Merah karya Ahmad Tohari adalah contohnya, di samping tokoh-tokoh wayang yang dihadirkan kembali oleh para pengarang kita: Gunawan Mohamad, Sapardi Joko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Rachmat Joko Pradopo, Linus Suryadi AG, Mangunwijaya, Seno Gumira, Nano Riantiarno; sehingga tokoh-tokoh wayang itu berhenti menjadi hitam-putih.

2/.

28 Disampaikan pada Seminar Internasional dalam rangka PIBSI XXXV yang diselenggarakan oleh Universitas Jendral Sudirman Purwokerto di Hotel Moroseneng, Baturaden, Purwokerto tanggal 30-31 Oktober 2012. Sebagian pemikiran dalam makalah ini sudah pernah disampaikan dalam forum sejenis sebelumnya.

Pengajaran sastra yang mampu menghadirkan model-model kreatif para pengarang tersebut, dalam arti mampu menjelaskan dengan baik melalui proses meaning-making dalam kelas persekolahan/perkuliahan, diharapkan mampu mendorong komunitas pembelajaran untuk memelihara nilai-nilai tradisional, identitas kultural, dan akumulasi pengetahuan lokalnya yang diharapkan tumbuh, berkembang, dan berinteraksi dengan asupan energi dari sumber-sumber eksternal. Akan tetapi, jika situasi pembelajaran sastra hanya berhenti pada proses meaning-getting, dengan hanya mengacu pada akar kultural yang sempit dan miskin, individu-individu yang terlibat dalam komunitas pembelajaran sastra pun akan menjadi begitu terikat. Untuk menghindari hal ini, juga untuk menghindari jebakan pertumbuhan dan perkembangan yang hanya bersifat teknis jangka pendek, dinamisasi pembelajaran sebagai proses pembudayaan hendaknya dilakukan secara berbarengan.

Ada pula sastrawan yang bertolak dari kesadaran bahwa lokalitas dalam karyanya berfungsi untuk mengkristalisasikan dan mengakumulasi berbagai hal yang eksternal yang cocok dengan bentuk-bentuk yang sudah ada. Implikasinya, jika karya semacam itu dijadikan bahan pembelajaran, misalnya Kubah, Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari, Langit Kelabu,

PengakuanPariyem Linus Suryadi, Para Priyayi Umar Kayam, Warisan Chairul Harun, Tarian Bumi Oka Rusmini, Upacara Korrie Layun Rampan, Arus Aspar Patturisi, Priangan Si Jelita

Ramadhan KH, Bulan Tertusuk Lalang Zawawi Imron; orientasi utamanya adalah untuk mengidentifikasi nilai-nilai lokal (keminangan, kejawaan, kesundaan, kebalian, dan seterusnya) yang paling mendasar sebagai landasan fundamental untuk mengakumulasi sumber-sumber pengetahuan eksternal yang memiliki relevan dan signifikansi dengan pendidikan sebagai proses pembudayaan. Yang pertama dan utama adalah pemahaman komunitas pembelajaran terhadap struktur pengetahuan lokal sebagai dasar ketika mereka mengakumulasi pengetahuan dan kearifan yang bersifat eksternal. Individu yang terlibat dalam komunitas pembelajaran sastra diharapkan mampu menjadi manusia lokal yang memiliki sejumlah pengetahuan eksternal, dan pada saatnya mereka pun akan menjadi pribadi-pribadi yang mampu berpikir dan bertindak lokal dengan memunculkan teknik-teknik yang tidak terbatasi oleh lokalitasnya.

Dengan mengetengahkan nilai-nilai lokal yang terdapat dalam karya seperti disebutkan, konflik antara kebutuhan lokal dan pengetahuan eksternal yang diserap dan diakumulasi dalam pengembangan komunitas pembelajaran, dapat diminimalkan. Karena, asupan nilai eksternal yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki lebih mudah untuk diidentifikasi. Eksternalisasi yang berlebihan juga lebih mudah dikendalikan. Hanya saja, tidak mudah untuk mendapat seperangkat nilai atau hasil-hasil lokal yang baik yang dapat digunakan untuk mengkristalisasikan dan melokalisasikan pengetahuan dan kearifan lokal yang berdaya guna dan membuahkan hasil secara penuh. Tipe-tipe dan hakikat yang asli lokal yang diekspresikan dalam karya sastra itu sendiri bisa saja hanya mengkristalkan hal-hal yang sama saja dengan yang sudah ada.

Dalam khasanah sastra Indonesia modern, masih banyak cara-cara atau model lain yang dikembangkan para sastrawan dalam menciptakan karyanya. Dua model yang dikemukakan di atas kiranya cukup memberikan gambaran alternatif pengembangan pembelajaran sastra ketika nilai-nilai budaya lokal yang terdapat dalam karya sastra diperhitungkan secara strategis dalam rangka membangun karakter dan ketahanan budaya bangsa. Pilihan terhadapnya lebih ditentukan oleh arah orientasi pengembangan budaya lokal sebagai identitas bangsa dalam rangka keseluruhannya, yakni konstelasinya dalam sistem budaya translokal (nasional) dan global. Yang jelas, luasnya dependensi globalitas dan orientasi nilai lokalitas harus seimbang, jika tidak boleh yang lokal harus lebih besar daripada yang global.

3/.

Orientasi pengembangan budaya lokal dalam sastra dan pengajarannya bisa saja secara total menolak pengetahuan dan keterlibatan global, tetapi secara kuat menekankan relevansi dan keterlibatan komunitas lokal dalam berkebudayaan. Nilai-nilai lokal yang ada, identitas kultural, pegalaman komunitas, dan pengetahuan lokal merupakan bagian-bagian inti kebudayaan. Sebaliknya, orientasinya adalah kebudayaan yang terikat oleh tempat secara tradisional, yang diisolasikan dari komunitas lokal dan jagat luar. Tujuan pengembangan, materi budaya, dan praktik berkebudayaan dipelihara agar tidak berubah untuk kurun waktu yang lama dan sangat kecil relevansinya dengan pengalaman komunitas keseharian. Terdapat kesenjangan besar antara praktik berkebudayaan yang terjadi dengan realitas global dan lokal.

Dua titik ekstrem tersebut niscaya tidak menguntungkan ketika pengembangan budaya lokal dalam dan melalui pengajaran sastra diperhitungkan sebagai komponen strategis dalam rangka nation and character building, termasuk dalam fungsi ideologis dan pedagogisnya. Individu dan komunitas lokal sering kehilangan tradisionalitasnya pada saat berhadapan dengan tantangan serius dalam era baru transformasi dan globalisasi. Oleh karena itu, ke depan, nilai-nilai lokal dalam sastra hendaknya diorientasikan pada pelokalan dan pengglobalan sekaligus melalui dan dalam pengajaran sastra. Dengan cara demikian, imperatif kultural dalam pengajaran ditunaikan melalui penekanan lokalisasi dan globalisasi sekaligus. Skenario pembelajaran semacam ini bertujuan melokalkan pengetahuan dan sumber-sumber global dan membuatnya valid dan relevan dengan konteks lokal.

Apabila orientasi pengajaran sastra diarahkan pada lokalisasi dan globalisasi sekaligus, konsepsi budaya dan pembudayaan tentang, melalui, dan dengan karya sastra sebagai teks kultural menjadi penting untuk dipertimbangkan dalam praktik pengelolaannya di kelas-kelas persekolahan dan perkuliahan. Proses pengelolaan yang cenderung menekankan aspek tekstual semata harus segera ditinggalkan dan diganti dengan pengembangan yang menyediakan ruang dan peluang bagi komunitas pembelajaran sastra masyarakat untuk meningkatkan kreativitas dan ―logika budaya‖

-nya. Situasi dan posisi siswa/mahasiswa sastra sebagai penerima dan peraga pasif, harus didinamisasikan sehingga ketergantungannya dapat direduksi sedikit demi sedikit. Dalam kaitan ini, pengembangan yang bermakna harus diciptakan dan dirancang secara kreatif, sehingga memungkinkan terjadi interaksi dan negosiasi untuk penciptaan arti dan konstruksi makna dalam diri setiap siswa/mahasiswa yang terlibat di dalamnya.

Hal tersebut penting untuk diperhitungkan karena siswa/mahasiswa mengkonstruksikan pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil dari pemikiran dan interaksinya dalam konteks lokalitasnya. Mereka bisa saja menciptakan makna dan pengertian baru, berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui, dan dipercayai, dengan fenomena, ide, atau informasi baru yang dihadapinya dalam karya sastra. Bahasa pun tidak berhenti pada fungsinya yang reproduktif, tetapi secara dinamis menunjukkan fungsi konstruktifnya.

Konsepsi budaya dan pembudayaan tentang karya sastra sebagai teks kultural menempatkan teks tertentu hanya sebagai pengetahuan yang harus diketahui secara kognitif. Konsepsi budaya dan pembudayaan dengan karya sastra sebagai teks kultural terjadi pada saat ia diperkenalkan kepada siswa/mahasiswa sebagai cara atau metode untuk mempelajari sesuatu hal di luar atau yang terkait dengannya. Konsepsi budaya dan pembudayaan melalui karya sastra sebagai teks kultural merupakan strategi yang memberikan kesempatan kepada siswa/mahasiswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu situasi belajar melalui aneka cara.

Karena karya sastra sebagai teks kultural merupakan ―rumah pengalaman kemanusiaan,‖ keterlibatan dan ―perseteruan‖ siswa/mahasiswa dengannya memungkinkan mereka ―belajar berbudaya‖ lebih banyak dari apa yang seharusnya. Dengan cara demikian, siswa/mahasiswa tidak

hanya belajar tentang karya sastra sebagai teks kultural, tetapi juga tentang berbagai hal yang ada dalam komunitasnya – termasuk nilai-nilai kearifan lokal dan miskonsepsi-miskonsepsi yang inheren di dalamnya. Keterlibatan siswa/mahasiswa dengan beragam bentuk karya sastra sebagai teks kultural dalam proses pembudayaan sekaligus berarti terbukanya ruang dan peluang bagi mereka untuk secara bebas menggali prinsip-prinsip dan nilai-nilai kebudayaan berdasarkan konteks yang sudah dikenalnya, menemukan hal-hal yang bermakna di sekelilingnya (dalam komunitas budayanya), dan mendorongnya untuk membuka dan menemukan hal-hal yang baru. Dengan demikian, dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan, mereka pun diharapkan mampu menjadi pribadi-pribadi yang berkedaulatan (sovereign individuals) karena memiliki karakter dan ketahanan budaya yang tangguh.

PENGGUNAAN BAHASA OLEH PEMANDU ACARA

Dalam dokumen ILMU JATI PENGUAT JATI DIRI (Halaman 64-68)