• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ayunan Politik Kiai di Kantong Santri

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 29-36)

Heddy Lugito, Taufik Abriansyah, dan Wisnu Wage Pamungkas

Sikap politik kiai sangat mempengaruhi pandangan politik santrinya. Namun para santri menjadi bingung ketika para kiai ikut bersaing menjagokan

PRO-DEMOKRASI

ma, 5 Juli 2004, dengan mantap ia menjatuhkan pilihan kepada pasangan Wiranto-Salahudin Wahid. Alasannya sederhana saja, Salahudin adik kan-dung KH Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, tokoh yang dikaguminya. Kini Saeful tak punya pilihan, lantaran Wiranto-Wahid tak masuk putaran kedua, dan dari pihak pondok tak memberi referensi yang jelas.

Pada awalnya, seperti kebanyakan santri lain di Buntet, Saeful men-jagokan Gus Dur. Ada sentuhan emosi untuk berpihak pada diri cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari, itu. Acuannya pun jelas: tokoh panutannya, KH Abdullah Abbas (lahir 1918), pengasuh utama Pesantren Buntet, juga menjagokan Gus Dur.

Bahkan KH Abdullah Abbas yang akrab dipanggil Kiai Dullah itu sempat memobilisasi para kiai khos di lingkungan NU di pesantrennya, awal Maret 2004. Hasilnya, halaqah bertajuk “Silaturahmi Ulama Khos Se-Indonesia” itu mengukuhkan Gus Dur sebagai calon presiden yang didukung ulama NU.

Ternyata Gus Dur gagal masuk bursa calon presiden karena ter-ganjal aturan main. Komisi Pemilihan Umum menyatakan, Gus Dur tak bisa terjun ke arena kontes calon presiden karena kesehatannya. Buntutnya, suara para kiai di kantong NU kawasan pantai utara Jawa Barat ini bercabang.

Sejumlah kiai Buntet mendukung pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi. Alasannya, KH Hasyim Muzadi adalah Ketua Umum Pengurus Besar NU. Tapi tak sedikit kiai yang menyokong pasangan Wiranto-Wahid. Kiai Abbas sendiri memilih netral. “Daripada pondok pecah, lebih baik diam dan netral,” kata KH Ayip Abbas, putra ter-tua KH Abbas, mengutip sang ayah.

Sikap netral Kiai Dullah itu seolah memberi lampu hijau bagi para kiai senior menggalang dukungan untuk jago masing-masing. “Tapi itu hanya sikap politik pribadi mereka. Kalau pondok, sih, tetap netral,” Ayip Abbas menegaskan.

Islam Pondok Pesantren Buntet, KH Adib Rofi’uddin, sempat secara terbu-ka menyampaiterbu-kan dukungan kepada KH Hasyim Muzadi, pendamping Megawati. Pernyataan itu, katanya, untuk mengakhiri pelbagai klaim yang mengatasnamakan Pesantren Buntet. “Saya tegaskan, pernyataan ini sifat-nya final. Ini hasil pertemuan ulama dan pengasuh pesantren NU se-Wilayah III Cirebon,” ujar KH Adib Rofi’uddin, usai menerima kehadiran Taufiq Kiemas, suami Megawati, di pondoknya.

Kiai sepuh lainnya, seperti KH Fuad Hasyim —kini sudah almarhum— secara terbuka menyatakan medukung duet Wiranto-Wahid. “Gus Solah (Salahudin Wahid) sudah direstui Gus Dur untuk maju,” kata KH Fuad Hasyim. Ada juga kiai di Buntet yang diam-diam mendukung Susilo Bambang “SBY” Yudhoyono.

Semua calon presiden sowan ke Buntet, dan itu mendatangkan berkah bagi para santri. Ada yang membantu membangun ruang belajar, ada yang menyumbang pompa air, ada pula yang membawa barang jadi, seperti SBY atau Agum Gumelar (calon wakil presiden pasangan Hamzah Haz). “Dari Pak SBY, saya dapat kain. Pak Agum ngasih sarung,” tutur Saeful.

Toh, hiruk-pikuk pilpres itu hanya terjadi pada tahap pertama. Pada tahap kedua, aksi-aksi penggalangan itu mendadak sepi. Para kiai pendukung Mega-Hasyim tak banyak bergerak. Pendukung SBY juga diam. Kegairahan politik di Buntet tiba-tiba berhenti seperti mobil kehabisan bensin. Para santri seperti Saeful bingung menentukan pilihan. KH Abdullah Abbas sendiri memilih tidak mencoblos alias golput. “Saya pikir, pemilihan presiden ini tidak terlalu penting buatnya. Bapak memilih netral,” kata Ayip Abbas. Boleh jadi, golput-nya Kiai Abbas itu merupakan bentuk solidaritas atas sikap golput Gus Dur.

Sikap politik Kiai Abdullah Abbas tampaknya diikuti oleh seba-gian santri. Angka pemilih yang tak datang mencoblos di pesantren itu mencapai 40%. Sebagian dari mereka memang pulang kampung, mencob-los di kampung halaman masing-masing. Pada pilpres putaran pertama

dan kedua, Mega-Hasyim menang tipis di empat tempat pemungutan suara (TPS) di Pesantren Buntet.

Toh, hasil akhir di se-Desa Mertapada Kulon, yang mem-bawahkan Pondok Buntet, menunjukkan SBY-Kalla menang tipis dengan meraup 1.238 suara, unggul 20 suara dari Mega-Hasyim. Ada 239 suara tidak sah di desa itu.

Pada pemilu presiden putaran pertama, pasangan Wiranto-Wahid unggul atas Mega-Hasyim dan SBY-Kalla. Baik itu di dalam Pesantren Buntet maupun di Desa Mertapada Kulon. Di desa ini, mereka meraih suara 1.172, diikuti Mega-Hasyim 1.119, SBY-Kalla 437, Hamzah-Agum 85, dan Amien Rais-Siswono 72 suara.

Dari 4.202 pemilih yang terdaftar pada pilpres putaran kedua di Desa Mertapada Kulon, hanya 2.695 yang menggunakan hak pilihnya. “Hampir 50% yang tidak menggunakan hak pilih atau golput,” kata M. Yusuf, Kepala Desa Mertapada Kulon. Angka golput sekitar 50% juga terjadi desa ini pada pilpres putaran pertama.

Besarnya golput di Buntet ini mungkin karena pengaruh Kiai Abdullah Abbas yang tidak menggunakan hak pilihnya. “Pak Kiai menjadi rujukan warga Buntet dan sekitarnya,” M. Yusuf menegaskan. Kiai Dullah sendiri tidak secara terbuka menganjurkan warga dan santrinya untuk golput. Angka golput tergolong besar juga tercatat di Desa Kajen, kantong NU wilayah Kabupaten Pati, kawasan pantai utara Jawa Tengah. Dari total 4.551 jumlah pemilih yang terdaftar di Desa Kajen pada pilpres putaran kedua, sebanyak 2.225 pemilih tidak menggunakan haknya, hampir 50% golput.

“Soal golput itu masalah pilihan pribadi warga, tidak ada kiai di sini yang menganjurkan golput,” kata Kepala Desa Kajen, Muhadi. Di desa ini, ada 36 pondok pesantren dan 20 lembaga pendidikan dari tingkat taman pendidikan Al-Quran, madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, hingga aliyah. Jumlah santri tetap sekitar 10.000 orang dan santri tidak tetap alias “santri kalong” mencapai 25.000 orang.

Salah satu pesantren besar di Kajen adalah Maslakul Huda, yang diasuh KH Sahal Mahfudz, Rais Aam NU. Jumlah santrinya mencapai se-kitar 1.000 orang. Di TPS 13 Kajen, tempat para santri Maslakul Huda mencoblos, jumlah golput mencapai 40%. Dari 296 pemilih yang terdaftar, hanya 184 yang muncul ke TPS memberikan suara. Sebanyak 112 pemilih, sebagian besar santri Maslakul Huda, tak tampak batang hidungnya.

Sikap para santri ini tak bisa dibaca sebagai cerminan politik Pondok Maslakul Huda. Karena Kiai Sahal menggunakan hak pilihnya. Bahkan ia datang ke TPS pagi-pagi bersama istrinya, Ny. Nafisah Sahal. Walau begitu, seorang ustad muda, Muhammad Wakhrodi, 26 tahun, yang dikenal dekat dengan Kiai Sahal, memilih golput.

“Saya tidak mendampingi Pak Kiai ke TPS karena saya tidak menggu-nakan hak pilih,” kata Wakhrodi. Kiai Sahal sendiri, katanya, tidak merisaukan sikap politik santrinya. Ia juga tidak pernah mengarahkan santrinya untuk memillih calon presiden tertentu. “Jadi, wajar kalau banyak santri yang golput, termasuk saya. Pak Kiai memang memberi kekebasan agar para santri berpikir dan bertindak mandiri,” tutur Wakhrodi (baca: Guru Demokrasi Para Santri). Kiai Sahal memang selalu menjaga sikap netralnya. Hanya saja, pada pemilu presiden lalu, ia dijadikan “payung politik” para tokoh NU yang masuk bursa calon wakil presiden. KH Hasyim Muzadi menyem-patkan diri sowan ke Kiai Sahal, saat ia akan mencalokan diri mendampin-gi Megawati.

Hasyim menyatakan berani maju sebagai calon wakil presiden setelah mendapat restu Kiai Sahal, selaku Rais Aam NU. Namun Kiai Sahal sendiri tak pernah menyatakan secara terbuka menanggapi klaim ini. Bukan hanya Kiai Hasyim, klaim serupa dikemukakan Salahudin Wahid, calon wakil presiden yang berpasangan dengan Wiranto.

Menjelang kampanye presiden putaran pertama, Gus Solah sowan ke Kiai Sahal, minta dukungan. “Beliau itu paman saya, tentu saja mendukung saya dan Pak Wiranto,” kata Gus Solah, usai menemui Kiai Sahal di Pesantren Maslakul Huda. Kiai Sahal menanggapi ucapan keponakannya dengan

senyum penuh arti. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Pada pilpres putaran pertama di TPS 13 Kajen —dekat Pesantren Maslakul Huda— pasangan Wiranto-Salahudin menang tipis, mengung-guli Mega-Hasyim dan kandidat lainnya. Di putaran kedua, Mega-Hasyim menang di TPS tersebut. Pasangan calon presiden itu meraih 107 suara, SBY-Kalla meraih 71 suara. Jumlah golputnya mencapai 40% lebih.

Namun hasil di seluruh Desa Kajen yang sebagian besar pen-duduknya warga NU itu memberikan kemenangan pada SBY-Kalla dengan 1.349 suara. Mega-Hasyim hanya 855 suara. Sebanyak 122 suara tidak sah. “Meskipun Pak Hasyim berasal dari NU, para kiai di Kajen semuanya netral,” ujar Muhadi.

Suhu politik di desa santri NU itu relatif sejuk ketika para kiainya tak bermain politik. Berbeda dengan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, pondok terbesar di Jawa Barat, yang sempat dilanda demam menjelang pilpres putaran pertama. Di Cipasung, beberapa kiai senior menjadi tim sukses Mega-Hasyim.

Mereka adalah KH Ubaidillah Ruchiyat (Sekretaris Pondok Pesantren Cipasung), KH Dudung Abdul Halim (Ketua Yayasan Pondok Pesantren Cipasung), dan KH Abun Bunyamin (Ketua NU Tasikmalaya). Tiga pengasuh pesantren yang masih kerabat dekat Kiai Ilyas Ruchiyat itu sempat mendeklarasikan bahwa Pondok Pensantren Cipasung mendukung Mega-Hasyim. Namun, diam-diam, pemimpin Pesantren Cipasung sendiri, KH Ilyas Ruchiyat, mendukung pasangan Wiranto-Wahid, meski ia tak mengungkapkan secara terbuka.

Di pilpres putaran kedua, Kiai Ilyas mengaku netral. Alasannya, Wiranto-Wahid gagal masuk final. “Karena saya ini orang PKB (Partai Kebangkitan Bangsa),” kata KH Ilyas Ruchiyat. Maksudnya, ia netral mengikuti anjuran Ketua Dewan Syuro PKB, Gus Dur, yang meminta jajaran partainya tak memihak.

Sementara KH Ubaidillah, Dudung, dan Abun Bunyamin tanpa kendur terus mendukung Mega-Hasyim sampai putaran kedua. Selama

musim kampanye, mereka sempat mendatangkan KH Hasyim Muzadi ke pesantrennya hingga tiga kali. Alasannya, menggelar pengajian dan

istighotsah. “Tapi intinya, ya, kampanye,” kata H. Acep Zamzam Noor,

putra tertua Kiai Ilyas.

Acep sendiri merasa gerah oleh gerakan politik para kiai Cipasung pendukung Mega-Hasyim, yang dianggapnya berlebihan. Maka, ia membuat selebaran dan poster yang menyindir para kiai itu: “Dijual segera NU. Yang berminat segera hubungi tim sukses capres.”

Gerakan trio kiai Cipasung (Ubaidillah, Dudung, dan Abun) gagal menjadikan jagonya sebagai pemenang di Cipasung pada pilpres putaran pertama. Di Pesantren Cipasung yang dihuni sekitar 4.000 santri itu, ada empat TPS, semuanya dimenangkan pasangan Wiranto-Wahid. Mega-Hasyim menduduki peringkat kedua, disusul SBY-Kalla.

Hasil di seluruh Desa Cipakat, lokasi Pondok Cipasung, duet Wiranto-Wahid juga menang dengan meraih 1.718 suara. Urutan kedua malah direbut SBY-Kalla dengan 950 suara. Mega-Hasyim juga dikalahkan SBY-Kalla di Cipakat pada putaran kedua. Namun mereka bisa menang tipis di tiga TPS di dalam kompleks Pesantren Cipasung.

Perbedaan sikap politik para kiai Cipasung pada pemilihan presi-den tak bisa dipisahkan dari nuansa pesantren yang kental warna poli-tiknya. Bahkan, menurut Kiai Ilyas, Cipasung tak pernah lepas dari dinamika politik NU. Ketika NU sebagai partai politik berafiliasi ke Masyumi, “Kami juga ikut Masyumi,” kata Kiai Ilyas.

Saat partai-partai Islam, termasuk Partai NU, berfusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), para kiai di pesantren ini juga ikut hijrah ke PPP. “Masuk Golkar kami juga pernah,” ujar Kiai Ilyas. Ke mana arus utama NU mengayunkan langkah, ke sana pula orientasi politik Cipasung bergeser.

Hanya saja, pada pemilu presiden 2004, sejumlah Kiai Cipasung menjadi anggota tim sukses calon presiden. Pimpinan tertinggi pesantren tak kunjung memberi fatwa, sementara kampanye para calon presiden menggebu-gebu. Para santri pun jadi bingung.

PRO-DEMOKRASI

KIAI karismatik dari Kajen, Pati, ini amat bersahaja. Tubuhnya yang kerempeng selalu dibalut kain sarung, kemeja putih, dan jas terbuka warna gelap. Bicaranya tenang tapi lugas dan tak terasa menggurui. Ia adalah KH Sahal Mahfudz, Rais Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU).

Ia tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren. Lahir pada 17 Desember 1937 di Kajen, Pati, sebuah desa yang dijejali pesantren di pantai utara Jawa Tengah. Putra kedua KH Mahfudz ini memiliki jalur nasab dengan Kiai Ahmad Mutamakin, ulama legendaris di era Mataram awal abad ke-17.

Sejak kecil, Kiai Sahal dididik oleh orangtuanya untuk menguasai dan men-dalami ilmu agama. Sang ayah dikenal sebagai “kiai ampuh”, sepupu almarhum KH Bisri Syamsuri, Rais Aam NU 1972-1980. Setelah Sahal muda belajar di Pesantren Maslakul Huda yang diasuh ayahnya, ia nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur.

Kemudian belajar pada Kiai Zubair di Pesantren Sarang, Rembang. Pada pertengahan 1960, Sahal belajar ke Mekkah, di bawah asuhan Syaikh Yasin al-Fadani. Tak mengherankan jika Kiai Sahal kemudian menjadi jawara fikih dalam usia muda.

“Ketika usianya belum nencapai 40 tahun, ia telah menunjukkan kemampuan tinggi dalam forum-forum fikih,” tulis KH Abdurrahman Wahid dalam bukunya, Melawan Melalui Lelucon. Kiai Sahal, dalam catatan Gus Dur, tampil cemerlang dalam pelbagai sidang bahtsul masail NU, membahas berbagai masalah di tengah masyarakat.

Pemikiran yang paling menonjol dari Kiai Sahal adalah tentang fikih sosial-kontekstual. Ia berupaya menggali fikih sosial dari pergulatan nyata, antara kebenaran agama dan realitas sosial yang senantiasa timpang. Kiai Sahal memperoleh geral doctor

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 29-36)