• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjauh dari Politik Praktis

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 158-165)

Taufik Abriansyah dan Ekos Koswara (Bandung)

Sikap politik Persis mengalami pasang-surut. Kadernya pernah jadi perdana menteri. Mendukung Amien Rais dan menolak presiden perempuan.

wanita, menjelang pemilihan umum (pemilu) presiden 5 Juli 2004, Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis telah mengeluarkan fatwa yang sama pada 1998. Dalam risalah keputusan Sidang Dewan Hisbah tentang wanita jadi presiden/kepala negara yang dikeluarkan pada 18 November 1998 di Bandung, Persis memutuskan wanita tidak dibenarkan menjadi presiden atau kepala negara. Kaum muslimin haram memilih seorang wanita seba-gai presiden atau kepala negara. Keputusan itu didasarkan atas beberapa pertimbangan dalil Al-Quran dan sunah.

Memasuki pemilu presiden 2004, Persis tetap konsisten dengan putusannya. Pasangan Mega-Hasyim sama sekali tak dilirik. Pasangan calon presiden-wakil presiden yang dijagokan adalah Amien Rais-Siswono Yudohusodo. Sesungguhnya tidaklah terlalu mengejutkan. Toh, Amien Rais juga berasal dari kalangan Islam.

Namun dukungan kepada Amien-Siswono tidak dalam bentuk “cek kosong”. Melainkan dukungan yang bersifat kritis. Ada beberapa syarat yang diajukan. Antara lain, jika terpilih jadi presiden, Amien Rais diminta membentuk pemerintahan yang bersih dan jauh dari korupsi.

Tapi hasil mengejutkan terjadi di beberapa TPS di Jalan Pajagalan saat berlangsung pemilu legislatif 5 April 2004. Dalam catatan Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan Karanganyar, Kota Bandung, pero-lehan suara partai politik di lingkungan Pesantren Persis Pajagalan dime-nangkan oleh Partai Demokrat yang meraih 1.185 suara. Disusul PDI Perjuangan di urutan kedua dengan suara 815. Sedangkan PBB, PAN, dan PKS jauh di bawah kedua partai tersebut. PBB, yang selama ini dikenal dekat dengan Persis, malah hanya mendapat 25 suara.

Kejutan juga terjadi pada pemilu presiden. Kendati Demokrat menang dalam pemilu legislatif, TPS-TPS di sekitar Persis malah dime-nangkan Megawati Soekarnoputri. “Secara umum, di kelurahan ini Mega memang menang,” kata Wawan Kurniawan, seorang anggota PPS Kelurahan Karanganyar. Pasangan Mega-Hasyim mengantongi 1.966 suara. Sementara SBY-JK mendapat 1.528 suara. Pasangan capres lainnya

mendapat suara jauh di bawah dua pasangan tersebut. Dominasi Mega di sini terulang pada pemilu presiden putaran kedua.

Kemenangan di kantong Persis ini tidak berarti Persis men-dukung Mega. Maklumlah, lokasi TPS di Jalan Pajagalan itu juga dipenuhi penduduk setempat. Warga Persis sendiri memilih di kediaman masing-masing. “Kami memang tidak mewajibkan santri mencoblos siapa. Terserah pada nurani masing-masing,” ujar Ketua Pondok Pesantren Persis Pajagalan, Muhamad Atang Agus Sayuki.

Persis bahkan sempat berniat menjadi golput pada saat pemilu presiden putaran kedua. Alasannya, Persis sudah pasti tak akan memilih Mega karena dia perempuan. Sedangkan untuk langsung memutuskan mendukung SBY, Persis masih meragukan komitmen SBY terhadap masa depan kaum muslimin. SBY, misalnya, tak tegas menyatakan ingin mene-gakkan syariat Islam. “Di kalangan umat Islam ada perasaan trauma masa lalu, ketika penguasa tidak ramah terhadap gerakan dakwah,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Persis, KH Shidiq Amien.

Sebagai lembaga dakwah, kata Shidiq Amien, Persis lebih me-nyoroti aspek keislaman dari calon pemimpin. Kalau pemimpin adil lalu peduli menjadikan bangsa dan masyarakat ini bertakwa dan beramal saleh, maka Allah menjamin akan membukakan pintu berkah, kesejahter-aan, dan kemakmuran. Sebaliknya, kalau penguasa berbuat zalim, ada ulti-matum dalam hadis Nabi bahwa akan kehilangan berkah. Berkah itu bisa diterjemahkan sekarang dengan kesejahteraan dan kemakmuran.

Menurut Shidiq Amien, kalau dihadapkan pada dua pilihan yang dua-duanya baik, bisa mengambil sikap thariqatul jam’i (me-ngompromikan), silakan pilih yang mana saja. Tapi, kalau dihadapkan pada pilihan sulit, lima calon presiden tapi tidak ada yang ideal, maka di-pilih, istilahnya di-tarjih, mana yang lebih bagus dan lebih sedikit mudaratnya. “Tapi, ketika dihadapkan pada pilihan yang dua-duanya sulit, dalam fikih ada yang disebut tawaqquf, mendiamkan persoalan,” ujarnya. Shidiq Amien mengaku agak risau juga melihat partai-partai

Islam selalu keok dalam pemilu. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Menurut dia, cara yang dilakukan oleh partai Islam tak jauh beda dengan partai lainnya. Kondisi ini juga disebabkan partai politik tidak berpihak pada kepentingan rakyat. “Partai politik Islam hanya men-jadikan Islam sebagai simbol dan isu. Seharusnya Islam dimen-jadikan dasar perjuangan politik,” katanya.

Maka, ketika yang muncul pada pemilu putaran kedua adalah pasangan calon presiden yang bukan berasal partai Islam atau berbasis massa Islam, ini bisa dianggap mencerminkan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya. “Hadis Nabi riwayat Imam Hakim menye-butkan, ‘Kama takuunu yuwalla alaikum’ (Sebagaimana keadaan kamu, begitulah pemimpin kamu diangkat),” kata Shidiq.

Shidiq membagi perkembangan politik Islam di Indonesia dalam empat periode. Pertama, periode prakemerdekaan. Pada masa ini, menu-rut Shidiq, seluruh kekuatan politik bersatu untuk merebut kemerdekaan. Periode kedua, pasca-kemerdekaan. Di masa ini, Soekarno sebagai presi-den banyak dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). “Sehingga yang terjadi adalah pertarungan ideologi antara Islam, komunis, dan nasionalis,” katanya.

Persaingan itu berakhir ketika Soekarno, atas desakan PKI, mem-bubarkan Masyumi. Bahkan Konstituante dimem-bubarkannya dengan tujuan memaksakan Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis).

Periode ketiga adalah masa pemerintahan Orde Baru. Pada peri-ode ini, penguasa menerapkan asas tunggal Pancasila. Siapa saja yang menentang kehendak Soeharto ini bisa dianggap subversif. “Bahkan UUD 45 diperlakukan seolah kitab suci,” kata Shidiq Amien.

Sedangkan periode keempat adalah masa reformasi. Pada periode ini, kekuatan Islam akan berhadapan dengan kekuatan politik global. Berat tantangannya. Ciri Islam ini adalah menolak keras segala bentuk perada-ban Barat sembari terus memperjuangkan penegakan syariat Islam.

menggantikan Ketua PP Persis KH Lathif Mukhtar yang wafat. Di bawah kepemimpinan Pak Ustad Shidiq, begitu dia biasa dipanggil, organisasi Persis yang cabangnya banyak tersebar di Jawa Barat ini giat melakukan pembenahan struktural dan organisasi. Persis tak lagi tabu bicara politik. Organisasi yang telah melahirkan tokoh-tokoh Islam terkemuka sekelas M. Natsir, A. Hassan, dan Isa Anshari ini memang akrab dengan politik sejak bergabung dengan Masyumi.

Persis berdiri pada 12 September 1923. Bermula dari sebuah kelompok tadarusan yang dipimpin Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Kelompok tadarusan yang berjumlah 20 orang itu makin paham hakikat Islam yang sebenarnya. Mereka kemudian melakukan gerakan

taj-did dan pemurnian ajaran Islam dari paham-paham yang sesat dan

menyesatkan yang berkembang pada masa itu. Nama Persatuan Islam dimaksudkan untuk mengarahkan ruhul-ijtihad dan jihad.

Persis berkembang menjadi salah satu ikon pembaruan pemiki-ran Islam di Indonesia. Dalam mengekspresikan visi dan misi tajdid-nya, Persis menggunakan dua bidang garapan utama, yaitu pendidikan dan dakwah. Pilihan itu membuat Persis bisa bertahan sampai kini. Ada masanya Persis juga hampir terjebak bergiat di politik praktis. Usulan ini muncul menjelang Muktamar Bangil 1960. Waktu itu, Persis sudah melepaskan diri dari Masyumi. Tapi, secara aklamasi, muktamirin meno-lak aspirasi untuk mengubah Persis menjadi partai politik.

Pengalaman Persis dalam bidang politik tampak saat bergabung dalam Masyumi. Bergabungnya Persis sebagai anggota istimewa Masyumi tidak lepas dari “fatwa” para ulamanya. A. Hassan, M. Natsir, dan Isa Anshari menegaskan bahwa orang Islam wajib aktif dalam kegiatan politik sebagai salah satu kewajiban agama.

Manifesto Persis tahun 1953 menyatakan bahwa pandangan Persis dalam masalah-masalah agama adalah revolusioner-radikalisme. Dengan dasar itu, hampir seluruh tokoh Persis memasuki Masyumi. Beberapa orang di antaranya menjadi pemimpin. Bahkan meraih jabatan

lebih tinggi dalam kenegaraan. Natsir, misalnya, selain menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat Masyumi, juga sempat menjadi menteri dan kemu-dian perdana menteri.

Aktivitas politik Persis meredup tatkala Masyumi dibubarkan Presiden Soekarno. Bahkan, pada zaman pemerintahan Orde Baru, Persis bisa dibilang bersikap pasif pada politik.

Gerakan reformasi kemudian membuat arah politik Persis berubah lagi. Pada Pemilu 1999, Ketua Umum Persis KH Shidiq Amien ter-pilih menjadi anggota MPR dari Fraksi Utusan Golongan. Tapi toh lima tahun menjadi anggota MPR, Shidiq Amien terus terang mengaku tak banyak berbuat. Masalahnya, Fraksi Utusan Golongan berperan sangat minim. Bahkan bersidang pun hanya sekali setahun.

Pada Pemilu 2004 ini, Shidiq tercatat sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Jawa Barat. Tapi perolehan suaranya tak cukup untuk mengantarkannya ke Senayan. Gagal jadi anggota DPD tak membuatnya kecewa. Menurut Shidiq, dia ikut berlaga pada pencalonan itu dalam rangka memanfaatkan peluang saja. “Nggak jadi pun nggak apa-apa. Saya akan bergiat lewat dakwah,” kata Shidiq.

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 158-165)