• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tak Bisa Ditawar

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 167-171)

Herry Mohammad dan Sawariyanto

Majelis Mujahidin Indonesia berdiri untuk mempromosikan syariat Islam berlaku di semua lapisan kehidupan. Menerima demokrasi asal syariat Islam

DEMOKRASI DENGAN OPSI

Kongres pertama itu menelurkan keputusan penting, antara lain terbentuknya institusi “Majelis Mujahidin Indonesia” yang bersifat tansiq (aliansi). Misi utamanya, menegakkan syariat Islam di lembaga negara melalui jalan dakwah dan jihad. Dakwah artinya usaha untuk menjelaskan hakikat agama Islam: membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah (ihqaqul hal wa ibthalul bathil). Acuannya, Kitabullah dan sunah Rasulullah. Adapun jihad fi sabilillah adalah perjuangan dengan kese-diaan mengorbankan harta dan jiwa untuk melindungi dakwah serta men-gawal tegaknya syariat Islam.

Dalam struktur organisasi MMI, yang paling tinggi adalah Kongres Mujahidin, diikuti Amir Mujahidin yang memimpin lembaga ting-gi Ahlul Halli wal ‘Aqdi —kumpulan orang terpilih untuk mengambil kepu-tusan. Dalam kongres pertama, yang dipilih sebagai Ahlul Halli wal ‘Aqdi, antara lain, Prof. Dr. Deliar Noer (Jakarta), Prof. Dr. Abdurrahman Basalamah (Ketua Yayasan Universitas Muslim Indonesia, Makassar), Ir. R.H.A. Sahirul Alim, MSc (UGM), Dr. Fuad Amsyari (Universitas Airlangga, Surabaya), KH Mawardi Noer, KH Abdul Kadir Baraja’, Drs. Muhammad Thalib, dan Ustad Abu Bakar Ba’asyir.

Melalui proses musyawarah, Abu Bakar Ba’asyir dipilih sebagai ketua lembaga pengambil keputusan itu, sekaligus menjadi Amir Majelis Mujahidin. Ahlul Halli wal ‘Aqdi bertugas menetapkan keputusan yang bersifat umum untuk dilaksanakan oleh Lajnah Tanfidziyah.

Lajnah adalah ujung tombak organisasi yang mengampanyekan penerapan syariat Islam dalam kehidupan bernegara. MMI, yang berpusat di Jalan Veteran, Yogyakarta, kini punya sembilan Lajnah Perwakilan Wilayah (LPW) setingkat provinsi. Sedangkan untuk daerah tingkat II, MMI sudah memiliki 42 Lajnah Perwakilan Daerah (LPD) di seluruh Indonesia.

MMI menganggap umat Islam, apa pun identitasnya, sebagai saudara. “Sepanjang mereka setuju dengan syariat Islam,” katan Irfan. Bisa saja simpatisan MMI itu berasal dari Muhammadiyah, NU, atau organisasi Islam lainnya. Itu sebabnya, MMI tidak membentuk komunitas

yang terikat. Karena itu, MMI bukan diisi oleh orang-orang yang hidup matinya untuk organisasi. “Kami diisi orang yang hidup matinya untuk Islam,” katanya.

Dalam pandangan Irfan, hanya ada dua jenis manusia yang meno-lak syariat Islam: mereka yang belum paham atau memang memusuhi. “Yang mau dibangun MMI adalah kesadaran berpikir dan amaliah,” ujarnya. Pada akhirnya, semua itu untuk penegakan syariat Islam di lem-baga negara, serta menjadi konstitusi dalam institusi negara. Karena keinginan itulah, MMI merasa perlu menyampaikan pemikirannya kepada organisasi-organisasi Islam lainya.

“Kami mendukung demokrasi jika orang menyetujui syariat Islam,” kata Irfan. Sayangnya, tak satu pun dari dua kandidat yang masuk di putaran final pemilihan presiden (20 September 2004) memenuhi kri-teria Majelis Mujahidin Indonesia. Hal itu diputuskan dalam Mudzakarah Pimpinan Nasional Majelis Mujahidin di Yogyakarta pada 16 Agustus 2004. MMI mengambil kesimpulan bahwa kedua calon presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri, tak pernah membela umat Islam yang dizalimi. Mereka tak membela Abu Bakar Ba’asyir, serta membiarkan pembantaian umat Islam di Irak dan Afghanistan.

Mereka juga tak ada yang menyetujui syariat Islam. Atas dasar itulah, MMI tidak merekomendasikan untuk mencoblos salah satu dari calon presiden itu. “Apalagi keduanya condong kepada skenario orang kafir, dalam hal ini negara Barat,” katanya. Untuk Megawati, masih ada alasan lain: pemimpin wanita itu haram hukumnya.

Irfan punya catatan tersendiri terhadap kepemimpinan Megawati sepanjang 2001-2004. “Dia sama sekali tak pernah memberi peluang untuk sosialisasi bagi pemikiran-pemikiran Islam, untuk pemberlakuan syariat Islam secara menyeluruh di Indonesia,” tuturnya. Mega lebih menganggap pemikiran-pemikiran semacam itu sebagai ancaman. Indikasi sikap Megawati tersebut bisa dilihat saat presiden berbicara di

depan rapat kerja Departemen Agama. “Ia menyatakan, pengajaran agama selama ini terbukti telah menjadikan insan-insan fanatik,” kata Irfan. Perasaan fanatik itu terjadi karena menganggap ajaran agamanyalah yang paling benar.

Irfan punya pandangan sebaliknya. Selama ini, menurut dia, keyakinan umat Islam bahwa agamanya adalah yang paling benar terbuk-ti terbuk-tidak pernah menjadi pemicu konflik. “Yang jadi biang kerok justru komentar yang mendiskreditkan ajaran agama,” ia menjelaskan. Hal-hal semacam inilah yang dianggap Irfan sebagai sifat Megawati yang tak mau bersahabat dengan kelompok Islam garis keras. “Inilah yang kami anggap sebagai ancaman jika Mega berkuasa lagi,” ujarnya. Mega diyakini akan melakukan pendekatan sama terhadap kelompok garis keras.

Bagaimana dengan SBY? “Sikapnya sama, gayanya beda,” kata Irfan. Pemerintahan SBY, menurut Irfan, akan mengembalikan suasana seperti era Orde Baru. “SBY dan Soeharto sama-sama berlatar militer,” ia menyimpulkan.

Sejak putaran pertama pemilihan presiden, MMI menilai tak ada satu pun yang layak dipilih. Tak satu pun calon presiden menyetujui syari-at Islam diterapkan di Indonesia. “Bahkan kalau Hidaysyari-at Nur Wahid dari PKS mencalonkan diri sebagai presiden, kami tak akan mendukungnya bila dia tak setuju syariat Islam,” katanya.

Sepanjang tak ada calon yang mendukung penerapan syariat Islam, sikap MMI tak akan berubah: golput. Sikap ini pula yang tampak pada Fauzan Al Anshari, salah satu Ketua MMI. Berkali-kali pemilihan umum dilaksanakan, ayah 18 anak dari empat istri ini belum sekali pun ke bilik suara. “Kami tak bisa menerima demokrasi, sementara syariat Islam dipinggirkan,” tuturnya.

Maka, kini MMI akan terus berdakwah, membina kelompok demi kelompok yang masing-masing anggotanya sekitar 15 orang. Temanya jelas: mengampanyekan penerapan syariat Islam.

PONDOK Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, tak bisa lepas dari figur dua pendirinya, Abdullah Sungkar (almarhum) dan Abu Bakar Ba’asyir. Karena mereka menolak asas tunggal Pancasila, Sungkar dan Ba’asyir sempat hijrah ke Malaysia, dari 1985 sampai 1999. Sungkar meninggal pada 24 Oktober 1999, tak lama setelah pulang dari Malaysia. Jenazahnya dikebumikan di Dukuh Beku, Kecamatan Karanganom, Klaten, Jawa Tengah. Sedangkan Ba’asyir disangka menjadi otak berbagai aksi terorisme yang terjadi di Tanah Air.

Beberapa orang yang terlibat aksi terorisme, seperti Fathur Rahman Al-Ghozi dan Ali Gufron alias Mukhlas, pernah nyantri di sini. Al-Ghozi dituduh terlibat penge-boman di Metro Manila yang menewaskan 22 orang. Pada 12 Oktober 2003, Al-Ghozi ditembak mati oleh militer di Pingkawayan, Cota Bato, Filipina Selatan. Sedangkan Mukhlas adalah salah satu terpidana mati dalam kasus bom Bali yang menewaskan 202 orang pada 2002.

Keberadaan Ustad Sungkar, Ba’asyir, dan beberapa santrinya yang terlibat aksi-aksi terorisme membuat Al-Mukmin dijuluki sebagai pesantren yang mencetak teroris. Anggapan itu ditepis Pimpinan Yayasan Pendidikan Islam dan Asuhan Yatim Al-Mukmin (YPIA) —yayasan yang menaungi Pondok Pesantren Al-Al-Mukmin— Drs. KH Farid Ma’ruf N.S. (lahir 1926).

Menurut Farid, anggapan itu salah alamat. “Memang ada beberapa mantan santri Al-Mukmin yang menjadi tersangka teroris. Tapi mereka kebanyakan belajar di sini tidak tamat. Beberapa di antaranya setelah di sini belajar di tempat lain,” ujar Farid. “Nah, kenapa kok yang disorot saat belajar di sini. Kenapa nggak saat belajar di tempat lain itu

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 167-171)