• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bukan Berpolitik

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 146-152)

Khudori

KH Bustomi punya pengaruh luas. Meskipun menolak terlibat politik, ia penyokong utama PPP. Juga menolak presiden perempuan.

Para wanitanya berjilbab, sementara lelaki berbaju koko dan memakai kopiah. Mereka tampak hilir mudik. Sulit menemukan gadis di luar rumah berjins ketat dengan rambut terbuka. Menutup aurat adalah wajib. Di salah satu sudut jalan ada tulisan: “Kawasan Wajib Kopiah”. Tidak seperti pesantren lain yang bangunannya menyatu, 400 santri laki-laki Al-Hidayah menghuni sembilan kobong (pondok) yang terpisah. Tak ada sekat pembatas. Di sela-sela kobong berdiri rumah-rumah penduduk. Seperti umumnya pondok salaf, di pesantren yang berdiri pada 1962 ini santri banyak bergulat dengan kitab kuning. Seperti Nahwu,

Sharaf, Jurumiyah, Amil, atau tafsir Jalalain. Di bawah bimbingan KH

Bustomi, pendiri dan pimpinan pesantren, atau santri-santri senior, kitab berhuruf Arab gundul itu dipelajari setiap usai salat subuh, sore, dan malam hari.

Santri bagai diisolasi. Mereka tidak boleh bersentuhan dengan televisi, radio, atau komputer. Jangankan berpacaran, menonton atau memiliki alat-alat musik atau hiburan saja dilarang. Mereka dilarang bergaul dengan pemuda kampung sekitar. “Agar tidak terkontaminasi oleh perilaku yang tidak baik lalu malas ngaji,” kata Amin Murodi, anak KH Bustomi. Berbagai pantangan dan kewajiban itu ditulis dalam bahasa Arab dan Latin, kemudian ditempel di pojok-pojok bangunan. Al-Hidayah tegas menegakkan aturan-aturan ini.

Banyak santri mbeling yang dikeluarkan, terutama yang kepergok berpacaran dengan gadis-gadis setempat. Sanksi dijatuhkan oleh lurah

kobong. Tugas utama lurah adalah menegakkan aturan Abuya. Lurah

di-pilih secara musyawarah. Jika peringatan lurah tidak mempan, santri dila-porkan ke amna, orang yang ditunjuk Abuya menjadi pemimpin pondok dan mengajar santri. Jumlah amna ada enam orang, terdiri dari putra KH Bustomi dan santri senior. Kasus yang berat dikonsultasikan ke kiai.

Ketatnya aturan ini bisa dipahami. Maklum, jauh-jauh hari mereka

digembleng: aktivitas sehari-hari adalah mengaji. “Di sini kami cuma ngaji,”

“Jangankan dinomorduakan, mondok sambil sekolah pun tidak boleh,” ujar Amin Murodi, anak kelima KH Bustomi. Ia cuma sampai kelas V SD.

Ketentuan itu merupakan bagian dari kebiasaan keluarga KH Bustomi. Sang kiai bahkan “setengah melarang” ketujuh anaknya —tuga putra, empat putri— atau anggota keluarganya bersekolah. Tidak ada anggota keluarga KH Bustomi yang tamat SMP. Mereka mahir baca-tulis Arab gundul, tapi agak kagok menulis Latin. Menurut Amin, ayahnya selalu menekankan bahwa sekolah umum itu hanya membuat mereka makin jauh dari ajaran Islam.

Meskipun kolot, Al-Hidayah menerima demokrasi lewat pemilu. Sepanjang pemilu Orde Baru, pesantren ini tak pernah absen nyoblos alias tak pernah menyeru golput. Memang KH Bustomi tak pernah cawe-cawe di partai politik. Malah dia cenderung apolitis. Tapi PPP selalu menjadi pemenang di Kampung Cisantri. Karena luasnya pengaruh KH Bustomi, PPP juga memenangkan suara di likungan sekitar. “Kiai selalu jadi rujukan,” kata Mansyur, warga Cisantri. Akhirnya wilayah ini dikenal seba-gai basis tradisional PPP.

KH Bustomi tak hanya menjadi rujukan dalam agama, juga jadi tempat “keluh kesah” masyarakat sekitar. Maklum, kiai kelahiran 1934 itu diyakini punya ilmu linuwih. Setiap hari rumahnya tidak pernah sepi tamu dari berbagai daerah untuk berbagai keperluan. Ada yang minta didoakan agar usahanya sukses, ingin cepat mendapat jodoh, minta lekas naik pangkat, hingga agar perkaranya menang di pengadilan. Banyak dari mereka kembali membawa “oleh-oleh” karena cita-citanya terkabul.

Al-Hidayah-PPP memang “dekat”. “Ya, karena ada kesamaan prinsip. PPP, kan, partai yang berasaskan Islam,” kata Amin Murodi. Meskipun tidak pernah mempengaruhi langsung, masyarakat Cisantri yang masih kuat ikatan religiusnya dengan pondok lantas memilih partai berlambang Ka’bah itu. Apalagi, para petinggi PPP rajin sowan. Di antaranya Ketua Umum DPP PPP Hamzah Haz. Menjelang pemilu, Hamzah bahkan tiga kali ke sana. Salahudin Wahid, pasangan capres

Wiranto, pun tak ketinggalan.

Agum Gumelar, yang berpasangan dengan Hamzah dalam pemilu putaran pertama, pernah pula ke Al-Hidayah. Politisi lokal pun tak kalah rajin, seperti Dimyati Natakusumah dan Djoko Munandar. Mereka tokoh PPP Provinsi Banten yang kini menjadi Bupati Pandeglang dan Gubernur Banten. Mereka ke sana, kata Amin, hanya untuk silaturahmi. Tapi ia buta tujuan mereka sesungguhnya. “Kami tidak mau terlibat politik praktis,” tuturnya.

Kedekatan itulah yang membuat PPP menangguk suara besar. Pada pemilu legislatif 5 April 2004, di Cisantri PPP meraih 176 dari 300 suara yang sah. Partai lain hanya kebagian di bawah 20 suara. Caleg-caleg PPP kebanjiran suara. Perolehan suara PPP berlanjut pada pemilu presi-den pertama, 5 Juli 2004. Menurut data panitia pemungutan suara (PPS) setempat, pasangan Hamzah-Agum mendapat 427 suara, disusul pasang-an SBY-JK (93), Mega-Hasyim (39), Wirpasang-anto-Wahid (34), dpasang-an terakhir Amien-Siswono (14).

Menurut Amin, pada pemilu putaran pertama, keluarganya cen-derung memilih Hamzah-Agum. Meskipun tidak diungkapkan secara ter-buka, KH Bustomi tampak “merestui” pasangan ini. “Karena pasangan Hamzah-Agum yang paling mendekati Islam,” kata Amin. Ketika pada pemilu putaran kedua, 20 September 2004, Hamzah-Agum tereliminasi, keluarganya mulai kebingungan. Dua pasangan yang tersisa, SBY-JK dan Mega-Hasyim, dinilai jauh dari kriteria Islam. “Tapi, daripada memilih Mega, kami milih SBY,” ujar Amin.

Inilah yang membuat pasangan SBY-JK menangguk suara 257 dari 561 pemilih. Sementara pasangan Mega-Hasyim hanya meraih 68 suara, jauh lebih kecil ketimbang jumlah mereka yang tidak nyoblos (236). Meskipun elite DPP PPP saat itu merapat ke pasangan Mega-Hasyim de-ngan membentuk Koalisi Kebangsaan, pemilih tidak bisa ditarik-tarik memilih pasangan tertentu. Pemilih justru merujuk omongan KH Bustomi. Soal banyaknya pemilih yang tak nyoblos, ketua PPS setempat,

Warjio, tak yakin mereka golput. “Santri banyak yang pulang kampung,” katanya.

Menurut Inung M. Noor, tokoh masyarakat Cisantri, pengajian sepekan sekali yang digelar KH Bustomi tidak pernah membahas soal-soal politik, termasuk calon presiden berikut partainya. Namun ia pernah mendengar, KH Bustomi mengharamkan seorang presiden perempuan. “Masyarakat di sini sudah tahu sikap kiai,” ujar Hadi Mulyana, politisi asal Pandeglang. “Dari kitab-kitab yang saya baca, jelas wanita tidak diper-bolehkan menjadi pemimpin laki-laki,” Amin menguatkan.

Saat ditanya hal ini, KH Bustomi menampiknya. “Mungkin saja saya ngomong itu, tapi saya tidak mau bicara masalah politik,” kata KH Bustomi kepada Ahmad Arifudin dari Gatra. Ia mengaku tak pernah mem-pengaruhi masyarakat, termasuk soal presiden. Sebaliknya, di lingkungan pondok, KH Bustomi justru rajin menjelaskan kepada para santrinya bahwa Islam melarang perempuan menjadi pemimpin laki-laki. Dasarnya, Al-Quran surat An-Nisa ayat 34, “... laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan...”. “Juga ada dalil hadis dan kitab-kitab kuning,” tutur Jamal, santri senior di sana.

KH Bustomi tampaknya tak ingin membuka sikapnya itu secara vulgar seperti sejumlah kiai di Jawa Timur. Menurut Amin, pihaknya tak mau berpolemik soal ini. Soalnya, para kiai, ulama besar, dan tokoh Islam berbeda sikap ihwal kepemimpinan perempuan. Ada yang setuju, ada yang mengharamkan. “Padahal, kitab yang dibaca sama,” kata Amin. Makanya, KH Bustomi melarang keluarganya terjun dalam politik praktis. Politik dinilai sebagai dunia yang kotor, penuh tipu dan kemunafikan. “Kita tahu sendiri, kehidupan politik jauh dari prinsip ajaran Islam,” ujar Amin.

ABO

W

DARULHUDAACEHUTARA

Kontra Presiden Perempuan

BERMULA dari keinginan keras masyarakat setempat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam. Tergeraklah hati lima tokoh Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, untuk mewakafkan tanah mereka sebagai tempat berdirinya pesantren itu. Mereka adalah Tgk. Abdul Manan Pantonlabu, Tgk. Wahab Ck Doi Samakurok, Taleb Abbas Lhok Beuringen, Mukim Diman Paya Tukai, dan Badullah Ishak.

Keinginan itu berubah menjadi tekad yang diwujudkan dalam aksi gotong royong. Sebagian warga menyumbangkan kayu miliknya,

lain-Suara Abu

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 146-152)