• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merapat Penguasa

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 183-188)

Khudori

Al-Zaytun pernah merapat ke Cendana dan mendukung Golkar. Pada pemilu 20 September 2004, SBY-JK jadi pemenang. Tak lagi bercita-cita

DEMOKRASI DENGAN OPSI

lokasi sembari membawa anak-anak.

Satu per satu mereka mengambil surat suara, lalu masuk ke bilik untuk mencoblos. Pimpinan Ma’had Al-Zaytun, Syekh A.S. Panji Gumilang, baru mendatangi lokasi TPS sekitar pukul 09.51 WIB setelah para siswa, santri, petugas, karyawan, dan eksponen pesantren selesai menggunakan hak pilihnya. Sore harinya, ketika suara dihitung, pasangan Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (JK) meraih 4.193 suara, jauh meninggalkan perolehan pasangan Mega-Hasyim (161). Sisanya, 50 suara tidak sah.

Hajatan pemilu presiden putaran kedua, 20 September 2004, itu berlangsung tertib. Dugaan bahwa warga Al-Zaytun akan memboikot pemilu tidak terbukti. Namun kali ini angka warga yang mangkir ke bilik suara jumlahnya sangat besar, mencapai 7.096 dari 11.500 pemilih alias 62%. Golputkah warga Al-Zaytun? Anggota KPU Daerah Indramayu, Agung Murdiyanto, tidak setuju dengan sebutan itu. “Mereka bukan kelompok golput. Lebih tepat disebut sebagai pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya,” kata Agung.

Sangkaan bahwa warga Al-Zaytun dilarang mencoblos dibantah Suherman Sururi. Pengajar ushul fiqih itu mengakui, di lingkungan ma’had memang ada pembahasan soal pemilu 20 September 2004. “Warga pesantren dipersilakan menggunakan haknya,” ujar pria asal Ciputat itu kepada Ajeng Ritzki Pitakasari dari Gatra. Ia membantah anggapan bahwa pimpinan ma’had, Syekh Panji Gumilang, menganjurkan warga memilih pasangan tertentu.

Rekor warga Al-Zaytun tidak datang ke TPS diukir pada 25 Juli 2004. Pada pemilu ulang itu, tidak satu pun dari 24.843 pemilih yang terdaftar di Al-Zaytun nongol ke 39 TPS yang dibangun di luar pondok. Sejumlah warga yang ditemui mengaku sengaja tidak datang ke tempat coblosan. “Kan, kemarin sudah dilaksanakan pada 5 Juli 2004, dan itu sudah dinyatakan sah oleh KPU,” kata seorang warga yang tak mau dise-but jati dirinya.

Pemilu ulang ini sebagai ganti pemilu presiden putaran pertama, 5 Juli 2004. Menurut Panji Gumilang, pihaknya menganggap pemilu presiden putaran pertama itu sudah selesai. “Panitia bekerja rapi. Dan hak kami sudah kami berikan 5 Juli 2004,” kata Panji.

Tapi tidak bagi KPU. Rapat pleno KPU pada 15 Juli 2004 menyimpulkan adanya pelanggaran administratif dalam pendaftaran calon pemilih tambahan di pesantren terbesar di Asia Tenggara itu. Resminya, jumlah pemilih yang tercatat di sana hanya 11.565 orang. Tapi, pada saat coblosan, 5 Juli 2004, tercatat sebanyak 24.843 pemilih yang terdaftar di 83 TPS. Inilah yang membuat banyak pihak curiga. Ditengarai, pihak Al-Zaytun sengaja memobilisasi massa dari berbagai daerah. Yang lebih mencengangkan, hasil coblosan di dalam pondok itu, 24.794 suara (98,8%) memilih pasangan Wiranto-Salahudin Wahid.

Suatu ketika, Panji Gumilang bercerita soal ini. Meskipun pasan-gan lain hanya kebagian remah-remah, ia tampak bangga denpasan-gan pero-lehan pasangan Mega-Hasyim. “Moncong putih di sini mendapat enam suara,” ujar Panji. Ada wartawan yang menanyakan jumlah anaknya. “Saya katakan empat. Jadi, enam dengan anak dan istri,” kata Panji. Sang wartawan langsung berteriak, “Yang enam itu pasti Syekh dan keluar-ganya.” Panji tidak mengiyakan dan tidak menolak. “Tapi, meski hanya enam, lambang dasi saya toh tetap banteng untuk mengangkat nasib peter-nakan di Indonesia,” Panji terkekeh-kekeh.

Tak urung kasus Al-Zaytun jadi isu nasional. Bukan hanya Panwaslu dan KPU setempat, Panwaslu pusat pun turun tangan. KPU pusat, yang semula mengesahkan perolehan suara, belakangan justru menganulir, lantas digelar pemilu ulang itu. Menurut Panji Gumilang, pihaknya sama sekali tidak memobilisasi massa. Mereka yang mencoblos di sana yang disebut dimobilisasi itu, kata Panji, adalah wali santri dan simpatisan yang pekerjaannya “kontraktor” (selalu ngontrak dan berpin-dah-pindah tempat). Mereka mau berkumpul dengan warga Al-Zaytun lainnya untuk mengusir penat dan bersilaturahmi pada pilpres.

Toh, bukan kali ini saja Al-Zaytun bermain zig-zag. Pada pemilu legislatif 5 April 2004, di sana terjadi pembengkakan pemilih, dari 4.962 menjadi 11.563 jiwa di 39 TPS. Hasilnya, Golkar mencatat kemenangan mencolok di tingkat kabupaten dan provinsi. Pada Pemilu 1999, partai berlambang beringin rimbun itu menjadi pemenang di sana.

Al-Zaytun tampaknya dilahirkan untuk sebuah kontroversi. Pesantren modern yang mulai dibangun pada 13 Agustus 1996 ini disebut-sebut sebagai tempat menggodok kader-kader militan Negara Islam Indonesia (NII). Tudingan ini tak lepas dari sosok Panji Gumilang. Pria kelahiran Gresik, Jawa Timur, 30 Juli 1946 itu, selain jadi pimpinan Ma’had Al-Zaytun, juga jadi Komandan Wilayah IX. Jabatan ini setingkat presiden di sebuah negara. Sampai sekarang, ia masih tercatat sebagai warga negara Indonesia.

Tudingan seram itu, antara lain, dilontarkan oleh Al Chaidar. Aktivis Islam yang penulis buku sejarah DI/TII Kartosuwiryo ini mengaku sempat jadi bagian NII pimpinan Panji, NII KW (Komandemen Wilayah) IX. Sebagai komandan di Bekasi, ia bertugas merekrut anggota dan dana sebanyak mungkin. Selama lima tahun (1991-1995), Al Chaidar mengaku berhasil menggaet 2.000 anggota dan mengumpulkan uang Rp 2 milyar. Cara pengumpulan dana dilakukan dengan menghalalkan segala cara, seperti menipu.

Doktrin NII, kata Al Chaidar, semua yang berada di luar kelom-poknya dianggap kafir. Halal darah dan hartanya. Untuk jadi anggota NII harus menyatakan diri “hijrah” —pindah kewarganegaraan. Sebagai buk-tinya, mereka harus membayar sedekah Rp 0,5 juta-Rp 5 juta

Selain berjubelnya pungutan, semua anggota tak terikat dengan kewajiban syariat Islam, seperti salat dan puasa. Alasannya, sebelum negara Islam tegak, ibadah tidak wajib. Yang utama adalah aktivitas merekrut anggota dan mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya. Nah, dana itu kabarnya dipakai untuk membangun Ma’had Al-Zaytun.

Terhadap berbagai tudingan itu, Panji tidak pernah

gapinya. Termasuk kaitan dirinya dengan NII. Yang terang, dari hari ke hari, tokoh bernama lengkap Abdul Salam Panji Gumilang itu makin akrab dengan penguasa di negeri ini. Ia akrab dengan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung, bos Metro TV Surya Paloh, Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono, dan mantan Ketua Umum ICMI Adi Sasono. Jauh sebelum itu, persisnya tahun 1994, dia tercium merapat ke keluarga Soeharto di Cendana. Bahkan ia disebut-sebut mendapat kucuran dana dari Cendana sehingga bisa membangun pesantren seluas 1.200 hek-tare yang kini dihuni 7.600 santri itu.

Di pesantren inilah, kata Panji Gumilang, pihaknya mengajarkan, antara lain, demokrasi. Salah satu bentuknya, ya, mengikuti pemilu. “Al-Zaytun sangat favourable untuk menerapkan demokrasi progresif,” kata Panji. Bagi Panji, dimensi demokrasi amat luas. Orang yang menghormati sesamanya, orang yang meninggikan derajat sahabatnya, dan orang yang tidak memaksakan kehendaknya adalah wujud demokrasi.

Ia sendiri tidak mempersoalkan presiden perempuan asal sang presiden dipilih rakyat. “Sama-sama makhluk Tuhan. Kecuali kalau dia bukan makhluk Tuhan. Tanpa perempuan, kita susah hidup. Begitu seba-liknya,” tutur Panji. Soal fatwa haram memilih presiden perempuan, tidak perlu ditanggapi. Apalagi dipertentangkan. Biar rakyat yang memilih. Jadi, Anda sudah tidak ingin membentuk negara Islam lagi? “Demokrasi tidak boleh tekan-menekan,” katanya. Biar 200 juta rakyatlah yang menen-tukan.

Mesianis

Syiah Bandung

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 183-188)