• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terngiang Rambu Mbah Kiai

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 84-92)

Sigit Indra dan Puguh Windrawan (Yogyakarta)

Sebagai pusat tarekat di Jawa Tengah, Pesantren Kiai Parak Bambu Runcing memiliki pengaruh kuat di kalangan nahdliyyin. Tak lepas dari sosok pemimpin

han saat mendatangi TPS 24 di Kecamatan Parakan. TPS ini berada dekat Pondok Pesantren Bambu Runcing. Sekitar 150 santri nyoblos di tempat ini dan di TPS 25, yang juga dekat dengan pondok pesantren.

Pilihan Muklis baru ditetapkan saat berada di bilik suara. “Saya ingat pesan Mbah Kiai,” kata Muklis. Meski pesan itu tak menyebut nama capres, Muklis ingat Mbah Kiai menyarankan tak memilih presiden wanita. Sebelumnya Muklis mengaku bingung menjatuhkan pilihan. “Soekarno idola saya, tapi mau pilih anaknya... gimana gitu,” kata pria asal Desa Selo, Boyolali, Jawa Tengah, itu.

Muklis merasa bakal ada yang tak beres jika ia mencoblos Mega-Hasyim. Meski pada paket ini ada Hasyim Muzadi, wakil kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Muklis tetap kurang sreg. “Lagi pula, melihat hasil kerja Megawati selama ini rasanya kurang bagus,” katanya. Akhirnya, ya itu tadi, Muklis pun menjatuhkan pilihan sesuai rambu yang disarankan “guru”-nya.

Pilihan politik ini juga dilakukan santri lain. Hasilnya mudah dite-bak. SBY-JK memenangkan perolehan suara di TPS sekitar pesantren pada pemilihan presiden putaran kedua, 20 September 2004. Hasil ini berbeda dengan putaran sebelumnya. Saat putaran pertama digelar, 5 Juli 2004, pasangan Wiranto-Salahudin Wahid unggul mutlak di TPS sekitar pesantren.

Banyak yang menduga, hasil putaran pertama ini lantaran kedekatan pimpinan Pesantren Kiai Parak Bambu Runcing, KH Muhaiminan Gunardho, 70 tahun, dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dalam NU, Muhaiminan termasuk kiai khos yang disegani. Ia memi-liki hubungan harmonis (setidaknya saat itu) dengan Ketua Dewan Syuro PKB, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Ketika pemilu legislatif digelar, 5 April 2004, Muhaiminan turut berjuang bagi PKB. Ia berperan menggelar tasmiyatus shufuf atau mera-patkan barisan di kalangan warga NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan PKB. Salah satu kegiatannya adalah ikut dalam pertemuan

350 kiai dari seluruh pondok pesantren di 35 Kabupaten di Jawa Tengah. Acara yang digelar di Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang, pada 3-4 Maret itu membahas strategi penangan pemilu bagi PKB. Sejumlah kiai khos, termasuk Muhaiminan, me-minta PBNU membuat semacam keputusan agar warga NU memilih PKB pada pemilu legislatif.

Para kiai sepuh, petinggi PKB, dan NU juga diminta memberikan

tausiah kepada warga nahdliyyin. Dalam pertemuan itu, para kiai diminta

memberikan pengarahan kepada para santri dan warga di daerah masing-masing untuk melaksanakan keputusan Muktamar NU di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, 1999, serta Mukernas PKB yang mencalonkan Gus Dur seba-gai calon presiden.

Pesan itu, melalui berbagai cara, sampai juga di lingkungan santri. Saat pemilu legislatif berlangsung, PKB unggul mutlak, meraup separuh suara pemilih di Kecamatan Parakan, lokasi Pesantren Bambu Runcing. Namun suaranya tak cukup mengalahkan perolehan PDI Perjuangan untuk Temanggung. Meski begitu, tak diragukan lagi, Muhaiminan memiliki pe-ngaruh di lingkungan pondok pesantren dan sekitarnya.

Sosok Muhaiminan begitu lekat di mata para santri. Semua murid mutlak patuh terhadap segala ucapannya. Posisi Muhaiminan sebagai

mursyid (guru) tarekat Syadziliyah, di mana pondok pesantrennya menjadi

pusat pengajian Jama’ah Thoriqoh Al Mu’tabaroh Asy-Syadziliyah, juga ikut memperbesar pengaruhnya. Di luar pesantren, pengaruh Muhaiminan juga luas karena ia menjabat sebagai Ketua Jam’iyah Ahli Thoriqoh

al-Mu’tabarrah an-Nahdhiyah.

Aktivitas Muhaiminan ini membuat Bambu Runcing masuk dalam jajaran pesantren elite di Jawa Tengah. Pesantren Kiai Parak Bambu Runcing terletak di Jalan Coyudan, Parakan, Kabupaten Temanggung. Di sini bernaung sekitar 300 santri putra dan 200 santri putri. Muhaiminan mendirikan pesantren ini ketika berusia 21 tahun, pada 1955.

Muhaiminan adalah putra KH Sumomihardo, ulama di

Temanggung yang juga sahabat kental Ketua Sarekat Islam H.O.S. Tjokroaminoto. Sumomihardo, yang punya nama kecil Raden Gunardho alias Abu Hasan, merupakan orang nomor satu Sarekat Islam di Parakan.

Sebagai putra ulama, Muhaiminan sudah mendalami ilmu agama sejak kecil. Pada usia 12 tahun, ia berguru pada ahli tarekat Syadziliyah, KH Dalhar, di Watucongol, Muntilan, Magelang. Selanjutnya Muhaiminan memperdalam ilmu agama kepada kiai terpandang di Payaman, Magelang, dan Lasem. Selesai di sini, ia melanjutkan belajar mengaji di Pesantren Bendo Pare, Kediri, lalu Tebuireng di Jombang dan Dresmo di Surabaya.

Di sela-sela memperdalam ilmu agama, Muhaiminan juga berlatih bela diri pencak silat. Setelah cukup ilmu, ia kembali ke Parakan dan mulai mengamalkan ilmunya. Ia menggelar pengajian sambil mengajar silat. Suatu ketika, keandalan silat Muhaiminan kandas saat berlatih tanding dengan H. Anwari, murid ulama Parakan, KH Nahrowi.

Muhaiminan lantas berguru kepada KH Nahrowi, seorang mursyid

Thoriqoh Qodiriyah. Ia dilatih bela diri oleh H. Anwari. Kemudian

Muhaiminan menikah dengan Jayyidah, putri Anwari. Sejak ia berguru pada Nahrowi, santri Muhaiminan semakin bertambah. Apalagi setelah Muhaiminan dibaiat menjadi Kholifah Sughro Thoriqoh Qodiriyah

Naqsabandiyah oleh KH Mandur Mujahidin Temanggung.

Beberapa waktu kemudian, Muhaiminan juga dibaiat sebagai

Kholifah Kubro Thoriqoh Syadziliyah. Makin lama jumlah santri yang

berguru pada Muhaiminan makin banyak. Kini seluruh santri menempati dua bangunan bertingkat yang memisahkan santri putra dan putri. Di sini, seluruh santri diarahkan mengkaji literatur Islam klasik, fikih, tasawuf, juga latihan pencak silat.

Ketika pemilihan presiden putaran pertama, Muhaiminan ikut memberi dukungan kepada pasangan Wiranto-Salahudin Wahid. Ia bersama sejumlah kiai dalam Forum Langitan memberikan restu kepada sejumlah kader PKB dan PBNU, di antaranya Salahudin Wahid, untuk di-pinang Wiranto. Sikap ini diambil pada pertemuan di Pondok Pesantren

Langitan pimpinan KH Abdullah Faqih di Tuban, Jawa Timur, 9 Mei 2004. Keputusan ini, seperti tausiah saat pemilu legislatif, juga dianut para santri Bambu Runcing. Hasilnya, Wiranto-Salahudin Wahid menang di sekitar TPS di pesantren. Pasangan ini meraih lebih dari separuh jumlah pemilih di Parakan tapi tak bisa mengungguli perolehan SBY-JK se-Kabupaten Temanggung. Hasil ini mengecewakan komunitas Bambu Runcing. Muhaiminan memilih netral pada pemilu presiden kedua.

Setiap aktivitas pesantren, seperti pengajian, Muhaiminan selalu menyampaikan sikap netralnya. “Tapi bagi para santri saya silakan memil-ih sesuai hati nurani,” kata Muhaiminan. Sistem pemilmemil-ihan presiden lang-sung, menurut Muhaiminan, merupakan wujud demokrasi terbaik yang pernah dianut Indonesia. “Jadi, jangan sampai salah pilih presiden,” katanya.

Agar tak salah, Muhaiminan memberikan rambu kepada pengikut-nya. Dalam ajaran Islam, kata Muhaiman, pemimpin sebuah bangsa layaknya bukan seorang wanita. “Pemimpin wanita tak akan mengun-tungkan dan kurang memadai,” ujarnya. Arahan KH Muhaiminan tentang kepemimpinan wanita seakan terbukti di lapangan. Simak baik-baik tebel berikut:

Peta Dukungan Pada Tempat Pemungutan Suara Sekitar Pesantren Bambu Runcing

Lokasi SBY-JK Mega-Hasyim Suara Pemilih Jumlah

Tak Sah Tak Hadir

TPS 22 122 (45,5%) 69 (25,7%) 28 (10,4%) 49 (18,2%) 268 TPS 23 121 (48,4%) 57 (22,8%) 32 (12,8%) 40 (16%) 250 TPS 24 161 (53,6%) 66 (22%) 24 (8%) 49 (16,3%) 300 TPS 25 162 (54%) 51 (17%) 30 (10%) 57 (19%) 300 Jumlah 566 (50,6%) 243 (21,7%) 114 (10%) 195 (17,4%) 1.118 Tarekat Moderat

Hasil pilpres putaran kedua pada empat TPS di sekitar pesantren, suara Megawati jeblok. Kebanyakan santri memilih di TPS 24 dan 25. seba-gian lagi di TPS 22 dan 23. Pada empat TPS itu, SBY meraup persentase suara 45% (TPS 22) sampai 54% (TPS 25) dari total daftar pemilih tetap.

Megawati hanya mendapat 17% (TPS 25) sampai 25% suara (TPS 22). Suara tidak sah sebesar 8% sampai 12,8%. Pemilih yang tidak mencob-los, entah golput atau alasan lain, adalah 16% sampai 19%. Bila dihitung dari suara sah, persentase kemenangan SBY lebih besar lagi, 63,8% (TPS 22) sampai 76% (TPS 25). Sebaliknya, persentase Megawati makin mengempis: 23,9% sampai 36%.

Rambu yang dipesankan KH Muhaiminan amat terngiang di benak para santri, termasuk Muhammad Muklis, saat hendak memberikan hak pilihnya di bilik suara.

BABUSSALAMLANGKAT

Tarekat Moderat

ZAMAN berganti, penguasa berubah, raja demi raja berlalu. Meneer Belanda bercokol, berganti Tuan Matahari Terbit, masa revolusi berakhir, era pembangunan lima tahun lewat, reformasi bergolak, dan kini muncul penguasa baru di republik ini. Namun ada tradisi rakyat Kampung Babussalam yang tak tergoyahkan: tidak pernah membayar pajak!

Padahal, Babussalam yang berada di Desa Besilam, Langkat, cuma sekitar 70 kilometer dari Medan, Sumatera Utara. Kenapa bisa begi-tu? Syahdan, pembebas pajak bagi rakyat Babussalam adalah Raja

Tuan Guru

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 84-92)