• Tidak ada hasil yang ditemukan

dari Sekat Mazhab

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 117-122)

Luqman Hakim Arifin, dan Mujib Rahman (Surabaya)

Demokrasi belum sepenuhnya diterapkan. Tapi sikap politik Gontor konsisten dan netral. Harmoko pernah dipaksa ganti baju.

PRO-DEMOKRASI

ramai-ramai, yang membuatnya dilarang di Gontor. Justru di tajammu’-lah Imam, yang alumnus tahun 1995, merasa banyak belajar tentang arti kebebasan dan perbedaan. “Di tengah minimnya ruang demokrasi di Gontor, tajammu’ adalah ruang yang paling mengasyikkan. Saya baru menyadarinya ketika sudah di luar,” ujar Imam.

Selain tajammu’, ruang lain yang memungkinkan santri belajar berdemokrasi adalah munaqosyah dan muhadhoroh. Munaqosyah (diskusi) diwajibkan untuk santri kelas V (setingkat SLTA kelas II), sedan-gkan muhadhoroh (latihan berpidato) diwajibkan untuk santri kelas I-IV (setingkat SLTP-SLTA kelas I). Di dua kegiatan itulah santri juga bisa bebas beradu pendapat dan argumentasi dalam tiga bahasa (Arab, Inggris, atau Indonesia).

Di luar itu, Imam menggelengkan kepala. Sebab bisa dikatakan, hampir semua kegiatan santri di Gontor sesungguhnya sangat terkontrol. Demokrasi adalah hal yang tampak jauh di sini. Jaros atau bel, yang dentingannya terdengar hampir setiap jam ke seantero Gontor, adalah per-tanda penting betapa ketat dan disiplinnya kehidupan sehari-hari santri Gontor. Dari bangun tidur, masuk kelas, salat, olahraga, belajar bersama, hingga tidur lagi!

Pendapat lebih keras disampaikan alumnus Gontor yang lain: Faisal Haq dan Anis Maftuhin. Menurut Faisal, jika ukuran demokrasi adalah kebebasan, partisipasi, dan keterbukaan, maka Gontor belum sepenuhnya melaksanakan demokrasi. “Yang ada justru budaya oligarki. Elite-elitenya saja yang main,” ucap Faisal.

Faisal mencontohkan prosesi pemilihan Ketua OPPM (Organisasi Pelajar Pondok Modern), semacam OSIS-nya santri. Menurut alumnus 1977 asal Palembang ini, pemilihan itu masih sangat ditentukan oleh “restu” pimpinan pondok (sebutan untuk kiai tertinggi di Gontor) dan bukannya suara santri sendiri —meskipun sudah ada pemilihannya. “Seharusnya itu diubah. Organisasi santri seharusnya bisa lebih demokratis,” Faisal menegaskan.

Bagi Anis Maftuhin, alumnus tahun 1996 asal Salatiga, “Tak ada demokrasi di Gontor. Yang ada hanyalah pembelajaran demokrasi”.

Tajammu’, munaqosyah, dan muhadhorah, ia menambahkan, hanyalah

saluran kecil untuk para santri belajar berdemokrasi. Karena selesai kegiatan itu, santri mesti kembali dihadapkan pada ketatnya waktu dan peraturan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Pimpinan Pondok Modern Gontor bukan tidak menyadari belum totalnya pelaksanaan demokrasi di Gontor ini. KH Imam Badri, salah seo-rang dari tiga pimpinan pondok, beralasan: “Demokrasi dalam alam pen-didikan sulitlah disamakan dengan demokrasi di alam bebas.” Sebabnya, santri masih belajar berdemokrasi dan sedang dalam pendidikan. Sehingga perlu dipandu dan diarahkan ke rel Al-Quran dan sunah.

Pendapat itu bukan tanpa eksperimen. Pada 1950-an hingga 1960-an, santri Gontor ternyata pernah menerapkan “demokrasi liberal” dengan memilih langsung Ketua OPPM-nya. “Semuanya memilih. Anak-anak... berjejer, memasukkan suara ke kotak suara. Sore langsung diu-mumkan. Wah, rame...” kenang KH Hasan Abdullah Sahal, seorang pim-pinan pondok yang lain.

Lalu, kenapa sekarang berubah? Jawab Ustad Hasan, demikian panggilan akrab KH Hasan Abdullah Sahal, “Karena disalahgunakan. Terjadi grup-grupan (antarsantri) dan itu merusak pendidikan.”

Menurut Ustad Hasan, Gontor melaksanakan demokrasi dengan cara dan cirinya sendiri. “Kata ‘demokrasi’ itu ‘dicarai’ Gontor dan ‘dicirii’ Gontor. Cara-cara dan ciri-ciri demokrasi di Gontor tidak sama dengan yang ada di luar,” ia menjelaskan.

Contohnya bagaimana Gontor menetapkan pimpinan pon-doknya. Jika di pondok pesantren lain posisi kiai sebagian besar bersifat keturunan, di Gontor, orang bukan keturunan pendiri pun bisa mendu-duki posisi pimpinan pondok. Syaratnya, asal dipilih dan disetujui oleh Badan Wakaf Pondok Modern “Darussalam” Gontor. KH Shoiman Luqmanul Hakim (almarhum) dan KH Imam Badri adalah dua pimpinan

pondok yang bukan keturunan pendiri.

Badan Wakaf adalah majelis tertinggi di Gontor yang berdiri sejak pondok yang didirikan oleh Trimurti (KH Abdullah Sahal, KH Zainuddin Fannani, dan KH Imam Zarkasyi) ini diwakafkan kepada umat Islam pada 1958. Tugas Badan Wakaf mirip MPR pada zaman Orde Baru. Salah satu-nya, memilih pimpinan pondok sekaligus meminta pertanggungjawaban-nya setiap lima tahun. “Pemilihan dilakukan dengan cara musyawarah mufakat,” kata Ustad Ma`ruf C.H., seorang guru senior.

Lain di santri, lain pula Gontor menyikapi demokrasi dari luar. Meski secara praktis dan teoretis “demokrasi” belum sepenuhnya diterap-kan. Sikap pondok yang dihuni 4.500 santri ini terhadap proses dan pelak-sanaan demokrasi di Indonesia sangat konsisten dan netral. Tak pernah ada cerita Gontor atau pimpinan pondoknya melarang santri dan gurunya untuk mengikuti pemilu. Atau sebaliknya, meminta santri dan gurunya memilih partai atau capres tertentu.

Dalam Pemilu 2004, para santri dan guru bebas mempunyai pen-dapat dan pilihannya sendiri-sendiri. “Tidak ada instruksi atau wejangan khusus dari atas. Kami memilih sesuai hati nurani sendiri,” ujar Alwani, 24 tahun, seorang guru di Gontor. Pada pilpres 20 September 2004, di Desa Gontor, SBY meraih 84% (1.690 suara), sedangkan Megawati mendapat 16% (333 suara).

Gontor juga tidak pernah terlibat aktif dalam partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan tertentu. “Sikap kami dari dulu tetap sama: netral!” KH Imam Badri menegaskan. “Godaan politik tentu saja ada, namun kami tak mau merusak citra yang sudah kami bangun puluhan tahun,” ia menambahkan.

Berdiri sejak 1926, Gontor punya prinsip: “Berdiri di atas dan untuk semua golongan”. Artinya, dalam konteks sosial-politik-agama, Gontor tak mau terkotak-kotak pada satu mazhab, aliran, dalam Islam ataupun partai tertentu. “Di sini tak ada pemisahan Muhammadiyah, NU, atau yang lain. Apalagi partai tertentu,” ujar Imam Badri.

Akibatnya, bukan hal yang mengejutkan jika dalam pelaksanaan Pemilu 2004, situasi pondok yang telah melahirkan tokoh-tokoh penting negeri ini —sebut saja KH Idham Cholid, Nurcholish Madjid, Hasyim Muzadi, Emha Ainun Nadjib, Hidayat Nur Wahid, Abu Bakar Ba’asyir, dan Din Syamsuddin—ini berlangsung biasa-biasa saja. “Seperti nggak ada apa-apa,” kata Alwani, bujang asal Lampung itu.

Sikap “berdiri di atas dan untuk semua golongan” pula yang menyebabkan Gontor sering dikunjungi tokoh-tokoh politik nasional. Tak terhitung berapa banyak. Tapi bisa dikatakan, hampir semua Presiden RI dan capres-capres pada Pemilu 2004 pernah datang ke Gontor. Syaratnya satu, ujar Imam Badri, yang bersangkutan harus melepas atribut politik partai atau organisasinya.

Harmoko, mantan Menteri Penerangan RI, hampir pernah dila-rang masuk Gontor pada 1992 karena mengenakan baju batik bermotif lambang Golkar. Ketika sampai Ponorogo, Harmoko diinformasikan men-genakan baju Golkar kebesarannya. Pimpinan pondok yang tahu hal itu segera menghubungi pihak Harmoko, dan memberikan pilihan: melepas baju Golkar atau membatalkan saja kunjungan ke Gontor? Harmoko pun akhirnya mengganti baju “Golkar” kebesarannya.

KOLOM

PEMILIHAN umum yang panjang dan melelahkan di Tanah Air sepanjang tujuh bulan pada 2004 berakhir sudah. Banyak pihak, baik di dalam maupun luar negeri, terkesima melihat pemilu yang berlangsung aman, damai, dan lancar. Tanpa setetes darah pun tertumpah. Pemilihan presiden putaran pertama dan kedua sangat istimewa karena merupakan pemilihan presiden lang-sung pertama di negara ini. Selain berlanglang-sung aman-damai dan menghasilkan kepemimpinan nasional baru, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, masih terdapat sejumlah perkem-bangan transformatif yang patut mendapat perhatian.

Pengalaman Indonesia dengan demokrasi yang lebih

ge-nuine dan otentik bisa dipastikan telah memasuki tahapan baru:

tahap konsolidasi yang lebih menjanjikan. Sejak 1998, bibit demokrasi telah berkecambah sangat cepat di Tanah Air. Sebagian orang menyebutnya “kebablasan”. Bahkan banyak yang mence-maskan munculnya gejala mobokrasi dan oligarki politik. Ternyata kecemasan itu tidak terbukti. Sebaliknya, melalui Pemilu 2004 — baik pemilihan legislatif maupun presiden— demokrasi kelihatan

Konsolidasi Demokrasi

Dalam dokumen Hajatan Demokrasi (Halaman 117-122)