• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjelasan Ringkas

1. Penyiksaan dan Tindakan Sewenang-wenang

Upaya – upaya untuk melakukan pencegahan penyiksaan dan tindakan-tindakan lain yang merendahkan martabat manusia telah lama diperjuangkan, karena pada dasarnya hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang tidak dapat dicabut atau dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Penyiksaan merupakan perbuatan yang dilarang dalam hukum internasional.

Sebagaimana disebutkan dalam pengantar modul ini bahwa Konvensi Internasional Hak

Sipil dan Politik – yang telah diratiikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 – pada Pasal 7 menyatakan “tidak seorangpun dapat dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, dan tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Khususnya, tidak seorangpun dapat djadikan objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuannya”. Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 33 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Dengan demikian, maka setiap warga negara berhak untuk tidak disiksa dan atau tidak mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Mengingat pentingya hak atas bebas dari penyiksaan yang termuat dalam peraturan tersebut diatas, hal ini tentunya berlaku pula bagi individu yang dikurangi atau dirampas kebebasannya.

Hak untuk bebas dari penyiksaan merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights) yang juga djamin dalam UUD 1945.

Orang yang dirampas kebebasannya baik sebelum maupun sesudah persidangan - atau

bahkan tanpa persidangan sekalipun - seringkali disiksa atau diperlakukan secara buruk untuk memaksa mereka mengakui kejahatan atau membocorkan informasi, atau membuat

mereka takut dan mengikuti permintaan – permintaan penyiksa41. Hingga akhirnya upaya perlindungan kepada individu yang dirampas kebebasannya melahirkan berbagai instrumen yang tersebut diatas.

2. Deinisi Penyiksaan

Konvensi Anti Penyiksaan pada Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku.

Penyiksaan adalah setiap tindakan yang padanya mengakibatkan penderitaan isik dan

mental yang ditujukan secara khusus pada seseorang, selain itu melekat di dalamnya dan sengaja dilakukan sebagai hukuman bagi pelanggaran hukum42. Sedangkan tindakan yang menyakitkan (ill treatment) diartikan sebagai tindakan lainnya yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan yang bukan merupakan penyiksaan.

3. Elemen Penyiksaan

Komentar Umum 7 Konvensi Anti Penyiksaan menyebutkan bahwa dalam kaitannya dengan Konvensi Anti Penyiksaan, maka penyiksaan dapat dipahami sebagai penggunaan

metode terhadap seseorang yang dimaksudkan untuk menghancurkan kepribadian korban

atau melemahkan kapasitas isik atau mentalnya, bahkan jika mereka tidak mengakibatkan kesakitan isik atau mental43. Namun yang utama dari penyiksaan yang harus dipahami dalam konteks konvensi ini adalah tujuan dari tindakan penyiksaan itu sendiri yang umumnya merupakan sebuah tindakan yang dilakukan untuk tujuan investigasi kejahatan, sebagai sebuah alat intimidasi, sebagai hukuman personal, sebagai tindakan preventif, sebagai hukuman atau tujuan lainnya. Tindakan ini secara sengaja dilakukan melalui

kesakitan atau penderitaan isik dan mental pada seseorang.

Tiga elemen penting yang diperoleh dari deinisi Konvensi Anti Penyiksaan diatas, yang dapat djadikan dasar untuk melihat bentuk-bentuk penyiksaan dan perbuatan sewenang-

41 Seri Pelatihan Professional No. 3 Hak Asasi Manusia dan Penahanan Pra Sidang p.5

42 Human Rights and Prisons: Manual on Human Rights Training for Prison Oicials, OHCHR, 2005 43 Monitoring Tempat – Tempat Penahanan: Sebuah Panduan Praktis, Jakarta: Elsam, 2007

wenang adalah sebagai berikut44:

 Penderitaan mental yang hebat atau kesakitan atau penderitaan isik;  Dengan izin atau persetujuan dari pejabat Negara yang berwenang;

 Untuk tujuan tertentu, seperti memperoleh informasi, hukuman atau intimidasi

4. Bentuk-bentuk Penyiksaan

Pada praktiknya penyiksaan dapat berupa mental atau isik dan dapat memiliki bentuk

yang berbeda-beda. Diantara bentuk-bentuk tersebut ada yang dapat dideteksi dengan segera sebagai praktik penyiksaan, namun adapula praktik yang sulit dideteksi namun berakibat penghancuran keseimbangan psikis dari mereka yang dirampas kebebasannya.

Praktik ini sangat berbahaya karena tahanan akan sangat biasa sehingga tidak mampu

merasakan sedang berada dalam praktik penyiksaan.

Berikut contoh dari bentuk penyiksaan tersebut:

1. Bentuk penyiksaan yang kasat mata dan mudah dideteksi antara lain;

Sengatan listrik, pemukulan di atas telapak kaki, penggantungan dengan posisi yang menyakitkan, pemukulan, pemerkosaan, pengurangan oksigen, penyundutan rokok, pengurangan makanan, pengurangan tidur, pengurangan komunikasi, intimidasi, penghukuman mati pura-pura (mock execution)

2. Bentuk penyiksaan yang selain berdampak isik namun juga psikis antara lain :

pelecehan seksual dan perkosaan

3. Bentuk penyiksaan yang bersifat subliminal antara lain:

 Secara sistematis mengabaikan suatu permintaan sampai permintaan itu diulang beberapa kali

 Memperlakukan orang yang dirampas kebebasannya tersebut dengan berbicara kepada mereka seolah-olah mereka seorang anak kecil

 Tidak pernah melihat mata para tahanan secara langsung

 Memasuki sel tahanan secara tiba-tiba tanpa alasan

 Menciptakan suasana curiga diantara para tahanan

 Mengizinkan meninggalkan aturan untuk suatu hari dan menghukum mereka dihari lain

Bentuk penyiksaan sebagaimana disebutkan di atas memperjelas tindakan yang wajib dihindari oleh aparat penegak hukum karena sangat bertentangan dengan Hak Asasi

Manusia. Pelapor Khusus PBB untuk tema Penyiksaan dan Bentuk Tindakan atau Hukuman

lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Manfred Nowak dalam laporannya45 mengatakan Perundang undangan Indonesia tidak menyebutkan adanya tindak penyiksaan, yang tersedia adalah tindak penganiayaan yang termuat pada

Pasal 351 – 358 Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

Hal yang sangat membedakan antara penyiksaan dan penganiayaan adalah tidak adanya elemen tujuan, penderitaan atau rasa sakit pada mental, dan pelaku. Menurut Nowak, pelaku tindak penyiksaan harus mendapatkan hukuman yang tepat jika telah mengakibatkan penderitaan atau rasa sakit pada mental. Utamanya jika tindakan tersebut dilakukan pada orang yang tidak memiliki kekuasaan, yaitu tahanan.

Dibawah ini tabel yang menggambarkan unsur yang membedakan antara tindak

penyiksaan berdasarkan Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) dan Pasal 351 – 358 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)

Unsur – Unsur Konvensi Anti Penyiksaan KUHP

Penyiksaan Penganiayaan

(Pasal 1 ) (Pasal 351 – 358)

Niat Dilakukan dengan Sengaja Dilakukan dengan sengaja

Tujuan 1. Untuk mendapatkan keterangan/

pengakuan

2. Sebagai alat penghukuman

3. Sebagai alat intimidasi/pemaksaan 4. Dengan alasan diskriminasi

Pelaku 1. Pejabat yang berwenang

2. Seseorang yang dianggap resmi (suruhan pejabat)

3. Sepengetahuan Pejabat/pihak

berwenang

Tidak spesiik, berlaku untuk

semua orang.

Dampak 1. Menimbulkan penderitaan atau rasa

sakit yang hebat pada jasmani 2. Menimbulkan penderitaan atau rasa

sakit yang hebat pada mental

1. Luka isik ( Luka berat dan

ringan)

2. Sengaja untuk merusak kesehatan

3. Mengakibatkan kematian

Tabel diatas menunjukkan bahwa KUHP lebih menekankan pada dampak yang diakibatkan

45 Report of the Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman, or degrading treatment, or punishment, , Manfred Nowak. Addendum Mission to Indonesia. Report to General Assembly, Human Rights Council (A/HRC/7/3/ Add.7) 10 March 2008

dari tindak penganiayaan, khususnya dampak isik. Sementara dampak yang bersifat mental tidak tercermin dalam KUHP. Sedangkan Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan jelas

menyebutkan dampak mental masuk ke dalam kategori penyiksaan.

Nowak dalam rekomendasinya menyarankan Pemerintah Indonesia untuk segera membuat

peraturan perundang undangan yang memuat penyiksaan sebagai bentuk tindak pidana

sebagaimana tercermin dalam Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan. Hal serupa disampaikan oleh Komite Menentang Penyiksaan dalam rekomendasinya yang meminta pemerintah Indonesia untuk segera memasukkan deinisi penyiksaan sesuai Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan dalam hukum pidana. Komite juga merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk segera mensyahkan Rancangan Undang-Undang KUHP dan mengesahkan sebuah

rancangan undang-undang khusus tentang penyiksaan46. Dari rekomendasi ini perlu adanya upaya pemerintah untuk melarang tindak penyiksaan dengan menjadikannya sebagai tindak pidana dan memberikan hukuman melalui perundang – undangan nasional.

Kegiatan 3 Penanganan bagi Tahanan dan Narapidana

Tujuan

1. Peserta mengetahui siapa saja yang termasuk dalam kelompok orang yang

dirampas kebebasannya;

2. Peserta memahami hak-hak orang yang dirampas kebebasannya;

3. Peserta memahami instrumen internasional yang menjamin perlindungan hak

tahanan dan narapidana dan bagaimana penerapannya dalam hukum nasional

Waktu

180 Menit

Deskripsi

10 menit

Bagian A

Pengantar Fasilitator

1. Fasilitator menjelaskan tujuan kegiatan dan capaian yang diharapkan dalam kegiatan ini;

2. Fasiliator menjelaskan langkah-langkah fasilitasi

46 Kesimpulan Komtie Anti Peyiksaan Observasi Untuk Indonesia , Sesi ke – 40 Pembahasan Terhadap Laporan – Laporan yang disampaikan Oleh Negara – Negara Pihak Berdasarkan Pasal 19 Konvensi Anti Penyiksaan. (CAT/C/IDN/CO/2) 16 Mei 2008