• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak untuk Diperlakukan Manusiawi dan Bebas dari Penyiksaan

c Surat Menyurat (Korespondensi)

4. Hak untuk Diperlakukan Manusiawi dan Bebas dari Penyiksaan

Larangan untuk melakukan penyiksaan djamin dalam UUD 1945 dalam Pasal 28G

yang menyatakan setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain,

dan Pasal 28I yang menyatakan, “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Hal ini berarti bahwa orang- orang yang ditangkap, ditahan, atau dalam kekuasaan polisi atau otoritas penegak hukum lainnya untuk tujuan introgasi atas tindakan kejahatan yang dituduhkan, apakah sebagai tersangka atau saksi, mempunyai hak untuk selalu diperlakuan dengan manusiawi dan

tidak djadikan subjek kekerasan psikis maupun isik, ancaman atau intimidasi.

Hal ini juga ditegaskan dalam beberapa peraturan lainnya, seperti UU No. 39 tahun 1999

menyatakan bahwa; dalam Pasal 4 hak untuk tidak disiksa adalah hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Pasal 33, Setiap orang

berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak

manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Pasal 34 menyatakan

setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.

Larangan penyiksaan juga terdapat dalam berbagai UU lainnya diantaranya UU No. 5

Tahun 1998 tentang Ratiikasi Konvensi Internasional Anti Penyiksaan. Dengan ratiikasi

ini, mewajibkan adanya tindakan Negara untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat lainnya. Khusus untuk fungsi kepolisian dalam penyelidikan, dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. UU Kepolisian ini menjelaskan tentang begitu pentingnya perlindungan dan pemajuan

Hak Asasi Manusia karena menyangkut harkat dan martabat manusia, dimana Negara Republik Indonesia telah membentuk undang- undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang

ratiikasi Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang

kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Maka, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang-Undang di atas. Di samping memperhatikan Hak Asasi Manusia dalam setiap melaksanakan tugas dan wewenangnya, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib pula memperhatikan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya, antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Pada tahun 2009, Kepolisian mengeluarkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian

Negara Republik Indonesia yang dimaksudkan sebagai pedoman dasar bagi implementasi

prinsip dan standar Hak Asasi Manusia dalam setiap penyelenggaraan tugas Polri

dan menjelaskan prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia agar mudah dipahami oleh

seluruh anggota Polri dari tingkat terendah sampai yang tertinggi dalam pelaksanaan tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia. Dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa setiap

orang berhak untuk tidak disiksa yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam

kondisi apapun. Pasal 10 (e) juga terdapat larangan untuk mentolerir tindakan penyiksaan, Pasal 11 (b) dimana setiap anggota kepolisian dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan. Sementara Pasal 13 ayat (1)

dinyatakan dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan setiap anggota kepolisian dilarang

melakukan intimidasi, ancaman, siksaan isik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan

informasi, keterangan atau pengakuan.

Berdasarkan ketentuan KUHAP, Pasal 7 ayat (3) terkait dengan kewajiban seorang

penyidik, kewenangan yang diberikan dalam rangka penyidikan wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan aparat yang berwenang tidak diperbolehkan melakukan penyiksaan atau

tindakan lainnya yang mempunyi dampak yang sama. Perlindungan terhadap hak ini djamin dalam ketentuan KUHAP diantaranya hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik (Pasal 52). Pemeriksaan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat 2).

Dalam hukum Hak Asasi Manusia internasional, orang-orang yang dikurangi kebebasannya dalam konteks penyelidikan/penyidikan pidana mempunyai hak untuk bebas dari

penyiksaan, perlakuan dan penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi yang djamin dalam hampir semua perjanjian diantaranya Pasal 7 Kovenan Internasional Hak Sipil dan

Politik, Pasal 4 Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Penduduk, dan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika, Pasal 3 Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa, yang tidak menyebutkan istilah “kejam (cruel)”; dan Pasal 4 Deklarasi Umum Hak Asasi

Manusia.

Dalam berbagai instrumen, hak-hak ini dikuatkan, untuk orang-orang yang dikurangi kebebasannya, dengan hak untuk diperlakuan manusiawi dan menghormati martabat

manusia (Pasal 10 ayat (1) Kovenan; Pasal 5 ayat (2) Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika).

Kecenderungan tingkat praktik penyiksaan, dimana tidak ada negara yang bebas dari

tindakan penyiksaan ini, berbagai perjanjian tersebut dimaksudkan secara eisien untuk

memajukan penghapusan praktik yang tidak sah.

Hak-hak orang-orang selama penyelidikan juga diatur dalam Pasal 55 Statuta untuk ICC. Pasal 55 ayat (1) (b) menyatakan bahwa “seorang dalam proses penyelidikan harus tidak boleh menjadi subjek setiap pemaksaan, ancaman, penyiksaan atau bentuk lain dari penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat”. Dalam penyelidikan pidana dan proses yudisial, larangan penyiksaan dan tidak dapat dikurangi atau perlakuan atau penghukuman lain yang tidak manusiawi secara universal yang harus dihormati pada setiap saat, tanpa pengecualian meskipun dalam situasi yang paling mengerikan

sekalipun. Penggunaan setiap pengakuan yang didapatkan dari ancaman adalah tidak sah

berdasarkan hukum Hak Asasi Manusia internasional. Hal ini khususnya telah dinyatakan

dalam Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam,

Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Lainnya.

Instrumen etika juga telah disusun yang ditujukan untuk kelompok profesi yang terlibat

dalam penyelidikan/penyidikan kasus pidana. Pada tahun 1979, Kode Perilaku untuk Petugas Penegak Hukum menyebutkan diantaranya dalam Pasal 5 bahwa tidak ada

penegakan hukum yang bisa mengakibatkan, mendorong atau mentoleransi setiap tindakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi

atau merendahkan martabat. Panduan tentang Peranan Penuntut Umum Tahun 1990 berisi aturan yang penting berikut ini: Pasal 16 Ketika penuntut memiliki bukti terhadap

tersangka yang mereka ketahui atau percayai berdasarkan dugaan kuat diambil dari proses yang menggunakan metode yang melanggar hukum, yang merupakan suatu pelanggaran berat hak asasi tersangka/terdakwa, khususnya terkait adanya penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, atau menggunakan cara-cara/metode lainnya selain itu, mereka harus menolak menggunakan bukti-bukti tersebut terhadap setiap orang yang mengalami metode-metode itu, atau memberitahukan ke pengadilan dengan cepat, dan harus melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa orang-orang yang bertanggungjawab melakukan

Pasal 55 ayat (1) ( c) Statuta untuk ICC menyatakan bahwa salah satu tugas dari penuntut umum dalam penyelidikan adalah untuk “menghormati penuh hak-hak orang yang diatur dalam Statuta ini”, yang artinya, diantaranya, hak yang secara jelas dalam Pasal 55 ayat

(1) ( c) terkait dengan larangan untuk melakukan ancaman atau penyiksaan. Kemudian,

sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan paragraf 7 Prinsip-Prinsip Dasar Kemandirian Kekuasaan Kehakiman PBB Tahun 1985, “hakim dibebani dengan keputusan inal atas kehidupan, kebebasan, hak-hak, kewajiban dan hak milik warga negara”, dan juga kewajiban para hakim untuk waspada atas semua indikasi tindakan yang salah atau ancaman atas semua bentuk yang mungkin telah dilakukan dalam pelaksanaan penyelidikan pidana dan pengurangan kebebasan, dan untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan ketika menghadapi suatu dugaan adanya tindakan yang salah.

Para hakim, penuntut umum dan advokat harus secara khusus waspada terhadap setiap

indikasi adanya penyiksaan, termasuk pemerkosaan, atau bentuk lain dari pelecehan seksual dan perlakuan yang menyakitkan terhadap perempuan dan anak di tempat

penahanan. Penyiksaan dan tindakan yang menyakitkan terhadap kelompok-kelompok

yang rentan tersebut ketika berada dalam tangan petugas kepolisian dan petugas penjara banyak terjadi di berbagai negara, dan agar mengakhiri praktik-praktik yang illegal/tidak tersebut, diperlukan bagi setiap penegak hukum setiap saat untuk berperan aktif dalam

mencegah, menginvestigasi dan menghukum. Penyiksaan dan bantuk lain dari perlakuan

yang menyakitkan dilarang dalam semua tahap, termasuk selama penyelidikan pidana, dan

tidak pernah dapat djustiikasi/menjadi sah, tindakan-tindakan tersebut harus dicegah,

diselidiki dan dihukum. Hakim, penuntut umum dan pengacara harus secara khusus waspada atas semua indikasi penyiksaan atau tindakan yang kejam terhadap wanita dan anak-anak dalam tahanan.