Marty 20 tahun, warga Distrik Muara Tami Kota Jayapura, pada malam tanggal 19 Februari 2011 sekira pukul 11.00 sedang berkendara sepeda motor di jalan utama Jl. Ahmad Yani Kota Jayapura tiba-tiba dari sebelah samping kirinya muncul motor dengan kecepatan tinggi
hampir menyerempetnya dari belakang. Kontan Marty terkejut dan relek membanting
motornya ke kanan, hampir saja Marty tertabrak oleh mobil pick up yang melaju kencang di jalur kanan. Karena kaget dan merasa jengkel, Marty mengumpat dengan bentakan yang
keras “anjing!!”, dan mengejar si pengendara motor yang diketahui bernama Hari, 22 tahun.
Aksi kejar-kejaran berakhir di kampung Baru di ujung lapangan basket yang merupakan tempat Hari dan kelompoknya berkumpul. Sesampainya di lokasi (lapangan bola) tersebut, terjadilah peristiwa pengeroyokan yang dilakukan oleh Hari dkk. (berlima).
Marty yang tidak menduga akan berhadapan dengan lima orang (Hari dkk), langsung
disambut dengan pukulan bertubi-tubi oleh Hari, Fathur, Amril, Anto, dan Pramono (mereka
berempat adalah teman kuliah Hari). Marty roboh tak sadarkan diri karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh Hari dkk. Beruntung banyak orang yang menyaksikan peristiwa tersebut, kebetulan setiap malam Minggu lokasi tersebut menjadi tempat anak muda berkumpul. Dalam kondisi tidak sadar tubuh Marty langsung dibawa ke Rumah Sakit Kasih Bunda. Setelah dirawat di rumah sakit selama dua hari, Marty baru bisa memberikan keterangan
kepada petugas Polres Jayapura siapa pelaku penganiayaan kepada dirinya. Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polresta Jayapura, Hari dkk. telah cukup
bukti diduga melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan di muka
umum terhadap Marty, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP, dengan ancaman
pidana penjara maksimal selama lima tahun enam bulan (ayat (1)), tujuh tahun apabila mengakibatkan sesuatu luka (ayat (1. e)), sembilan tahun jika menyebabkan luka berat (ayat (2. e)) dan dua belas tahun jika mengakibatkan matinya orang (ayat (3. e)).
Pada tanggal 22 Februari 2011, Hari dkk resmi ditangkap oleh penyidik Sat Reskrim Polresta Jayapura yang dilanjutkan dengan penahanan mulai tanggal 23 Februari 2011. Penahanan
terhadap Hari ditangguhkan pada 25 Februari 2011 atas permintaan dan jaminan dari keluarga Hari, dengan pertimbangan Hari masih kuliah dan sedang menempuh tugas akhir di salah satu perguruan tinggi di Jayapura. Sedangkan keeempat pelaku lainnya (Fathur,
Amril, Anto, dan Pramono) tetap ditahan, meskipun telah diajukan oleh masing-masing keluarganya penangguhan penahanannya. Ayah Hari adalah Ketua DPRD dan merupakan
pengusaha yang mempunyai nama besar di Jayapura. Keluarga Marty yang merupakan pemimpin adat di Jayapura meminta dan bersikukuh agar proses penyelesaian masalah hukum tersebut melalui pengadilan adat berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otsus bagi Provinsi Papua, Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001, dan Perdasus Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua.
Sementara itu dari pihak Hari tidak menghendaki adanya penyelesaian menurut hukum adat sebagaimana diminta oleh keluarga Marty. Keluarga Hari bersedia memberikan ganti rugi biaya perawatan di rumah sakit yang telah dikeluarkan oleh keluarga Marty namun tidak melalui prosedur penyelesesaian masalah di pengadilan adat. Sementara itu dari segi berkas dari penyidik telah memenuhi kelengkapan sesuai persyaratan suatu berkas telah
dinyatakan lengkap P21.
Pertanyaan Kunci :
1. Yuridiksi hukum mana yang paling tepat menurut Bapak/ Ibu untuk memecahkan permasalahan hukum tersebut diatas? Berikan alasannya.
2. Mohon djelaskan konteks pelanggaaran prinsip persamaan dan non diskriminasi
dalam studi kasus tersebut?
3. Pada hal apa proses hukum dalam studi kasus tersebut yang melanggar prinsip
kemandirian peradilan dan peradilan yang adil dan tidak memihak?
4. Menurut Bapak/ Ibu hambatan-hambatan apa saja yang menyebabkan prinsip-prinsip tersebut sulit diwujudkan dalam praktik penegakkan hukum?
Penjelasan Ringkas
1. Prinsip-Prinsip Pokok Peradilan
Kemandirian Peradilan
Pentingnya kemandirian kekuasaan kehakiman dan kemandirian aparat penegak hukum
dalam menjamin penegakkan hukum dan Hak Asasi Manusia ini kemudian memunculkan berbagai prinsip dan standar yang dibangun dalam sistem hukum Hak Asasi Manusia
internasional. Beberapa instrumen penting yang patut untuk djadikan acuan bagi aparat
penegak hukum dalam menjalankan peran dan fungsinya adalah instrumen-instrumen yang dikategorikan sebagai sot law, seperti : Kode Etik bagi Aparatur Penegak Hukum, Prinsip-
prinsip Dasar tentang Kemerdekaan Peradilan, Prinsip-prinsip Dasar Peranan Jaksa, dan Prinsip-prinsip Dasar Peranan Pengacara. Keempat instrumen tersebut terkait erat dengan
fungsi badan-badan peradilan terkait dalam menjalankan kewenangannya untuk penanganan suatu perkara yang melalui proses peradilan.
Berdasarkan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dalam bagian menimbang menunjukkan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan masyarakat. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, oleh karenanya
kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya secara mandiri, jaksa mendapatkan perlindungan sebagaimana merujuk pada Guidelines on the Role of Prosecutors
dan International Association of Prosecutors yaitu negara yang menjamin bahwa jaksa sanggup untuk menjalankan profesi mereka tanpa intimidasi, gangguan, godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum diuji kebenarannya baik terhadap pertanggungjawaban perdata, pidana, maupun pertanggungjawaban lainnya.
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mandiri merupakan salah satu bentuk upaya dan tujuan dari institusi kepolisian. Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, terdapat berbagai ketentuan yang menunjukkan tujuan untuk mencapai Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri. Landasan tentang kemandirian anggota kepolisian dalam konteks penegakkan hukum, yang dimandatkan untuk mengikuti sejumlah UU
misalnya KUHAP juga diperkuat dengan adanya kode etik profesi kepolisian, misalnya Kode Etik Profesi Kepolisian yang dikeluarkan dengan Surat Keputusan Kapolri tanggal 1 Juli 2003.
Dalam kode etik tersebut dinyatakan bahwa etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam
rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia mengikat secara moral, sikap dan perilaku setiap
anggota Polri. Pada tahun 2006 muncul Peraturan Kapolri No. 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian RI. Pada tahun 2009, Kapolri mengeluarkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Peraturan tersebut diatur prinsip-
prinsip dan standar Hak Asasi Manusia, yang mencerminkan sejumlah pedoman bagi setiap anggota kepolisian yang menegaskan kembali kemandirian Kepolisian Republik Indonesia.
Pasal 8 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa pelaksanaan pembimbingan, pembinaan dan pembinaan dalam Sistem Pemasyarakatan dilakukan oleh petugas fungsional khusus, yaitu petugas Pemasyarakatan. Dalam tugas dan fungsi yang diperintahkan Undang-undang tentang Pemasyarakatan dan KUHAP
petugas pemasyarakatan terlibat dalam penegakan hukum, mulai dari proses/tahap penyidikan, penuntutan, proses pemeriksaan di sidang pengadilan, dan paska putusan pengadilan. Dalam kerangka pelaksanaan tugas dan fungsinya sesuai dengan perintah
undang-undang Petugas Pemasyarakatan wajib berpegangan pada prinsip-prinsip
kemandirian berdasarkan kewenangan yang dimilikinya untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab profesinya. Selain berpedoman pada Undang-undang tentang
Pemasyarakatan dan hukum acara pidana yang berlaku, Petugas Pemasyarakatan juga
merujuk instrumen mengenai standar minimum (SMR) bagi pelaksanaan pemidanaan bagi narapidana di Lapas. Untuk menjalankan tugas sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan undang-undang maupun standar minimum tersebut diperlukan kemandirian petugas pemasyarakatan.
Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan bahwa Advokat
berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang djamin oleh hukum dan
peraturan perundang-undangan. Maksud dari advokat berstatus sebagai penegak hukum adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kemandirian dan kemerdekaan advokat ini dinyatakan bahwa Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Kebebasan tersebut bermakna bahwa tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Kode Etik Bagi Aparatur Penegak Hukum (UN Code of Conduct for Law Enforcement Oicials)
disahkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 34/ 169 17 Desember 1979, dibentuk untuk
memberikan standar perilaku aparat penegak hukum untuk menghormati prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan melaksanakannya dalam tugas kesehariannya. Standar yang dirumuskan dalam kode etik bagi aparatur penegak hukum tersebut, pada prinsipnya telah dimuat dalam rumusan-rumusan kode etik disiplin di masing-masing aparat penegak hukum, seperti hakim, jaksa, polisi, petugas pemasyarakatan, serta advokat.