• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Hak Asasi Perempuan: Persamaan dan Non-Diskriminas

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah instrumen hukum internasional pertama yang dengan tegas

menegaskan kesamaan hak laki-laki dan perempuan dan memasukkan jenis kelamin sebagai salah satu dasar larangan diskriminasi (bersama dengan ras, bahasa dan agama). Jaminan ini diulangi dalam

Pernyataan Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), yang diadopsi oleh Majelis Umum pada tahun 1948. Sejak saat itu, persamaan hak untuk perempuan diperbaiki dan

diperluas dalam banyak traktat Hak Asasi Manusia internasional – terutama sekali ICCPR dan ICESCR.

Hak yang tercantum dalam kedua instrumen ini berlaku sepenuhnya terhadap perempuan maupun

laki-laki = seperti hak-hak dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Non-diskriminasi atas dasar kelamin juga tercantum dalam Kovenan tentang Hak-hak Anak dan dalam setiap traktat hak-hak asasi manusia regional (ACHPR, Pasal 2; ACHR, Pasal 1’ ECHR, Pasal 14)

Lalu mengapa perlu ada pemikiran untuk mengembangkan instrumen hukum bagi perempuan yang terpisah ? Sarana-sarana tambahan untuk hak asasi perempuan tampaknya diperluakan karena fakta

“kemanusiaan” mereka saja tidak cukup untuk menjamin perlindungan perempuan atas hak-hak mereka. Sebagaimana djelaskan pembukaan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, perempuan masih tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki dan diskriminasi

terhadap perempuan terus berlangsung dalam berbagai masyarakat. Konvensi diterima oleh Majelis

Umum Perserikatan Bangsa-bangasa dalam tahun 1979 dan berlaku dalam tahun 1981. Pasal 1 menyatakan

bahwa:

pengertian ‘diskriminasi terhadap perempuan’ berarti setiap pembedaan, pengecualian atau pembatasan yang dibuat dasar kelamin yang memiliki akibat atau tujuan yang tidak adil atau membatalkan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak-hak asasi dan kebebasan dasar manusia dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil atau bidang-bidang lainnya, atas dasar persamaan laki-laki dan perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka”.

Konvensi pengukuhan dan memperluas ketentuan-ketentuan instrument hukum internasional yang berlaku yang dimaksudkan untuk memberantas berlanjutnya diskriminasi terhadap perempuan.

Konvensi mengidentiikasi banyak bidang tempat adanya diskriminasi luar biasa terhadap perempuan,

misalnya yang berkaitan dengan hak-hak politik, perkawinan dan keluarga, serta pekerjaan. Dalam

bidang-bidang ini dan jajaran bidang-bidang lainnya, Konvensi menetapkan tujuan spesiik dan tindakan

Terciptanya masyarakat global yang di dalamnya perempuan memperoleh persamaan sepenuhnya

dengan laki-laki dan oleh karena itu perwujudan sepenuhnya atas manusia yang djamin kepada mereka.

Negara-negara peserta juga diharuskan untuk mengakui pentingnya sumbangan ekonomi dan social perempuan terhadap keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Konvensi menekankan bahwa diskriminasi akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran. Konvensi juga mengakui perlunya tanggung jawab dalam sikap, melalui pendidikan laki-laki dan perempuan untuk menerima persamaan hak dan mengatasi prasangka dan praktik yang didasarkan pada peranan stereotype tersebut. Ciri Konvensi terpenting lainnya adalah pengakuan secara tegas akan perlunya persamaan sesungguhnya (yakni persamaan dalam kenyataan, bukan sekedar persamaan dalam hukum) – dan perlunya tindakan khusus temporer untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak sperti traktat-traktat Hak Asasi Manusia utama

lainnya, Konvensi Perempuan mengharuskan Negara-Negara pihak untuk mengatasi diskriminasi dalam

hidup dan hubungan pribadi warga negara mereka (the private lives and relationshop of their citizens), dan tidak sekedar dalam sektor kegiatan publik saja.

Pada tahun 1993 Konferensi Dunia tentang Hak Asasi, Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-

Bangsa menyetujui bahwa hak-hak asasi perempuan harus diintegrasikan ke dalam semua segi tugas Hak Asasi Manusia untuk menerima dan mempertimbangkan pengaduan yang dilakukan atas pengaduan dan organisasi tersebut. Lebih jauh mereka mendeklarasikan bahwa:

Hak asasi perempuan dan anak perempuan tak dapat dihapuskan (inalienable), bersifat integral dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia universal. Keikutsertaan penuh dan sama dari perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada tataran nasional, regional dan internasional; dan pemberantasan segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan sasaran utama dari masyarakat internasional. (Deklarasi Wina dan Program Aksi, Bagian 1, alinea 18).

Badan-badan khusus yang ditunjuk di bawah ini tetap penting sebagai pelaksanaan hak-hak asasi

perempuan. Sebagaimana djelaskan dalam bab Hukum Hak Asasi, maka telah dibentuk Komisi tentang Status Perempuan, oleh ECOSOC dalam tahun 1946. Tugasnya adalah untuk mempersiapkan laporan dan rekomendasi kepada ECOSOC tentang peningkatan hak-hak asasi perempuan dalam semua bidang.

Komisi juga dapat mengembangkan usul-usul tindakan terhadap masalah mendesak di bidang hak

asasi permpuan. Secara signiikan, Komisi tidak diberi kewenangan perorangan untuk menerima dan

mempertimbagkan pengaduan yang dilakukan atas pengaduan perorangan. Malahan prosedurnya dimaksudkan untuk mengurangi timbulnya kecenderungan dan pola-pola diskriminasi terhadap

perempuan untuk mengembangkan rekomendasi kebjakan yang bertujuan memecahkan masalah-

masalah yang luas.

Pasal 17 Konvensi Perempuan membentuk Komite tentang Penghapuasan Diskriminasi terhadap Perempuan (the Commitee on the Elimination of Discrimination Against Women) untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuannya. Komite beranggotakan 23 pakar (hampir selalu perempuan) yang dicalonkan oleh Negara pihak pada Konvensi. Sebagaimana dengan badan traktat lainnya, para anggota

bertindak dalam kapasitas pribadi mereka dan bukan sebagai utusan atau wakil dari Negara asal mereka.

Tugas komite adalah mengawasi pelaksanaan Konvensi oleh negara-negara yang telah meratiikasi

atau mengaksesnya. Komite tidak dapat menerima dan memeriksa pengaduan dari perorangan, atau pengaduan dari Negara-negara pihak. Banyak komentator melihat ini sebagai kelemahan besar dari

Konvensi Perempuan dan dewasa ini diadakan upaya-upaya untuk merancang Protokol Opsi padanya

untuk membentuk prosedur pengaduan demikian. Dalam konteks ini penting untuk dicatat bahawa

Komite Hak Asasi Manusia (yang mengawasi pelaksanaan ICCPR) dapat menerima pengaduan pelanggaran ketentuan-ketentuan kesetaraan jenis kelamin dari ICCPR – khususnya, Pasal 26.

Larangan diskriminasi atas dasar kelamin ditambahkan pada hak yang ditetapkan pada instrument-

instrumen lain (seperti hak atas jaminan sosial yang djamin dalam ICESCR). Prosedur pengaduan perorangan Komite Hak Asasi Manusia berlaku bagi perorangan di setiap Negara yang telah meratiikasi Protokol Opsi pada ICCPR. Dengan dimikian, maka para perempuan di Negara-negara tersebut dapat

mengajukan pengaduan mengenai pelanggaran hak-hak mereka berdasarkan instrument tersebut, maupun hak-hak yang dilindungai dalam traktat-traktat Hak Asasi Manusia lainnya – dengan syarat

Negara mereka juga merupakan pihak pada traktat-traktat tersebut. Prosedur pengaduan perorangan

yang ditetapkan berdasarkan sistem Hak Asasi Manusia Eropa dan Antar Amerika (European and Inter- American human rights system) juga berlaku terhadap perempuan yang hak-haknya dilanggar (tentu saja berlaku terhadap Negara-negara pihak yang telah menerima prosedur-prosedur tersebut).

Kekerasan Terhadap Perempuan

Komite Perempuan (CEDAW) merumuskan kekerasan yang berdasarkan jenis kelamin sebagai:

... kekerasan yang diarahkan kepada perempuan karena ia perempuan atau yang mempengaruhi ketidaksetaraan

perempuan. Ini meliputi tindakan yang menimbulkan gangguan atau penderitaan isik, mental atau kelamin,

ancaman untuk melakukan tindakan demikian dan pencabutan kebebasan lainnya ...

Kekerasan terhadap perempuan bukan gejala baru tetapi berkesinambungan sepanjang sejarah – tak tercatat dan tak mendapat perlawanan. Akhir-akhir ini, banyak tekanan internasional untuk membahas kekerasan terhadap perempuan sebagai isu Hak Asasi Manusia internasional. CEDAW menanggapinya dengan menyatakan secara khusus bahwa larangan umum terhadap diskriminasi berdasarkan jenis

kelamin dalam Konvensi Perempuan meliputi kekerasan berdasarkan jenis kelamin seperti yang

ditentukan di atas. Komite menegaskan lebih jauh bahwa kekerasan terhadap perempuan meliputi kekerasan berdasarkan jenis kelamin seperti yang ditentukan di atas. Komite menegaskan lebih jauh bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang diakui secara internasional – terlepas apakah pelakunya pejabat public (public oicial) atau orang biasa (private person). Tanggung jawab Negara untuk kekerasan terhadap perempuan dapat diajukan apabila pejabat pemerintah terlibat dalam tindakan kekerasan berdasarkan jenis kelamin dan juga apabila Negara gagal bertindak dengan seksama untuk mencegah pelanggaran hak-hak yang dilakukan oleh orang biasa atau untuk menyelidiki dan menghukum tindakan kekerasan tersebut, dan untuk memberikan ganti kerugian.

Peraturan-peraturan ini telah dikukuhkan kembali oleh Deklarasi mengenai Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang diterima oleh Majelis Umum dalam tahun 1993, Konvensi Antar Amerika tentang Perempuan dan Kekerasan yang diterima di dalam kerangka sistem Hak Asasi Manusia antar Amerika tahun 1994, serta ketentuan-ketentuan khusus dari Deklarasi Wina dan Program Aksi yang diterima pada tahun 1993. Dalam Konverensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia dan Deklarasi Bejing dan Rencana Aksi yang diterima Konferensi Dunia tentang Perempuan Keempat dalam tahun 1995. Masing-

masing dari instrument ini menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan, baik terjadi di rumah tangga, di tempat kerja atau pada kekuasaan pejabat publik merupakan pelanggaran terang-terangan atas Hak Asasi Manusia.

Modul 2

Peradilan yang Adil dan