Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat memiliki kompleksitas baik mengenai peristiwanya maupun pihak-pihak yang terlibat atau para pelakunya. Oleh karenanya,
prosedur atau hukum acara yang digunakan juga menghasilkan sejumlah terobosan penting untuk keberhasilan penuntutan terhadap kejahatan-kejahatan serius tersebut. Namun, berbagai terobosan dalam hukum acara tidak dimaksudkan untuk melanggar hak-hak para tertuduh (the accused), misalnya terhadap tersangka dalam proses investigasi dan terhadap terdakwa dalam proses peradilannya. Bahkan hak-hak fundamental para tertuduh harus dihormati dan dilindungi. Berbagai pengadilan diantara dalam Statuta ICTY, ICTR dan ICC memberikan jaminan hak-hak fundamental para tertuduh.
Prinsipnya, proses peradilan haruslah menghormati prinsip-prinsip peradilan yang adil
dan tidak memihak sebagai syarat utama dalam pengadilan-pengadilan tersebut. Berikut ini merupakan beberapa contoh dari jaminan prinsip-prinsip fair trial dalam pengadilan internasional untuk kejahatan serius:
- Asas praduga tidak bersalah : Pasal 20 ayat (3) Statuta untuk ICTR, Pasal 21ayat (3) Statuta untuk ICTY, dan Pasal 66 ayat (1) Statuta untuk ICC.
- Larangan penyiksaan : Pasal 55 Statuta untuk ICC. Pasal 55 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa seorang dalam proses penyelidikan harus “tidak boleh menjadi subjek setiap
pemaksaan, ancaman, penyiksaan atau bentuk lain dari penghukuman dan perlakuan
yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat”. Dalam penyelidikan pidana
dan proses yudisial, larangan penyiksaan dan tidak dapat dikurangi atau perlakuan atau penghukuman lain yang tidak manusiawi secara universal yang harus dihormati pada setiap
saat, tanpa pengecualian meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun. Pasal
55 ayat (1) huruf c Statuta untuk ICC menyatakan bahwa salah satu tugas dari penuntut
umum dalam penyelidikan adalah untuk “menghormati penuh hak-hak orang yang diatur dalam Statuta ini”, yang artinya, diantaranya, hak yang secara jelas dalam Pasal 55 ayat (1)
huruf c terkait dengan larangan untuk melakukan ancaman atau penyiksaan.
- Pendampingan Hukum : terdapat dalam Aturan 42 (A) (i) Hukum Acara dan Pembuktian dalam ICTY dan ICTR. Kemudian, Aturan 67 (A) Aturan Pemenjaraan Pengadilan Yugoslavia menyatakan bahwa “setiap tahanan berhak untuk berkomunikasi secara penuh dan
tanpa hambatan dengan penasehat hukumnya, dengan bantuan seorang penerjemah jika
diperlukan”, dan selanjutnya, bahwa “semua bentuk korespondensi dan komunikasi harus merupakan hak istimewa”. Aturan 67 (D) dari Aturan Pemenjaraan menyatakan bahwa wawancara “ dengan penasehat hukum dan penerjemah dapat dilakukan dalam pantauan tetapi tanpa didengar, apakah langsung atau tidak langsung, oleh staf unit pemenjaraan”. Aturan yang sama terdapat dalam Aturan 65 dari Hukum Pemenjaraan Pengadilan Rwanda. Hak atas penasehat hukum ini juga terdapat dalam Pasal 20 ayat (4) huruf d dan Pasal 21
ayat (4) huruf d Statuta untuk ICTR dan ICTY.
- Hak menginformasikan dalam Bahasa yang dihafami : Kewajiban menginformasikan
hak-hak seorang tersangka/terdakwa secara umum selama penyelidikan/penyidikan“ dalam suatu bahasa yang digunakan dan dipahami tersangka/terdakwa” juga termasuk, contohnya, dalam Pasal 42 (A) Hukum Acara dan Pembuktian Pengadilan Pidana Rwanda dan Yugoslavia, yang menjamin, hak seorang tersangka/terdakwa “untuk mendapatkan pendampingan seorang penerjemah hukum yang gratis” jika dia “tidak dapat memahami atau bicara dalam bahasa yang digunakan dalam pemeriksaan”.
- Tidak dipaksa mengakui perbuatannya : Hak untuk tidak dipaksa mengakui kejahatan
dirinya sendiri dan untuk mengakui bersalah juga terdapat dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a Statuta untuk ICC dan Pasal 20 ayat (4) huruf g dan 21 ayat (4) huruf g Statuta ICTR dan
ICTY.
- Menjaga Berkas Pemeriksaan : terdapat dalam Aturan 43 Hukum Acara dan Pembuktian
untuk ICTR dan ICTY menyatakan bahwa pemeriksaan (interogasi) terhadap tersangka
“harus direkam dengan rekaman suara atau video”, sesuai dengan prosedur khusus yang
dirinci dalam aturan-aturan lainnya. Tersangka harus disediakan salinan transkrip dari pencatatan/perekaman (Aturan 43 (iv)). Catatan pemeriksaan yang rinci harus disimpan setiap waktu dan harus disediakan untuk tersangka dan penasehat hukumnya.
- Pemeriksaan yang terbuka : Pasal 79 (A) hukum acara dan pembuktian untuk ICTR dan
ICTY memberikan kemungkinan pengadilan melakukan persidangan secara tertutup untuk alasan-alasan ketertiban publik atau moral, keselamatan, keamanan, atau merahasiakan
identitas korban atau saksi sebagaimana diatur dalam Aturan 75, atau untuk perlindungan kepentingan keadilan. Untuk ini, pengadilan harus terbuka tentang alasan untuk melakukan
itu. Pasal 22 ayat (2) dan 23 ayat (2) Statuta untuk ICTR dan ICTY menyatakan bahwa putusan pengadilan yang “terbuka”. Berdasarkan Pasal 74 ayat (5) Statuta untuk ICC menyatakan
bahwa keputusan atau ringkasannya harus dilakukan dalam pengadilan yang terbuka.
Dalam pandangan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, obyek sebagaimana dalam Pasal
6 ayat (1) terkait dengan keterbukaan putusan adalah untuk memastikan pengawasan peradilan oleh publik yang bertujuan untuk menjamin hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak.
- Persidangan tanpa penundaan yang beralasan : Pasal 21 (4)( c) Statuta untuk ICTR dan ICTY
menyatakan setiap orang yang menghadapi dakwaan pidana harus mendapatkan hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak beralasan.
- Meminta diperiksanya para saksi: Pasal 20 ayat (4) huruf e dan Pasal 21 ayat (4) huruf e
Statuta untuk ICTR dan ICTY.
- Waktu yang layak Untuk Pembelaan: Pasal 20 dan 21 Statuta ICTR dan ICTY yang diinspirasi oleh Pasal 14 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa tersangka/
terdakwa harus “mendapatkan waktu dan fasilitas yang cukup untuk mempersiapkan pembelaannya dan untuk berkomunikasi dengan penasehat hukum yang dipilihnya sendiri” (Pasal 20 ayat (4) huruf
b dan Pasal 21 ayat (4) huruf b).
- Kemandirian Pengadilan: Pasal 40 Statuta untuk ICC yang menyatakan “para hakim harus independen dalam melaksanakan fungsinya” dan bahwa mereka “harus tidak terkait dengan
semua aktivitas yang akan mencampuri fungsi yudisialnya atau akan mempengaruhi
keyakinannya terhadap kemandirian (pengadilan)”. Pasal 36 ayat (3) secara tegas dinyatakan siapa saja yang mempunyai kualiikasi untuk menjadi hakim dimana hakim dipilih dari
orang-orang yang mempunyai watak moral yang tinggi, tidak memihak dan mempunyai integritas (the judges shall be chosen from among persons of high moral character, impartiality and integrity...). Selain itu para calon haruslah memiliki kompetensi dalam hukum pidana dan hukum acara, dan pengalaman terkait yang perlu (the necessary relevent experience), baik sebagai hakim, jaksa, pengacara atau dalam jabatan serupa lainnya dalam proses perkara pidana atau mempunyai kompetensi dalam bidang hukum internasional terkait misalnya hukum humaniter dan hukum Hak Asasi Manusia dan pengalaman luas dalam jabatan hukum professional yang berkaitan dengan pekerjaan judicial Mahkamah (extensive experience in a professional legal capacity which is of relevance to the judicial work of the court).
- Pemeriksaan yang adil: Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2) Statuta ICTR dan ICTY
menyatakan bahwa terdakwa berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka dalam menentukan pidana terhadapnya, meskipun dengan aturan bahwa perlindungan saksi dan
korban mensyaratkan tindakan yang “harus termasuk, tetapi tidak terbatas pada, tindakan
prosedur in camera/tertutup dan perlindungan identitas korban” (Pasal 21 dan Pasal 22
Statuta ICTR dan ICTY).
- Hak untuk hadir di persidangan: Pasal 20 ayat (4) huruf d dan Pasal 21 ayat (4) huruf d
Statuta untuk ICTR dan ICTY menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk diperiksa dengan kehadirannya
- Pembuktian: Melihat kasus peradilan pidana internasional ad hoc untuk bekas negara Yugoslavia dapat mengesampingkan asas ullus testis nullus testis dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia berat dengan terdakwa Dusko Tadic.
- Penghukuman yang masuk akal: Pasal 23 ayat (2) Statuta untuk ICTR dan ICTY menyatakan
bahwa keputusan harus disertai dengan pandangan yang beralasan secara tertulis, yang
terpisah atau pandangan berbeda yang ditambahkan. Berdasarkan Pasal 74 ayat (5) Statuta
untuk ICC, putusan pengadilan harus ditulis dan harus berisi pandangan yang penuh dan beralasan dari temuan atau bukti-bukti yang diperoleh pengadilan dan kesimpulan.