Penjelasan Ringkas Bacaan Kegiatan
2. Hak atas Pemeriksaan yang Adil
Jaminan atas pemeriksaan yang adil terdapat dalam Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Pasal 28D juga menjamin hak atas pemeriksaan
yang adil dengan menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 3 menyatakan “dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan, segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 5 Pengadilan mengadili menurut hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang.
Menyatakan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dan para hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Pasal 6 menyatakan “tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain”.
Dalam Pasal 17 menyatakan pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim
yang mengadili perkaranya. Hak ingkar tersebut adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Hak atas pemeriksaan yang adil, dalam KUHAP telah djabarkan dalam sejumlah
ketentuannya, diantaranya hak untuk melakukan pembelaan, baik sendiri maupun dengan penasehat hukumnya, hak atas akses berkas pemeriksaan, hak untuk mengajukan saksi-saksi yang meringankan, dan memberikan pertanyaan atau menguji saksi-saksi yang dihadapkan di pengadilan, dan hak-hak lain yang pada pokoknya menjamin bahwa
terdakwa diadili secara adil. Bahwa KUHAP juga memberikan ketentuan bagi hakim
yang dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang
keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa (Pasal 158).
Dalam hukum internasional, hak atas pemerikaan “yang adil” terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Pasal 6 ayat (1) Konvensi HAM Eropa, sementara Pasal 8 ayat (1) Konvensi HAM Amerika menyatakan “jaminan yang sesuai prosedur (due guarantee)”. Piagam Afrika tidak secara spesiik menyebut hal ini, tetapi dinyatakan bahwa berdasarkan Pasal 60, Komisi HAM Afrika “harus mengikuti inspirasi” dari instrumen (hukum) internasional untuk perlindungan hak-hak manusia dan masyarakat, suatu aturan yang dapat menjadi inspirasi, diantaranya dalam aturan
Pasal 14 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik ketika menerjemahkan jaminan peradilan sebagaimana dalam Pasal 7 Piagam Afrika.
Pasal 20 ayat (2) dan 21 ayat (2) Statuta ICTR dan ICTY menyatakan bahwa terdakwa
berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka dalam menentukan pidana terhadapnya, meskipun dengan aturan bahwa perlindungan saksi dan korban mensyaratkan tindakan
yang “harus termasuk, tetapi tidak terbatas pada, tindakan prosedur in camera/tertutup
dan perlindungan identitas korban” (Pasal 21 dan 22 Statuta ICTR dan ICTY). Hak terdakwa sebagaiman disebutkan dalam Statuta tersebut diserap dari Pasal 14 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Dengan memandang jaminan minimum yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dalam proses pidana, Komite HAM menjelaskan
dalam Komentar Umum No. 13 bahwa tidak selalu mencukupi untuk menjamin keadilan
dalam suatu pemeriksaan sebagaimana disyaratkan dalam paragraf 1 Pasal 14, yang
kemudian memberikan kewajiban lanjutan kepada negara-negara (pihak). Khususnya
ketika dalam hal dimana hukuman mati mungkin diterapkan, “kewajiban untuk setiap
negara pihak untuk mengamati secara ketat semua jaminan peradilan yang adil dan
tidak memihak yang diatur dalam Pasal 14 mengakui tanpa pengecualian.
a. Hak atas Akses ke Pengadilan
Jaminan untuk adanya akses ke pengadilan djamin oleh UUD 1945 dalam Pasal 24 tentang
adanya lembaga kekuasaan kehakiman menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan-badan peradilan lainnya, dan Pasal 28 yang memberikan jaminan hak-hak
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pasal 17 UU No. 39 tahun 1999 yang
menyatakan setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
UU No. 48 tahun 2009 menyatakan Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pasal 4 menyatakan Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Pasal 4 ayat (2) menyatakan Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 5 mewajibkan kepada hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dan para hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di
bidang hukum. Pasal 6 memberikan jaminan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan
di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Dalam Pasal 16 menyatakan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka
yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam KUHAP, seseorang tersangka berhak perkaranya diajukan dengan segera oleh Penuntut Umum ke pengadilan dan terdakwa berhak untuk segera diadili di pengadilan (Pasal 50). Terkait dengan hak ini, dalam permulaan persidangan hakim memeriksa dalam
hal terdakwa tidak menghadiri persidangan, hakim memeriksa apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah, dan memerintahkan adanya pemanggilan kembali jika terdakwa
tidak dapat hadir dipersidangan meski sudah dipanggil secara sah (Pasal 154). Ketentuan
ini menjamin bahwa seseorang mungkin tidak mengetahui menjadi terdakwa karena kurangnya informasi yang cukup.
Berdasarkan prektek peradilan internasional, terkait dengan hak untuk akses ke pengadilan,
Pengadilan HAM Eropa mengatur bahwa Pasal 6 ayat (1) “menjamin hak setiap orang untuk melakukan klaim terkait dengan hak-hak sipilnya dan kewajiban untuk mempersoalkan dihadapan pengadilan”; ketika seorang tahanan ditolak permohonanya (di Inggris) untuk meminta nasehat seorang penasehat hukum untuk melakukan gugatan perdata untuk menuntut petugas penjara, penolakan ini merupakan pelanggaran hak pemohon untuk ke pengadilan
sebagaimana yang djamin dalam Pasal 6 ayat (1).
Hal yang sama muncul dalam kasus Campbell dan Fell dimana pemohon komplain atas
penundaan yang dilakukan otoritas penjara untuk memberikan mereka jin untuk mencari
nasehat hukum atas cedera-cedera yang mereka alami dalam suatu insiden di penjara.
Meskipun mereka akhirnya mendapatkan jin, pengadilan menekankan bahwa “untuk
pembuktian dan alasan lainnya akses yang cepat terhadap nasehat hukum penting dalam
kasus cederanya seseorang” dan bahwa “penghindaran, meski dalam karakter yang sementara, dapat dikatakan bertentangan dengan Konvensi (Hak Asasi Manusia Eropa)”.
Dalam sejumlah kasus, pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa juga menemukan bahwa pelanggaran hak atas akses terhadap pengadilan dalam kasus untuk mendapatkan hak dan kewajiban sipil, termasuk hak milik dan hak atas akses terhadap anak, diputuskan. Hak untuk akses ke pengadilan juga berarti bahwa, contohnya, laki-laki dan perempuan harus mempunyai akses yang sama dan persamaan ini mungkin memerlukan pemberian bantuan
hukum untuk tujuan menjamin efektiitas hak tersebut. Hak atas akses ke pengadilan
berarti bahwa tidak satu orangpun haknya ini dihilangkan apakah oleh hukum, prosedur administratif atau karena sumber daya materialnya atas upaya untuk ke pengadilan untuk
tujuan mempertahankan hak-haknya. Perempuan dan laki-laki berhak mendapatkan