MASYARAKAT Papua tidak hanya memiliki keunikan di bidang sosial dan budaya, tetapi juga persoalan hukum pun sangat unik. Dari 310 suku di Papua masing-masing memiliki hukum adat tersendiri yang
masih bertahan hingga kini. Hukum adat lebih dominan dalam kehidupan masyarakat karena dinilai lebih menguntungkan pihak korban daripada hukum positif.
WAKIL Ketua Pengadilan Negeri Timika Johanes Panji Prawoto, Jumat (23/4), mengatakan, masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara adat daripada penyelesaian sesuai hukum positif. Padahal,
hukum ini mengikat seluruh warga negara untuk menaati dan menjalankan hukum perdata maupun
pidana.Persoalannya, hukum adat lebih menguntungkan korban atau penggugat daripada hukum pidana
atau perdata. Denda berupa hewan ternak, uang, tanah, dan harta benda lain yang harus ditanggung pelaku terhadap korban, bahkan denda-denda macam itu bisa bernilai miliaran rupiah. Denda seperti itu jelas
lebih berat bila dibandingkan dengan putusan di pengadilan negeri (PN).
“Di sini, kasus pembunuhan misalnya. Mereka selalu menyebut dalam bahasa adat,’ganti rugi kepala manusia’ atau mengganti benda yang bernilai miliaran rupiah. Jika tidak dalam bentuk uang, diganti ternak babi sampai ratusan ekor. Apalagi menyangkut kasus asusila. Pihak pelaku harus mampu menunjukkan kepada keluarga wanita bahwa ia berani berbuat dan berani juga bertanggungjawab,” kata Panji. Oleh
karena itu, masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara adat. Kadang-kadang kasus itu telah dilimpahkan polisi ke kejaksaan, tetapi pihak keluarga korban menolak untuk diproses sesuai hukum
positif. Pihak keluarga korban tetap berusaha agar diselesaikan secara adat. Di sisi lain, keluarga tersangka/
pelaku menghendaki kasus itu diselesaikan di pengadilan negeri. Adapun Karel Beanal, Wakil Ketua Lembaga Adat Suku Amungme Mimika mengatakan, masyarakat lebih tertarik menyelesaikan semua kasus melalui hukum adat karena masyarakat menilai hukum adat lebih adil dan dipahami semua warga. Hukum adat sejak nenek moyang telah diterapkan di kalangan masyarakat dan mereka tahu bagaimana cara mengambil keputusan di dalam musyawarah adat itu.
Dalam pelaksanaan hukum positif banyak terjadi penyelewengan dan pembohongan terhadap masyarakat kecil terutama di pengadilan. Masyarakat kecil, tidak berduit, selalu menjadi korban ketimbang mereka yang berduit. Dalam hal ini, warga Mimika selalu tak berdaya ketika berhadapan dengan sang pengadil di
PN Mimika. “Korupsi sampai miliaran bahkan triliunan rupiah oleh para pejabat dibiarkan. Kalau sampai
ke pengadilan pun dibebaskan. Sementara masyarakat kecil yang mencuri ayam satu ekor dihukum sampai
enam bulan penjara. Putusan itu sangat menyiksa masyarakat kecil yang selalu bergantung pada sumber daya alam dan dari perjuangan sendiri,” kata Beanal. Masyarakat yang tidak memiliki penghasilan tetap
dalam proses pengadilan pun sangat kecil. Ditambahkan Ruben Magay, tokoh agama Nabire, keadilan di
pengadilan negeri saat ini sulit ditemukan. Pengadilan bukan untuk menghukum yang salah dan membela
yang benar tetapi membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Ketidakadilan di bidang hukum
tidak hanya terjadi di daerah, tetapi mulai dari Jakarta sampai ke pelosok terpencil seperti di Papua. Di tengah kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan masyarakat Papua, orang masih tega-teganya
mencari keuntungan pada setiap proses peradilan.
Praktik pengadilan lebih banyak merugikan korban karena mereka tidak memiliki uang. Kondisi ini
mendorong masyarakat untuk menyelesaikan persoalan tersebut melalui hukum adat daripada hukum positif. Hukum adat tidak menuntut pihak korban mengeluarkan anggaran besar untuk musyawarah adat. Semua kebutuhan dalam proses hukum adat ditanggung para pelaku terutama dalam kasus asusila. Data
di Pengadilan Tinggi Papua menunjukkan, tahun 2003 di sembilan PN di Papua terdapat 462 perkara
terdiri dari 240 kasus perdata dan 222 kasus pidana. Dari jumlah ini 75 persen terdapat di Kota Jayapura, sebagian menyebar di delapan kabupaten lain.
Izin penyitaan yang dikeluarkan sembilan PN di Papua ditujukan kepada sembilan polres di Papua selama tahun 2003 sebanyak 4.500 surat izin. Tetapi perkara yang dilimpahkan ke sembilan PN terkait dengan izin
penyitaan itu hanya 34 kasus. Artinya, sebagian besar perkara itu tidak sampai di pengadilan. Menurut
Panitera Sekretaris PN Timika Munawir Kossah sebagian besar perkara diselesaikan secara adat atas
dukungan kepolisian. Kedua pihak ingin menyelesaikan perkara itu secara damai dan kekeluargaan di bawah bimbingan kepolisian. Ada pula perkara yang dihentikan penyidikan di kepolisian dengan alasan tidak cukup bukti untuk dilanjutkan ke pengadilan. Mereka yang perkaranya sampai di pengadilan sebagian
besar adalah warga pendatang. Dapat disebutkan, sembilan PN di Papua lebih banyak menyidangkan perkara warga pendatang yang berdomisili di Papua daripada penduduk lokal. Kasus terbanyak adalah
perselingkuhan, perceraian, pencurian, dan penganiayaan. untuk membuktikan siapa yang paling benar
dalam kasus tersebut. Pihak yang kalah diyakini telah melakukan kebohongan, pihak yang menang dinilai telah bertindak jujur dan adil. Perang adat tidak brutal. Perang itu harus disepakati kedua pihak terutama
menyangkut jumlah anggota suku yang terlibat perang, tempat, waktu, dan kesepakatan mengenai
perempuan dan anak-anak tidak boleh dibunuh di dalam perang. Perang hanya berlangsung di zona yang
telah ditetapkan bersama. Bila kedua pihak saling bertemu di tempat lain, tidak akan ada permusuhan.
Contoh, perang adat di Timika, Agustus 2003 antara kelompok pendukung dan penentang pemekaran
Irian Jaya Tengah. Perang ditetapkan pagi hari sebelum matahari terbit, dan diakhiri siang hari setelah
matahari mulai merangkak hilang dibalik bukit. Kedua pihak pun menghentikan perang sementara
waktu untuk makan siang, kemudian dilanjutkan sore hari. Menurut Johanes Panji, perang adat seperti
ini tidak dapat diselesaikan dengan hukum positif.
http://huma.or.id/document/I.04.%20Info%20Hukum/Dinamika%20Produk%20Hukum%20Daerah/ Kompas%2030%20April%2004%20-%20Hukum%20Adat%20Mendominasi%20Hukum%20Positif.pdf