• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODOLOG

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016 (Halaman 153-161)

BERDASARKAN MORFOMETRIK DI KAWASAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA

BAHAN DAN METODOLOG

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 sampai Juli 2015 di hutan Kawasan Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Metode yang digunakan yaitu pencarian aktif (Survey Eksploratif) dan koleksi langsung pada lokasi di 7 area sampling (TWA Sibolangit, hutan desa Bandar Baru, Sibolangit, Bingkawang, Batu Mbelin, Sembahe dan Timbang Lawan). Pengamatan di masing-masing lokasi dilakukan pada malam hari (jam 19.00-23.00 WIB). Sampel yang diambil maksimal 5 individu per spesies pada masing-masing lokasi. Pengukuran karakter morfometrik dilakukan terhadap 31 karakter morfometrik menurut Nesty (2013) (Gambar 1.) dengan digital caliper, kemudian diidentifikasi dengan buku panduan lapangan Amfibi Kawasan ekosistem Leuser (Mistar, 2003), lalu dilepas kembali di habitatnya. Apabila sampel tidak mencukupi dapat dilakukan pengukuran yang sama pada spesimen di laboratorium yang berasal dari lokasi yang sama.

Gambar 1.PB: Panjang badan, PK: Panjang kepala, LK: Lebar kepala, JMT: Jarak dari moncong sampai tympanum, PM: Panjang moncong, JHM: Jarak dari hidung sampai

Panjang Antebranchium, PKB: Panjang kaki belakang, PF: Panjang Femur, PT: Panjang Tibia, PMTJ4: Panjang dari metatarsus sampai ujung jari ke empat kaki belakang, PTJ4: Panjang dari tarsus sampai jari ke empat kaki belakang, PJ3KD: Panjang jari ke tiga kaki depan, PJ1KD: Panjang jari pertama kaki depan, PJ4KB: Panjang jari ke empat kaki belakang, PJ1KB : Panjang jari pertama kaki belakang, dan PTM : Panjang tuberkulum metatarsal.

Analisis Data Morfometrik

Data-data morfometrik yang didapat dianalisis menggunakan Statistik deskriptif yang meliputi rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman, yang dihitung berdasarkan rumus Standsfield (1983), sebagai berikut:

Rataan n x x n i i

  1 Keterangan : x : nilai rataan

n : jumlah seluruh sampel pengamatan i x : data ke-i Simpangan Baku

 n i i n x x s 1 2 1 ) ( Keterangan : s : simpangan baku i x : data ke-i

x : rataan data pengamatan

n : jumlah seluruh sampel pengamatan

Koefisien Keragaman (KK) % 100   x S KK Keterangan: KK : koefisien keragaman (%) S : simpangan baku

x : rataan data pengamatan

Analisis Hubungan Kekerabatan

Untuk mengetahui hubungan kekerabatan berdasarkan morfometrik, rata-rata morfometrik setiap karakter morfometrik dikelompokkan ke dalam interval menurut Distribusi Frekuensi. Data disusun ke dalam bentuk kelompok mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar berdasarkan kelas-kelas interval dan kategori tertentu. Penentuan interval untuk memudahkan rentang ukuran tubuh katak, dimulai dari nilai 0, yang berarti ukuran sangat kecil/pendek, 1 = ukuran kecil/pendek, 2= ukuran sedang (medium), 3= ukuran besar/panjang, dan 4= ukuran sangat besar/panjang. Pengkodean karakter tersebut mengikuti Amat et al. (2013) namun dimodifikasi terhadap nilai kuantitatif morfometrik. Hasil notasi

yang ditemukan di masukkan ke dalam program software Mega 6. dengan metode UPGMA dalam mengkonstruksi filogeninya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan koefisien keragaman morfometrik dan hubungan kekerabatan jenis-jenis Dicroglossidae di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang berdasarkan morfometrik.

Koefisien Keragaman Morfometrik

Famili Dicroglossidae yang ditemukan terdiri dari 4 spesies. Pengukuran dan analisis morfometrik Dicroglossidae yang ditemukan di Kecamatan Sibolangit didapatkan kisaran koefisien keragaman dan rata-rata koefisien keragaman yang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kisaran Koefisien Keragaman dan Rata-rata Koefisien Keragaman

No. Spesies Kisaran KK Rata-rata KK (%)

1.

Katak Hijau,

Fejervarya cancrivoraGravenhorst,

1829 2,5 ± 33,6 13,2

2.

Katak Tegalan,

Fejervarya limnocharisBoie, 1835 0,9 ± 38,5 10,3

3.

Katak Panggul,

Limnonectes blythiBoulenger, 1920 0,7 ± 21,4 4,6

4.

Bangkong Tuli,

Limnonectes kuhliiTschudi, 1833 1,9 ± 66,2 17,7

5.

Bancet Sumatra,

Occidozyga sumatranaPeters, 1877 2,5 ± 31,9 10,4

Berdasarkan hasil analisis Statistik Deskriptif dapat dilihat bahwa terdapat variasi kisaran dan rataan KK pada masing-masing spesies. Koefisien keragaman (KK) tertinggi ditemukan pada spesies Limnonectes kuhlii mencapai 17,7%, selanjutnya disusul spesies Fejervarya cancrivora yang mencapai 13,2%, berikutnya spesies Occidozyga sumatrana yang berkisar 10,4%, kemudian spesies Fejervarya limnocharis yang mencapai KK sekitar 10,3%, serta nilai KK paling rendah, ditemukan pada spesies Limnonectes blythi sebesar 4,6%.

Kamariah (2011) menjelaskan bahwa koefisien keragaman dapat mengindikasikan bahwa spesies tersebut memiliki status konservasi yang masih dapat dipertahankan maupun yang terancam. Koefisien keragaman yang tinggi mengindikasikan bahwa spesies tersebut memiliki keragaman genetik yang cukup tinggi pula. Syahid (2009) menjelaskan bahwa koefisien keragaman yang mencapai lebih dari 20% merupakan koefisien keragaman yang tinggi, sedangkan apabila kurang dari 20%, maka koefisien keragaman tergolong rendah.

Dari seluruh spesies yang ditemukan koefisien keragaman yang didapat tergolong rendah karena lebih rendah dari 20%. Menurut Kamariah (2011) koefisien keragaman yang rendah mengindikasikan bahwa spesies tersebut memiliki keragaman genetik yang cukup rendah dan dapat terancam di masa yang akan datang.

bagian utara, termasuk kawasan Sibolangit tengah mengalami ancaman seperti penurunan habitat alami, dan konversi hutan menjadi lahan pertanian, ekowisata dan perkebunan, menjadikan Dicroglossidae terancam keberadaannya.

Faktor lain yang menyebabkan keragaman rendah pada suatu spesies, yaitu karena populasi kecil. Fejervarya limnocharis mengalami ancaman karena disebabkan populasi.

Spesies ini jauh lebih sedikit di Sibolangit. Menurut IUCN (2015), perambahan (logging) hutan tidak memberikan pengaruh serius bagi spesies ini, namun populasi di Kecamatan Sibolangit dapat menjadi ancaman, sebab deforestasi dapat mengancam populasi yang sedikit. Pada umumnya berkurangnya populasi akan mempengaruhi ukuran populasi dan merujuk kepada ancaman kepunahan, yang akan menyebabkan jenis-jenis di dalamnya akan mulai punah (Pounds & Crumps, 1994; Pounds et al., 1999). Di samping itu jenis katak ini sering diburu untuk dijadikan sebagai makanan ikan hias.

Selain karena populasi yang kecil, spesies endemik juga menjadi ancaman karena memiliki koefisien keragaman yang cukup rendah, seperti Occidozyga sumatrana. Spesies endemik memiliki penyebarannya yang terbatas pada suatu wilayah tertentu. Meskipun secara keseluruhan spesies ini tersebar luas di Sumatera, namun tidak sepenuhnya wilayah Sumatera bisa ditemukan spesies-spesies ini. Spesies endemik biasanya memiliki karakteristik-karakteristik tertentu dalam memilih tipe habitatnya (Fiesta-Bianchet & Appolonio, 2003). Kondisi lingkungan yang spesifik dan tertentu menentukan hidup jenis endemik. Spesies endemik umumnya terbentuk dari fragmentasi habitat yang menyebabkan populasi terisolasi. Hal ini juga dipengaruhi variasi cuaca dan iklim yang dimiliki lingkungan secara spesifik (Kruckeberg & Rabinowitz, 1985; Gentry, 1986, dan Major, 1988)

Ancaman spesies Dicroglossidae yang menyebabkan keragaman rendah dapat disebabkan oleh beberapa gangguan. Gangguan yang ada di lokasi penelitian antara lain pencemaran air. Katak memerlukan air untuk siklus hidupnya, karena memiliki kulit yang permiabel dan lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan dibandingkan reptil, burung, mamalia (Darmawan, 2008).

Gangguan-gangguan tersebut dapat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas telur dan perkembangan telur amfibi (Carey et al. 2003), diantaranya terjadinya malformasi (kecacatan). Kecacatan ditemukan pada 1 jenis. Jenis Limnonectes kuhlii merupakan jenis yang memiliki kecacatan. Kecacatan yang di temukan yaitu jenis Hemimelia (bagian ujung kakinya/jarinya tidak ada) (Gambar 1).

Gambar 1. Kecacatan yang ditemukan pada Dicroglossidae; (A) Jenis Limnonectes kuhlii yang mengalami kecacatan; (B) Hemimelia pada jenis Limnonectes kuhlii

Lokasi ditemukannya jenis yang cacat yaitu lokasi Bumi Perkemahan Sibolangit. Lokasi ini memang sedikit tercemar dengan adanya limbah-limbah produk makanan, shampoo, sabun dan bahan kimia aktif lainnya yang bersentuhan langsung dengan sungai. Pencemaran air seperti ini dapat menyebabkan kecacatan (malformasi) pada perkembangan telur katak yang rentan terhadap polusi lingkungan. Selain itu, penduduk menggunakan

pestisida untuk tanaman di sekitar sungai dan sisa-sisa sampah wisatawan juga mengambil peran dalam pencemaran di lingkungan tersebut.

Tingkat kecacatan masih dianggap normal jika persentase masih kurang dari 5% (Johnson et al.2003). Persentase di lokasi kurang dari 5% karena kecacatan yang ditemukan hanya terjadi pada 1 individu saja, sehingga masih wajar. Namun ini bisa menjadi ancaman dan tingkat kecacatan menjadi meningkat di masa akan datang apabila pencemaran tidak diperhatikan. Apabila keadaan ini akan terus meningkat, tentu saja akan menimbulkan kegagalan reproduksi katak tersebut. Stewart (1995) mengatakan bahwa kegagalan reproduksi terjadi dalam setahun dapat menyebabkan populasi menurun untuk spesies-spesies yang memiliki siklus hidup singkat. Apabila populasi menurun akan sangat mudah terancam apabila terjadi deforestasi hutan di masa yang akan datang.

Sementara ancaman lain juga menyerang spesies Dicroglossidae, seperti Limnonectes kuhlii, Fejervarya cancrivora,dan Limnonectes blythi. Penurunan keragaman morfometrik spesies ini disebabkan karena turunnya populasi di alam bebas. Spesies-spesies ini merupakan spesies yang sering dikonsumsi oleh masyarakat (Iskandar, 1998; Nurmainis, 2000; Pratomo, 2002). Pemanfaatan berlebihan juga dapat mengurangi populasi spesies di lingkungan (Cadman, 2007). Biasanya daging katak yang sering dimanfaatkan yaitu katak berukuran besar. Pemilihan individu-individu yang berukuran besar dalam penggunaannya sebagai makanan secara komersil akan meninggalkan populasi yang berukuran kecil. Selain itu pengambilan individu yang berukuran besar dikhawatirkan secara keseluruhan merupakan individu betina yang matang akan reproduksi (siap untuk bertelur). Ini akan sangat mempengaruhi kelangsungan populasi spesies itu sendiri nantinya.

Koefisien keragaman yang rendah sangat sesuai dengan spesies Limnonectes blythi yang menurut IUCN berstatus Near Threatened. Near Threatened adalah kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi dan spesies tersebut mendekati persyaratan kategori terancam (kritis, genting dan rentan) dalam waktu dekat (IUCN, 2015). Oleh karena itu, koefisien keragaman yang kecil pada spesies ini menunjukkan bahwa kemungkinan spesies ini akan terancam punah. Kamariah (2011) yang menyatakan bahwa semakin kecil ukuran populasi suatu spesies, maka semakin kecil keragaman genetik, sehingga semakin besar kemungkinan populasi tersebut mengalami kepunahan.

Hubungan Kekerabatan Dicroglossidae Berdasarkan Morfometrik

Hubungan kekerabatan dilakukan pada 7 spesies yang ditemukan di Kawasan Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang berdasarkan nilai interval dari masing- masing parameter morfometrik. Hubungan kekerabatan berdasarkan famili tersebut disajikan dalam bentuk kladogram (Gambar 2). Kladogram yang disajikan menampilkan jarak genetik pada masing-masing spesies. semakin jauh jarak genetik suatu spesies, maka semakin tinggi perbedaan karakter morfometriknya, dengan kata lain semakin jauh hubungan kekerabatannya.

Pada jarak 0,40 memisahkan kelompok Dicroglossidae menjadi dua bagian utama klaster. Bagian klaster pertama, pada jarak 0,35 membagi Dicroglossidae menjadi dua spesies pada cabang 0,05, yaitu Fejervarya cancrivora dan Limnonectes blythi. Pengelompokan kedua spesies ini disebabkan karena ukuran rata-rata kedua spesies ini jauh lebih besar dibandingkan dengan spesies lain.

Gambar 2. Hubungan Kekerabatan Famili Dicroglossidae berdasarkan Morfometrik. Pada claster kedua, yaitu pada jarak 0,22, membagi Dicroglossidae menjadi dua bagian. Pada bagian pertama, pada jarak 0,19 terdapat spesies Limnonectes kuhlii. Pada cabang berikutnya, yaitu jarak 0,16 terdapat dua spesies, yaitu Fejervarya limnocharis dan Occidozyga sumatrana. Pengelompokan kedua spesies ini disebabkan ukuran tubuh kedua spesies ini cenderung lebih kecil dibandingkan spesies Dicroglossidae yang lain, hingga menjadikan dua spesies ini sangat dekat kekerabatannya. Sibuea et al. (1995) menyatakan bahwa persamaan karakteristik dapat disebabkan habitat yang berkaitan dengan makanan dan tingkah laku makan di masing-masing habitatnya. Kedua spesies ini memiliki habitat yang sama, yaitu sungai berarus deras maupun lambat, genangan-genangan air maupun kolam.

Setiap spesies Dicroglossidae memiliki variasi berbeda-beda, namun memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Variasi morfometrik yang terjadi pada suatu spesies dengan satu spesies lain dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti kondisi habitat, jarak antar populasi dan isolasi geografis. Semakin jauh jarak antar populasi semakin tinggi perbedaan karakter fenotipnya. Di samping itu, Wibowo (2008) terjadinya diferensiasi karakter morfometri disebabkan oleh adanya isolasi geografis, pengaruh lingkungan dan habitat populasi. Perbedaan spesies satu dengan spesies yang lainnya juga disebabkan karena barier ekologi.

Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan morfologi antara spesies dengan yang lainnya, yaitu faktor lingkungan seperti kondisi habitat dan perbedaan ekosistem (Jumilawaty, 2002). Ekosistem suatu spesies sangat mendukung perubahan morfologi dan adaptasi suatu spesies, perbedaan jenis makanan, mekanisme pertahanan dan evolusi spesies. Hal ini menyebabkan perbedaan famili dengan famili lainnya

Pengelompokan Dicroglossidae yang diamati pada penelitian ini memberikan hasil yang agak berbeda. Pengelompokkan tersebut terlihat mengelompok berdasarkan ukuran; tidak pada kesamaan ciri dan karakter morfologi.

Hasil ini membuktikan bahwa ukuran morfometrik suatu spesies dengan yang lainnya bukan hanya dipengaruhi oleh kesamaan habitat, melainkan perbedaan fisiologis dan morfologis yang tentunya mempengaruhi ukuran tubuh. Thompson & Thoday (1979) menyatakan bahwa variasi kuantitatif pada bobot badan yang dibentuk oleh variasi dalam gen memberikan pengaruh terhadap ukuran dan rata-rata pembelahan sel, susunan otot, fungsi endokrin, panjang tulang nilai metabolisme, asupan nutrisi dan angka kecernaan, yang secara otomatis akan menimbulkan persamaan ukuran tubuh.

Daftar pustaka

Amat, F., Wollenberg, K. C., Vences., M. 2013. Correlates of Eye Colour and Pattern in Mantellid Frog. Salamandra 49 (1) : 7-17.

Cadman, M. 2007. Consuming Wild Life: The Illegal Exploitation of Animal In South Africa Zimbabwe and Zambia. A Preliminary Report for animal Right africa and Xwe African Wild Life.

Carey, C., Corn, P.S., Jones, M.S., Livo, L.J., Muths, E. & Loeffler, C.W. (2003) Environmental and life history factors that limit recovery. In: Southern Rocky Mountain populations of borealtoads (Bufo boreas). Status and conservation of North American amphibians (ed. by M. Lanoo), pp. 00–00. University of California Press, Berkeley, CA

Darmawan, B. 2008. Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe habitat : Studi Kasus di Eks- HPH PT. Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Sarjana.

Fauzan. 2009. Differensiasi Morfometri Fejervarya limnocharis (Gravenhorst, 1829) Di Sumatera Barat. [Skripsi]. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas, Padang. Fiesta-Bianchet, M. & Apollonio, M. 2003. Animal Behaviour and Wildlife Conservation.

Island Press: Washington DC, USA

Gentry A.H. 1986. Endemism in tropical versus temperate communities. In: Soule´ M.E. (ed) Conservation Biology: The Science of Scarcity and Diversity. Sinauer Associates, Sunderland, Massachusetts, pp. 153–181.

Gusman, D. 2003. Morfometri Spesies Katak dari Famili Bufonidae dan Dicroglossidae di Sumatra Barat. [Sripsi]. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas, Padang.

Handayani, S. 2014. Struktur dan Komunitas Amfibi di Stasiun Penelitian Batang Toru. [Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara, Program Sarjana.

IUCN. 2015. IUCN Redlist Species Threatened. www.iucnredlist.org. 12 Juli 2015.

Iskandar, D.T. 1998. Seri Panduan Lapangan Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang. Biologi LIPI: Bogor.

Jumilawaty, E. 2002. Morfometri dan Kompetisi Interspesifik antara Pecuk Hitam (Phalacrocorax sulcirostris) dan Pecuk kecil (Phalacrocorax niger) di Kolonia Utara dan Barat Suaka Margasatwa Pulau Rambut. [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana.

Kamariah. 2011. Analisis Morfometrik Kepala Pada Beberapa Burung Dara Laut (Laridae). [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Sarjana.

Kruckeberg A.R. & Rabinowitz D. 1985. Biological Aspects of Endemism inHigher Plants. Annual. Review of Ecology Systematics 16: 447–479.

Kurniati, H. 2007. The Herpetofauna of The Gold Mining Project Area in North Sumatera: Species Rischness Before Exploitation Activities. Zootaxa. 16(1): 1-11.

Nesty, R. Djong, H.T, Henny, H. 2013. Variasi Morfometrik Duttaphrynus melanostictus (Schneider, 1999) (Anura: Bufonidae) di Sumatera Barat yang Dipisahkan Bukit Barisan. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 2(1) 37-42.

Nurmainis, 2000. Kebiasaan Makanan Kodok Sawah Rana cancrivora di Kabupaten Bogor Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Sarjana.

Pounds, J.A. & Crump, M.L. 1994. Amphibian Declines and Climate Disturbance: The Case of The Golden Toad and Harlequin Frog. Conservation Biology 8, 72–85.

Pounds, J.A., Fogden, M.P.L. & Campbell, J.H. 1999. Biological Response to Climate Change on A Tropical Mountain. Nature 398, 611–614.

Pradana, T.G. 2012. Struktur dan Komunitas Amfibi di Batu Mbelin Kecamatan Sibolangit Kabiupaten Deli Serdang. [Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara, Program Sarjana.

Pratomo, H. 2002. Kemampuan Makan Rana limnocharis dan Rana cancrivora di Persawahan Jawa Barat Sebagai Predator Hama Padi dalam Proyek Pengkajian Dan Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 9 April 2002. Jakarta.

Salamena, J. F., R. R. Noor, C. Sumantri, & I. Inounu. 2007. Hubungan genetik, ukuran populasi efektif dan laju silang dalam per generasi populasi domba di Pulau Kisar. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 32 (2) 71-75.

Siregar, A. J. 2010. Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit dan Desa Sembahe Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara, Program Sarjana. Sibuea, T. T., Y. R. Noor, M. J. Silvius, & A. Susmianto. 1995. Burung Bangau, Pelatuk Besi

dan Paruh Sendok di Indonesia. Panduan untuk Jaringan Kerja. Perlindungan Hutan dan Pengawetan Alam dan Wetlands International- Indonesia Programme, Jakarta. Stewart, M. M. 1995. Climate Driven Population Fluctuations in Rain Forest Frogs. Journal

of Herpetology. 29: 437–446.

Syahid, A. 2009. Koefisien keragaman (KK). www. abdulsyahid-

forum.com/2009/04/koefisienkeragaman-kk.html. Diakses 6 Februari 2011

Thompson, Jr. J. N. & J. M. Thoday. 1979. Quantitative Genetic Variation. Academic Press: New York.

Warwick, E. J., J. M. Astuti & W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Widodo. 2003. Identifikasi Obyek dan Lokasi Pendidikan Konservasi di Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit. Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara: Medan

Wibowo, A. 2008. Identifikasi Struktur Stok Ikan Belida (Chitala spp.) dan Implikasinya Untuk Manajemen Populasi Alami. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14: 31-44.

KEANEKARAGAMAN NEPENTHES DI SUMATERA UTARA

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016 (Halaman 153-161)