• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola persebaran rusa

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016 (Halaman 88-95)

POLA DISTRIBUSI SPASIAL DAN HABITAT PREFERENSIAL Rusa timorensis DI PULAU PEUCANG TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola persebaran rusa

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ada perbedaan pola sebaran dan jumlah populasi rusa di setiap lokasi pengamatan. Di wilayah PSG (Pasanggrahan) dan KRC (Karang Copong) pada sore hingga malam hari (14.00-21.00 WIB) rusa timor memiliki pola sebaran populasi yang relatif sama.

Tabel 1. Hasil uji X2pola sebaran spasial populasi rusa timor di Pulau Peucang berdasarkan tempat dan waktu (14.00 – 21.00 WIB)

PSG KIA CLC KRC GNC

Chi square 11.33 18.00 46.67 16.09 34.24

df 18 8 10 19 6

Asymp sig 0,880 0,021 0,000 0,651 0,000

Di daerah PSG merupakan daerah paling banyak ditemukan rusa berkumpul pada waktu sore hingga malam hari sehingga menjadi pembanding dengan daerah lain. Menggunakan uji Chi square, diketahui bahwa wilayah PSG dan KRC menunjukkan pola sebaran rusa yang sama (p > 0.05) dengan jumlah populasi rusa relatif stabil.

Hal ini memberi indikasi bahwa rusa timor di Pulau Peucang pada sore hingga malam hari lebih terkonsentrasi memanfaatkan areal padang rumput (PSG) dan hutan pantai (KCP) dibandingkan daerah lain. Apabila dibandingkan dengan wilayah lain yakni KIA, CLC, dan GNC, hasil uji X2menunjukkan bahwa pola sebaran rusa timor di dua kelompok wilayah tersebut berbeda nyata (P <0.05).wilayahKIA, CLC dan GNC lebih digunakan rusa timor sebagai tempat untuk mencari makan pada siang hari dan menjadi daerah lintasan rusa pada sore hari untuk menuju daerah PSG dan KCP sebagai tempat istirahat pada malam hari.

Selain itu ketiga daerah tersebut juga diperkirakan sebagai daerah overlap dari kelompok populasi rusa PSG dan KCP dalam mencari makan. Dilihat dari pola sebaran rusa timor di Pulau Peucang menurut ruang (spatial) dan waktu, maka secara keseluruhan hasil pengamatan tersebut gambaran singkat dari pola sebarannya dapat direkap seperti disajikan padaTabel 2.

Tabel 2. Bentuk sebaran spasial rusa timor di Pulau Peucang di lima wilayah pengamatan

Populasi χ²hitung χ²tabel

Ekosistem Frek ẍ S² IP χ² ²=IP(n-

1) ²0.02 5 ²0.λ7 5 Bentuk Sebaran PSG 33 12,1 132 10,9 11,3 348.44 31,5 8,2 Mengelompok KIA 33 4,1 6,9 1,7 18,0 53,3 17,5 2,2 Mengelompok CLC 33 4,4 41,8 9,5 46,7 304,.5 20,5 3,3 Mengelompok KRC 33 12 40,8 3,4 16,1 109,2 32,9 8,9 Mengelompok GNC 33 1,9 5,7 3,0 34,2 96,6 14,5 1,2 Mengelompok

PSG=Pasanggrahan, KIA=kiara, CLC=Calingcing, KRC=Karang copong, GNC= Gunung calling

Gambar 1. Peta sebaran rusa dan pembagian wilayah lapangan (1. Pasanggrahan (PSG), 2. Kiara (KIA), 3. Cihanda rusa (CHR), 4. Calingcing (CLC), 5. Karang copong (KRC), 6.Gunung Calling (GNC),7. Legon Madura (LGM), 8. Legon kobak (LGK), 9. Ciapus (CIA), 10. Kapuk (KPK), 11. Cangcuit (CCU). Garis pantai warna merah curam, hijau landai berpasir putih, kuning pasir dan karang, hitam berkarang).

Berdasarkan bentuk sebaran spasialnya, hasil analisis data dengan uji Chi scuare (X2) menunjukkan bahwa secara umum bentuk sebaran spasial rusa timor Pulau Peucang di lima lokasi pengamatan adalah mengelompok. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Santosa (2008) di Taman Nasional Alas Purwo (TNAP)

determinan (R2) sebesar 0.804 (p < 0.05). Hasil ini mengindikasikan bahwa rusa timor menyukai habitat dengan kelembaban yang lebih tinggi, dekat dengan jalur patroli, jauh dari padang rumput (menuju kawasan KRC), suhu tinggi dan daerah datar atau daerah dengan ketinggian rendah.

Rusa timor di Pulau Peucang menyukai habitat yang memiliki kelembaban dan suhu udara tinggi. Padawaktu pagi rusa timor cenderung mendekati daerah pantai sebagai habitat dengan kondisi suhu udara lebih hangat, dan pada siang hari bergerak menuju ke tengah pulau dan berteduh di bawah pohon berkanopi lebar dengan kondisi kelembaban udara relatif tinggi (lebih sejuk). Kesukaan rusa timor menempati habitat dengan pohon berkanopi lebar ini serupa dengan kesukaan rusa merah (Cervus elaphus), namun tidak sama dengan rusa roe (Bokorwski 2004). Menurut Welch et al. (1990) habitat semak belukar lebih banyak digunakan oleh rusa merah dari pada rusa roe, sedangkan habitat dengan tumbuhan berkanopi lebar lebih banyak digunakan oleh rusa roe karena kaya tanaman herba.

Pengukuransuhu dan kelembaban udara 28-31 oC, dan kelembaban udara sekitar 50- 80%. Suhu udara ini termasuk dalam sebaran suhu yang toleran untuk rusa timor. Tuckwell (1998) menyatakan rusa timor kurang tahan terhadap udara dingin, sehingga rusa timor memerlukan shelter yang memadai untuk berlindung dan habitat yang memiliki sumber pakan berenergi tinggi agar dapat bertahan di habitat bercuaca dingin. Pada malam hari rusa timor banyak ditemukan beristirahat di padang rumput (grazing area) + 0.5 ha dengan kondisi yang lebih hangat karena telah menerima paparan sinar matahari sepanjang hari.

Rusa timor tidak menggunakan seluruh wilayah ketinggian di Pulau Peucang sebagai habitatnya, namun hanya memilih daerah datar sampai ketinggian tertentu sebagai habitat preferensialnya. Hasil uji statistik (Chi Square - χ2) menunjukkan bahwa perbedaan ketinggian tempat berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap keberadaan rusa (nilai χ2 χ2hitung =

15.50 > χ2

(0.05,2) = 5.99). Rekapitulasi hasil perhitungan X2 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rekapitulasi perhitungan χ2 untuk menguji hubungan antara kehadiran rusa dengan ketinggian tempat Ketinggian (m) Luas (Ha) Proporsi (%) Frekuensi observasi (Oi) Frekuensi harapan (Ei) (Oi-Ei)2/Ei 1 2 3 4 5 6 0 - 20 m 74 0.17 15 11.98 0.76 20 - 40 m 252 0.58 52 40.85 3.05 >40 m 106 0.25 3 17.17 11.69 Jumlah 432 70 70.00 15.50

Frekuensi harapan rusa (Ei) = kolom 3 x jumlah kolom 4 (Gaspersz 1994), χ2hitung = 15.50 >

χ2

(0.05,2) = 5.99.

Rusatimor lebih menyukai daerah datar sebagai habitatnya terutama untuk tempat istirahat pada malam hari, dan tidak menyukai daerah dengan ketinggian lebih dari 40 m. Hasil perhitungan menunjukkan perbedaan ketinggian tempat berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap keberadaan rusa timor di Pulau Peucang (Tabel 4).

Secaraumum rusa timor diakui sebagai satwa yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan termasuk toleransinya terhadap perbedaan ketinggian tempat hingga mencapai 2600 m (Padmala et al. 2003) namun fakta di Pulau Peucang menunjukkan bahwa umumnya rusa timor cenderung lebih menyukai daerah dengan ketinggian 20-40 m.

Tabel 4. Indeks Neu preferensi habitat rusa terhadap ketinggian tempat Kelas Lereng

Ketersediaan Perjumpaan rusa Indeks

Luas (Ha) Proporsi (a) Tercatat (n) Proporsi (r) Seleksi (w) Terstandar (b) 0 - 20 m 74 17 15 21 1.235 0.46 20 - 40 m 252 58 52 74 1.276 0.48 >40 m 106 25 3 4 0.160 0.06 432 100 70 2.671 1.00

Rusatimor di Pulau Peucang hanya menyukai daerah dengan ketinggian 0 – 20 m sampai 20 – 40 m, dan tidak menyukai daerah yang lebih tinggi meskipun bebas dari gangguan manusia. Fenomena ini berbeda dengan rusa merah dalam penggunaan habitatnya selama musim panas dan dingin sesuai dengan pernyataan Palmer dan Truscott (2003) bahwa rusa merah selama musim dingin lebih cenderung menyukai habitat berketinggian rendah, lebih terlindungi dan memiliki tutupan tajuk yang tinggi.

Jalur patroli diketahui mempengaruhi keberadaan rusa timor terutama pada siang hingga malam hari. Hasil uji statitik (Chi square – X2) menunjukkan bahwa rusa timor memiliki perbedaan tingkat kesukaan habitat dengan jarak tertentu dari jalur patroli ditandai dengan nilai χ2hitung = 27.68 ≥ χ2 (0.05,3) = 7.81. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa semakin jauh jarak suatu tempat sebagai habitat rusa dengan jalur patroli maka semakin sedikit dijumpai rusa timor.

Keberadaanrusa di sekitar jalur patroli paling banyak ditemukan pada jarak 0 sampai 100 m. Rusa timor cenderung memilih habitat yang lebih dekat dengan manusia dengan jarak kurang dari 100 m dari jalur patroli. Kondisi ini menunjukkan bahwa rusa timor di Pulau Peucang justru merasa aman dan nyaman didekat orang dan merasa kurang aman apabila berada di tengah hutan. Rusa timor di Pulau Peucang dapat dikatakan sudah adaptif dengan

manusia sehingga menunjukkan perilaku ―jinak‖ bila berada di daerah jalur patroli, namun

sangat agresif bila ditemukan di wilayah yang jauh dari jalur patroli (dalam hutan) karena cenderung lebih peka (sensitif) dengan menunjukkan perilaku agresif kemudian lari menjauh dari manusia.

Perilaku adaptif atau jinak yang ditunjukkan oleh rusa timor di habitat yang dekat dengan jalur patroli tersebut di atas dapat dimengerti karena jalur patroli tersebut juga merupakan jalur perjalanan wisatawan dengan frekuensi kunjungan yang cukup tinggi. Melalui proses pembiasaan (habituasi) dari intensitas interkasi rusa timor dengan wisatawan yang melewati jalur itu secara terus menerus akhirnya berdampak pada perubahan perilaku rusa menjadi adaptif dan lebih jinak terhadap manusia, bahkan pada jarak sekitar 10 m rusa timor tetap terlihat tenang dan cenderung memberikan respon mendekat apabila ada orang yang melewati jalur patroli tersebut. Berbeda halnya dengan rusa-rusa yang ada di dalam hutan, umumnya menunjukkan perilaku agresif, waspada dan menghindar apabila bertemu dengan manusia. Diperkirakan rusa timor di dalam hutan cenderung menghindari manusia sampai mencapai jarak lebih dari 50 m dari jalur patroli.

Keberadaan rusa di padang rumput Pasanggrahan umumnya hanya terlihat pada waktu sore hingga pagi dini hari (jam 14.00 – 04.00 WIB). Sebelum waktu-waktu tersebut rusa timor di Pulau Peucang cenderung menjauh dari padang rumput. Rusatimor menyukai habitat

rumput di Padangsanggrahan (PSG) untuk istitrahat pada malam hari, namun apabila keberadaan rusa timor tersebut berjarak >2000 m dari areal padang rumput maka cenderung bergerak mengarah ke areal padang rumput di Karang Copong (KRC). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok rusa timor di kedua habitat tersebut (PSG dan KRC) terlihat sudah adaptif dengan kehadiran manusia, sehingga ketika berada di areal padang rumput dari kedua habitat tersebut, rusa tidak lagi menunjukkan perilaku agresif atau menghindar, melainkan rusa tampak tenang dan terus melakukan kegiatan memamahbiak sambil berisitirahat tanpa merasa terganggung dengan kehadiran aktivitas manusiadi sekitarnya.

Secara umum rusa timor digolong sebagai pemakan rumput (grazer) seperti halnya rusa sika (Hofmann 1985) meskipun dalam kondisi tertentu dapat bersifat browser atau pemakan semak tergantung pada ketersediaan tumbuhan pakannya di suatu habitat. Hasil pengamatan di Pulau Peucang juga menunjukkan bahwa rusa timor terutama rusa betina dewasa, betina remaja, anak, dan jantan remaja lebih dominan berkumpul dan melakukan aktivitas makan di padang rumput, sehingga dapat menjadi indikasi bahwa rusa timor tersebut tergolong sebagai pemakan rumput (grazer).

Berbeda halnya dengan rusa timor berkelamin jantan dewasa pada fase ranggah muda, ternyata diketahui di lapangan cenderung ditemukan terbatas di habitat berupa hutan sehingga lebih bersifat pemakan semak (browser). Fakta menunjukkan bahwa rusa timor jantan fase ranggahh muda sampai ranggahh keras di Pulau Peucang ternyata lebih memilih areal habitat di Cihanda, Calingcing, dan Karang Copong, dan sangat jarang ditemukan di areal Gunung Calling ataupun di Kiara. Fenomena soliter (menyendiri) dari rusa timor jantan fase ranggahh muda ini diduga untuk menghindari dari serangan jantan dewasa yang telah memiliki ranggahh keras, karena kalah bersaing. Memang ada beberapa pengecualian terutama rusa- rusa jantan yang telah adaptif, maka pada fase ranggah muda mereka masih tetap terlihat berada di areal padang rumput dengan aman dan merasa tidak terganggu baik dengan rusa jantan lain maupun dengan manusia. Fenomena persaingan (kompetisi) antar pejantan lebih terlihat pada saat musim kawin (September-Desember). Rusa jantan dewasa pada fase ranggah keras biasanya keluar menuju areal padang rumput dan terjadi perkelahian antar pejantan untuk memperebutkan betina. Biasanya pejantan yang menang menunjukkan penguasaan wilayah (teritorialitas) sementara pejantan yang kalah dan/atau yang berada pada fase ranggah muda cenderung menghindar dan bergerak ke dalam hutan atau daerah ekoton diantara hutan dan padang rumput.

Gambaran kondisi tersebut di atas mengharuskan setiap pengelola untuk dapat mengidentifikasi persebaran kelompok populasi atau individu-individu rusa jantan fase ranggah muda dan menentukan teknik pengelolaan habitatnya agar lebih memungkinkan ketersediaan tumbuhan pakan yang cukup dan berkualitas baik sehingga dapat digunakan oleh rusa-rusa tersebut. Hal ini terutama apabila dikaitkan dengan kepentingan pengaturan pemanfaatan rusa timor sebagai komoditas ekonomi khususnya untuk menghasilkan ranggah muda (velvet antler) sebagai produk utamanya.

KESIMPULAN

1. Bentuk sebaran spasial rusa timor di Pulau Peucang adalah mengelompok dengan konsentrasi pengelompokan pada malam hari adalah di daerah pantai dari wilayah Karang Copong dan di padang rumput Pasanggrahan.

2. Preferensi habitat rusa dipengaruhi oleh kelembaban, ketinggian, jarak dari jalur patroli, jarak dari padang rumput, dan suhu dengan persamaan regresi Y (frekeuensi kehadiran) = - 6.611 + 1.743X (kelembaban) – 1.402 X (ketinggian) – 0.317 X (jarak dari jalur patroli) + 0.170 X (jarak dari padang rumput) + 1.563 X (suhu). Koefisienditerminasi R2=80.4%, p < 0,05.

DAFTAR PUSTAKA

Bayers CR, Steinhorst RK, Krausman PR. 1984. Clarification of a technique for analysis of utilization-availability data. Journal of Wildlife Management 48: 1050-1053.

Bello J, Gallina S and Equihua M. 2001. Characterization and Habitat Preferences by White- Tailed Deer in Mexico. Journal of Range Management 54(5): 537-545

Borkowski J and Ukalska J. 2008. Winter Habitat use by red and roe deer in pine-dominated forest. Forest Ecology and Management 255 (2008) 468-475

Borkowski J. 2004. Distribution and habitat use by red and roe deer following a large forest fire in South-western Poland. Forest Ecology and Management 201:287–293.

Hofmann RR. 1985. Digestive physiology of deer: their morphophysiological specialisation and adaptation. Royal Society of New Zealand, Bulletin 22, 393–407 http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts /information / Cervidae.html. Kencana S. 2000. Habitat Rusa Timor (Cervus timorensis) dan kapasitas Tampung Padangan

Alam Taman Buru Pulau Rumberpon Manokwari. [Skripsi] Fakultas Pertanian Universitas Cendrawasih Manokwari.

Lawrence RK. 1995. Population Dynamics and Habitat use of desert Mule Deer in The Trans Pecos Region of Texas. [Disertation] The Graduate Faculty of Texas Tech University 178p.

Ludwig, J. A. and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Method and Computing. A Wiley - Inter Science Publication. John Wi-ley and Sons, Inc. New York

Nagarkoti A &Thapa T B. 2007. Distribution pattern and habitat prefference of barking deer (Muntiacus muntjac Zimmermann) in Nagarjun forest Kathmandu. Himalayan Journal of Sciences 4(6): 70-74

Neu CW, Byers CR, Peek JM, Boy V 1974. A Technique for analysis of utilization- availability data. Journal of Wildlife Management 38: 541-545.

Nolan LM, & Walsh JT. 2005. Principles of deer management. Wild deer management in Irland : Stalker training manual. © L. M. Nolan, J. T. Walsh & Deer Alliance HCAP Assessment Committee, 2005

Padmalal UKGK, Takatsuki S and Jayasekara P. 2003. Food habits of sambar Cervus unicolor at the Horton Plains National Park, Sri Lanka. Ecological Research 18 : 775

– 782

Palmer SCF and Truscott AM. 2003. Seasonal habitat use and browsing by deer in Caledonian pinewoods. Forest Ecology and Management 174: 149 - 166

Purnomo DW. 2010. A habitat selection model for Javan deer (Rusa timorensis) in Wanagama I Forest, Yogyakarta. Bioscience 2(2): 84 – 89.

Santosa Y, Auliyani D, Priyono A. 2008. Pendugaan Model Pertumbuhan dan Penyebaran Spasial Populasi Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville, 1822) di Taman

New Caledonia. New Zealand Journal of Zoology 33(3): 175 -183. DOI: 10.1080/03014223.2006.9518442

Tuckwell, C. 1998 Australian Deer Industry Manual, Part 3, Classification and Species Selection. Barton, ACT

Welch D, Staines BW, Catt DC, Scott D, 1990. Habitat usage by Red (Cervus elaphus) and Roe (Capreolus capreolus) deer in a Scottish sitka Spruce Plantation. Journal of Zoologyi 221(3): 453 – 476

KAJIAN MORFOLOGI, MORFOMETRI, DAN STATUS KONSERVASI

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016 (Halaman 88-95)