• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN A Latar Belakang

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016 (Halaman 132-141)

SUMATERA UTARA

PENDAHULUAN A Latar Belakang

Estuari merupakan daerah yang ekstrim, disamping sebagai lokasi pertemuan antara air tawar dan air laut, juga merupakan daerah yang rawan terhadap pemasukan material terlarut yang berasal dari berbagai aktivitas masyarakat di sekitar daerah tersebut. Dewasa ini daerah Estuari Percut Sei Tuan mengalami berbagai masalah yang diakibatkan adanya pemanfaatan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS). Pada daerah Percut terdapat berbagai aktivitas penduduk, seperti pemukiman, pertambakan, areal pertanian dan lalu lintas perairan yang cukup ramai. Selain itu juga terjadi pendangkalan pada muara sungai karena adanya pertemuan/penggabungan aliran Sungai Deli dan Sungai Percut sehingga mengakibatkan pendangkalan pada Muara Sungai Percut (Sinar Indonesia Baru Tanggal 5 September 2005).

Pembukaan dan konversi lahan hutan mangrove yang berada di sekitar estuari menjadi lahan pertanian, pemukiman, pertambakan, perkebunan dan pengambilan batang pohon sebagai sumber bahan baku arang tidak hanya menyebabkan pengurangan areal hutan, tetapi juga menyebabkan pemasukan bahan-bahan terlarut seperti nitrogen dan bahan organik yang berasal dari aktivitas pertambakan dan aktivitas lainnya. Masuknya berbagai bahan terlarut ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan, seperti perubahan sifat-sifat fisika dan kimia perairan yang dapat berpengaruh pada kondisi sedimen dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang berada di lingkungan tersebut, baik itu di badan maupun di dasar perairan. Salah satu ancaman yang serius terhadap

kualitas lingkungan estuari adalah berlangsungnya proses pelumpuran dan turbiditas dari daerah sungai (Prasetyo et al. 2000).

Pelumpuran dan turbiditas yang tinggi serta didukung oleh berbagai faktor lingkungan, seperti kecepatan arus, akan sangat mempengaruhi proses sedimentasi di daerah estuari yang pada akhirnya akan mempengaruhi berbagai organisme yang berada di dasar perairan (sedimen). Pengaruh penurunan berbagai parameter lingkungan akan sangat jelas terlihat pada struktur komunitas bentos. Hewan-hewan bentos dapat dianggap lebih mencerminkan adanya perubahan-perubahan faktor lingkungan pada suatu ekosistem perairan (Prasetyo et al. 2000). Oleh karena itu dipandang perlu dilakukannya suatu penelitian untuk mengetahui kondisi habitat pada perairan estuari di daerah Percut Sei Tuan dengan melakukan pengukuran terhadap faktor-faktor fisika, kimia dan biologi.

BAHAN DAN METODE

Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di ekosistem mangrove stasiun riset YAGASU ACEH yang terletak di Desa Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang Sumatera Utara selama 6 (enam) bulan yang terdiri dari penentuan plot pengamatan, pengambilan sampel, identifikasi, dan analisis data. Pengambilan sampel dilakukan pada 5 titik pengamatandengan membuat plot dengan ukuran 30x30cm dan kedalaman 30cm sebanyak 5 plot (Gambar 1). Pengambilan sampel dan pengukuran faktor fisik, kimia dan biologi dilaksanakan saat surut.

1 2 3

Metode Pengambilan Sampel/Makrozoobenthos

Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan pada setiap plot pengambilan sampel dengan membuat plot 30x30x30 cm. Sampel makrozoobentos dipisahkan dari substrat menggunakan saringan bertingkat. Selanjutnya sampel dimasukan ke dalam botol contoh dan diawetkan dengan alkohol 70%, kemudian dihitung jumlah individunya dan diidentifikasi menggunakan buku acuan Azoukskyet al (2000), Barnes RD (1987), Dance SP. (1977), Gosner KL (1990), Sowerbys (1996).

Analisis Data Struktur Komunitas Makrozoobentos

Komposisi dan Kelimpahan

Komposisi jenis makrozoobentos menggambarkan kekayaan jenis yang terdapat dilingkungannya. Kelimpahan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu persatuan luas (Brower et al. 1990).

b a 10000 K  dengan: K = kelimpahan makrozoobentos a = jumlah individu

b = luas plot pengambilan sampel (cm2) 10000 = konversi cm2 ke m2

Keanekaragaman

Keanekaragamanmakrozoobentos yang berada di perairan estuari dihitung dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Shannon-Winner (Krebs 1989).

pi ln pi

Η' dengan:

H' = indeks keanekaragaman jenis pi = ni/N

ni = jumlah total individu ke-i N = jumlah total individu

Berdasarkan nilai konversi basis logaritma oleh Brower et al.(1990) kisaran nilai Indeks Keanekaragaman dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

H' < 3.32 = keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah.

3.32 < H' < 9.96 = keanekaragaman sedang, penyebaran individu tiap spesiesnya sedang dan kestabilan komunitas sedang.

H' > 9.96 = keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.

Keseragaman

Untuk mengetahui keseragaman (equitabilitas) makrozoobentos yaitu penyebaran individu antar spesies yang berbeda digunakan indeks equitabilitas (Krebs 1989).

max ' '    dengan:

E = indeks keseragaman jenis H' = indeks keanekaragaman H' max = log2 S

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi dan Kelimpahan Makrozoobenthos

Makrozoobentosyang didapat selama penelitian sebanyak 13 jenis, yang terdiri atas 1 jenis Bivalvia, 11 jenis Gastropoda dan 1 jenis Polychaeta (Tabel 1). Jumlah individu makroozoobentos yang didapat pada masing-masing stasiun menunjukan nilai yang berbeda- beda. Hampir seluruh stasiun didominasi oleh jenis Gastropoda, dengan persentase masing- masing pada stasiun pengamatan yaitu 81 % di stasiun I, 60% di Stasiun II dan 87% di Stasiun III (Gambar 3).

Tabel 1. Komposisi Makrozoobenthoas di stasiun pengamatan

No Spesies Family Class

1 Nereis sp Nereidae Polychaeta

2 Tellina sp Tellinidae Bivalvia

3 Assiminaea sp Assimineidae Gastropoda 4 Glycera sp Glyceridae 5 Littoria melanostoma Littorinidae 6 Littorina conica 7 Nerita sp Neritidae 8 Cerithidea quadrata Potamididae 9 Cerithidea cingulata 10 Terebralia 11 Cerithidea obtusa

12 Phascolosoma arcuatum Sipunculids

13 Turbo cidaris Turbinidae

Jenis Gastropoda merupakan jenis yang paling banyak didapat. Hal ini sangat erat kaitannya dengan jenis sedimen, Jenis sedimen pada lokasi penelitian berupa lumpur berpasirdan dapat menopang kehidupan makrozoobentos dari jenis Gastropoda. Menurut Barnes (1987) bahwa jenis Gastropoda biasa hidup pada substrat berpasir. Selain itu hal ini juga berhubungan dengan sifat Gastropoda yang lebih toleran terhadap perubahan berbagai parameter lingkungan sehingga penyebarannya bersifat kosmopolit.

Polychaeta merupakan jenis paling sedikit dijumpai, hal ini sangat erat hubungannya dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Rendahnya kelimpahan Polychaeta diduga karena nilai salinitas pada lokasi penelitian masih tergolong payau baik pada surut maupun saat pasang. Sanusi et al. (2005) melaporkan bahwa Polychaeta terutama jenis Nereis sp. ditemui melimpah pada kandungan bahan organik tinggi dan salinitas berkisar antara 22-33 ‰.

Kelimpahan makrozoobentos pada Stasiun Riset cukup bervariasi. Kelimpahan makrozoobentos di masing-masing stasiun dapat dilihat pada gambar 4.Rata-rata kelimpahan makrozoobenthos di Stasiun I sebesar 4,444 individu/m2, Stasiun II 6,667 individu/m2 dan di Stasiun III 6,667 individu/m2. Tinggi atau rendahnya nilai kelimpahan makroozoobentos pada suatu perairan sangat tergantung pada kandungan bahan organik yang ada pada substrat. Pearson dan Rosemberg dalam Lardicci et al. (1997) menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam substrat akan mempengaruhi struktur dari komunitas makrozoobentos yang dapat ditandai dengan meningkatnya jumlah spesies yang diikuti dengan meningkatnya biomassa dan selanjutnya peningkatan kelimpahan.

Gambar 4. Rata-rata kelimpahan makrozoobentos di masing-masing stasiun penelitian

Keanekaragaman Makrozoobenthos

Indeks keanekaragaman makrozoobentos pada Stasiun Riset berkisar antara 1,24 – 2,22 (Gambar 5). Nilai keanekaragaman tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 yaitu sebesar 2.22, hal ini erat kaitannya dengan banyaknya jenis makrozoobentos yang didapat yaitu sebanyak 10 jenis.

Kondisi suatu lingkungan perairan dapat ditentukan melalui nilai keanekaragaman. Lardicci et al. (1997) mengemukakan bahwa dengan menentukan nilai keanekaragaman kita dapat menentukan tingkat stress atau tekanan yang diterima oleh lingkungan. Stirn (1981) dalamBasmi (2000) yang dikonversi dengan logaritma basis dua juga menjelaskan antara nilai Indeks Shannon (H') dengan stabilitas komunitas biota, yaitu bila H' < 3 maka komunitas biota dinyatakan tidak stabil, bila H' berkisar antara 3-9 maka stabilitas komunitas biota adalah moderat (sedang) sedangkan bila H' > 9 maka stabilitas komunitas biota bersangkutan berada dalam kondisi prima (Stabil). Dahuri et al. (2004) menambahkan bahwa nilai keanekaragaman yang berada dibawah 3.32 tergolong rendah dan penyebaran individu

tiap spesies rendah dan stabilitas komunitas rendah. Namun untuk menentukan apakah keanekaragaman pada Stasiun Riset tergolong rendah atau tinggi perlu ditelaah lebih lanjut, karena sampai saat ini belum ada standar baku untuk indeks keanekaragaman bagi biota di Indonesia.

Gambar 5. Indeks Keanekaragaman makrozoobentos di masing-masing stasiun penelitian

Keseragaman Makrozoobenthos

Keseragaman jenis pada Estuari Percut diperoleh kisaran nilai 1,208 – 1,844 (Gambar 6). Nilai keseragaman ini menggambarkan keseimbangan ekologis pada suatu komunitas, dimana semakin tinggi nilai keseragaman maka kualitas lingkungan semakin baik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lingkungan Stasiun Riset berada dalam kisaran baik, karena secara keseluruhan nilai keseragaman pada setiap stasiun pengamatan tidak jauh berbeda.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Jumlah Makrozoobenthos yang dijumpai pada stasiun penelitian sebanyak 13 jenis yang terdiri dari kelas Gastropoda, Bivalvia dab Polychaeta

2. Indeks keanekaragaman tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 dengan nilai 2,22 3. Indeks Keseragaman tertinggi di jumpai pada Stasiun 1 yaitu sebesar 1,844

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Data Monografi Kecamatan Percut Sei Tuan.

Azouksky AI. Chertoprous MV. Kucheruk NV. Rybnikov PV. Sapozhnikov FV. 2000. Fractal Properties of Spation Distribution of Intertidal Benthic Communities.Marine Biology. No. 136. pp: 581 – 590.

Badan Pusat Statistik. 2004. Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang.

Barnes RD. 1987. Invertebrate Zoology. 5th Edition. Philadelphia.

Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor

Brower JE. Zar JH. Ende CN. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Edisi Ketiga. Wm C. Brown Publishers. United States of Amerika.

Dahuri R. Rais J. Ginting SP. Sitepu MJ. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan ketiga. PT Pradnya Paramita. Jakarta.

Dance SP. 1977. The Encyclopedia of Shells. Bland Ford Press. London.

Day J W., Hall CAS. Daan Arancibia AY. 1989. Estuarine Ecology. John Wiley and Sons. New York.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Google Earth. 2007. Citra Satelit Kecamatan Percut Sei Tuan. http://www.maps.google.com. (20 Maret 2007).

Gosner KL. 1990. Guide to Identification of Marine and Estuarine Invertebrates. Wiley- Interscience. Division of John Wiley and Sons Inc. New York.

Holme NA. McIntyre AD. 1971. Methods for the Study of Marine Benthos. International Biological Programme Blackwell Scientific Publication. Philadelphia.

Krebs C. J. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row. New York.

Mann KH. 2000. Ecology of Coastal Water with Implication for Management. 2nd Edition. Blackwell Science Inc.

Nontji A. 1993. Laut Nusantara. PT Djambatan. Jakarta

Odum E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Jilid 3. Penerjemah Samingan T. Gajah Mada University Press. Jogjakarta.

Odum E.P. 1997. Ecology a Bridge between science and society. Sinauer Associates Inc. Canada.

Parsons T R. Takahashi M. Hargrave B. 1977. Biological Oceanographic Processes. Second edition. Pargamon Press. New York.

Prasetyo Y. Saraswati R. Sukanta D. 2000. Persebaran Bentos dari Jenis Periglypta di Perairan Teluk Jakarta. Di dalam: Ekosistem Pantai Indonesia; Depok: Departemen Kelautan RI dan Jurusan Geografi UI. Hlm 17-33

Razak A. 2002. Dinamika Karakteristik Fisika-Kimiawi Sedimen dan Hubungannya Dengan Struktur Komunitas Moluska Bentik (Bivalvia dan Gastropoda) di Muara Bandar Bakali Padang. Thesis Pascasarjana IPB. Bogor.

Sastrawijaya AT. 1991. Pencemaran Lingkungan. PT Rineka Cipta. Jakarta Sowerbys, 1996. Book of Shells. Crown Publisher, Inc. New York.

Sinar Indonesia Baru. 2005. Seratus Massa BPD Percut Sei Tuan Unjuk Rasa ke DPRD Sumut. Sinar Indonesia Baru (SIB) tanggal 5 September 2005. Medan.

Sumich JL. 1979. An Introduction to The Biology of Marine Life. WM C Brown Company Publisher. USA.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tomaszek JA.1995. Relationship between Denitrification and Redox Potential in Two Sediment-Water Systems. Marine Freshwater Research. 46. pp:27-32.

Whilm J L. 1975. Biology Indicators of Pollution dalamWhitton B A. 1975. River Ecology. Vol 2. Blackwell cientific Publication. Oxford.

Yulianda F dan Damar A. 1994. Penuntun Praktikum Ekologi Perairan (Pengenalan Dasar, Metoda dan Analisis Dasar). Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan. Bogor. Ziegelmeier E. 1972. Bottom Living Animals Macrobenthos. Dalam; Research Methods in

Tellina sp Assiminaea sp

Littorina conica Turbo cidaris

METAPOPULASI MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016 (Halaman 132-141)