LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Belajar dan Pembelajaran
Menurut Slameto (2003: 2), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku setiap orang dan belajar itu mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan
oleh seseorang (Rifa’i & Anni, 2012: 66).
Belajar dan pembelajaran adalah sesuatu hal yang berbeda. Menurut
Brigss, sebagaimana dikutip oleh Rifa’i & Anni (2012: 157), pembelajaran adalah
seperangkat peristiwa (events) yang memengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga siswa itu memperoleh kemudahan. Menurut Wenger, sebagaimana dikutip oleh Miftahul Huda (2013: 2), pembelajaran bukanlah aktivitas, sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ketika ia tidak melakukan aktivitas yang lain. Pembelajaran juga bukanlah sesuatu yang berhenti dilakukan oleh seseorang dan bisa terjadi di mana saja dengan level yang berbeda-beda secara individual, kolektif, ataupun sosial.
Berdasarkan pengertian tentang belajar dan pembelajaran di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang dapat memberikan perubahan pada diri seseorang baik berupa pengetahuan, sikap, ataupun
keterampilan sebagai hasil dari praktik atau pengalaman, sedangkan pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk mempermudah seseorang dalam proses belajar. 2.1.2 Teori Belajar
Teori belajar yang mendukung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
2.1.2.1Teori Vigotsky
Vigotsky percaya bahwa kemampuan kognitif berasal dari hubungan sosial dan kebudayaan. Oleh karena itu, kegiatan anak tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan sosial dan kultural. Menurut Rifa’i & Anni (2012: 39), teori Vigotsky mengandung pandangan bahwa pengetahuan itu diperngaruhi situasi dan bersifat kolaboratif, artinya pengetahuan didistribusikan diantara orang dan lingkungan yang mencakup obyek, alat, buku, dan komunitas tempat orang berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Vigotsky setiap anak memiliki Zone of proximal developmental (ZPD) yang merupakan serangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak secara sendirian tetapi dapat dipelajari dengan bantuan orang dewasa atau anak yang lebih mampu. Vigotsky juga berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif apabila si anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain, suasana lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan atau pendampingan seseorang yang lebih mampu atau dewasa, misalnya seorang guru (Asikin, 2014: 49). Bimbingan atau bantuan dari seseorang yang lebih dewasa atau berkompeten dengan tujuan anak mampu mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kesulitannya daripada tingkat perkembangan kognitif aktual anak yang bersangkutan disebut scaffolding.
Scaffolding berarti memberikan sejumlah besar bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera ia dapat melakukannya. Bentuk dari bantuan itu berupa petunjuk, peringatan, dorongan, penguraian langkah-langkah pemecahan, pemberian contoh, atau segala sesuatu yang dapat mengakibatkan siswa sendiri.
Dalam penelitian ini, teori Vigotsky sangat mendukung pelaksanaan model pembelajaran kooperatif, karena model pembelajaran kooperatif menekankan siswa untuk belajar dalam kelompok. Melalui kelompok ini siswa saling berdiskusi memecahkan masalah yang diberikan dengan saling bertukar ide dan temuan sehingga dapat meningkatkan kognitif siswa.
2.1.2.2Teori Piaget
Menurut Piaget, pengetahuan dibentuk sendiri oleh siswa dalam berhadapan dengan lingkungan atau objek yang sedang dipelajarinya. Oleh karena itu, kegiatan siswa dalam membentuk pengetahuannya sendiri menjadi hal yang sangat penting dalam sistem piaget. Proses belajar harus membantu dan memungkinkan siswa aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Siswa akan lebih mengerti apabila siswa tersebut dapat mengemukakan sendiri pengetahuannya. Oleh karena itu, proses pengajaran yang memungkinkan penemuan kembali suatu hukum atau rumus menjadi penting (Suparno, 2001: 141).
Menurut Piaget sebagaimana dikutip dalam Rifa’i & Anni (2012: 170),
(1) Belajar aktif
Proses pembelajaran adalah proses aktif, karena pengetahuan, terbentuk dari dalam sumber belajar. Untuk membantu perkembangan kognitif anak perlu diciptakan suatu kondisi belajar yang memungkinkan anak belajar sendiri.
(2) Belajar lewat interaksi sosial
Dalam belajar perlu diciptakan suasana yang memungkinkan terjadinya interaksi di antara subjek belajar. Piaget percaya bahwa belajar bersama, baik antara sesama, anak-anak maupun dengan orang dewasa akan membantu perkembangan kognitif mereka. Lewat interaksi sosial perkembangan kognitif anak akan mengarah ke banyak pandangan.
(3) Belajar lewat pengalaman sendiri
Perkembangan kognitif anak akan lebih berarti apabila didasarkan pada pengalaman nyata dari pada bahasa yang digunakan berkomunikasi. Bahasa memang memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif, namun bila menggunakan bahasa yang digunakan dalam komunikasi tanpa pernah karena pengalaman sendiri maka perkembangan kognitif anak cenderung ke arah verbal.
Dalam penelitian ini, teori belajar Piaget mendukung pelaksanaan pembelajaran Model Eliciting Activities, karena pembelajaran Model Eliciting Activities menekankan siswa untuk belajar aktif, belajar kelompok dan belajar lewat pengalaman sendiri untuk memodelkan suatu masalah. Belajar dengan pengalaman dapat lebih berarti untuk pemahaman siswa.
2.1.2.3Teori Bruner
Menurut Bruner, sebagaimana yang dikutip oleh Asikin (2014:15), belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya. Bruner juga mengemukakan bahwa jika seseorang mempelajari sesuatu pengetahuan, pengetahuan itu perlu dipelajari dalam tahap-tahap tertentu agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran orang tersebut. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh jika pengetahuan tersebut dipelajari dalam tiga tahap dengan urutan yaitu (1) tahap enaktif; (2) tahap ikonik; dan (3) tahap simbolik. Pada tahap enaktif, anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi objek. Pada tahap ikonik, kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasi. Pada tahap simbolik, anak sudah mampu menggunakan notasi (pengetahuan direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak) tanpa ketergantungan terhadap objek riil.
Dalam penelitian ini, teori belajar Bruner mendukung pelaksanaan pembelajaran karena dalam penelitian menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS), Lembar Tugas Siswa (LTS), dan alat peraga lingkaran sebagai media untuk menyampaikan ide guna mendapatkan solusi dalam menyelesaikan permasalahan.
2.1.2.4Teori Van Hielle
Menurut Van Hielle, sebagaimana dikutip dalam Asikin (2014:59-63) berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri siswa mengalami kemampuan berpikir dengan melalui tingkat-tingkat sebagai berikut.
1. Tingkat 1: Tingkat Visualisasi
Pada tingkat ini, siswa memandang bangun geometri sebagai suatu keseluruhan. Siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama suatu bangun namun siswa belum mengamati ciri-ciri bangun itu. 2. Tingkat 2: Tingkat Analisis
Pada tingkat ini, siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Siswa sudah bisa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.
3. Tingkat 3: Tingkat Abstraksi
Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antara ciri yang satu dan ciri yang lain pada suatu bangun. Selain itu, pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun dan hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain.
4. Tingkat 4: Tingkat Deduksi formal
Pada tingkat ini, siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian pangkat, definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema pada geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mampu menyusun bukti-bukti formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.
5. Tingkat 5: Tingkat Rigor
Pada tingkat ini, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem–sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri) tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan.
Menurut Van Hielle, semua anak mempelajari geometri dengan tingkat-tingkat tersebut dengan urutan yang sama dan tidak dimungkinkan adanya tingkat-tingkat yang diloncati, tetapi kapan anak mulai memasuki sesuatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara anak yang satu dengan yang lain.
Dalam penelitian ini, teori belajar Van Hielle mendukung pelaksanaan pembelajaran karena materi dalam penelitian ini berhubungan dengan geometri yakni bangun datar berupa lingkaran. Dalam mempelajari materi tersebut jelas bahwa tingkatan kemampuan yang dimiliki tiap siswa berbeda. Proses perkembangan dari tingkat satu ke tingkat berikutnya lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa.