• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berebut Sumberdaya Mobilisasi

BAB 6 Fragmentasi Gerakan Petani

6.2. Dekonstruksi Struktur Gerakan Petani

6.2.2. Berebut Sumberdaya Mobilisasi

Pasca aksi-aksi kolekif petani kemudian sepak terjang para aktor non petani menampakkan tujuannyamasing-masing, baik dalam tubuh DTL maupun SPL. Tindakan merekaitu berdampakpada berkurangnya pencapaian tujuan substantif petani yang seharusnya diperankan oleh organisasi gerakan petani. Masing-masing kelompok pendukung

63

Dalam perjalanannya di tubuh LBH Bandar Lampung sendiri juga terjadi kemelut perebutan posisi kepemimpinan. Meraka ada yang pro IPL dan ada yang pro DRL dan ada yang pro Tim 13. Bahkan ada yang keluar dari LBH kemudian mendirikan LSM dan bergabung dengan IPL.

64

Kekecewaan ketua Pramukti mulai muncul setelah dipecat dari jabatan sebagai Koordinator Posko Induk II oleh Sekjen DTL, dan tindakan itu tidak sesuai dengan mekanisme yang telah diatur dalam AD/ART.Pada tanggal 9 Oktober 1999, para petani Posko Induk II wilayah Gedung Wani dipimpin koordinatornya hadir di sekretariat DTL untuk menyampaikan perkembangan terakhir perjuangan petani di wilayahnya. Diceritakan bahwa massa petani yang semula menyatu dengan kelompok mereka, sekarang telah terjadi pembelahan yang mengkristal nyaris terjadi konflik horizontal. Pembelahan massa petani ini tidak terlepas atau bermuara dari dua halaman Pertama, adanya kudeta internal di tingkat Posko Induk II yang dimotori oleh Sekjen DTL, yakni diberhentikanya Koordinator Posko Induk tersebut tanpa melalui prosedur yang berlaku baik di tingkat Posko maupun DTL. Tindakan ini menyimpang dari statuta organisasi, sebab bila mengacu pada AD/ART DTL yang layak melakukan pemecatan adalah melalui rapat atau keputusan presidium DTL. Kedua, terjadi tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh Pri Suhardi dan kawan-kawan yang ada di lapangan terhadap perlakuan ketidakadilan dan perampasan hak secara sewenang-wenang. Kekecewaan berikutnya adalah ketika pendirian IPL, dia tidak masuk dalam kepengurusan inti. Kemudian tahun 2002 dia dan pendukungnya mendirikan ”Pramukti” (Paguyuban Reformasi Aktif Masyarakat Tani Indonesia) yang mengklaim anggota basisnya sama dengan anggota basis IPL, terutama di wilayah Register 40 Gedung Wani dan sekitarnya.

bersaing membangun jaringan informal untuk memanipulasi hubungan kekuasaan dan afeksi agar dapat mengontrol organisasi gerakan petani dalam mencapai kepentingannya. Pada kondisi ini, tindakan-tindakan para elit gerakan petani menjadi tidak terarah pada berbagai konsekuensi positif, tetapi justru mengarah pada berbagai konsekuensi negatif terhadap struktur inti gerakan petani dan pemberdayaan petani basis. Pada satu sisi di antara petani basis masih solid, tetapi pada sisi lain, para elit pendukungnya terjadi perpecahan karena berebut penguasaan sumberdaya petani basis.

Perubahan negatif akibat tindakan-tindakan para elit gerakan tersebut membuat bingung para petani basis yang menjadi anggota inti organisasi tani. Pada tingkat basis juga tidak ada kontrol organisasi dan koordinasi yang jelas dan tegas, sehingga banyak terjadi penyimpangan pembagian tanah hasil reklaiming yang tidak sesuai dengan tujuan dilakukan gerakan. Titik awal terjadi penyimpangan setelah disekapaki bahwa urusan pembagian tanah hasil reklaiming diserahkan sepenuhnya kepada posko masing-masing. Keputusan ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah tanah adalah yang menjadi kepentingan utama petani. Tetapi dalam pelaksaannya di lapangan di antara petani terjadi cekcok berebut tanah dan sulit diatur. Realitas yang demikian itu diduga karena organisasi taninya yang tidak kompak, tidak kuat, dan sibuk dengan urusanya masing-masing.

Contohnya kasus pembagian tanah hasil reklaiming di Desa Karang Rejo. Disini telah terjadinya kekacauan dalam pembagian lahan pertanian dan sudah cukup mengkhawatirkan. Jika di buat rata-rata dari ketiga Posko Induk yang ditugasi sudah terjadi penyimpangan mencapai 70 %. Paling besar terjadi penyimpangan di wilayah Posko Induk II, kemudian di wilayah Posko Induk III dan di wilayah Posko Induk I. Itu belum termasuk yang dialih-tangankan (dijual) ke pihak lain yang tidak ikut berjuang.

Dalam komitmen awalnya bahwa tujuan dibentuknya organisasi gerakan petani tingkat wilayah provinsi adalah sebagai wadah penguatan sumberdaya mobilisasi dan sebagai katalis gerakan yang menyediakan struktur sumberdaya yang memadai. Manipulasi hubungan kekuasaan dan hubungan afeksi tersebut tampak ketika tindakan-tindakan mereka dengan jelas ditujukan untuk mencapai kepentingan praktis masing-masing. Sasarannya adalah menguasai organisasi gerakan petani yang berarti juga berpeluang untuk memanfaatkan sumberdaya petani basis. Akibatnya, otonomi organisasi gerakan petani menjadi semu, tidak lagi berorientasi populis melainkan bias bersifat elitis, kurang responsif terhadap

kepentingan substantif petani basis, dan rentan terhadap komodifisasi sumberdaya gerakan.

Fenomena tersebut mengarah pada proses pembelahan. Organisasi gerakan petani merupakan kolektivitas sumberdaya yang merefleksikan sistem gerakan yang nampak besar berada dalam skala provinsi, tetapi dalam batas-batas tertentu perkembangannya semakin menjauh dari lingkungan sosio-kultural gerakan yang hidup dan dihidupkan oleh komunitas petani basis. Artinya, ruang gerak organisasi gerakan petani tingkat wilayah provinsi semakin berjarak dengan organisasi basis, dan sistem komunikasi di antara mereka menjadi lemah. Misalnya, konflik kepentingan antar kelompok elit aktor gerakan membuat DTL mati suri, tetapi organisasi basis banyak yang tidak tahu sebabnya. Seperti pengakuan dari para komunitas petani di Cipadang, Way Lima mereka merasa “bagaikan anak ayam kehilangan induknya”, sehingga organisasi petani basis ikut melemah.

Pada sisi lain, organisasi gerakan petani yang masih tetap eksis bahwa ketika struktur dominasi berada di bawah kendali para elit aktornya, maka ia menjadi rentan terhadap proses komodifikasi. Struktur sumberdaya mobilisasi dapat diarahkan menjadi suatu komoditas yang dapat dijual sejalan dengan peluang-peluang politik yang muncul di dalam dinamika politik lokal. Organisasi gerakan petani yang posisinya strategis karena memiliki klaim sebagai organisasi massa petani, maka ia dapat diarahkan menjadi komoditas dalam politik praktis. Mereka diarahkan sebagai sumberdaya mobilisasi dalam dinamika politik lokal di daerah Lampung. Sebagai imbal baliknya adalah tanah pertanian yang sudah dikuasai secara aktif oleh petani basis dapat dipertahankan dan tidak diganggu oleh pihak lain yang berkepentingan.

Pada sisi lain, bahwa posisi strategis organisasi gerakan petani karena memiliki basis massa petani justru mengandung makna yang semu dalam dinamika politik lokal. Kehadirannya pasca reklaiming dapat dimanipulasi oleh para pemimpin dan juga menjadi incaran kelompok pendukung. Dalam pemilu 1999 di mana DTL sudah menjadi ajang perebutan kepentingan, diarahkan menjadi pendukung utama partai politik tertentu, dan dimobilisir untuk mendukung pencalonan anggota legislatif.

Secara historis kekuatan struktur gerakan petani tidak terlepas dari segenap elemen pendukungnya dan kehadirannya secara formal bersifat otonom. Tetapi dalam perkembangannya justru semakin larut dengan berbagai kepentingan kelompok pendukung tersebut dan semakin berjarak dengan organisasi tani basis. Antar kelompok pendukung bersaing ketat untuk dapat memperkuat jangkauan kontrol

terhadap eksistensi organisasi gerakan petani dan petani basis, tetapi yang terjadi bukan penguatan melainkan pelemahan.

Gejala lain bahwa kehadiran organisasi gerakan petani nampak lebih disebabkan adanya momentum. Secara internal tersedia sumberdaya mobilisasi, semangat perjuangan yang membara, dan dekonstruksi struktur politik nasional. Pembentukannya terkesan dipaksakan, kurang perencanaan yang matang, dan ketersediaan sumberdaya non material yang serba kurang memadai. Segera setelah terbentuk organisasi tani, maka agenda utamanya adalah menjadikan

segenap kegiatan untuk mempertahankan hidup (survival) organisasi

tersebut. Seakan-akan survival organisasi dianggap sebagai satu-satunya tujuan yang hendak dicapai, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan, yaitu meningkatkan kesejahtaraan petani.

Sejak awal berdirinya organisasi tani sudah dihadapkan pada konflik kepentingan dalam kepemimpinan dan perebutan sumberdaya mobilisasi. Seperti SPL sejak awal sudah terjadi aksi “mosi tidak percaya” dan perombakan kepengurusan inti yang dimotori oleh para aktivis non petani. Kemudian dimanfaatkan untuk membilisasi petani basis dalam pencalonan anggota DPD. Tetapi setalah calonnya tidak jadi mereka kembali pergi meninggalkannya. Bahkan ketika mereka diberi tanggung jawab untuk membangkitkan kembali SPL ketika akan melakukan konggres ke II tanggal 3-5 Nopember 2007 juga tidak dilaksanakan.

Sebelum konggres SPL berlangsung jauh-jauh hari, yaitu pada bulan Februari 2007, sudah dibentuk tim kerja yang terdiri dari 5 orang anggota. Mereka yang ditunjuk adalah para aktivis gerakan, berpendidikan, sudah berpengalaman dalam membina organisasi, dan hidupnya juga tidak begitu tergantung pada aktivitas pertanian karena bukan murni sebagai petani. Dipilihnya anggota tim tersebut dengan haparan dapat melakukan konsolidasi anggota petani basis dan dapat mempersiapkan konggres. Realitasnya, setelah beberapa bulan berjalan tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak diketahui keberadaannya dan tidak ada laporan perkembangan hasil kerjanya. Karena waktunya sudah mendesak, kemudian anggota tim tersebut diganti 5 orang yang murni dari petani. Ternyata tim yang baru ini dapat melaksanakan tugas dengan baik termasuk dalam mempersiapkan konggres.