• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Penguasaan Tanah Pertanian dan Konflik

BAB 4 Ketegangan Struktural Agraria dan Penguatan

4.3. Sumber Utama Ketegangan Struktural

4.3.1. Pola Penguasaan Tanah Pertanian dan Konflik

Berbagai kasus penguasaan tanah oleh masyarakat di pedesaan yang melandasi munculnya gerakan petani secara umum dapat dibagi dua, yakni tanah adat dan non adat. Penguasaan tanah secara adat banyak terjadi baik tanah hak kolektif (ulayat) maupun yang sudah menjadi hak perseorangan. Sedangkan tanah-tanah non adat sebagian besar diperoleh melalui berbagai cara, antara lain melalui pembelian, program kolonisasi dan transmigrasi, hasil pembukaan kawasan hutan (termasuk rawa-rawa), dan mengelola tanah-tanah negara bekas hak

erfpacht yang ditinggalkan Belanda. Tanah-tanah non adat yang diperoleh dengan berbagai cara tersebut banyak yang diusahakan oleh penduduk pendatang.

Rangkaian kebijakan agraria berhubungan kuat dengan proses perubahan hak penguasaan petani atas tanah. Terdapat empat pola perubahan penguasaan tanah yang bersinggungan dengan hak petani atas tanah, yakni: (1) tanah-tanah masyarakat yang diperuntukkan areal perkebunan; (2) tanah-tanah masyarakat yang diperuntukkan bagi kepentingan program pemerintah; (3) tanah-tanah negara yang diperuntukkan bagi masyarakat; dan (4) tanah-tanah perkebunan

bekas onderneming yang berpindah tangan menjadi hak penguasaan

secara perseorangan. Sedangkan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penguasaan tanah dan berujung konflik dengan masyarakat setempat, dapat dibedakan dalam tiga kategori utama, yakni: (1) antara masyarakat dengan pemerintah; (2) antara masyarakat dengan perusahaan(negara dan swasta); (3) antar kelompok-kelompok masyarakat akibat kebijakan pemerintah dan tindakan perusahaan.

Ketiga kategori tersebut secara umum tidak berhubungan dengan derajat kontrol negara, karena relatif tidak berbeda atau sulit

dibedakan. Perbedaannya tampak dari kasus yang terjadi (seperti yang terjadi di wilayah kehutanan atau bukan wilayah kehutanan), derajat tindak kekerasan yang dilakukan terhadap petani (sesuai dengan kualitas persoalan pertanahan yang dihadapi), dan derajat respon (perlakuan) pihak pemerintah dan perusahaan terhadap petani.

Konflik-konflik kepentingan terhadap penguasaan tanah antara negara dan perusahaan dengan petani, sebagian besar berada di wilayah pedesaan. Banyak instansi pemerintah dan perusahaan yang berkonflik dengan komunitas masyarakat lokal. Contohnya, Departemen Transmigrasi menguasai ribuan hektar lahan yang seharusnya dibagikan kepada transmigran justru diselewengkan

peruntukannya, dikelola sendiri bermitra dengan perusahaan.47

Bahkan suatu kejadian yang sulit difahami oleh petani bahwa ada lembaga yang secara khusus berfungsi sebagai lembaga penelitian dan pengembangan teknologi harus menguasai tanah pertanian yang luasnya ratusan hektar. Padahal, dilihat dari kebutuhannya, petani dapat menyediakan bahan-bahan berapapun jumlahnya yang diperlukan oleh lembaga tersebut untuk diteliti. Kerjasama dengan petani setempat dalam pengelolaan lahan pertanian tidak pernah dilakukan, dan yang terjadi justru kerjasama dengan perusahaan.

Penjelasan tersebut di atas dengan jelas menunjukkan bahwa petani di pedesaan sudah mampu berfikir kritis atas tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan. Perkembangan kapasitas berfikir kritis petani dihasilkan bukan hanya akibat dari proses interaksi sejalan dengan bekerjanya sistem sosial agraria yang berlaku, tetapi juga diperoleh melalui kemudahan akses interaksi dan komunikasi dengan dunia luar yang semakin terbuka. Berkembangnya gerakan demokrasi yang menyuarakan kesetaraan dan keadilan agraria dan pentingnya pengelolaan tanah pertanian secara aktif oleh petani menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan tersebut.

Secara institusional nampak bahwa kesalahan konstruksi sistem sosial agraria dalam praktek hubungan agraria sehari-hari bermuara pada tanggung jawab negara dalam melaksanakan kapasitas politiknya mengeluarkan kebijakan pertanahan untuk memenuhi sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Dilihat dari perilaku para aktornya, kesalahan konstruksi sistem sosial agraria itu sebagai akibat dari tindakan kolaboratif yang secara sadar dilakukan oleh penguasa dan pengusaha. Oleh sebab berkembangnya konstruksi kesadaran palsu penguasa dan

47

Diuraikan dalam Memorandum Hukum: Dasar-Dasar Pertimbangan Peintingnya Penyerahan Eks Lahan PT. PAGO/PT TDA Kepada Warga Pemohon 11 Kampung di Padang Ratu, Lampung Tengah. Bandar Lampung, 2006.

pengusaha dalam praktek hubungan sosial agraria yang diyakini kebenarannya itu, maka para petani banyak yang menderita. Untuk menangkal berkembangnya protes petani, maka dikonstruksi suatu argumen bahwa:

“Semua itu sebagai konsekuensi dari biaya pembangunan yang harus ditanggung, sebagai bagian dari proses mencapai kesejahteraan masyarakat seutuhnya dan seluruhnya yang akan dinikmati dalam jangka panjang”.

Artinya, demi suksesnya program “pembangunan” maka petani yang tergusur, terpingirkan, tersingkir, teraniaya saat itu terkait dengan persoslan pertanahan adalah sebagai bagian dari biaya pembangunan yang harus ditanggung, demi tercapainya kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.

Dari semakin banyaknya tanah-tanah pertanian yang dikuasai perusahaan dan berujung konflik dengan masyarakat setempat, menunjukkan bahwa komunitas petani di pedesaan telah mengalami akselerasi dan akumulasi berbagai persoalan kebutuhan hidup. Sebagai petani,maka sarana untuk mengatasi kebutuhan hidupnya adalah sangat tergantung pada ketersediaan lahan pertanian. Kebijakan dan konflik pertanahan tidak terlepas dari praktek-praktek yang dilakukan pada masa lalu dan konflik-konflik tersebut terus berlanjut. Semakin luas, mendalam dan terakumulasinya persoalan pertanahan yang dihadapi petani, maka semakin memerlukan penyelesaian yang lebih komprehensif dan tuntas di lapangan. Berkembangnya situasi ini semakin berimplikasi pada akselerasi perubahan sosial, politik, ekonomi dan kultural yang kurang mendukung bagi perbaikan kehidupan petani.

1. Kebijakan Pembangunan Mengabaikan Kepentingan Petani

Wilayah Lampung memang dari dulu strategis menjadi tempat persinggahan awal para migran ke pulau Sumatera. Sejak ketentuan

Belanda tentang adat gemeenschappen dihapus, maka tidak ada

rintangan lagi bagi penduduk pendatang yang bukan warga “marga

(kesatuan masyarakat adat Lampung) untuk mendapatkan hak pakai

atas tanah dalam wilayah bekas “marga” tersebut. Daya tarik hak pakai

atas tanah tersebut, antara lain, yang mendorong penduduk luar bermigrasi ke Lampung (Swasono dan Singarimbun, 1985). Bahkan pada tahun 1960-an Dinas Kehutanan Provinsi Lampung telah mengeluarkan kebijakan pembukaan kawasan hutan kepada penduduk sekitar dan jika dikelola dengan baik selama dua tahun dapat ditingkatkan menjadi hak milik.

Pada tahun 1950 penduduk Lampung sebanyak 718.000 jiwa (Sayogyo, 1982). Pada tahun 2000 meningkat pesat menjadi 6.998.535 jiwa (BPS Provinsi Lampung, 2000), dan pada tahun 2010 sudah mencapai7 608 405 jiwa (BPS Provinsi Lampung, 2010). Faktor penyebabnya antara lain karena tingginya pertumbuhan penduduk alami, keberhasilan para transmigran yang dahulu mampu menarik arus migrasi swakarsa dari daerah asal, dan keberhasilan pembangunan di daerah Lampung menjadi daya tarik para migran spontan dari daerah lain, terutama dari Pulau Jawa. Begitu pesatnya arus penduduk masuk ke Lampung maka dibuat tiga kebijakan transmigrasi: yaitu (1) selama Pelita III transmigrasi ditempatkan di Pulau Sumatera di luar Lampung, (2) pada Pelita IV Provinsi Lampung sudah tertutup sebagai daerah penerima program transmigrasi, dan (3) dikembangkan sistem transmigrasi lokal (translok).

Kebijakan tersebut ternyata tidak mempengaruhi migrasi penduduk dari daerah lain ke Lampung. Bahkan jumlahnya mengalami peningkatan dan sebagian di antaranya menempati kawasan hutan. Kondisi tersebut berada di luar kemampuan kontrol pemerintah daerah dan juga akibat lemahnya pemerintah dalam melakukan sistem koordinasi. Pada kebijakan berikutnya mereka itu dikenal sebagai “perambah hutan”. Kemudian untuk mengatasi para perambah hutan dan masalah kependudukan lainnya seperti kepadatan penduduk dan lahan kritis, maka Pemerintah Provinsi Lampung mengeluarkan kebijakan Nomor: 074/DPD/HK/1980, tanggal 26 April 1980 tentang Program Transmigrasi Lokal atau dikenal dengan istilah “Translok”, yaitu:

... pemindakan penduduk Lampung yang tinggal di kawasan hutan, daerah kritis, daerah terkena proyek strategis, dan daerah padat penduduk ke daerah lainnya di wilayah provinsi Lampung yang masih luas dan telah ditetapkan pemerintah daerah.

Meskipun tercatat sudah sebanyak 70.225 KK “perambah hutan” yang berhasil dipindahkan oleh Kanwil Deptrans dan PPH Provinsi Lampung, tetapi program translok tersebut justru yang paling kurang diminati oleh penduduk Lampung dibanding program transmigrasi lainnya, karena sebagian besar transmigran adalah petani yang sudah hidup mapan di daerah asal (Rusmialdi, 1995:7). Menyimak definisi tersebut, jelas bahwa program translok memiliki orientasi kepentingan yang berbeda, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk yang dipindahkan tetapi lebih pada penataan kembali persebaran penduduk di wilayah Lampung. Sasaran utamanya adalah penduduk yang telah menggarap dan bermukim di suatu areal kawasan hutan, yaitu mereka yang sudah tinggal dan berusaha di wilayah tertentu

yang masih dianggap wilayah yang dikuasai negara. Banyak petani yang tinggal menetap di wilayah tertentuyang sudah lama mereka buka sebagai lahan pertanian dan pemukiman, kemudian diusir begitu saja dan dipaksa pindah.

Pada praktiknya, penduduk yang hidupnya sudah mapan di daerah asal dipindahkan ke daeah yang sama sekali baru dan mereka harus memulai hidup baru sebagaimana para transmigran lain sebelumnya. Tekanan politik, fisik, sosial dan psikologis terus menerus dialami selama mereka menolak dipindahkan dengan berbagai alasan yang tidak pernah didengar oleh pemerintah. Banyak petani yang kemudian frustasidan hidupnya tidak tetap. Mereka yang dipindahkan pemerintah dan berada di daerah tujuan banyak yang menderita karena lahan yang diberikan kondisinya tidak memadai, berupa lahan

baru, kering dan kurang subur.48

Jelas bahwa program translok kurang diminati dan banyak mendapat perlawanan penduduk setempat. Seperti penduduk di Pulau Panggung diusir dan dipindahkan. Lahan yang sudah mereka kelola sejak tahun 1920-1930 kemudian oleh pemerintah dimasukkan dalam wilayah hutan lindung. Kasus yang sama terjadi di Register 19 Gunung Betung. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutan No. 472/Kpts-II/ 1992 kawasan ini telah ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman yang berfungsi sebagai wilayah konservasi, tangkapan air, pendidikan dan pariwisata. Perlakuan yang sama terjadi pada masyarakat desa Dwikora, Lampung Utara dan di desa Sidorejo, Lampung Tengah.

Dilihat dari kebijakan agraria secara umum ketegangan struktural agraria di pedesaan bersumber dari tiga hal, yaitu: (1) terintegrasinya sumberdaya agraria (tanah) dalam struktur kepentingan ekonomi dan politik supra lokal; (2) penetrasi

48

Salah satu contoh seperti yang terjadi di wilayah Gunung Betung.Tahun 1991 penduduk dusun Muara Tiga wilayah Gunung Betung kembali diusir dengan adanya proyek reboisasi. Mereka harus mengungsi atau ikut transmigrasi lokal ke Rawa Jitu Lampung Utara. Mereka dianggap sebagai perambah dan perusak hutan, maka harus pindah secara swadaya. Penduduk yang berangkat adalah dari Talang Pelita kurang lebih 20 KK, sebanyak 30 KK dari Talang Muara Tiga II dan Talang Sejali. Akan tetapi pada tahun 2000 mereka kembali lagi ke Muara Tiga. Alasannya bahwa lahan di Rawa Jitu sama sekali tidak subur, harus memulai dari nol lagi, dan mereka harus meninggalkan harta kekayaan yang berharga yaitu kebun yang sudah menghasilkan. Tingkat kesuburan tanahnya di Rawa Jitu jauh lebih jelek dibandingkan dengan yang di wilayah asal. Jangankan ditanami kopi atau padi, ditanami singkong saja tidak menghasilkan. Beberapa warga ada yang berangkat tapi banyak juga yang tidak, karena menurut Kepala Desa waktu itu jatah lahan untuk mereka diberikan kepada daerah lain. Beberapa warga yang ikut transmigrasi karena mereka tidak betah hidup disana kemudian pulang lagi ke Muara Tiga. Sebagian warga yang bersedia ikut transmigrasi ternyata tidak semua bisa diberangkatkan karena lokasi penempatan mereka telah di kuasai oleh oknum tertentu (warga dari daerah lain). Rupanya telah terjadi jual beli lahan transmigrasai oleh oknum pemerintah (Sumber: WALHI Lampung dan Kawan Tani Lampung, 2008)

kapitalisme, yakni komersialisasi dan politisasi tanah yang mendorong masuknya para pemodal (investor); (3) tanah sebagai faktor produksi dikuasai secara besar-besaran (prakteknya dilakukan dengan cara yang tidak fair); dan (4) banyak kebijakan pertanahan yang akhirnya bermasalah dengan komunitas masyarakat setempat.

Sudah lama terjadi bahwa kebijakan pertanahan secara sistematis dikeluarkan terkait dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi. Ini dapat dicapai melalui kerjasama dengan para pemodal. Pada tahun 1970-an sudah muncul protes petani kepada pemerintah daerah terkait dengan persoalan pertanahan. Ini sejalan dengan praktik pembebasan tanah masyarakat adat untuk kepentingan industri perkebunan. Beberapa implikasi dan dampaknya adalah: (1) lahan dan penduduk pedesaan diarahkan semakin teintegrasi ke dalam pasar yang lebih luas; (2) berkembangnya komersialisasi pertanian yang dikuasai oleh para pemodal besar dan didukung kuat oleh negara; dan (2) mendorong munculnya tindakan-tindakan yang dapat mengancam kelangsungan hidup petani.

Banyak lahan pertanian yang sudah dikuasai secara produktif oleh petani, tiba-tiba diambil-alih atau dibebaskan secara paksa atau dengan cara halus baik oleh pemerintah maupun perusahaan. Lahan-lahan tersebut sebagian besar adalah untuk usaha agro industri, kemudian pada kawasan hutan tanaman industri, hutan konservasi, pembangunan tambak moderen, perkantoran pemerintah, dan kawasan pariwisata. Kapitalisasi sumberdaya tanah tersebut jelas ikut andil menjadi sebab berkembangnya persoalan pertanahan di pedesaan. Faktor lain adalah penguasaan kembali kawasan hutan oleh negara dengan cara mengambil paksa lahan-lahan yang dikuasai dan dikelola secara produktif oleh penduduk sekitar, dengan mengusir atau memindahkan penduduk yang ada di dalamnya. Mereka dituduh sebagai perambah dan perusak hutan. Program ini untuk kepentingan menjaga wilayah hutan konservasi, pengembangan hutan produksi,

dan pembangunan waduk untuk PLTA.49

2. Praktik Penguasaan Tanah Komunitas Setempat Oleh Negara

dan Perusahaan Dengan Cara Tidak Fair

Secara khusus ketegangan struktural agraria yang terjadi bersumber pada beragam faktor. Semuanya merupakan implementasi kebijakan pertanahan yang tidak responsif terhadap kepentingan petani. Berdasarkan kasus-kasus yang diteliti paling sedikit terdapat

49

Kasus tersebut terjadi di wilayah kawasan Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di Register 1, 8, 17, 19, 22, 28, 34, 37, 38, 39, 40, 42, 44,45, 46, 47, dan 48.

enam faktor utama, yakni: (1) delegitimasi bukti-bukti alas hak petani atas tanah; (2) buruknya sistem ganti rugi; (3) praktik pembebasan tanah yang cacat hukum; dan (4) buruknya administrasi pertanahan; dan (5) janji dan kesepakatan dengan petani yang diingkari oleh pemerintah dan perusahaan.

3. Deligitimasi Bukti-Bukti Alas Hak Atas Tanah

Berdasarkan kebijakan pertanahan yang dikeluarkan kemudian, maka lahan-lahan yang dikuasai petani dengan alas hak secara tradisional tidak diakui keberadaannya. Banyak petani yang memiliki bukti ijin hak penguasaan dan pemilikan tanah (hasil pembukaan hutan), tetapi alas hak tersebut menjadi lemah ketika bersentuhan dengan kepentingan pembangunan.

Kebijakan pertanahan dan implementasinya yang merugikan petani, dimana beberapa indikasinya dalam praktik dapat diringkas sebagai berikut:

a. Proses lahirnya kebijakan agraria yang tidak partisipatif.

Penetapan peralihan hak atas tanah masyarakat menjadi areal perkebunan atau untuk kepentingan lainbersifat sepihak tidak melibatkan masyarakat secara penuh. Dari rangkaian kebijakan yang dibuat sikap pemerintah sangat jelas berpihak kepada pengusaha paralel dengan sikapnya yang meminggirkan petani.

b. Sikap diskriminatif dan ambivalensi pemerintah tampak nyata dan

terstruktur. Posisi pemerintah pusat lebih dominan dan kondisi ini juga memberi peluang semakin bersemainya konflik kepentingan dengan pemerintah daerah. Pemerintah pusat tidak mengijinkan kawasan hutan dikelola dan dihuni masyarakat, tetapi Dinas Kehutanan Provinsi masih memberikan ijin kepada perusahaan untuk menebang hutan di kawasan Hutan Lindung. Konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mencuat setelah diberlakukan UU No. 22/1999 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Akibatnya masyarakat khususnya yang mengelola lahan di kasawan hutan menjadi korban seiring dikeluarkan Peraturan Daerah No.7/2000 tentang “Iuran Hasil Hutan Bukan Kayu (IHHBK)” dengan ijin pemanfaatan hutan yang masa berlakunya satu tahun dan dapat diperpanjang.

c. Dalam pelaksanaan program pembangunan kawasan hutan, para

petani diposisikan sebagai obyek mobilisasi dan partisipasi pasif pada lahan-lahan yang dulunya sudah mereka kuasai secara produktif. Kemudian,petani mengalami intimidasi dan suaranya tidak pernah didengar (setiap dikumpulkan yang didapat hanya

amarah para petugas), seperti kasus program rehabilitasi DAS dengan sistem jalur yang dilaksanakan oleh PT. Inhutani V tahun 1995 (Tim PSDHBM Watala. 2004: 25).

4. Buruknya Sistem Ganti Rugi

Penetapan ganti rugi (sewa tanah) dilakukan secara sepihak, tidak ditepati, tidak sesuai (dengan janji dan dengan harga pasaran), banyak yang tidak menerima, dan dilakukan dengan tidak transfaran. Masyarakat pada akhirnya merasa mendapatkan perlakuan yang tidak fair, tidak adil. Ganti rugi tersebut ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah.

Formasi hubungan yang demikian jelas menempatkan petani berada pada posisi lemah dan dalam kondisi tekanan yang kuat. Terjadi persetujuan semu karena masyarakat menerima begitu saja ganti rugi yang ditetapkan secara sepihak, tetapi dibalik sikapnya itu menyimpan rasa ketidakpuasan. Ada juga masyarakat yang berani melakukan protes karena nilai ganti rugi tidak sesuai dengan harga pasaran, dimanipulasi, tidak merata dan tidak transfaran.

5. Praktik Pembebasan Tanah Cacat Hukum

Banyak kasus tanah yang sudah dikuasai secara aktif dan produktif oleh petani kemudian diambil-alih dan dibebaskan secara paksa dengan berbagai macam cara. Masyarakat merasa tidak pernah diajak musyawarah dan prosedur pembebasan tanah dianggap tidak sesuai dengan ketentuan hukum baik hukum positif maupun hukum adat. Memang tidak dapat dihindari telah terjadi kerjasama yang erat di antara para aktor pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan dengan pihak perusahaan dalam pengambil-alihan dan pembebasan tanah yang dikuasai dan dikelola secara produktif oleh masyarakat setempat.

6. Buruknya Sistim Administrasi Pertanahan

Mencermati banyaknya praktik penguasaan tanah dalam proses kapitalisasi oleh kekuatan institusi supra desa, maka terdapat indikasi bahwa telah terjadi kesenjangan antara meningkatnya persoalan tanah dengan sikap pemerintah untuk menyelesaikan. Semua itu akibat sikap pemerintah yang kurang jelas dan tegas dalam menyelesaikan pertanahan. Terjadinya tumpang tindih pemilikan dan penguasaan tanah, batas lahan tidak jelas, proses administrasi simpang siur, yang semuanya tidak direspon secara cepat dan tegas untuk diselesaikan. Pembentukan kepanitiaan pengadaan tanah untuk ‘pembangunan’

hanya melibatkan aparatus negara sampai ke tingkat desa. Kondisi ini tampak tidak ada peluang partipasi masyarakat melalui perwakilan, dan hak-hak mereka atas tanah selalu berada dalam posisi yang rentan untuk dikalahkan.

7. Janji dan Kesepakatan Diingkari

Manipulasi persetujuan petani dan pengingkaran terhadap janji-janji dan kesepakatan yang telah dibuat bersama ternyata juga ikut memicu maraknya persoalan pertanahan. Petani tidak dapat berbuat banyak ketika terjadi pengingkaran oleh pemerintah maupun oleh perusahaan, karena situasi sosiopolitik yang tidak mendukung.

Persoalan “janji” dan “ingkar” yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan dalam penguasaan tanah-tanah petani tidak lagi tepat jika dipandang sebagai suatu tindakan kasuistik. Cara-cara tersebut merupakan fakta sosial yang menjadi bagian dari strategi penaklukan struktural terhadap petani. Fakta ini diperkuat dengan sikap pemerintah yang cenderung diam dan terkesan tidak mau tahu bahkan ‘membiarkan’ ketika aparat keamanan digunakan perusahaan untuk meredam reaksi perlawanan masyarakat setempat. Bahkan pada kasus lain, pemerintah (meskipun dalam pandangan lain dikatakan hanya dilakukan oleh sebagian oknum) oleh masyarakat setempat dianggap telah turut membantu perusahaan dalam melakukan tindak penipuan dan pembodohan dengan menebar janji-janji palsu demi suksesnya proyek besar yang disebut dengan pembangunan.