• Tidak ada hasil yang ditemukan

Organisasi Gerakan Petani

BAB 2 Gerakan Petani: Sintesis Teori-Teori Gerakan Sosial

2.5. Organisasi Gerakan Sosial dan Organisasi Gerakan Petani 49

2.5.2. Organisasi Gerakan Petani

Sebagaimana pandangan McCarthy dan Zald (1977), dibedakan antara gerakan sosial danorganisasi gerakan sosial. Organisasi gerakan

sosial lebih komplek berbentuk organisasi formal yang

mengidentifikasi tujuan-tujuanya dengan pilihan terhadap suatu gerakan dan berusaha melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Ini menunjuk pada bentuk organisasi profesional yang memandang bahwa dinamika organisasional, kepemimpinan dan pengelolaan sumberdaya mobilisasi menjadi faktor diterminan gerakan soosial (Kauffman dan Alfonso, 1997).

Pandangan Charles Tilly lebih lentur bahwa setiap aksi kolektif adalah terorganisir meskipun sangat sederhana. Gerakan sosial dapat dilihat dari perkembangan kualitas organisasionalnya ditandai dengan semakin menguatnya identitas dan jaringan antar pelaku. Menurut Tilly (1978:63), semakin ekstensif identitas bersama dan jaringan internal suatu kelompok, maka semakin terorganisir kelompok tersebut. Pandangan Tilly tersebut sejalan dengan konsep mobilisasi mikro dari McAdam. Munculnya bangunan jaringan informal berkembang menjadi organisasi formal merupakan bagian dari dinamika proses organisasional, di mana aktivitas para pelaku gerakan dalam kehidupan sehari-hari secara terus menerus mereproduksi struktur kelompok untuk dapat dimobilisir (Kriesi, 1988).

Menurut Scott (1993:305), gerakan petani sebagai gerakan sosial memiliki ciri-ciri antara lain: (a) lebih terorganisir, sistematis, dan

kooperatif; (b) berprinsip atau tanpa pamrih; (c) memiliki akibat-akibat revolusioner; dan (d) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi (Mustain, 2007:24). Kemungkinan terjadinya gerakan petani menurut Dahrendorf dipengaruhi oleh tiga prasyarat kondisional, yaitu: (1) kondisi teknis berupa munculnya sejumlah orang tertentu yang mampu merumuskan dan mengorganisir

kepentungan latent menjadi kepentingan manifest; (2) kondisi politis

berupa ada tidaknya kebebasan politik yang diberikan oleh masyarakat; dan (3) kondisi sosial berupa adanya sistem komunikasi yang memungkinkan para anggota dari suatu kelompok selalu berkomunikasi dengan mudah (Nasikun, 1991: 21-22). Pandangan Dahrendorf tersebut dimodifikasi oleh Ngadisah, menjadi syarat kepemimpinan (kondisi teknis), syarat politik (kondisi politis), syarat teknis (kondisi sosial), dan syarat lingkungan strategis (Ngadisah, 2003: 309).

Menyimak pendapat di atas berarti bahwa wadah organisasi dapat menjadi katalisator penting dalam aksi kolektif petani. Melalui organisasi gerakan dapat memproduksi isu-isu strategis petani. Kemiskinan petani, misalnya tidak dapat menjadi suatu realitas emosional kecuali jika diartikulasikan sebagai keluhan dan ketidakpuasan. Oleh karena itu, akumulasi ketidakpuasan petani dimungkinkan sebagai fonomena yang diproduksi atau dikondisikan.

Terdapat beberapa variabel utama yang mempengaruhi

perkembangan struktur gerakan, yakni sifat gerakan dan tujuanya (ekspresif atau instrumental, isu tunggal atau jamak), bentuk proses rekruitmen (individu atau blok), peranan pemimpin dalam tahapan formatif, dan pengaruh pihak ketiga.

McCarthy dan Zald (1987) memperhatikan keterkaitan antara struktur dan proses yang di dalamnya terdapat unsur kepemimpinan, struktur administrarif, insentif partisipasi, dan alat untuk memperoleh sumberdaya dan dukungan (McAdam dan Scott, 2002: 5). Dalam konteks memahami maksud, tujuan dan identitasnya, McCarthy dan Zald (1977) membedakan antara model sentralisasi dan desentralisasi. Jika tujuan utama gerakan adalah perubahan personal, maka lebih efektif menggunakan model struktur desentralisasi dengan pembagian kerja minimal, karena dapat membangkitkan ikatan-ikatan sosial dan perasaan solidaritas. Sedangkan jika tujuan utama gerakan adalah perubahan institusional, maka model struktur tersentralisir dengan pembagian kerja yang jelas menjadi lebih efisien, karena berbagai keputusan dapat dibuat lebih cepat (Fuller. 1989).

Pandangan McCarthy dan Zald nampaknya mengarah pada perbedaan karakteristik antara organisasi kolektivis (struktur

desentralisasi) dan organisasi birokratis (struktur sentralisasi). Rothschild dan Whitt (1979) (dalam Fuller,1989)merumuskan tipe ideal organisasi gerakan yang membedakanya dari organisasi birokratis berdasarkan aspek otoritas, aturan, kontrol sosial, hubungan sosial, kreteria rekruitmen dan kemajuan, struktur insentif, stratifikasi sosial, dan meminimalisir perbedaan.Standar ukurannya adalah: 1) otoritas tetap berada di dalam kolektivitas daripada berada di dalam individu atau posisi. Keputusan dibuat berdasarkan proses konsensus dari semua partisipan; 2) aturan-aturan diminimalisir. Keputusan

dibuat secara ad hoc dan lebih berbasis pada etika substantif daripada

berbasis pada keadilan formal; 3) kontrol sosial dicapai melalui pendekatan personalistik dan moralistik atau melalui seleksi personal berorentasi homogenitas, daripada melalui supervisi langsung atau aturan-aturan yang dibakukan; 4) hubungan sosial bersifat “holistik, afektif, dan berdasarkan nilai di dalam diri mereka sendiri”, daripada bersifat instrumental dan berbasis peranan; 5) kriteria rekruitmen dan kemajuan adalah berbasis pertemanan, nilai-nilai sosio-politik, dan ciri-ciri personalitas yang relevan terdiri atas latihan khusus atau standar kompetensi umum (universal); 6) struktur incentif didasarkan

pada incentif purposive (pemenuhan nilai) dan incentif solidaritas,

sedangkan incentif material bersifat sekunder; 7) stratifikasi sosial diminimalisir melalui kemilikan dalam prestise, privelese, dan upah; dan 8) perbedaan diminimalisir dengan memelihara peranan-peranan kerja se-umum dan se-holistik mungkin.

Menurut Zald dan Ash (1966) (dalam Fuller, 1989),struktur organisasi sentralisasi lebih efektif bagi perubahan kelembagaan, tetapi lebih sulit dalam mendorong partisipasi rakyat. Sebaliknya, struktur organisasi desentralisasi lebih mudah merekrut anggota, mencapai kepuasan lebih besar dan dalam memelihara kelompok, tetapi kurang mampu mencapai tujuan strategis. Kepemimpinan individual memainkan peranan sentral di dalam tahapan formatif, dan sebagai konsekuensinya struktur organisasinya cenderung lebih hirarkhis dan terpusat.

Derajat organisasi gerakan tergantung pada satu atau lebih kelompok yang mempengaruhi bagaimana organisasi itu dapat memobilisasi sumberdaya dan taktik-taktik gerakan yang dipilih (Muukkonen, 1999). Organisasi gerakan juga dapat berfungsi sebagai ‘issueataugrievance entrepreneurs’ yang mampu memanfaatkan peluang struktural untuk ‘mengembangkan’ dan ‘memasarkan’ produk gerakan yang baru. Contohnya perkembangan gerakan-gerakan sosial di Chili dan Brazil semakin mengadopsi bentuk-bentuk aksi yang lebih terlembaga dan dengan tingkat resiko yang lebih rendah untuk

menjamin ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan. Tetapi proses ini sering menggiring transformasi organisasi gerakan ke dalam bentuknya yang lebih formal dan terstruktur (Triwibowo, 2006: 13).

Dalam proses organisasional, otoritas kolektif digunakan untuk mengambil keputusan berdasarkan konsensus, yang berusaha mengintegrasikan kehidupan “publik” dan “privat”. Hal ini dapat membantu menciptakan hubungan holistik antar pelaku. Sedangkan dalam model birokratis di mana para pelaku saling berhubungan terutama pada basis instrumental, sehingga hubungan antar pelaku dalam organisasi gerakan lebih bersifat ekspresif. Kondisi ini memberi peluang para pelaku untuk saling bertukar pikiran, berbagi perasaan karena partisipasi mereka di dalam berbagai hal, sekaligus dapat

menampung berbagai “hidden agenda” masing-masing partisipan

(Fuller, 1989).

Memang ada perbedaan antara yang menganjurkan “centralized

bureaucratic model” seperti Gamson (1975), McCarthy dan Zald (1973,

1977) dan “decentralized informal model” seperti Gerlach dan Hine

(1970) (dalam Jenkins, 1983: 539). Sebagian besar teoritisi gerakan sosial lebih setuju model tersentralisir karena lebih efektif dalam

mencapai tujuan instrumental.35 Sebaliknya, model desentralisasi

dengan pembagian kerja yang minimal, terintegrasi melalui jaringan informal dan ideologi menjadi lebih efektif. Alasan model desentralisasi bukan karena para pelaku tidak melihat pentingnya tujuan instrumental, tetapi dianggap sebagai tujuan sekunder.

Sebagai organisasi gerakan sekaligus memiliki dua tujuan ideologis dan instrumental. Seperti membangun struktur kelembagaan organisasi gerakan yang kuat lebih dipandang sebagai tujuan “expressive” daripada tujuan instrumental. Pada kenyataannya kedua tujuan tersebut tidak dapat dipandang secara terpisah karena tujuan perubahan personal dan perubahan institusional merupakan dua sisi yang berada pada satu mata uang yang sama (Fuller, 1989). Studi terakhir menghasilkan bentuk tengah, yakni struktur organisasi tersentralisasi dengan semi-otonomi tingkat lokal dan otonomi lokal yang secara erat dikoordinasikan melalui struktur federatif (Jenkins. 1983: 540). Disini yang penting adalah organisasi gerakan sosial perlu difahami dalam konteks bagaimana dapat mengelola: (1) untuk memperoleh akses terhadap barang langka; dan (2) bersaing dengan

35 Perdebatan di dalam literatur tentang gerakan sosial secara umum tertuju pada derajat sentralisasi dalam mendiskusikan internal organisasi dari organisasi gerakan sosial. Konsep ”sentralisasi” disini lebih menunjuk pada konsentrasi relatif kekuasaan pengambilan keputusan pada sebagian kecil orang (Abigail A. Fuller,1989).

negara dan organisasi politik lain dalam memecahkan permasalahan yang menjadi dasar tindakan kolektif (Beasley, 1997).