• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stagnasi Gerakan dan Rekonstruksi Arah Baru

BAB 1 Pendahuluan

1.6. Stagnasi Gerakan dan Rekonstruksi Arah Baru

dikuasai secara paksa dan “pembohongan” oleh pemerintah dan perusahaan, tetapi pada setting skala meso gerakan petani, yakni pada skala provinsi, mampu mempertemukan antara orientasi material dan postmaterial. Oleh karena itu, ketika gerakan petani di daerah mampu berjejaring kuat secara nasional merupakan indikasi bahwa telah terjadi arus balik pengaruh gerakan petani tingkat lokal ke spektrum wilayah provinsi dan nasional. Para aktor strategis gerakan agraria harus mampu mengartikulasikan isu-sisu dan fenomena yang terjadi di tingkat nasional ke tingkat wilayah dan lokal, dan sebaliknya dari tingkat lokal ke tingkat wilayah dan nasional.

1.6. Stagnasi Gerakan dan Rekonstruksi Arah Baru Gerakan Petani

Berangkat dari kegagalan pembangunan Orde Baru yang sangat merugikan petani tradisional, maka tidak heran jika gerakan petani di awal-awal reformasi sangat kuat diarahkan berhadapan dengan negara (dan perusahaan). Kelemahannya, ketika kekuatan negara sudah dapat dilemahkan dan tanah-tanah berhasil direklaiming berarti sudah tidak

ada lagi musuh bersama (common enemy). Akan tetapi, gerakan petani

tersebut tidak dapat dikatakan berhasil jika kemudian distribusi tanah-tanah pertanian hasil reklaiming tidak sampai kepada yang berhak menerimanya (petani penggarap). Apalagi jika dalam perjalanannya hingga saat ini masing-masing organisasi tani berjalan sendiri-sendiri

19

Perkiraan luas lahan yang berhasil direklaiming tersebut menurut catatan Dewan Rakyat Lampung (DRL) dan Serikat Petani Lampung (SPL), sekitar 47.000 hektar baik yang berhasil maupun yang gagal.

20

Aksi-aksi kolektif yang dilakukan oleh Serikat Petani Lampung (SPL) berhubungan timbal balik dengan organisasi gerakan tingkat nasional, seperti “Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)” dan berjejaring dengan organisasi gerakan transnasional “La Via Campesina”.

dan tidak memiliki common platform.21 Oleh karena itu, gerakan petani hingga saat ini justru rentan terhadap beberapa persoalan yang berpotensi lepas dari kerangka gerakan akar rumput, sehingga mengalami peluruhan (pelemahan) dan stagnan (tetap berjalan di tempat, tidak mampu bergerak maju).

1. Proses pengorganisasian petani basis sejak awal dilakukan lebih

bersifat sporadis, memanfaatkan terbukanya peluang politik. Kerja-kerja pengorganisasian menguat ketika ada kasus-kasus yang menantang heroisme dan kemudian melemah ketika kasus-kasus tersebut selesai atau tidak kunjung terselesaikan. Pengorganisasian petani basis belum dapat diarahkan dan dilakukan secara sistematis untuk membangun tatanan kehidupan baru petani yang lebih baik dari tatanan yang ada (Nurhayati, 2007).

2. Eksistensi organisasi gerakan petani semakin kurang mendapat

dukungan petani basis karena kurang mendapat pemeliharaan dan penguatan melalui program-program pemberdayaan. Pada konteks ini berarti gerakan petani semakin tercerabut dari akarnya.

3. Komitmen, spirit dan daya juang para aktor strategisnya

mengalami pasang surut dan cenderung semakin mengendur. Ini berarti kondisi batang tubuh gerakan petani telah melemah.

4. Jaringan pendukung semakin berkurang dan melemah.Ini berarti

bahwa jejaring eksternal gerakan petani (lingking social capital)

semakin melemah.

5. Meskipun isu-isu kritis gerakan petani tidak pernah beranjak dari

persoalan klasik (penguasaan tanah pertanian), tetapi sudah tidak nampak terjadi perkembangan. Ini berarti bahwa gerakan petani masih berkutat pada gerakan sosiopolitik daripada gerakan sosiokultural.

6. Ketika orientasi praktis gerakan petani semakin berjarak dengan

orientasi strategisnya, karena antar elemen aktor saling berebut kepentingan dan mengabaikan unsur bermediasi, maka keberadaan petani basis berpotensi menjadi korban mobilisasi sumberdaya. Peluang komodifikasi terhadap petani basis menjadi terbuka ketika bersinggungan dengan kepentingan praktis (ekonomi dan politik) para aktor strategisnya.

7. Penguatan kembali struktur politik negara sejalan dengan semakin

sempitnya ruang gerak (peluang politik) bagi berkembangnya gerakan petani. Ini dibuktikan dengan semakin menurunya

21

Dimaksud dengan common platform adalah sebuah konsensus bersama untuk mengawal proses pencapaian tujuan perubahan dalam jangka pendek dan jangka panjang, yang diwujudkan dalam berbagai inovasi strategi kerja dan agenda kerja yang telah disepekati bersama (Kompas, 2004:10-11).

aksi protes petani di tingkat lokal dan tingkat daerah yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tani (Situmorang, 2007:6).

Semua unsur tersebut memperkuat dugaan bahwa kondisi petani tetap berada pada atau tidak beranjak dari pusaran arus kepentingan integratif negara dan pasar yang lebih luas. Gerakan petani hanya berjalan ditempat, tidak kemana-nama, tidak maju ke suatu titik yang dengan jelas menjanjikan peningkatan kesejahteraan petani. Bahkan

diduga gerakan petani berpeluang menjadi diffuse, yakni menyebar ke

berbagai penjuru, sehingga tidak fokus pada persoalan agraria lagi. Pada awal reformasi, organisasi tani tumbuh subur dan berkembang di bebagai daerah, berjejaring dengan organisasi gerakan skala nasonal dan bahkan supra nasional. Tetapi, dalam realitasnya konflik-konflik pertanahan masih banyak terjadi dan tanah negara yang terlantar masih luas tidak dapat diakses oleh petani miskin dan penggarap.Paling tidak, realitas tersebut sebagai pertanda bahwa urgensi organisasi gerakan dalam memperjuangkan nasib petani patut dipertanyakan. Secara lebih rinci data terakhir yang berhasil dicatat oleh BPN RI (2007:2) terdapat 2.810 kasus konflik pertanahan. Tanah-tanah yang menjadi obyek konflik banyak yang tidak dapat

dimanfaatkan secara optimal. Kondisi ini merupakan oppotunity loss

dan menutup akses bagi petani penggarap.

Dilihat dari kacamata sosiologis tidak dapat diabaikan pentingnya mencari penjelasan tentang dinamika gerakan petani di era reformasi. Secara umum, gerakan petani dengan berbagai wadah organisasi taniyang dibuatnya telah hadir sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil. Oleh karena itu,perlu juga dicari penjelasan tentang urgensi organisasi tani dan gerakan-gerakan yang dilakukan dalam memprotes kebijakan agraria (pertanahan) yang merugikan petani atau dalam melakukan reforma agraria, sebagai wujud nyata dalam memperjuangkan nasib petani.

Gerakan petani merupakan suatu gerakan sosial yang secara khusus muncul dan berkembang berakar pada konflik-konflik pertanahan. Karakteristiknya juga berbeda dibandingkan dengan gerakan petani yang terjadi sebelumnya, baik dilihat dari bentuk mobilisasi, organisasi dan kepemimpinan, isu-isu yang disuarakan, hingga pada bentuk-bentuk aksi yang dilancarkan (Webster, 2004; Petras, 1998). Misalnya, para pemimpin gerakan pada masa pra kemerdekaan berasal dari golongan elit desa (pemuka agama, kaum ningrat atau orang-orang dari golongan terhormat) (Kartodirdjo, 1984:16), tetapi sekarang diisi oleh para kaum intelektual kota yang aktif dalam berbagai organisasi non pemerintah. Para elit desa tetap

berperan penting dalam gerakan, tetapi kurang berposisi sebagai aktor utama yang memberi preferensi nilai dan visi perjuangan seperti dulu.

Diakui bahwa munculnya gerakan petani di era reformasi hingga saat ini, selain merupakan efek dari terbukanya peluang politik juga merupakan produk dari kesadaran baru bagian dari gerakan masyarakat sipil. Persoalannya, meski gerakan petani di Indonesia secara historis bukan sesuatu hal yang baru sama sekali, dan telah dikaji secara ilmiah, tetapi perhatian berbagai kalangan terhadap masalah itu secara formal belum mendapat tempat yang memadaidi dalam pendekatan studi-studi sosiologi di Indonesia, khususnya di dalam mengembangkan teori gerakan sosial. Kurangnya perhatian terhadap fenomena gerakan petani di era reformasi didasarkan pada beberapa hasil penelitian sebelumnya, yang terfokus pada gerakan masyarakat sipil, atau yang secara khusus berkaitan dengan komunitas lokal di pedesaan atau berkaitan dengan komunitas petani sebagai basis konstituen (Rochman, 2002; Culla, 2006; Fakih,2004; Wahyudi, 2005; Silaen, 2006; Dewi, 2006; dan Mustain, 2007).

Salah satu elemen penting (yang menjadi obyek representasi) dari gerakan petani adalah organisasi tani. Wadah petani ini dilihat

dari ciri utamanya, merupakan organisasi yang memiliki

orientasipenguatan dan pemberdayaan petani dalam memprotes kebijakan pertanahan. Klaim ini secara substansial berkaitan erat dengan gagasan dan praksis dari gerakan petani itu sendiri. Disebut sebagai “organisasi gerakan petani”karena betapapun sederhananya memiliki visi, misi dan program gerakan yang jelas dan mengidentifikasi tujuan-tujuanya dengan pilihan terhadap suatu gerakan sosial serta berusaha mencapai tujuan-tujuannya.

Sebagaimana diketahui bahwa entitas organisasi gerakan petani bukan sebagai suatu realitas sosio-politik yang baru di Indonesia. Kehadirannya dapat ditelusuri sejak masa kolonial dengan merujuk pada oganisasi gerakan berbasis pada ideologi tertentu dan berusaha melakukan perubahan kebijakan agraria yang kurang responsif terhadap kepentingan petani. Organisasi-organisasi petani sebagai organisasi gerakan secara nyata muncul pada masa Orde Lama seperti BTI, RTI, SAKTI, PETANI dan STII. Tetapi semuanya dilahirkan dan berada di bawah kontrol partai politik. Pada masa Orde Baru mereka ditekan habis dan dijinakkan melalui strategi korporasi dan kemudian oleh negara dibentuk wadah HKTI.

Setelah kekuasaan razim Orde Baru runtuh, kemudian berbagai organisasi tani tumbuh dan berkembang bagaikan jamur di musim penghujan. Mereka mengusung isu kesetaraan dan keadilan dalam kerangka demokrasi agraria. Melalui momentum reformasi, ruang

publik terbuka (era demokratisasi), maka kehadiran organisasi-organisasi tani menjadi penting sebagai wadah gerakan agrarian. Keberadaannya sangat pentingkarena memiliki kapasitas yang memadai dalam mendorong peningkatan kesadaran partisipatif petani lebih inklusif ketimbang yang selama ini diperankan oleh lembaga-lembaga formal seperti parlemen atau lembaga-lembaga semi pemerintah seperti Komnas HAM, partai politik, dan berbagai kelompok kepentingan lainnya.

Sangat wajar jika muncul rasa ingin tahu banyak orang tentang eksistensi dan aktivitas organisasi tani sebagai organisasi gerakan petani, dan sejauh mana urgensi organisasi gerakan tersebut dalam memprotes kebijakan agraria di Indonesia pada era reformasi. Sayangnya, studi tentang peran aktor reforma agraria tersebut masih sangat sedikit. Bahkan para akademisi dan peminat kajian sosiologis tentang gerakan petani masih mengabaikan eksistensi dan urgensinya di dalam memprotes kebijakan agraria. Padahal lawan petani bukan hanya berada pada tataran lokal dan kongkrit, tetapi juga berada pada tataran nasional (bahkan global) dan abstrak. Pasca maraknya aksi-aksi protes petani justru terjadi penguatan organisasi-organisasi tani lokal pada tingkat wilayah provinsi dan berjejaring dengan organisasi gerakan tingkat nasional dan transnasional.

Namun demikian, adanya gejala semakin melemahnya gerakan petani hingga saat ini, maka menjadi sangat penting dan menarik untuk dicari penjelasan tentang bagaimana kekuatan struktur hubungan agraria yang terkonstruksi sebelumnya, bagaimana perjuangan petani dilakukan, dan bagaimana konstruksi struktur hubungan agraria yang dikehendali pada masa mendatang. Beberapa pertanyaan utama yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur hubungan sosial agraria terkonstruksi

sehingga menjadi prakondisi utama munculnya konflik-konflik pertanahan ?

2. Kondisi-kondisi utama apa saja yang mendukung dilancarkannya

aksi-aksi kolektif petani dalam menggugat kebijakan agraria ?

3. Sejauh mana urgensi gerakan petani dalam menggugat kebijakan

agraria untuk mencapai kepentingan substantif petani ?

4. Bagaimana dinamika organisasi tani sebagai organisasi gerakan

agraria dalam memperjuangkan nasib petani ?

5. Bagaimana merekonstruksi arah baru gerakan petani ?